Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 719-720

Dalam Neraka Vietnam -bagian 719-720


Dalam Neraka Vietnam-bagian-719

teleponMereka kembali tenggelam dengan cerita ”masa lalu”. Saat tengah berbincang itu MacKennedy berbisik kepada siBungsu Mengatakan ada telepon untuknya.
“Telepon? dari siapa…?” pikir siBungsu heran.
Dia lalu pamit pada Ami lalu menuju ke telepon.
“Halo..siapa ini?”
“Bungsu-san…”
Dug!
Jantung siBungsu berdegup.
“M..Michiko…?”
Sepi beberapa saat. Di antara ke sepian itu si Bungsu mendengar suara isak Michiko di telepon.
“Kau baik-baik saja,Michiko-san…?”
Tak ada jawaban selain isak tangis.
“Kau dimana Michiko..?”
“Los Angeles…” jawab Michiko pelan setelah lama terdiam.
“Michiko-san…..terimakasih kau telah meminta suamimu menyelamatkan diriku. Aku berhutang budi padamu dan pada Mackenzie, terimakasih..”
“Bungsu-san…”
“Ya…?”
Sepi.
Si Bungsu hanya mnedengar suara terisak tertahan Michiko.
“Michiko-san…”
Sepi.
“Bungsu-san..”
“Ya…?”
“Jaga dirimu baik-baik…”
“Kau juga,Michiko…”
Sepi.. lama.
Lalu siBungsu mendengar gagang telepon di letakkan. Hubungan telepon itu terputus. SiBungsu menarik nafas, berusaha menenangkan hatinya yang terguncang. Kemudian berjalan ke westafel di toilet. Mencuci mukanya, lalu kembali bergabung dengan Ami Florence, Le Duan, Laksamana Jones dan Alfonso Rogers. Saat mereka bicara, seorang datang berbisik ke pada Ami. Mengatakan ada telepon.
“Dari siapa?” tanya Ami yang masih bergelantungan ke tangan siBungsu.
“Roxy Rogers,Mam…” ujar orang itu.
“Oh,Roxy!” ujar Ami sambil menoleh pada Alfonso Rogers, ayah Roxy.
Alfonso Rogers mengangguk sopan.
“Ada pesan untuk Roxy?” tanya Ami pada siBungsu.
“Sampaikan salam ku padanya…” ujar siBungsu.
Ami menuju ke tempat telepon dan mengangkat gagang telepon.
“Hai..Roxy…” sapa Ami memulai bicara.
“Sudah selesai penjemputan?”
“Ya..ya! Terimakasih..Anda dimana?”
“Los Angeles. Sudahkah kau sampaikan terimakasihku pada siBungsu?”
“Sudah. Tapi ayahmu lebih duluan menyampaikannya…”
“Dia baik-baik? Maksudku siBungsu?”
“Ya,dia baik-baik..”
“Ami…”
“Ya…?”
“Ada yang ingin bicara denganmu…”
“Oya,siapa?”
“Tanya saja namanya pada yang bersangkutan secara langsung…” jawab Roxy.
Ami Florence menanti dengan heran.
Halo, Ami…”


Dalam Neraka Vietnam-bagian-720

Si Bungsu memeluknyaAmi Florence mengerutkan kening. Dia mencoba mengingat, suara siapa di seberang sana? Thi Binh? Tak mungkin.Yang pasti suara perempuan.
“Eh..ya.Ya, saya Ami Florence! Maaf, dengan siapa saya bicara?”
“Kita memang belum pernah bertemu. Namun cerita tentangmu banyak ku dengar dari Roxy. Suami saya sekarang ada bersamamu dan ayah Roxy, Tuan Rogers…”
Ami menatap keliling. Melihat siBungsu, laksamana Lee, Alfonso Rogers, Eddie MacMahon, Jhon MacKinlay dan abangnya sendiri Le Duan.
“Thomas MacKenzie, dia suami saya….” ujar suara di telepon mengejutkan Ami yang sedang memikir-mikir siapa suami perempuan yang meneleponnya ini.
“Ooo..suami anda yang menjemput siBungsu dan tiga tawanan lainnya..”
“Ya, selain saya yang meminta, dia juga bertekad melakukan hal itu…”
“Si Bungsu dan suami anda bersahabat?”
“Tidak, saya yang pernah jadi sahabatnya…”
Ami tertegun.
“Maaf Anda…?”
“Michiko. Nama saya Michiko. Anda pasti belum pernah mendengar nama saya, Nona Ami…”
Dug!
Jantung Ami berdegup kencang, hampi saja telepon yang di pegangnya terjatuh mendengar nama itu.
“Michiko Matsuyama…” desisnya perlahan.
Dug!.
Kini justru jantung Michiko yyang berdegup kencang, saat Ami Florence menyebut namanya secara lengkap, kendati terdengar amat perlahan.
“Anda…?”
“Ya, siBungsu sering bercerita tentang anda, Mam…”
Dug!
Kini telepon di tangan Michiko lah yang hampr jatuh, mendengar ucapan Ami Florence barusan.
“Dd..Dia..”
“Dia bercerita betapa dia dan anda saling mencintai, Mam. Dia mencari Anda Sampai Ke Dallas, namun…”
Mereka sama-sama terdiam. Sampai akhirnya terdengar suara Michiko lirih.
“ Nasiblah yang memisahkan kami…”
“No,Mam! Bukan karena nasib.Nasib bisa di robah dengan usaha. Apapun yang terjadi sehabis usaha dan doa manusia, namanya takdir. Bila sudah takdir, tak seorangpun manusia yang bisa merubahnya. Apa yang terjadi diantara kalian adalah takdir, karena kalian sudah berusaha sekuat daya untuk dapat bersama. Anda sendiri datang dari Jepang mencarinya ke Indonesia. Usaha yang amat luar biasa. Dia mencari anda ke Dallas, namun takdir kalian berkata lain, Mam….”
Sepi.
“Apa.. apakah dia masih…”
“Dia tidak hanya masih ”mengingatmu” Mam! Dia justru masih mencintaimu! Namun dia orang yang sangat tahu diri dan faham benar bahwa di antara kalian ada garis yang tak boleh dia langkahi. Dia mencintaimu bukan karena hanya ingin memilikimu, tapi ingin membuatmu bahagia. Dia takkan menikah kalau orang yang dinikahinya Sengsara bersamanya, kendati dia amat mencintai wanita itu. Dia ikut bahagia, kalau wanita yang dia cintai bahagia, kendati bukan bersamanya…”
Sepi lagi.
“Anda mencintainya, Ami?”
Dug lagi!
Sepi sesaat, sampai akhirnya terdengar suara Ami.
“Yas, Mam…”
Sepi sampai terdengar suara Michiko perlahan.
“Dia mencintaimu, Ami…?”
Sepi.
Lalu terdengar suara Ami lirih.
“No,..Mam. Dia mencintaimu. Malam-malam terkadang dia menggigau menyebut namamu, dan tersentak bangun…” jawab Ami dengan amat jujur dan dengan suara amat tersendat.
Sepi....
Michiko mendengar Ami Florence terisak. Ami Florence mendengar Michiko terisak. Kedua perempuan yang di pisahkan ribuan kilo meter, dipisahkan laut dan benua. Kedua mereka masih sama-sama memegang telepon dengan diam.
“Ami…”
“Yes, Mam…”
“Maukah kau menjaganya, untuk kebahagianmu dan demi aku…?”
“Mam..??”
“Ami, please…
“Sepi amat menekan. Terdengar suara Michiko kembali memanggil.
“Ami…:”
“Yes, Mam…”
I love you…”
I love you too..Michiko-san!”
Saat bergabung kembali dalam kelompok si Bungsu dan yang lain-lain, meski dia tersenyum namun si Bungsu melihat ada bekas air mata di pipi gadis itu.
“Michiko yang menelponmu, Ami?” tanya si Bungsu lembut.
Ami menatapnya.
“Tadi dia juga meneleponmu, Dear?”
SiBungsu mengangguk. Ami Florence tak dapat menahan harunya.Tanpa dapat di tahan dia terisak. SiBungsu memeluknya. Dia menumpahkan tangisnya di pelukan lelaki dari indonesia itu.
I love you. I love you…!”  bisik Ami Florence dalam pelukan siBUNGSU.
-0 TAMAT 0-

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 718

Dalam Neraka Vietnam -bagian 718


Dalam Neraka Vietnam-bagian-718

helipadTak ada jawaban apapun dari bibir Ami Florence.Mereka masih bertatapan dalam diam.Lalu… gadis itu menghambur memeluk si Bungsu,memeluknya erat-erat dalam isak tangis bahagia.Mereka berpelukan dalam tatapan haru semua yang ada di helipad itu.
“Jangan lagi kau tinggalkan aku,Bungsu.Jangan lagi,please..!”ujar Ami dalam isak tangisnya.
Hari itu juga mereka di antar dengan helikopter dari USS Alamo ke sebuah hotel mewah di Manila,ibukota filipina.Malam harinya mereka berkumpul di restoran hotel yang sengaja di pesan untuk acara pertemuan malam itu.Pertemuan sebagai rasa syukur atas pembebasan dan ucapan terimakasih kepada si Bungsu.Ketika mereka memegang gelas minuman,sementara Ami Florence bergayut di tangan si Bungsu,seseorang menepuk pundak Ami.
“Sorry,aku pinjam orang ini sebentar…”ujar sebuah suara sambil meraih tangan si Bungsu sebelum Ami Florence sempat menoleh.
“Thi-thi..!”seru Ami Florence dan si Bungsu hampir bersamaan tatkala mengetahui siapa yang berkata.
Gadis itu terpaksa melepaskan tangan si Bungsu,karena dia segera di peluk Ami Florence.Mereka berpelukan saling melepaskan rindu.Habis itu Thi Binh merenggangkan pelukannya lalu kembali bicara.
“Boleh ku pinjam orang asing ini sebentar?”ujarnya sambil kembali memegang tangan si Bungsu.”Boleh asal jangan kau bunuh dia..”ujar Ami Flerence.
Si Bungsu terpaksa menuruti Thi Binh tatkala gadis itu menariknya keluar dari lingkaran orang banyak itu.Tapi dia hanya membawa si Bungsu”menghindar” beberapa langkah.
“Waw,cantiknya kau,Thi-thi…”ujar si Bungsu saat tegak berhadapan saling menatap.
“Aku sudah minta izin pada Ami…”ujar gadis itu,lalu tanpa memberi kesempatan pada si Bungsu untuk memikirkan ucapannya,masih dalam tatapan semua yang hadir,termasuk Ami Florence,gadis itu memeluknya,menciumnya.
Lama sekali.
Si Bungsu terengah ketika ciuman itu selesai.Orang-orang pada bertepuk, termasuk Ami!
“Aku akan tetap mencintaimu…”ujar Thi Binh tertahan.Lalu dia kembali memegang tangan si Bungsu membawanya kembali ke lingkaran orang banyak.Dan”menyerahkan”kepada Ami Florence.Dia masih memegang tangan si Bungsu,saat Ami memeluk lengan lelaki itu yang sebelah lagi.Yang hadir kembali bertepuk tangan.

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 716-717

Dalam Neraka Vietnam -bagian 716-717


Dalam Neraka Vietnam-bagian-716

goa di balik air terjunNamun dalam rekaman selanjutnya, nampaknya hari telah siang, kelihatan sesosok berlari di antara belantara dan sekilas-sekilas menjadi jelas saat dia melewati rawa yang tidak ditutupi daun kayu.
“Itu si Bungsu…!” serua Ami.
“Ya, itu si Bungsu..! “ ujar Kolonel MacMahon.
Mereka yang di ruangan itu saling berpandangan.
“Peristiwa di padang lalang saat heli menjemput kami, dan kami dihujani tentara Vietkong dengan tembakan, kini terulang lagi. Dia kembali menjadikan dirinya umpan perluru, demi membebaskan tiga tawanan lainnya. Oh Tuhan…!” ujar Kolonel MacMahon dengan suara bergetar.
Ami Florence tak mampu menahan isak tangisnya.
“Selamatkan dia, tolong selamatkan dia, please….” ujarnya.
“Ya… kita semua hadir di sini karena ingin menyelamatkannya. Karena tidak hanya kita, Amerika berhutang amat besar padanya…” ujar multi-milyuner Alfonso Rogers.
“Tidak hanya kita, tiga atau empat tentara Vietkong itu sendiri, seorang di antaranya berpangkat kolonel, yang ditolong oleh si Bungsu, diam-diam menginginkan kebebasannya. Itu informasi yang disampaikan Dragon…” ujar Le Duan.
Laksamana Billi Yones Lee, Komandan USS Alamo kemudian bicara.
“Well, baiklah! Berbeda dengan operasi pencarian MIA atau operasi penyelamatan lainnya selama ini yang dilakukan Amerika, tetapi jika terjadi sesuatu Amerika akan mengatakan ‘tidak tahu!’ Kemarin pagi saya diinformaskan akan kedatangan Tuan-tuan di bawah koordinasi Tuan Rogers. Setelah itu dari Pentagon ada perintah langsung dari Kepala Staf Panglima Gabungan, jemput si Bungsu, Amerika akan menghadapi apapun risiko politiknya. Apapun! Saya yakin, perintah dan sikap Amerika seperti itu hanya di mungkinan karena tekanan Tuan-Tuan dan Anda, Lady. Terutama Tuan Alfonso Rogers dan Kolonel MacMahon dan Jhon McKinlay…”
“Anda terlalu merendah, Laksamana. Saya berada di Pentagon ketika Anda membentak-bentak seorang jenderal di sana. Menyuruh mereka memasang telinga saat Anda menceritakan apa yang dilakukan si Bungsu untuk membebaskan 17 tentara Amerika, dan menghancurkan beberapa boat perang Vietkong menyelamatkan Ami Florence dan Le Duan…” ujar Alfonso Rogers memotong.
Laksamana itu tersipu.
“Ya, apa yang dilakukan orang asing itu belum tentu mampu dilakukan satu kompi pasukan kita yang amat tangguh sekalipun. Di atas segalanya, kesediaannya menjadikan dirinya umpan peluru untuk menyelamatkan heli dan para tawanan Amerika, membuat saya tak tidur berhari-hari. Dia sendirian di padang lalang itu, ditembaki dan ditangkap…” ujarnya.
Semua tertunduk mengingat peristiwa tersebut. Lalu Laksamana itu menyambung.
“Kita sudah sediakan tiga heli tempur. Sebuah untuk mengambil mereka di dekat air terjun itu, dua buah untuk mengawal. Perintahnya amat jelas, bawa mereka pulang, terutama si Bungsu, apapun risikonya….!”
“Saya telah mendapatkan persetujuan Pentagon untuk memiloti heli penjemputan….” ujar Thomas MacKenzie, suami Michiko yang mantan pilot udara Perang Dunia II itu.
“Ya, saya sudah diberitahu. Terimakasih, kami memang amat membutuhkan pilot yang berpengalaman. Dua pilot lain siap mengawal Anda…” ujar Laksamana Lee.
“Saya ikut heli yang menjemput…?” tiba-tiba Ami Florence menyela.
“Maaf, Lady. Kali ini usulan Anda terpaksa saya tolak. Demi kesuksesan operasi yang harus amat cepat ini. Dia tiap heli, selain pilot masing-masing hanya ada dua penembak yang menjaga di mitraliur. Satu di kiri, satu di kanan. Oke, masukkan koordinat wilayah air mancur itu ke komputer di tiap heli. Sekarang jam tiga, ada waktu sekitar empat jam mencapai tempat itu. Anda hanya bisa memakai lampu sorot setelah dekat air terjun itu, MacKenzie. Waktu untuk Tuan mempersiapkan diri ada lima menit, McKenzie….”
“Yes, Sir!” ujar veteran Perang Dunia II itu, sambil bergegas keluar menuju heli yang menanti dalam keadaan mesin sudah dihidupkan.
Mereka menatap keberangkatan tiga helikopter itu dari anjungan komando. Menatapnya hingga jauh, hingga hanya kelihatan seperti seekor burung kecil, kemudian seperti titik. Saat ketiga heli itu lenyap di kaki langit, Ami dikejutkan oleh ucapan letnan di komputer tadi.
“Mam, ada yang ingin bicara padamu di telpon….”
“Saya?”
“Siapa?”
“Nona Roxy….”
Ami menoleh pada Alfonso Rogers, ayah gadis yang ingin bicara melalui telepon dengannya. Lelaki tua itu tersenyum.
“Hallo, Roxy..” sapanya setelah memegang telpon.
“Hai, Ami. Senang dapat lagi bicara dengan Anda. Saya diberitahu ayah, Anda akan bertemu dengannya di USS Alamo….”
“Ya, Ayahmu ada di sini sekarang. Anda dimana, Roxy?”
“New York. Sudah berangkat penjemputan untuk si Bungsu…?”
Ami tertegun. Dia menatap pada ayah Roxy yang sedang ngobrol perlahan dengan Laksamana Lee.
“Anda sudah tahu adanya operasi penjemputan itu…?”
“Saya mendesak Ayah untuk mempergunakan pengaruhnya. Kita semua berhutang nyawa padanya, kan? Sudah berangkat yang menjemput si Bungsu, Ami…?”
“Y..Ya! Sudah….”
“Kita doakan bersama mudah-mudahan tak ada halangan. Apalagi Thomas MacKenzie yang menjemput adalah pilot pesawat tempur yang amat bisa diandalkan….”
“Ya, kita bersama mendoakan.. Roxy….”
ADALAH Cowie pertama tersentak bangun dari tidurnya yang nyenyak karena mendengar suara aneh di antara suara air terjun. Dia membangunkan kawan-kawannya yang bergelimpang di dalam goa di balik air terjun itu.
“Suara heli…!” bisik si Bungsu.
Mereka bangkit dan bergegas ke tabir air terjun yang menutup goa persembunyian mereka. Tiba-tiba sorot lampu heli menerangi air terjun itu. Lalu lampu sorot itu dimatikan. Kemudian dihidupkan. Mati, hidup lagi terputus-putus.
“Morse! Itu heli Amerika menjemput kita…!” seru Kopral Jock Graham setelah mengartikan kerdipan lampu yang dipergunakan seperti morse bagi kapal-kapal di laut.
Mereka keluar dari balik air terjun itu, di bawah sorot lampu heli menuruni bukit batu tersebut dengan cepat. Heli itu mengapung rendah di hamparan pasir lebar di tepi sungai di bawah air terjun itu. Mereka berempat berlarian ke sana. Letnan Cowie yang Negro itu pertama sampai di dekat heli. Namun dia tak segera naik, dia menunggu yang lain. Yang pertama naik adalah Kopral Jock Graham, kemudian Sersan Tim Smith, kemudian si Bungsu. Baru dia menyusul.
“Lengkap! Go.. go.. go…!!” seru sersan penjaga mitraliur di bagian kanan setelah semuanya naik.
Seiring dengan melambungnya heli itu dengan cepat ke atas, terdengar suara.
“Hallo, Bungsu. Welcome home…!”
Si Bungsu kaget mendegar panggilan itu. Dia menoleh ke arah orang yang menyapanya, yang tak lain dari pilot heli itu. Meski dia memakai helm pilot, namun si Bungsu mengenalnya dengan baik.
“MacKenzie…” seru si Bungsu sambil mengulurkan tangan, disambut dengan salaman yang kukuh dan hangat oleh suami Michiko itu.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-717
Kemudian mereka menumpahkan perhatian pada pelarian itu. Sebab, sesaat setelah mereka bersalaman, mereka mendengar tembakan dan melihat perluru seperti kembang api menyembur-nyembur dari dua heli yang lain ke arah depan mereka. Saat itu keempat pelarian itu baru menyadari bahwa selain heli yang mereka naiki masih ada dua heli lain yang mengawal.
“Sir, ada empat pesawat tempur memburu kita…” ujar co-pilot yang mendampingi MacKenzie.
“Yap, kita layani!” ujar MacKenzie sambil membuat manuver tajam ke kanan menghindari terkaman peluru yang amat jelas kelihatan datangnya dalam kegelapan malam.
Tak jelas apa jenis pesawat yang memburu mereka. Tapi kini ketiga heli itu saling sama-sama menyerang, menghindar dan melindungi. Mereka tak lagi memper dulikan kemana arah mereka. Yang penting mereka menghindar, atau balas menembak sambil terbang berputar atau melambung ke kiri, ke kanan, berbalik ke belakang. Sampai suatu saat sebuah ledakan dan bola api besar terlihat di samping kanan mereka.
“Cobra kena, hancur…!” ujar co-pilot Mac­Kenzie.
Namun pada saat yang bersamaan, dua buah pesawat tempur yang sedang menyembur-nyemburkan peluru ke arah mereka, yang berada di bahagian depan kiri dan kanan mereka, terlihat menjadi bola api. Yang satu ditembak MacKenzie, yang satu lagi ditembak heli pengawal yang tersisa. MacKenzie menembak sambil meliuk-liukkan terbang helinya.
“Shit, kita kena…!” ujar MacKenzie setelah terasa sebuah guncangan kecil.
“Ya, kita kena…!” seru co­pilot.
Sekilas keempat pelarian itu melihat asap putih menyembur dari bahagian bawah hidung heli. Namun setelah itu tak ada serangan apapun. Kedua pesawat Vietkong yang tersisa lenyap dari udara.
“Mereka menghindar karena tadi kita bertempur di atas wilayah Kamboja…” ujar MacKenzie.
“Kita juga harus menghindar, Sir…” ujar co­pilot.
“Tenang, Panglima AU-nya junior saya waktu di West Point…” ujar MacKenzie.
Belum habis ucapannya di radio terdengar perintah untuk menjelaskan identitas mereka dari pesawat Angkatan Udara Kamboja. Hanya selang beberapa saat, dua pesawat pemburu Kamboja sudah berada di bahagian kiri kanan mereka. MacKenzie menjelaskan mereka AU Amerika, dan sebelum dialog berlanjut dia langsung saja menyapa Panglima AU Kamboja, sambil menjelaskan siapa dirinya dan posisi rumitnya saat ini karena pesawatnya kena tembak. Hal itu dia lakukan karena dia yakin Panglima itu sedang memonitor pembicaraan antar-pilot pesawat tempur yang sedang di udara itu.
Hal itu dipastikan, karena negara manapun yang dimasuki pesawat tempur asing tanpa konfirmasi pasti dilaporkan langsung kepada Panglima AU-nya. Panglima AU Kamboja yang empat tingkat di bawahnya saat di West Point, kalang kabut dan membuat rencana kilat untuk membantu. Dia memberi petunjuk agar MacKenzie mendaratkan pesawatnya di sebuah bekas lapangan Angkatan Udara negara yang bernama asli Kampuchea itu. Dia segera mengirim teknisi dan mobil tangki bahan bakar. Kerja kilat sepuluh teknisi dan mengisi bahan bakar itu selesai menjelang subuh.
Saat kedua heli itu kembali mengudara, tiga pesawat tempur Kamboja mengiringi seolah-olah “mengusir” heli Amerika itu dari wilayahnya. Dalam waktu singkat lima pesawat itu lenyap dalam kabut subuh. Heli itu terlebih dahulu digiring ke arah selatan, ke arah Teluk Siam. Setiba di atas Laut Cina Selatan lalu melambung ke kiri, ke arah Philipina. Di perairan internasional baru kedua heli itu “dilepas”, namun tetap diawasi kalau-kalau disergap pesawat tempur Vietkong. Setelah dirasa aman, barulah pesawat tempur kamboja balik ke pangkalannya. Usailah skenario yang “dirancang” Panglima AU Kamboja itu dengan Thomas MacKenzie, senior yang dia hormati saat di Akademi Militer Amerika dulu.
Ketika mereka turun di helipad, tempat pendaratan heli di USS Alamo, mereka benar-benar disambut dengan upacara yang istimewa. Si Bungsu heran, karena orang-orang yang dia kenal ada di kapal perang itu. Ada Alfonso Roger, multi­milyuner yang “membayarnya” untuk mencari anaknya Roxy Rogers. Ada Jhon McKinlay, pahlawan Hamburger Hill teman Alfonso. Ada Kolonel Eddie MacMahon, perwira SEAL yang dia bebaskan bersama Roxy. Ada Le Duan dan… Ami Florence!
“Hai, Ami. Senang bertemu kembali denganmu…” ujar si Bungsu saat mereka tegak bertatapan dalam jarak sedepa.

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 714-715

Dalam Neraka Vietnam -bagian 714-715


Dalam Neraka Vietnam-bagian-714

layar komputer“Buktinya,perempuan-perempuan yang pernah saya cintai,menikah dengan lelaki lain,atau meninggal dunia…”
“Itu bukan karena kutukan,tapi karena engkau gentayangan terus ke segala penjuru.Tidak menetap di suatu tempat.Kalau mengembara terus-terusan,jangankan menikah,untuk memakai celana pun kau tak sempat…”ujar Cowie kesal,di iringi tawa terkekeh Jock Graham.
Tapi setelah itu mereka terdiam.Yang terdengar hanya curahan air terjun dan dengkur Smith.Sampai akhirnya Cowie bertanya sebelum menguap lebar.
“Saya heran,meski kau katakan kesini untuk membebaskan Roxy rogers,lalu terlibat berperang,tapi apa urusannya dengan hidupmu kawan..?”
Ya,usahanya membebaskan tawanan dan terlibat peperangan,apa urusannya dengan hidup nya?Si Bungsu terdiam sesaat,lama baru dia menjawab.
“Paling tidak,saya ke Vietnam ini menolong seorang ayah untuk menemukan kembali putrinya.Engkau sendiri,untuk apa kau berperang di Vietnam ini,Cowie…?Cowie terkejut dengan serangan’balik’si Bungsu.
“Untuk negeri saya Amerika…”
“Apakah Vietnam menyerang negeri kalian..?”Cowie terdiam beberapa saat.
“Kami membela Vietnam Selatan atas jajahan Vietnam Utara…”
“Berhasilkah pembelaan kalian itu,Cowie…?”
Cowie tak menjawab,karena dia tahu Bungsu tak butuh jawaban dari pertanyaan itu,dunia juga tahu.Jangankan untuk”membela Vietnam Selatan”seperti yang di koar-koarkan,justru Amerika yang di bikin terbirit-birit oleh negeri yang katanya ‘sangat terbelakang’ ini.Kekalahan tidak hanya memalukan,tetapi juga harus di bayar mahal dengan ribuan korban,yang semuanya hampir generasi muda Amerika,yang terenggut di berbagai kota di Dalam Neraka Vietnam ini.
Sebagian lagi pulang ke Amerika dengan membawa cacat tubuh atau cacat mental permanen.Si Bungsu yang juga mengantuk memang tidak memerlukan jawaban Cowie atas ‘serangan balik‘nya tadi.Dalam keheningan malam yang makin larut akhirnya mereka tertidur di dalam goa di balik air terjun.
Hari itu ada sesuatu yang tidak biasa di kapal perang USS Alamo yang sedang buang jangkar di lepas pantai salah satu pulau milik Philipana,tapi posisinya cukup dekat ke natuna,kalimantan dan pantai bagian selatan vietnam selatan.Sebagian besar pasukan sedang naik ke darat.Di kapal itu hanya ada beberapa orang perwira,lawak radar dan komputer serta komandan kapal Laksamana Billy Jones Lee.Menjelang tengah hari sebuah heli mendarat di helipad kapal itu,dan Laksaman Lee langsung menyambut orang-orang yang sedang turun dari heli itu.
Mereka langsung ke ruang komando dimana terdapat komputer canggih dan layar kaca bening berukuran 2×2 meter dengan tampilan peta wilayah Vietnam selatan.Sesaat setelah tamu-tamu itu berada diruangan komando,dalam posisi sama-sama berdiri,Laksamana Lee saling memperkenalkan tamunya.
“Senang bertemu dengan tuan-tuan dan anda,Lady.Baik,walau sudah ada yang sudah saling kenal,saya kenalkan Lady ini adalah Ami Florence,mata-mata Amerika Di Vietnam selatan yang banyak sekali jasanya kepada Amerika,ini Abang nya Tuan Le Duan.sama seperti adiknya,adalah mata-mata amerika.Ini Tuan Alfonso rogers,donatur yang banyak menyumbang angkatan laut Amerika,termasuk Kapal USS Alamo dimana kini kita sedang berada.Ini Tuan McKinlay,kolonel perang Veteran dan pahlawan dari Hamburger Hill,dia kehilangan sebelah kaki di sana.Ini tuan eddie macmahon,kolonel SEAL yang di bebaskan seoarang indonesia bersama Roxy,putri Tuan Alfonso.Ini Tuan Thomas Mackenzie,mantan pilot tempur perang dunia II.Nah,lengkap sudah.
Kita semua berkumpul disini karena sangat berkepentingan atas keselamatan seorang Indonesia,bernama Bungsu.Dia masuk ke Vietnam sekitar enam bulan yang lalu.Semula atas permintaan tuan Rogers yang minta di carikan putrinya,roxy Rogers yang hilang di Vietnam sekitar tiga tahun yang lalu.Sebelum dia mencari Roxy,dia terlebih dahulu menyelamatkan Ami Florence dan Lee Duan,menghancurkan tiga speedboat perang Vietnam,kemudian mencari dan membebaskan 15 tawanan Amerika,lima wanita Amerika,dan sepuluh lelaki.Termasuk Roxy dan MacMahon..”ujar Lee.
Tiba-tiba Alfonso Rogers maju selangkah lalu bicara.
“Maaf,ada yang harus saya katakan tentang orang ini,saya memang membayar nya dengan sangat mahal,asal putri saya bisa bebas.Itu sudah saya lakukan dua tiga tim tapi semuanya gagal.Namun orang ini,tak satu dolarpun uang saya dia terima.Bahkan tiket pesawat yang saya berikan melalui Yoshua,sahabatnya yang orang Indian.Saat melibas anggota Ku Klux klan,tidak dia pakai.Saya tidak tahu harus menyampaikan terimakasih saya…”

Dalam Neraka Vietnam-bagian-715
Semua orang terdiam mendengar penjelasan itu.Seorang letnan wanita bagian komputer datang membawakan minuman.Masing-masing mereka memegang gelas Coca Cola,Anggur atau Lemon.Lalu terdengar lagi Laksaman Lee bicara.
“Dengan satu atau lain sebab orang itu kini berada dalam Neraka Vietnam yang apinya masih menyala besar.Tidak hanya Tuan-tuan dan Anda Ami,yang menginginkan lelaki itu di bebaskan,saya juga.Apapun caranya!sudah berbulan-bulan ini kita kehilangan kontak dengannya,sejak dia mengalihkan serangan yang di tujukan ke heli yang di naiki Kolonel MacMahon,Roxy dan kawan-kawan.Sekarang silahkan Ami…”
Ami Florence maju,meletakkan gelasnya di meja kecil.Mendekati kaca bening 2×2 meter dimata tergambar peta Vietnam Selatan itu.Lalu bicara.
“Lewat jalur informasi yang rumit,saya mendapat info dari’dragon’ di daratn Vietnam.Si Bungsu terakhir berada di desa ini..”ujar Ami sambil menunjuk sebuah titik dekat sebuah sungai di peta di kaca bening tersebut.lalu dia melanjutkan.
“Dia menyebuhkan kanker paru stadium empat kolone yang menjadi komandan garnizun Vietkong.Dia juga menyelamatkan nyawa sersan Lok Ma,pencari jejak handal vietkong,saat memburu rombongan Roxy dan macmahon.Namun keadaan berubah drastis saat Politbiro komunis di kota Da Nang yang mengirm tentara pasukan dan milisi PKI.Si Bungsu di sekap di sebuah lobang tanah bersama tiga tentara Amerika yang sudah lebih awal di sekap.Beberapa minggu di tahan,mereka bisa melarikan diri.Di buru satu peleton tentara,namun tak pernah tertangkap.Jejak mereka lenyap di rawa di daerah ini,namun Lok Ma menduga mereka menuju arah barat,ke arah heli yang pernah mwenjemput roxy dan macMahon…”ujar Ami Florence sambil menunjuk peta.
“Mereka memburu sesuai petunjuk Lok Ma?”tanya MacKenzie suami Michiko.
“Tidak…”
“Kenapa?”
“Dia bersama kolonel yang di obat si Bungsu kanker parunya,mencari jalan mengabarkan hal itu pada pihak Amerika.Mereka berdua merasa berhutang nyawa pada si Bungsu.Dragon mendapatkan bocoran itu,dan mengirimkan kabar pada kami…”ujar Ami.
Mereka saling bertukar pandang.Mereka semua mempunyai kaitan langsung maupun tidak dengan si Bungsu.
“Well.anak saya meminta saya melakukakan apa saja menjemput lelaki itu.Lebih dari pada itu,setelah anak saya dia bebaskan.Saya bersedia bertukar nyawa dengan dia…”ujar ALfonso Rogers.
“Jika Amerika merasa tak berhutang apapun padanya,saya dengan empat belas anak buah saya yang di sekap selama tiga tahun,takkan pernah bisa membayar hutang atas apa yang dia lakukan buat membebaskan kami…”ujar Kolonel macMahon.
“Oke,sekarang kita mari ke komputer besar itu.Letnan anda tunjukan apa yang anda peroleh dari satelit mata-mata…”ujar Laksaman lee pada perwira wanita yang tadi membawakan minuman.
“Yes,Sir….”Lalu mereka mengambil posisi di belakang perwira itu,yang telah menghidupkan komputernya.
“Kami berhasil dan menelusuri dan menemukan wilayah yang informasinya di peroleh nona Ami Florence dari Dragon dengan memakai pencitraan satelit mata-mata Amerika.Satelit hanya bisa melacak jika di lokasi itu ada panas yang di picu oleh pembakaran Amunisi.Konkritnya jika di tempat itu terjadi tembak menembak.Satelit menemukan dan merekamnya.Satelit merekam terjadinya pertempuran sepeleton pasukan dengan satu orang.Satelit juga menemukan tiga orang lainnya bergerak ke barat,menjauh areal tembak-menembak.Informasi dari Dragon tampaknya sesuai dengan di lapangan.Si Bungsu dan tiga tentara Amerika lainnya lari di kejar pasukan Vietkong.Satelit juga berhasil melacak keempat pelarian itu kini berada di sini,sekitar iar terjun ini…”papar letnan wanita itu sambil menunjuk layar komputer.
Semua mereka yang di ruangan itu mempelototi layar komputer tersebut.
“Apakah ini di rekam?”tanya Ami.
“Maksudnya..?”
“Kalau di rekam tolong di rewind ke saat pertempuran.Saya ingin menegathui siapa yang menahan tentara Vietkong itu…”ujar Ami.
Letnan bagian komputer USS Alamo itu menoleh kearah Laksamana Lee,Laksamana itu mengangguk.
“Yes,Mam…!”ujarnya pada Ami Florence.
Letnan itu menekan tombol di komputer,lalu memutar ulang video itu.Malam terlalu gelap,apalagi di dalam belantara.Tidak ada manusia yang kelihatan hanya kilat-kilatan peluru.

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 711-712-713

Dalam Neraka Vietnam -bagian 711-712-713


Dalam Neraka Vietnam-bagian-711
istri berselingkuhSebenarnya, kalau pun dia membawa senjata, belum tentu apa yang dia ucapkan akan terjadi. Bahwa dia akan menembak mati lelaki yang menyerongi isterinya itu. Sebab, saat dia menangkap basah kedua orang itu, Smith tak sempat menghajar lelaki yang meniduri isterinya di kamar hotel tersebut. Dia hanya tertegak mematung. Dia tak yakin bahwa isterinya akan berselingkuh seperti itu. Dia masih tegak mematung di pintu kamar yang jebol dia tendang sampai polisi militer datang. Dia, isterinya dan lelaki teman sekantor isterinya itu dibawa ke kantor polisi militer.
Dari pengakuan isteri dan teman kencannya itu kepada polisi militer, terungkap bahwa perbuatan tak senonoh itu sudah mereka lakukan tiga kali seminggu selama dua tahun. Hampir selama Smith berada di kancah perang Vietnam. Mendengar pengakuan kedua orang itu, Smith merasa sangat terpukul. Ketika dia menyabung nyawa di medan perang, dalam belantara yang amat ganas di Vietnam, isterinya hampir setiap malam menyerahkan tubuh dan kehormatannya pada lelaki lain. Saat dia dihujani peluru, atau sedang diburu tentara Vietnam, isterinya ternyata tengah mengumbar nafsu. Ketika dia berada di antara mayat rekan-rekannya yang bertumbangan satu demi satu, di Amerika isterinya sedang bermandi keringat mendengus-dengus dalam dekapan lelaki lain. Padahal, kemana pun dia pergi, foto mereka bertiga, dia-isteri-anaknya, selalu setia dalam dompetnya
. Hampir setiap hari dia melihat foto tersebut dengan sepenuh rindu. Siapa menduga, pada saat-saat seperti itu, isterinya ternyata menikmati hari-harinya dengan gejolak birahi tak terkendali. Smith merasa dunianya benar-benar tenggelam. Dia tak mampu berkata sepatahpun. Bahkan ketika polisi militer bertanya apakah dia akan menuntut atau tidak, dia hanya menunduk lemah. Kemudian berdiri. Menatap sesaat pada lelaki yang telah ratusan kali menyebadani isterinya itu. Lelaki itu menunduk. Tak berani menatapnya. Kemudian ditatapnya isterinya yang sedang menangis terisak-isak. Hanya sesaat dia tatap. Kemudian dia melangkah keluar. Tawaran polisi militer untuk mengantarkannya pulang ditolaknya. Dia pulang naik taksi. Di rumah dikemasinya pakaiannya dan pakaian anak lelakinya yang berusia tiga tahun.
Kemudian dia pergi. Dia pulang ke rumah orang tuanya. Dititipkannya anaknya itu di sana. Ketika ibu dan ayahnya bertanya apa yang terjadi, dia hanya menarik nafas. Menatap penuh perasaan hiba kepada anaknya. Kemudian menjawab pertanyaan si ibu sekadarnya, bahwa perkawinannya sudah berakhir. Dia tak menceritakan sepatah pun apa yang telah dilakukan isterinya. Kemudian dia menghabisi hari-harinya di bar. Minum sampai mabuk, tidur di jalanan. Suatu malam dia dirampok segerombolan pemuda. Ada tujuh orang jumlahnya. Ketika dia tak mau menyerahkan dompet, jam dan cincin kawin yang masih dia pakai, ketujuh pemuda itu menghajarnya sampai babak belur. Aneh, kendati dia bisa melawan, namun dia tak melawan sedikit pun. Sebagai tentara aktif yang baru seminggu dari medan perang Vietnam, dia masih memiliki naluri seperti hewan liar dan kemampuan tarung individual yang tak bisa dikatakan rendah. Namun Smith seperti membiarkan dirinya dihajar. Hidung, mulut dan matanya berdarah. Semua uang, jam dan cincinya disikat. Dia sadar di rumah sakit.
Sekeluar dari rumah sakit, dia ke markas minta cutinya diakhiri dan segera minta dikirim kembali ke Vietnam. Dia bertemu dengan PL Cowie, yang saat itu masih berpangkat sersan dan menjabat komandan regunya. Mereka bertemu di markas sehari sebelum diberangkatkan kembali ke Vietnam. Ketika Cowie bertanya apa yang terjadi, Smith hanya menatap kosong, seperti orang yang tak punya semangat untuk hidup. Kemudian dia meninggalkan Cowie. Cowie mendengar apa yang menimpa Smith dari perawat di rumah sakit. Esoknya Cowie mendatangi rumah Smith. Namun di rumah itu yang ada hanya isteri Smith yang sedang duduk menangis. Dan perempuan itu, yang kesadarannya datang sangat terlambat, mengatakan bahwa dia sudah berpisah dengan Smith. Hanya itu. Dia tak bercerita apa penyebabnya.
Ketika Cowie datang ke markas, dia mendapat kabar bahwa paginya Smith sudah berangkat ke Vietnam, bersama pasukan yang mendapat giliran tugas di sana. Sersan Negro itu menemui dua anak buahnya yang sama-sama masih dalam cuti dengannya. Dia ceritakan apa yang dialami Smith. Kemudian mereka mulai mencari dimana peristiwa itu terjadi. Tak begitu sulit bagi mereka menemukan gerombolan tujuh anak-anak muda berusia antara dua puluh sampai tiga puluhan itu. Seorang anak muda yang menjadi saksi mata saat perampokan itu memberitahu mereka pada suatu malam, bahwa ketujuh anak muda itu berada di sebuah bar. Mereka masuk duluan ke bar yang penuh oleh pengunjung itu. Tak lama kemudian anak muda yang jadi saksi itu, memberi isyarat dengan sudut mata ke sebuah meja.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-712
Di sana ada tujuh anak muda berambut panjang dan pakaian semaunya, bersama empat cewek yang nyaris tanpa pakaian. Cowie dan ke dua anak buahnya mendatangi meja itu. “Halo….” sapa Cowie. Ke tujuh anah muda itu melihat yang menyapa mereka seorang Negro berambut pendek. Kemudian ada dua lelaki kulit putih yang juga berambut pendek. “Niger, apa maumu…?” ujar salah seorang yang bertubuh kekar. Salah seorang anak buah Cowie berpangkat kopral hampir saja memulai menghajar lelaki itu. Namun Cowie memberi isyarat untuk jangan memulai dulu
. “Kami mencari seorang rekan. Kabarnya kalian pernah bertemu dengan dia seminggu yang lalu…” ujar Cowie. “He Niger! Enyah segera dari sini, aku tak tahan baumu yang busuk. Kau pergi atau kuhancurkan hidungmu…” ujar anak muda itu petentengan. Kemudian seusai bicara, dengan brutal dia mengecup dada montok cewek di pangkuannya. Demikian bernaf sunya dia, sehingga ketika mulutnya beranjak dari dada wanita itu, di pangkal dada yang putih dan membukit tersebut kelihatan warna merah ke hitam-hitaman. Cowie mengambil sesuatu dari kantong bajunya. Kemudian mengeluarkan foto Smith berpakaian dinas ukuran 4 x 6. “Kalian mengenal teman kami ini?” ujar Cowie menyodorkan foto itu ke meja. Si lelaki kekar, tanpa menatap foto itu segera saja menancapkan sebuah pisau besar ke foto yang baru beberapa detik diletakkan Cowie di meja. Dan itu adalah awal keributan. Lelaki itu jelas lebih besar dari Cowie. Namun tangan kiri Cowie segera menjambak rambutnya. Lalu tangan kanannya menghajar mulut dan hidung lelaki itu dengan pukulan berkali-kali. Enam bajingan lainnya belum sempat berdiri, ketika mereka disikat habis-habisan oleh teman Cowie.
Bar itu segera berubah menjadi kancah baku tinju antara sesama pengunjung. Akhirnya sepuluh polisi militer datang. Tentu saja mereka segera mengenal Cowie. Karena Cowie memang dikenal secara luas di antara tentara di kota itu. Cowie menceritakan secara singkat kenapa keributan itu terjadi. Ke tujuh pemuda itu, yang semuanya sudah babak belur, digelandang ke kamp polisi militer.
Pada si lelaki kekar yang hidungnya remuk dan giginya copot tiga buah dihajar Cowie, ditemukan dompet dan jam Smith. Mereka lalu dihajar habis-habisan oleh polisi militer. Kemudian semua bajingan tengik itu dijebloskan ke sel tentara. Setelah masa cutinya habis dan kembali bertugas ke Vietnam, Cowie tak bercerita apapun pada Smith. Kedua teman Smith yang ikut menghajar ketujuh orang itulah yang bercerita. Semula tak ada reaksi apapun dari Smith. Dia berubah jadi sangat pendiam. Namun ketika nyawanya diselamatkan Cowie dari ledakan granat dalam suatu pertempuran, Smith akhirnya tunduk. Dia mendatangi komandannya itu menyampaikan terimakasih.
Kisah tentang isteri Smith itu dituturkan Cowie pada larut malam, tatkala Smith sedang tidur mendengkur. Si Bungsu menarik nafas panjang mendengar cerita tersebut. Jock Graham yang ikut mendengar cerita itu hanya termangu. Perang Vietnam memang tidak hanya merobek-robek negeri dan bangsa Vietnam. Perang dahsyat itu juga menimbulkan berbagai krisis di Amerika. Baik di pemerintahan, maupun di kalangan rakyatnya. Di kalangan pemerintahan bukannya rahasia lagi, kalau tak semua mereka yang di Gedung Putih setuju Amerika terlibat dalam perang di Vietnam. Di kalangan rakyatnya, terutama di kalangan para prajurit yang dikirim ke Vietnam, berbagai masalah juga timbul. Masalah hancurnya rumah tangga ratusan prajurit, sebagaimana dialami Smith, adalah persoalan yang tak mudah dicarikan jalan keluarnya. Belum lagi soal pengangguran. Sebahagian besar tentara yang dikirim ke Vietnam adalah anak-anak muda yang terkena wajib militer.
Persoalan timbul setelah mereka kembali dari Vietnam, kemudian masa dinas wajib militernya berakhir. Amat sedikit sekali jumlah wajib militer yang bisa diterima menjadi tentara reguler setelah masa wajib dinasnya usai. Mereka yang selamat keluar dari perang Vietnam umumnya mengalami sindroma pasca perang. Kekerasan di medan perang dalam bentuk sikap “dibunuh atau membunuh” dalam menghadapi ancaman, menyebabkan mereka tak segera bisa menerima perlakuan tak adil di tengah masyarakat. Para bekas wajib militer ini sebahagian menjadi penganggur, sebahagian menjadi buruh kasar, sebahagian mencoba berusaha apa saja. Sebahagian lagi justru ada yang menjadi bandit.
Namun secara umum, para veteran Perang Vietnam menganggap mereka diperlakukan pemerintah dengan sikap ‘habis manis sepah dibuang’. Untuk memperlihatkan bahwa Amerika adalah negara superkuat, polisi dunia dan berbagai simbol kehebatan lainnya, pemerintah mewajibkan seluruh pemuda yang sudah dewasa untuk mengikuti wajib militer. Sebelum diterjunkan ke medan perang mereka diindoktrinasi. Kepada mereka ditanamkan keyakinan bahwa Vietnam Utara yang mereka perangi adalah komunis yang bukan hanya musuh Amerika, tetapi juga musuh dunia. Itu berarti tentara Amerika tidak hanya menyelamatkan Amerika, tetapi sekaligus menjadi pahlawan bagi bangsa-bangsa sedunia. Belasan ribu tentara Amerika terbunuh dalam perang panjang yang amat kejam dan keji itu. Sebahagian besar di antaranya adalah anak-anak muda berusia tujuh belasan sampai 20-an tahun. Sebahagian lagi pulang membawa cacat tubuh permanen, yang takkan bisa baik seumur hidup, betapapun canggih dan tingginya ilmu dan teknologi Amerika.
Mereka, termasuk sebahagian lagi yang selamat fisik namun pulang dengan tekanan mental, mendapatkan diri mereka tak dihargai sama sekali. Baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah yang semula menyanjung-nyanjung mereka. Mereka benar-benar merasa diperlakukan sebagai tebu, yang habis manis sepah dibuang. Lama keadaan menjadi sunyi di dalam goa di balik air terjun itu, usai Cowie menuturkan apa yang dialami Smith. Si Bungsu menatap air terjun yang seperti selendang yang seolah-olah menjadi tirai menutupi pintu goa di mana kini mereka berbaring. Goa itu terasa panas, karena Cowie membawa bara api unggun yang sore tadi mereka buat di luar sana. Bara api itu kemudian mereka tambah dengan dahan-dahan kering. Lama-lama kayu itu ikut terbakar.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-713
Dengan cara seperti itu, goa itu tidak hanya menjadi terasa hangat tetapi juga tak bernyamuk. Di bara yang menyala itu Smith dan Jock Graham membakar daging rusa. Kendati sudah dua hari mereka makan daging rusa yang ditimpuk si Bungsu itu, ternyata masih saja banyak yang tersisa. Selain itu, Cowie menebang tiga batang pisang emas yang buahnya sudah masak. Kemudian mengumpulkan sekitar sepuluh buah durian besar-besar. Sebelum tidur mereka duduk atau berbaring di sekeliling api unggun. Bercerita sambil mengunyah daging rusa panggang.
Kemudian memakan cuci mulut berupa pisang atau durian. Jika memerlukan air minum, mereka melangkah ke air terjun. Lalu mengangakan mulut lebar-lebar. Dalam waktu beberapa detik air jernih dan bersih akan masuk satu atau dua drum ke dalam perut mereka. Waw, nikmatnya bukan main!
Bagi mereka tak ada lagi soal akan kena penyakit disentri atau menceret karena minum air mentah. Tubuh mereka sudah kebal terhadap hal seperti itu. Ketika berada di lobang sekapan maut itu dulu, sekali dua mereka sempat meminum air bercampur lumpur, kotoran dan bekas mayat menga pung.Jika sekarang mereka meminum air terjun yang mengalir dari pengunungan, tentu saja air itu bersih bukan main, dibanding yang mereka minum di lobang penyekapan dulu. Begitulah mereka melewatkan hari-hari di “sorga” dekat air terjun itu.
Suatu hari, malam sudah agak larut. Smith masih terdengar dengkurnya. Jock Graham, Cowie dan si Bungsu masih terlibat dalam pembicaraan berbagai hal. Namun yang banyak bicara adalah Co­wie dan si Bungsu. Jock Graham lebih banyak berbaring mendengarkan.
“Engkau sudah punya isteri, Bungsu…?” tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh pertanyaan Cowie.
Si Bungsu yang tengah menatap tirai air terjun sekitar lima depa dari tempat mereka berbaring agak terkejut mendengar pertanyaan itu. Padahal sudah dia jelaskan kemarin atau dua hari yang lalu.
“Belum…” jawab si Bungsu perlahan setelah berdiam diri beberapa saat.
“Dengan kemahiran beladiri yang amat tangguh seperti engkau, kawan, apa sebenarnya yang kau cari…?” tanya Cowie pelahan.
Lama si Bungsu tak bisa menjawab pertanyaan Cowie. Sebab pertanyaan seperti itu tak pernah dia fikirkan sebelumnya. Dan kini, tatkala ada yang bertanya dia sungguh-sungguh tak bisa menjawab. Ya, apa yang dia cari? Dengan atau tanpa ilmu beladiri, apa yang dia cari dengan meng habiskan waktu dan umur berkelana dari satu ke tempat yang lain, dari sebuah negara ke negara lain? Bayangan Reno Bulan, bekas tunangannya yang kini menjadi isteri Sutan Pilihan, yang sebelumnya hidup sebagai tukang salung, kini bertoko kain batik di Bukittinggi, datang membayang.
Mei-mei yang meninggal diperkosa Jepang di Bukittinggi, sesaat sebelum mereka menikah. Salma, orang yang dia kasihi yang kemudian menjadi isteri Overste Nurdin sahabatnya. Hanako, adik Kenji yang menjadi menantu Tokugawa, bekas kepala Yakuza Tokyo. Michiko yang dia cari sampai ke Dallas dan ternyata menikah dengan Thomas MacKenzie. Angela, polisi Dallas yang membantunya membalas dendam pada geng iblis Ku Klux Klan. Ami Florence, mata-mata Amerika di Kota Da Nang. Thi Binh, gadis desa yang cantik dan Roxy Rogers, anak milyarder Alfonso Rogers yang dia bebaskan dari goa di bukit cadas Vitenam. Semua melintas seperti berlarian dalam fikirannya.
“Awalnya saya hanya mencari orang yang pembunuh keluarga saya…”
“Untuk membalas dendam?”
“Ya….”
“Kau berhasil?”
“Ya dan tidak…”
“Kenapa ya, kenapa tidak?”
“Ya, karena dia saya kalahkan dalam pertarungan samurai. Tidak, karena meski dia saya kalahkan tapi dia tidak saya cederai sedikit pun. Namun hanya beberapa saat setelah saya tinggalkan, dia bunuh diri. Di Jepang disebut seppuku, harakiri….”
“Setelah itu..?”
“Setelah itu… di sinilah saya sekarang….”
“Pernah menikah sebelum atau sesudahnya…?”
“Tidak….”
“Kenapa…?”
“Karena mungkin ada kutukan atas diri saya….”
“Apa penyebab kutukan itu?”
“Sewaktu masih amat remaja, saya melemparkan cincin pertunangan di depan keluarga tunangan saya….”
“Jangan percaya soal tahayul, tak ada kutukan begitu….”

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 709-710

Dalam Neraka Vietnam -bagian 709-710


Dalam Neraka Vietnam-bagian-709
api unggunSi Bungsu memperlihatkan kepada Smith dua buah batu yang besar hampir sebesar jempol jari kaki.
“Untuk apa itu?”
“Pengganti senapan….”
Smith sudah hampir mengatakan orang di depannya itu gila. Namun ketika tiba-tiba dia teringat selama dua hari ini si Bungsu ‘menangkap’ ikan hanya dengan lemparan batu, dia mengurungkan niatnya mengatakan si Bungsu gila.
“Anda juga bisa menangkap rusa dengan batu?”
“Saya tak yakin, tapi tak ada salahnya dicoba bukan?”
“Pantat kurap! Cobalah, saya ingin melihat…” rutuk Smith.
Si Bungsu mengangkat kepalanya perlahan. Smith ikut-ikutan mengangkat kepala. Di hadapan mereka kesepuluh ekor rusa itu kelihatan memamah rumput dengan lahap. Untung arah angin tidak datang dari arah mereka berada maupun dari arah air terjun. Kalau itu yang terjadi, rusa-rusa yang penciumannya amat tajam itu pasti sudah pada melarikan diri, karena mencium bau manusia, bau yang tak lazim bagi mereka.
Tiba-tiba si Bungsu bangkit. Rusa-rusa itu terkejut dan menoleh. Binatang itu tertegak. Mungkin merasa aneh melihat makhluk yang tak pernah mereka lihat seumur hidup. Namun hanya dua atau tiga detik mereka tertegun. Dengan lengking pendek rusa jantan yang paling besar sebagai peringatan adanya bahaya, semua rusa itu tiba-tiba melompat cepat melarikan diri. Namun salah seekor, yang nampaknya masih berusia sekitar dua tahun, tiba-tiba terdongak. Lalu jatuh. Lenyap dalam palunan rumput tebal tersebut. Rusa yang lain dalam waktu singkat berhasil melintasi padang rumput luas itu. Kemudian lenyap ke dalam belantara lebat di belakang sana.
Si Bungsu, diikuti Smith memeriksa dan mendapati rusa itu sudah mati. Tengkoraknya, sedikit di bawah telinga, kelihatan remuk. Bahagian itulah yang dihantam oleh lemparan si Bungsu. Smith mendecak dan menggelengkan kepala. Sukar baginya memahami bagaimana si Bungsu yang selalu dia maki dengan kata-kata ‘pantat kurap’ atau ‘induk sipilis’ ini bisa memiliki kemahiran seperti itu. Menangkap ikan dan rusa hanya dengan lemparan batu. Rusa itu kemudian mereka seret ke dekat air terjun. Cowie dan Jock Graham ternganga mendengar cerita bagaimana si Bungsu “menembak” rusa tersebut.
“Hati-hati dengan orang ini. Dia bukan manusia. Dia dukun. Mana ada manusia yang bisa menangkap ikan dan rusa hanya dengan lemparan batu. Pantat kurap dan induk sipilis ini dukun yang berbahaya…” rutuk Smith panjang pendek sambil menguliti rusa itu bersama Jock Graham dengan bayonet.
Si Bungsu hanya tersenyum mendengar dendang dan rutuk Tim Smith. Saat Jock dan Smith mengerjakan rusa itu, Cowie beranjak ke tepi hutan. Mengumpulkan kayu-kayu kering sebanyak mungkin untuk membuaut api unggun guna memanggang rusa tersebut. Sore itu mereka pesta pora menikmati panggang daging rusa. Kepada ketiga tentara Amerika itu si Bungsu menunjukkan jenis daun kayu yang dia jadikan sebagai pengganti garam saat membakar ikan kemarin. Dia juga menunjukkan pada mereka jenis-jenis daun dan lumut, yang bisa diramu secara sederhana untuk obat malaria. Dengan takaran yang berbeda, bahagian tumbuhan itu bisa pula diramu menjadi obat luka yang manjur.
Ketika malam turun, dan kebetulan bulan sabit muncul di langit yang bersih, mereka membuat api unggun di tepi sungai itu sambil berbaring di pasir yang putih bersih. Tempat itu demikian tenang. Berada di tempat amat tenang dengan suara desah air terjun itu, orang sudah mengalami atau paling tidak melihat puing neraka perang Vietnam, takkan percaya bahwa ada tempat seperti itu di Vietnam. Negeri yang selama belasan tahun dicabik-cabik oleh perang yang kekejamannya tiada tara.
Kekejaman perang Vietnam tercatat dalam sejarah peperangan mana pun yang pernah dikenal umat manusia di permukaan bumi ini. Kekejaman balatentara Jepang saat perang Pacific jadi tidak berati dibanding kekejaman perang Vietnam. Tempat mereka berada sekarang seolah-olah berada di negeri lain, yang jauh sekali dari negeri yang bernama Vietnam.
“Kenapa engkau tak ikut dengan heli tempur yang menjemput Kolonel MacMahon?” tiba-tiba saja Cowie mengajukan pertanyaan pada si Bungsu, saat mereka berbaring di dekat api unggun di pasir putih di tepi sungai tersebut.
Pertanyaan yang sejak awal sudah mengusik perasaan Cowie. Si Bungsu tak segera menjawab. Sambil menelentang dia menatap bulan sabit di langit yang bersih. Jock Graham dan Smith merobah posisi tidurnya. Jika sebelumnya mereka menelentang kini pada memiringkan tubuh menghadap ke arah si Bungsu. Mereka memang ingin tahu, kenapa lelaki Indonesia itu bertemu dengan MacMahon di tempat kolonel itu disekap. Dan kenapa dia tak ikut pergi atau tak ikut dibawa bersama helikopter tersebut.
“Ada puluhan tentara Vietnam saat itu…” ujar si Bungsu perlahan.
“Mengepung heli tersebut?” ujar Cowie.
“Ya. Sekaligus menembakinya….”
“Engkau bersama MacMahon saat itu?”
“Persisnya tidak. Setelah MacMahon dan beberapa tentara Amerika lainnya saya bebaskan dari tempat penyekapan, kami membagi kelompok menjadi tiga bahagian.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-710
Dua kelompok kemudian bergabung setelah kami membumi hanguskan kamp tentara Vietnam. Saya memilih tinggal di belakang, menahan dua regu Vietnam yang memburu kami. Ketika saya berhasil menahan para pengejar dan tiba di tempat penjemputan, saya lihat keadaan amat kritis. Kalau heli itu tidak berangkat segera, mereka semua akan terbunuh. Saya yang masih berada belasan meter dari heli itu, mencoba mengalihkan serangan tentara Vietnam dari heli dengan menembaki tentara Vietnam tersebut.
Heli itu, berikut MacMahon dan beberapa tentara Amerika berhasil lolos. Dan saya tertangkap. Itulah sebabnya kita bertemu…” ujar si Bungsu menuturkan secara sederhana kenapa dia kini berada di antara ke tiga tawanan Amerika itu. “Engkau pernah belajar taktik perang, kawan…?” tanya Cowie. Si Bungsu tersenyum. “Saya hanya belajar membunuh dan menyelamatkan diri dari orang yang ingin membunuh saya, Cowie…” ujar si Bungsu. Sepi setelah itu. Tak ada yang berkata, bahkan tak seorang pun di antara ke empat orang itu yang bergerak. Masing-masing tenggelam dalam fikiran mereka sendiri. “Sudah berapa banyak orang yang kau bunuh, kawan?” tiba-tiba Smith yang induk carut itu bertanya perlahan. Si Bungsu menarik nafas. Cowie tersenyum mendengar si kepala hampir botak yang induk carut itu memanggil si Bungsu dengan sebutan ‘kawan’. Padahal biasanya dia memanggil dengan ‘pantat kurap’ atau induk sipilis.
Dia merasa senang, sikap dan ketangguhan si Bungsu ternyata berhasil menundukkan perilaku anak buahnya yang isi kepalanya ibarat tong segala carut itu. “Berapa orang yang sudah kau bunuh dalam peperangan di Vietnam ini, Smith…?” si Bungsu balik bertanya, dengan suara yang juga perlahan. Smith menelentangkan tubuhnya. Menatap awan tipis yang bergerak perlahan melewati bulan sabit di atas sana. Terdengar dia menarik nafas panjang dan berat, seperti keluhan. “Barangkali delapan sampai dua belas orang…” jawab Tim Smith perlahan, sembari membayangkan beberapa perang di mana dia menembak mati tentara Vietnam. “Sudah berapa orang yang kau bunuh, Bungsu?” kembali Smith bertanya karena si Bungsu masih berdiam diri. “Saya rasa takkan kurang seratus orang, Smith…” jawab si Bungsu dengan suara seperti menggigil. Jawaban itu tak hanya membuat Smith dan Jock Graham yang terkejut.
Melainkan juga Letnan PL Cowie. Ketiga orang itu duduk dan menatap ke arah si Bungsu yang tengah memandangi langit dan bulan sabit. Mereka tak merasa perlu bertanya apakah si Bungsu bergurau dengan jawabannya itu. Mereka yakin, jawaban itu adalah jawaban yang penuh kejujuran. Mereka juga tak menangkap sedikit pun nada bangga dalam ucapan lelaki itu. Cowie malah seperti mendengar suara lelaki itu seperti sebuah tangisan. “Oh my God…!” desis Cowie dan Smith hampir bersamaan. Si Bungsu ikut duduk.
Kemudian memeluk kedua lututnya. “Ya, jumlah orang yang kubunuh demikian banyak, kawan. Sehingga aku tak lagi bisa menghitung. Akhirnya aku sendiri tak tahu, apakah aku membunuh benar-benar dengan alasan membela diri, atau membunuh sudah merupakan candu bagiku. Itulah sebabnya keempat tentara Vietnam yang menggiringku dari lobang penyekapan dan ke dua orang yang menjaga di pondok dekat lobang kita disekap, dan beberapa lagi di hutan yang memburu kita, tak seorang pun yang mati.
Mereka hanya sekedar kubuat lumpuh…” tutur si Bungsu perlahan sambil matanya menatap kosong ke lidah api yang menjilat kayu unggun, sekitar dua meter dari tempat mereka duduk. “Engkau membunuh musuhmu dengan senjata api?” Yang bertanya ini adalah Jock Graham, yang tak tahan untuk tidak mengetahui lebih banyak tentang orang Indonesia yang berhasil mengeluarkan mereka dari lobang jahanam tahanan Vietnam itu. “Sebagian besar tidak….” “Dengan tangan?” “Dengan samurai….” “Samurai…?” tanya Jock Graham dengan perasaan heran. Cowie dan Smith juga kembali menatap pada si Bungsu dengan perasaan semakin heran. “Ya, Jock. Barangkali saya adalah satu dari sedikit sekali orang yang amat mahir menggunakan samurai. Bahkan dibanding dengan orang-orang Jepang yang paling mahir sekali pun. Baik samurai panjang, maupun samurai-samurai kecil yang dilemparkan dari jarak belasan meter…” ujar si Bungsu sambil melemparkan segenggam pasir ke air sungai yang mengalir perlahan. Ketiga tentara Amerika itu terdiam.
Mereka percaya pada semua yang diucapkan orang Indonesia ini. Kendati mereka tak tahu bagaimana orang ini mempergunakan samurai itu. Mereka hanya membayangkan beberapa film samurai Jepang yang pernah mereka tonton. Misalnya film Zato Ichi, yang pernah cukup laris di Amerika sebelum mereka terjun ke perang Vietnam. “Engkau punya isteri dan anak…?” Pertanyaan ini Cowie yang mengajukan.
Si Bungsu menggeleng. “Saya punya isteri dan dua anak. Wanita keduanya. Yang besar sekarang sudah berumur tiga belas tahun. Yang kecil enam tahun. Mereka tinggal di Chicago…” ujar Cowie perlahan. “Saya juga punya isteri, dulu, ketika empat tahun yang lalu saya cuti dan pulang ke Illionis, isteri saya ternyata berselingkuh dengan teman sekantornya. Dia bekerja di sebuah biro perjalanan. Saya sudah tiga hari di rumah, ketika saya datang ke sebuah hotel untuk mengantar titipan salah seorang teman yang tak cuti karena mendapat hukuman. Saat itulah saya melihat isteri saya datang dengan seorang lelaki, kemudian masuk ke sebuah kamar yang sudah mereka pesan. Buat sesaat saya tertegun. Kemudian pintu kamar mereka saya tendang hingga jebol. Mereka, yang sama-sama sudah telanjang bulat dan sedang bergumul di karpet, menatap saya seperti melihat setan…” Yang bercerita ini adalah Tim Smith.
Dia berhenti sejenak dengan nafas sesak. Cerita itu tentu saja baru bagi si Bungsu dan Jock Graham. Jock Graham memang baru mengenal Smith setelah dijebloskan bersama si Bungsu di lobang yang sudah dihuni duluan oleh Cowie dan Smith. Mereka berlainan pasukan. Namun bagi Cowie, cerita Smith itu memang sudah dia dengar langsung dari anak buahnya itu. Lalu terdengar Smith menyambung ceritanya. “Sialnya ada peraturan, bahwa tentara yang pulang cuti tidak dibolehkan membawa senjata. Kalau saja saya membawa senjata, keduanya pasti sudah tak ada lagi sekarang….”

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 706-707-708

Dalam Neraka Vietnam -bagian 706-707-708


Dalam Neraka Vietnam-bagian-706
buah rukamKini keempat mereka sudah berkumpul. Ketika ditanya mengapa secepat itu dia bisa menyusul, si Bungsu bercerita ala kadarnya. Semula, beberapa saat setelah dia menyuruh ketiga orang itu melarikan diri arah ke barat, dia bertahan di balik sebuah pohon besar yang tumbang. Dari sana dia menembaki tentara Vietnam, untuk mengalihkan perhatian mereka. Saat akan pergi dari kayu besar tempat dia bertahan itu, tiba-tiba saja perutnya memilin-milin. Kalau saja sabut dimasukkan ke perutnya yang memilin-milin itu, hampir bisa dipastikan akan dihasilkan tali yang alot, saking kuatnya perutnya memilin. Di antara tembakan yang dar…dor… der… darrrr…. dia teringat baru saja memakan buah rukam yang ranum. Rukam yang batangnya penuh duri itu buahnya persis buah anggur.
Hanya bedanya, jika anggur manis, maka rasa buah rukam berbaur antara sepat, asam dan manis. Yang paling mendominasi di antara ketiga rasa itu tentu saja sepat dan asam. Manisnya hanya sedikit, sekedar pelepas tanya. Karena lapar, apalagi semasa di Gunung Sago dulu buah rukam adalah menu makanannya setiap hari, maka dia segera saja memetik belasan buah tersebut. Sambil berlindung dari incaran tentara Vietnam, dia menikmati buah rukam itu. Eh, akibat terlalu banyak makan buah rukam perutnya menjadi memilin-milin. Dia sudah akan melangkah ke batang kayu besar tempat dia berlindung. Namun pilin perutnya sungguh kalera. Tak mau kompromi. Perutnya seolah-olah berpihak pada tentara Vietnam. Apa boleh buat, sambil membalas tembakan dua kali ke sembarang tempat. Dia lalu melorotkan celana. Lalu mencongkong. Ketika ada balasan tembakan. Dia merunduk di balik batang tumbang itu. Diangkatnya bedilnya ke atas kayu, sambil menunduk dua tiga kali. Kemudian kedua bedil yang sudah habis pelurunya itu dia sandarkan ke kayu besar tersebut. Lalu dia pergi ke sungai kecil itu, cebok di sana.
Di antara cecaran tembakan dari tentara Vietnam, dia kembali memakai celananya. Lalu, dalam kegelapan tersebut dia naik ke kayu besar yang tumbang itu. Dengan amat mudah dia berjalan ke bahagian ujung. Di sana ada sebuah pohon besar, dengan beberapa akar besar menjulai ke bawah. Ditariknya akar itu, dia memejamkan mata. Lalu tiba-tiba dengan bergantung di akar besar itu, tubuhnya melayang ke arah barat, melewati sela-sela batang kayu yang tumbuh rapat sekali di belantara tersebut. Beberapa orang tentara Vietnam mendengar suara mendesis di atas kepala mereka. “Kelelawar atau enggang…” bisik hati mereka.
Padahal, kalau saja hari sedikit terang, mereka mungkin akan ternganga. Sebab suara mendesis itu bukan enggang, apalagi kelelawar. Yang melintas di atas batok kepala mereka justru salah seorang dari empat pelarian yang mereka buru! Si Bungsu mirip tarzan yang berayun dari pohon ke pohon dengan mempergunakan akar, yang lazimnya disebut sebagai akar angin. Kendati hanya sekali bisa memanfaatkan akar kayu itu, namun akar kayu itu telah membawanya keluar dari kepungan tersebut. Dia meninggalkan kepungan dengan sekaligus mening galkan seungguk “induk kentut” yang esoknya membuat komandan Vietnam yang melakukan pengepungan menjadi murka.
Dengan pengalamannya selama bertahun-tahun hidup di belantara Gunung Sago, dia tahu kapan ayunan akar kayu itu akan berhenti. Ketika ayunan akar itu dia rasa melemah, tangan kirinya masih memegang akar itu agar tubuhnya tak jatuh seperti goni buruk ke tanah. Sementara tangan kanannya menggapai ke sisi, mencari dahan atau pohon yang bisa dipegang. Tangannya menangkap dahan yang lumayan besar. Tubuhnya bertahan di sana. Untuk sesaat tubuhnya masih berada di dahan yang baru dia pegang. Lalu akar pohon yang baru dia pergunakan untuk meloloskan diri itu dia ikatkan ke dahan di mana tangan kanannya kini berpegang. Dengan demikian, akar itu tak kembali ke tempat awal. Hal itu perlu, sebab kalau akar itu kembali ke tempat semula, pencari jejak andal yang biasanya dimiliki tiap pasukan Vietnam, dengan mudah bisa melacak bagaimana dan kemana dia meloloskan diri. Dalam kegelapan dia naik dan menelungkup di dahan yang besarnya sebesar betis lekaki dewasa tersebut.
Bertahan dengan diam dan memusatkan konsentrasi. Dia mendengar tentara yang gelisah diserang nyamuk jauh di utara sana. Jarak antara dia dengan tentara terdekat dia perkirakan sekitar dua puluh meter. Itu berarti ayunan akar kayu itu sudah mengantarnya ketempat lain sejauh lebih kurang tiga puluh meter, kemudian dia mencari jalan untuk segera turun. Setelah itu mulai melangkah meninggalkan tempat tersebut. Dalam waktu tak begitu lama dia berhasil menemukan tempat di mana dia meninggalkan Cowie, Jock dan Smith. Dia bisa menemukan setiap jejak yang di tinggalkan ketiga orang tersebut. Menjelang siang dia memanjat sebuah pohon besar dan tinggi. Dari pohon itu dia memandang ke arah dari mana dia datang. Melihat kalau-kalau tentara Vietnam itu menyusul. Ada sekitar satu jam dia di pohon besar dan rindang itu, namun tak ada gerakan apapun yang dia lihat.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-707
Tentara Vietnam memang meneruskan pemburuan nya. Namun mereka terpaksa bergerak amat lambat, karena sulit menemukan jejak para pelarian. Kesulitan itu muncul karena sebahagian besar hutan itu adalah hutan dengan rawa yang dalam. Jejak yang ditinggalkan pelarian dapat dilihat dengan jelas.
Namun untuk memburu orang-orang itu di dalam rawa, yang kadang-kadang kedalamannya mencapai setinggi kepala itu, menyebabkan gerak maju mereka sangat lamban. Hardik dan berang si letnan, agar pasukan bergerak cepat tak ada gunanya.
Cowie Smith dan Jock Graham tertawa terkekeh-kekeh mendengar penuturan si Bungsu. Terutama saat si Bungsu menceritakan betapa dia terpaksa membalas tembakan tentara Vietnam sambil jongkok berlindung sekaligus terberak-berak di balik kayu besar, akibat perutnya memilin-milin karena kebanyakan memakan buah rukam tersebut.
Mereka memutuskan untuk beristirahat satu atau dua hari di goa di balik air terjun itu guna memulihkan tenaga yang benar-benar berada di bawah titik nol akibat dikurung sekian lama di lobang berair busuk tersebut. Mereka tak usah takut kelaparan. Tak lama setelah mereka bertemu, si Bungsu memungut beberapa kerikil. Kemudian tegak di tepi sungai yang airnya amat jernih itu. Menatap ikan-ikan besar berlalu lalang seperti di dalam akuarium saja. Ketiga tentara Amerika itu tak faham apa yang akan diperbuat si Bungsu dengan batu-batu kerikil sebesar ibu jari tersebut.
Sampai suatu saat si Bungsu melemparkan batunya ke air. Tak lama kemudian, dua depa ke bahagian hilir, mereka melihat seekor ikan baung sebesar betis lelaki dewasa mengapung dengan kepala pecah. Sekali lagi si Bungsu melemparkan batu kerikil di tangannya. Namun lemparan itu nampaknya luput. Dia melempar sekali lagi, dan kali ini yang mengapung adalah seekor ikan lele yang besarnya yang sama dengan ikan baung pertama. Ketiga tentara Amerika itu ternganga melihat keahlian yang belum pernah mereka temukan seumur hidup itu.
Bagaimana mungkin orang memiliki keahlian dan tenaga yang demikian besar. Yang kekuatan lemparannya tetap tak berkurang setelah menembus air, dan mampu mengenai serta membunuh seekor ikan?
“Pukimak! Pantat orang ini pasti berkurap banyak. Kalau tak berkurap dia takkan punya kepandaian demikian tinggi…” ujar Smith menyumpah panjang pendek.
Sumpah-serapahnya yang tak berketentuan itu tidak hanya membuat Cowie dan Jock yang tertawa, tapi juga si Bungsu. Si Bungsu membuka celananya. Kemudian menungging ke arah Smith. Lalu terjun ke air diiringi tawa Cowie dan Jock Graham.
“Banyak kurap di pantatnya, Smith…?” ujar Cowie yang sampai berair matanya karena tertawa melihat Smith ditunggingi si Bungsu.
“Tidak hanya kurap, tapi juga sipilis. Orang ini rupanya kena induk sipilis…” ujar Smith yang merasa jengkel ditunggingi oleh si Bungsu.
Si Bungsu yang sudah berenang dan melempar bajunya ke pasir, tak dapat menahan tawanya. Dia mengacungkan jari tengahnya ke arah Smith. Sebuah tindakan yang bagi orang Amerika dianggap memaki dengan kasar. Smith tetap saja masih menggerutu dia memunguti dua ekor ikan yang terbunuh oleh lemparan si Bungsu. Kemudian melempar kannya kepada Jock Graham.
“Hei koki pantat kurap, masak ikan ini! Jenderalmu ini sudah lapar….” ujarnya kepada Jock Graham.
“Jenderal emaknya sipilis…” ujar Jock Graham sambil memunguti ikan tersebut.
“Bukan aku yang induk sipilis. Itu si Bungsu itu. Saya lihat pantatnya tadi penuh ulat. Kita jangan ikut-ikut mandi di sungai ini. Sungai ini sudah tertular virus sipilis…” ujar Tim Smith.
Usai berkata begitu, Smith melangkah ke arah dua buah durian yang tadi mereka ambil. Lalu membelahnya dengan bayonet. Lalu memakan isinya dengan lahap. Atas pertanyaan Cowie, si Bungsu memastikan tentara Vietnam yang memburu mereka takkan sampai kemari.
“Saya dua kali mengintai mereka. Terakhir mereka kehilangan jejak setelah melewati rawa besar dan dalam yang kalian lewati itu. Untung rawa itu airnya mengalir, sehingga jejak yang kalian tinggalkan lenyap bersama arus. Dua orang pencari jejak di pasukan itu kebingungan menentukan ke mana harus melanjutkan pengejaran. Jika mereka tak menemukan jejak kalian di seberang rawa, untuk memutuskan kembali ke jejak awal di rawa dangkal sebelum kalian memasuki rawa dalam itu, mereka memerlukan paling tidak waktu empat atau lima hari…” tutur si Bungsu.
Persoalan muncul ketika membakar ikan tersebut. dengan apa ikan itu dibakar. Mereka tak punya korel api. Cowie mencoba menghidupkan api dengan menggesekkan dengan kuat buah buah batu.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-708
Namun api tak kunjung menyala.Pukulan dan gesekan batu itu tak
menimbulkan percik api sedikitpun.Si Bungsu memilih sebuah dahan yang
sudah sangat kering.Lalu mengambil serat batang pisang,serat batang pisang
itu dia belah sehingga membentuk sebuah tali.Kayu kering itu dia lobangi
sedikit dengan bayonet.Kemudian sebuah dahan yang lebih kecil dia
runcingkan.
Dahan runcing itu dia lilitkan beberapa kali lilitan dengan serat batang pisang
tersebut.Kayu yang dia lobangi dia letakkan di pasir.Kemudian kayu runcing
sebesar pena itu dia masukkan ke lobang kecil di kayu itu.Dia suruh Cowie
memegang kayu yang di pasir.Smith dia suruh mencari rumput kering dan
meletakkannya di sekitar lobang kayu tersebut.Ujung kayu yang dia runcingkan
dia suruh tekan oleh Jock.Lalu tali serat pisang yang melilit kayu runcing itu,dia
tarik ke kiri dan ke kanan.Kayu itu terputar sedikit.Dia tarik lagi ke kiri dan ke
kanan,makin lama putaran kayu itu makin laju.
Mula-mula gesekan kayu yang runcing di lobang itu menimbulkan asap.Si
Bungsu semakin mempercepat tarikan di kedua ujung tali pisang
tersebut.Percik api mulai memakan rumput kering itu.Smith sampai berteriak
saking kagumnya,lalu menambahkan rumput kering dengan jumlah banyak
dan Jock Graham meletakkan beberapa ranting kecil.
Si Bungsu menarik nafas.Dia teringat ketika membuat apai dengan cara yang
sama ketika di tepi rawa bersama Thi Binh,Duc Thio dan Han Doi.Kini api
menyala besar karena kayu-kayu kering di tambah terus oleh Jock Graham dan
Smith.Di api yangg menyala itu mereka membakar ikan.Harum nya ikan bakar
itu sangat kuat.Si Bungsu lalu berjalan ke dalam hutan takjauh dari sungai
itu.Dia memilih beberapa daun.Kemudian dia remas di sungai.Air remasan itu
dia tetskan ke ikan yang sedang di bakar api unggun.
“Hei,apa itu mariyuana?”asal Smith asal nyerocos.
Si Bungsu tak menyahut.
“Hei,kau akan meracuni kami ya..”ujar Smith.
Si Bungsu masih tak menyahut,dia tetap memeras daun itu dan
meneteskannya ke ikan yang di bakar.
“Hei,itu pasti racun,kau pasti mata-mata Vietnam yang pura-pura baik sama
kami,lalu sekarang kamu meracuni kami,begitu ya..”gerutu Smith.
Cowie dan Jock graham terkekeh mendengar kicauan Smith.Si Bungsu mau tak
mau,ikut nyengir.Tentara yang satu memang tak bisa bernafas sebelum
mengusilin orang.
“Daun itu mengandung zat garam…”ketika duduk dekat Cowie.
Apa yang di katakan si Bungsu dapat mereka rasakan ketika memakan ikan
bakar tersebut.Rasanya nikmat sekali,rasanya tak hambar seperti tanpa garam.
“Ikan bakar ini enak bukan karena daun itu,tapi karea kencing.Kau kencingi
ikan itu tadi ya,Jock..”kata Smith yang kembali kumat,sifat usilnya.
“Tapi enak kan air kencing ku,..”ujar Jock,membalas olokan Smith.
“Enak kepalamu…!”ujar Smith.
Si Bungsu harus mengakui,kehadiran Smith di dalam lobang penyekapan itu
cukup membuat suasana meriah.Bagi ketiga tawanan Amerika itu,itulah
makanan ternikmat yang mereka rasakan sejak setahun berada dalam lobang
itu.Tak heran begitu makan selesai mereka segera tertidur bermandi kan
cahaya matahari.Mereka tidur pulas sekali.
Hari kedua si Bungsu melihat jejak rusa tak jauh dari tempat itu.Dia membawa
Smith berburu.Tempat itu mereka datangi dengan berenang perlahan di
sungai,beru kemudian merayap ke darat.
“Hei,apa-apaan ini,rusanya entah ada-entah ..”protes Smith terhenti ketika
melihat isyarat si Bungsu yang berada di depan.
Smith merayap cepat,dan tiba dekat padang dia melongok dan dia
tertegun,melihat tak jauh di depannya terlihat tak kurang sepuluh ekor rusa
sedang merumput.
“Ya Tuhan,apakah tempat ini kebun binatang..?”desisnya.
“Tempat ini tak pernah di tempuh manusia.Makanya mereka datang mencari
makan kesini siang hari.Di tempat yang sudah di tempuh manusia,biasanya
rusa mencari makan malam hari…”bisik si Bungsu.
“Sialan,mengapa kita tak membawa senapan….!”rutuk Smith.

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 704-705

Dalam Neraka Vietnam -bagian 704-705


Dalam Neraka Vietnam-bagian-704
air terjunLetnan itu memutuskan meneruskan pengejaran. Dia tahu, pengejaran harus dia lakukan. Sebab dia sudah mendengar perintah komandannya, sebelum berhasil menangkap ke empat pelarian itu mereka tak dibolehkan pulang ke markas!
Letnan Cowie memutuskan istirahat di balik sebuah jeram air terjun. Belantara yang sudah mereka lewati sepanjang dua hari dua malam ini nampaknya benar-benar belum pernah disentuh kaki manusia. Dia dengan teguh menuruti petunjuk si Bungsu, agar menjaga arah pelarian, tetap menuju ke arah barat. Kendati medan yang harus mereka tempuh semakin berat, namun dia tetap mengarahkan jalan ke arah matahari terbenam. Di hari ketiga, menjelang tengah hari mereka sudah meninggalkan belantara yang datar dan berawa. Dari kejauhan mereka melihat bukit-bukit yang menjulang.
Ketika menemui sebuah sungai yang cukup besar dan berair jernih, mereka mengikuti alur sungai itu ke arah hulu. Semakin jauh ke hulu semakin sulit medan yang harus mereka tempuh. Mendaki bukit batu cadas terjal dan menuruni tebing curam. Namun mereka semua yakin, apa yang diucapkan lelaki Indonesia itu tentang helikopter tempur yang menjemput Kolonel MacMahon. Helikopter itu datang dan pergi ke arah barat, ke arah perbatasan Kamboja.
Lewat tengah hari, mereka tiba-tiba menemukan sebuah air terjun dua tingkat yang selain tinggi dan terjal, juga sangat indah. Di bahagian bawah, di mana air terjun itu terhempas, tercipta sebuah danau selebar lapangan bola volli. Di seluruh tepinya adalah hamparan pasir putih yang landai. Sedikit bahagian yang terjal dan berbatu-batu besar ada di bahagian air itu menghujam dari ketinggian sekitar lima puluh meter. Di bahagian itu pula tercipta pelangi yang melengkung dari sisi kanan ke sisi kiri. Seolah-olah sebuah jembatan yang terbuat dari selendang. Sungguh-sungguh teramat indah.
Baik di danau kecil tempat air itu menghujam maupun di sungai yang dalamnya hanya sekitar dua meter, yang mengalirkan air yang amat jernih ke arah danau berpelangi itu, terlihat dengan jelas ikan-ikan mulai dari sebesar telapak tangan sampai sebesar paha lelaki dewasa hilir mudik. Jumlahnya ratusan!
“Ya Tuhan, saya hampir tak yakin bahwa ada tempat yang begini indah di tengah belantara yang belum pernah ditempuh manusia ini…” desis Cowie sembari menatap dengan mulut separuh ternganga ke arah air terjun tersebut.
Lalu ketiga mereka, termasuk Jock Graham yang demamnya sudah benar-benar sembuh, segera mencebur ke sungai dengan dasar pasir yang amat putih itu. Minum air tawar sepuas hati mereka, sembari mencoba menangkap ikan yang kelihatannya seperti jinak-jinak merpati. Smith yang gagal menangkap ikan, segera kumat lagi penyakit bercarut-carut dan sumpah serapahnya. Semua sumpah serapah yang sudah beberapa hari istirahat dari mulutnya, kini berham buran. Dimakinya ikan-ikan sebesar betis yang lepas dan lepas lagi, padahal sudah tersentuh oleh tangannya.
Makian dan sumpah serapahnya sungguh teramat lengkap. Mulai dari ikan berpantat kurap, ikan kena sipilis, ikan pukimak, ikan impoten, ikan panau, ikan mirip beruk, monyet-gorila. Hampir delapan tahun bertugas bersama Smith, Cowie tahu makian anak buahnya itu hanya asbun, asal bunyi. Kegembiraan yang sangat, bebas dari buruan dan berada di tempat yang seolah-olah sebuah sudut sorga di atas dunia ini, menyebabkan mereka semua melupakan segala rasa penat dan rasa takut. Apalagi di bahagian kanan air terjun itu ada hutan pisang emas dan beberapa pohon durian yang buahnya sedang ranum.
Tuhan nampaknya memang melimpahi sepenggal wilayah jauh di tengah belantara Vietnam Selatan itu dengan rahmat yang amat luar biasa. Sebagai tentara yang sudah malang melintang dalam berbagai medan tempur, yang sudah menjelajahi banyak sekali wilayah, Cowie yakin di balik tirai air terjun itu pasti ada tempat yang aman untuk berteduh. Dia segera melangkah ke sana. Dari sisi sebelah timur dia menyelinap di antara air terjun dengan dinding batu.
Benar!
Di belakang air terjun itu ada sebuah goa berbentuk ruangan sekitar tiga kali tiga meter. Lantainya memang tak begitu datar, namun tempat itu merupakan tempat yang luar biasa indah dan nyaman untuk tempat tinggal. Ruangan di balik air terjun itu tak kelihatan dari luar. Tertutup oleh curahan air terjun yang tak putus-putusnya, yang lebarnya sekitar enam meter. Namun dari dalam goa kecil itu pemandangan bisa menembus air terjun tersebut. Semua yang ada di bahagian depan, hamparan pasir empat meter di kiri dan empat meter di kanan sungai kecil tersebut, sejauh lima puluh meter ke hilir sungai kelihatan dengan jelas.
Menemukan sorga di tengah belantara itu, ketiga pelarian tentara Amerika tersebut benar-benar bergembira, memekik-mekik seperti kanak-kanak yang mendapat permainan baru.
“Saya akan membangun istana di sini. Akan cari cewek Vietnam untuk isteri…” ujar Smith.
“Saya akan jadi nelayan. Ikan-ikan ini akan saya kembangbiakan, untuk dijual ke Washington…” ujar Jock Graham.
“Kalau begitu saya akan menjadi eksportir pisang dan durian. Saya akan menjual pisang dan durian ini ke New York dan Hollywood. Agar bintang-bintang film Hollywood tak berkurap pantatnya. Hei, Cowie! Apakah ada bintang Hollywood yang tak berkurap pantatnya…?”
Cowie yang sedang berbaring di pasir putih itu hanya tersenyum. Namun semua kegembiraan itu lenyap tiba-tiba, menguap seperti kabut pagi disergap terik matahari. Begitu Tim Smith usai dengan sumpah serapahnya, tiga tembakan menghajar sekitar tempat mereka. Cowie sampai terlambung saking kagetnya, Tim Smith ternganga dan menggigil di dalam air. Durian di mulutnya sampai terlompat keluar. Jock Graham yang sedang menyusun-nyusun kayu kering untuk perapian membakar ikan, langsung melompat ke balik pohon pisang, tak jauh dari tempatnya tadi menyusun kayu perapian.



Dalam Neraka Vietnam-bagian-705
Smith tak berani bergerak dari dalam air. Kepalanya saja yang nongol di permukaan air. Matanya liar menatap ke kiri dan kanan. Dia merasa tak ada gunanya lari ke darat, sudah terlambat. Jika dia bangkit, dia akan menjadi sasaran tembak. Cowie berlindung di balik sebatang kayu, tak jauh dari Jock Graham. Suasana tiba-tiba dicekam sepi yang mencekik. Cowie merasa heran, arah tembakan itu rasanya berasal dari goa di balik air terjun. Yaitu tempat di mana mereka meninggalkan dua buah bedil rampasan yang mereka bawa dalam pelarian selama dua hari ini. Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah air terjun tersebut.
“Hallo…..”
Semua masih terdiam karena terguncang oleh ketakutan yang sangat tiba-tiba. Lalu… di balik tirai air itu, kelihatan seseorang muncul memegang bedil. Begitu melihat orang yang baru menembak mereka itu, yang tak lain dari si Bungsu, terdengar makian Tim Smith bertubi-tubi.
“Pukimak! Sundal! Sipilis! Monyet kurap! Pantat kurap….!”
Cowie dan Jock Graham juga menyumpah panjang pendek. Namun Cowie segera sadar, apa yang dilakukan orang itu adalah peringatan halus pada mereka. Bahwa adalah suatu pekerjaan sia-sia berada di hutan liar ini tanpa bedil. Apalagi meninggalkan bedil di tempat yang jauh dari mereka. Mereka berdiri dan berjalan menyongsong si Bungsu dengan senyum lebar karena lega. Tidak demikian halnya dengan Smith. Dia menyelam, kemudian muncul dengan sengenggam pasir. Pasir itu dia lemparkan ke arah si Bungsu. Berkali-kali dia lakukan hal itu, sambil mulutnya tetap saja bercarut panjang pendek.
Bahkan, dia tetap saja melempari si Bungsu dengan pasir, tatkala Cowie dan Jock Graham memeluk si Bungsu. Ketiga orang tersebut dibuatnya mandi pasir. Tapi akhirnya dia juga tak mau ketinggalan. Dia melompati ketiga orang yang tengah berpelukan itu. Kendati tubuhnya kurus kerempeng, namun akibat terpaan loncatan tersebut semua mereka jatuh saling tindih dan berguling-guling di pasir putih dan landai tersebut, diiringi gelak tawa berderai. Sungguh ini pertemuan yang luar biasa. Mereka tak menyangka akan bisa disusul dan ditemukan si Bungsu secepat itu.
Namun, sebagaimana sudah dijanjikan si Bungsu, dia akan segera menyusul dan menemukan mereka, hal itu bisa dibuktikan kini. Baik Cowie, Smith maupun Jock Graham tak bisa lain dari pada mengakui bahwa orang Indonesia yang sepintas kelihatan “biasa-biasa saja” ini sesungguhnya adalah seorang yang amat luar biasa. Mereka bisa lolos tanpa hadangan sedikit pun dari puluhan tentara Vietnam malam itu benar-benar berkat keahlian orang Indonesia ini mengecoh para pemburu tersebut. Ketika baru berangkat, mereka mendengar tembakan sahut bersahut di belakang mereka.
Cowie mengajak kedua temannya untuk berdoa bagi keselamatan lelaki dari Indonesia itu. Sesaat mereka berhenti dalam kegelapan. Kemudian membaca doa untuk keselamatan orang yang menolong mereka itu, yang kini sedang dihujani tembakan, dan menutup doa dengan tangan mereka membuat tanda salib di kening dada masing-masing. Setelah itu tanpa menoleh lagi, mereka segera merunduk-runduk. Menghindar dari tempat itu secepat dan sejauh mungkin!

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 702-703

Dalam Neraka Vietnam -bagian 702-703


Dalam Neraka Vietnam-bagian 702

tentara vietnamMereka berfikir, daripada orang yang mereka buru lolos, atau malah balas menembak, sehingga nyawa mereka pula yang terancam, lebih baik membunuh saja keempat pelarian itu! Usai rentetan tembakan yang panjang itu tiba-tiba suasana menjadi sepi! Mereka menunggu. Tak ada reaksi atau balasan apapun dari keempat pelarian tersebut. Usah kan balasan tembakan, gerakan saja pun tak terlihat dari arah sekitar bedil tersebut. Kedua bedil itu sudah terpental ketika kena hajaran peluru. Mereka lalu menyergap dengan bedil terhunus ke tempat itu.
Dan…
Mereka semua, sekitar dua belas tentara Vietnam yang merangsek maju ke dekat pohon tumbang itu, pada tertegak kaku!
Si Komandan,yang memperhatikan dari jarak sekitar dua puluh depa, menatap dengan tegang ke arah anak buahnya tersebut. Dia menjadi agak heran juga, melihat belasan anak buahnya itu tiba-tiba tertegak diam di seberang pohon besar yang tumbang itu. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya, menanyakan apakah keadaan aman. Anak buahnya yang tak berada dekat pohon tumbang itu memberi isyarat aman.
Si letnan segera melangkah ke lokasi yang sudah dikepung belasan prajuritnya. Dia faham sudah, ke empat pelarian itu sudah jadi mayat. Tak apalah. Yang penting perburuan yang melelahkan ini selesai sudah. Walau pun dia tak bisa mewujudkan niatnya, tak apalah. Yang jelas dia bisa kembali dengan membawa kepala ke empat pelarian itu. Kepalanya saja! Bikin apa membawa-bawa tubuh mereka. Menambah-nambah beban saja. Bukankah komandan mereka sudah memerintahkan agar membawa kepala para pelarian itu ke markas?
Si letnan pun sampai ke tempat tersebut. Dia melompat naik ke kayu besar yang tumbang itu. Dari sana dia menatap ke bawah, ke arah tempat yang sudah dikerumuni belasan pasukannya. Dan, sebagaimana anak buahnya, dia juga ikut tertegun tatkala melihat tempat yang dikepung itu. Kecuali dua buah bedil yang sudah sompeng popornya dimakan peluru, tak ada siapa pun di sana! Jangankan empat pelarian yang mereka buru, kentut pelarian itu pun tak lagi terlihat! Dia hampir tak mempercayai penglihatannya. Di tempat itu memang ada belasan selongsong peluru, dan bekas orang tiarap.
Memang tak ada kentut, tapi yang membuat sakit hati si komandan adalah ketika melihat di antara bekas belasan selongsong peluru itu, orang yang mereka buru ternyata meninggalkan embahnya kentut. Sungguh mati, di sana mereka melihat seonggok tahi manusia! Benar-benar tahi manusia! Dan onggokan tahi itu ternyata sudah cerai berai oleh hajaran peluru anak buahnya. Ooo, sakitnya hati si letnan. Ooo remuk redam jantungnya terasa. Dulu dia dikhianati pacarnya. Sakiiiiit.. sekali. Tapi, apa yang dia lihat sekarang, sakitnya seribu eh.. sejuta kali lebih sakit dari dikhianati pacarnya dulu.
Sakiiiit sekali!
Dengan muka sebentar merah dan sebentar hijau, lalu sebentar kebiru-biruan, si letnan menatap hilir mudik. Ke arah pangkal kayu besar itu, kemudian ke arah ujungnya. Berharap di salah satu tempat yang dia lihat ada kepala atau telinga salah seorang pelarian tersebut. Agak seorang jadilah. Tapi, dia memang lagi sial.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-703
Apa yang sudah dia bayangkan, pulang membawa empat kepala pelarian itu, habis terbenam dalam tahi yang sudah kocar-kacir oleh peluru anak buahnya. Tak ada seorang pun pelarian itu di sana.
Bahkan jejaknya, kecuali tahi dan selongsong peluru itu, lenyap seperti ditelan hantu rimba. Tubuh si letnan menggigil. Mungkin menahan marah, mungkin menahan malu. Matanya melirik ke kanan, ada air mengalir sedalam lebih kurang setengah meter dengan lebar aliran satu meter. Dia menyumpah dalam hatinya. Orang yang mereka buru itu nampaknya sengaja meninggalkan “induk kentut”nya. Sebab, lazimnya orang akan buang air besar di air yang mengalir. Sekalian bisa membersihkan dirinya usai buang hajat. Tapi orang ini nampaknya sengaja buang air di darat.
Agak jauh dari air yang mengalir, dengan maksud mempermalukan para pemburunya. Oo sakitnya hulu jantung si letnan.
Buru mereka….!!” hardiknya dengan muka merah padam.
Salah seorang pasukannya, seorang berpangkat sersan yang ahli pencari jejak, menghampirinya. Bicara perlahan. Letnan itu mendelik. Bicara beberapa patah. Si sersan memberikan penjelasan, sambil menunjuk ke satu arah. Si letnan menoleh ke arah yang ditunjuk. Puluhan anak buahnya menanti.
“Apakah waang tidak salah?” hardiknya berang.
“Tidak, Let! Saya sudah periksa semua penjuru dengan sangat teliti. Jejak orang itu hilang di batang besar ini. Hanya ada dua kemungkinan kenapa hal itu bisa terjadi. Pertama punya sayap, sehingga bisa terbang….”
Ucapannya terhenti karena sebuah tempelengan dari letnan itu mendarat di pipinya. Bibir sersan pencari jejak tersebut pecah dan darah merembes perlahan. Dia dianggap berolok-olok dalam situasi gawat dan memalukan itu, dengan mengatakan ada manusia bersayap dan bisa terbang. Si sersan memahami kekeliruannya. Dia mengambil sikap sempurna. Kemudian meminta maaf, lalu melanjutkan penjelasan
“Saya bisa memastikan yang berada di sini malam tadi hanya seorang di antara empat pelarian itu, Letnan. Dia sengaja memancing kita memburu dirinya, sehingga tiga temannya yang lain punya kesempatan lolos dari pengejaran. Dan orang yang seorang ini adalah orang yang sangat mengenal belantara. Demikian mahirnya dia, sehingga kami tak bisa melihat sebuah tempat pun di sini, bekas yang diinjaknya, kecuali tempat dia bertahan, kemudian buang air besar itu….”
Si sersan mengakhiri penjelasannya. Letnan tersebut menoleh kepada seorang kopral, anggota pencari jejak yang satunya lagi. Di pasukannya itu memang ada dua pencari jejak. Namun yang amat mahir adalah si sersan yang barusan melapor. Si kopral mengangguk, membenarkan urai­an sersan tadi.
“Kalian tak menemukan jejaknya sedikit pun…?”
“Jejaknya tidak, Letnan. Tapi saya bisa menduga, dia kembali ke tempat awal di mana kita pertama membuat formasi berbanjar untuk mengejar mereka senja kemarin. Di sana dia berpisah dengan teman-temannya. Dia sengaja memancing kita dengan membawa dua bedil dan peluru yang memadai, sehingga kita menyangka mereka masih tetap empat orang. Pada saat kita mengejarnya ke arah ini, teman-temannya punya kesempatan melarikan diri ke arah yang berlawanan.
Saya rasa mereka sudah sangat jauh. Mengenai orang yang tadi malam bertahan di sini, melihat ke mahirannya memancing kita kemari, dan kemahirannya mengenal setiap lekuk liku belantara ini, saya rasa sudah hampir mencapai ketiga orang lainnya itu. Dengan kemahirannya dia pasti bisa berjalan dengan cepat sekali dalam belantara lebat ini…” ujar si sersan mengkhiri penjelasannya.
Bukan main sakitnya hati si letnan. Bukan mendengar uraian pencari jejak tersebut. Melainkan pada kebodohan dirinya, yang mudah saja dikecoh. Tadi pun, sebelum si sersan bertutur, dia sudah menduga-duga seperti itu. Namun dalam hal mencari jejak di belantara, dia memang mengandalkan si sersan. Kini dia benar-benar tak tahu apa yang harus dia lakukan. Bagaimana mungkin dia bisa kembali ke markas mereka? Kembali dengan membawa cerita bahwa di akhir pengepungan mereka hanya berhasil menemukan seungguk induk kentut?

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 699-700-701

Dalam Neraka Vietnam 699-700-701


Dalam Neraka Vietnam 699

kegelapan yang mencekam Si Bungsu menggenggam tangan Cowie. Demikian juga tangan Smith dan Jock Graham, yang dalam gelap gulita itu juga mengulurkan tangan pada si Bungsu.
“Cowie, setelah ini dengan atau tanpa saya, saya yakin engkau bisa membawa teman-temanmu keluar dengan selamat dari neraka ini. Kalian adalah orang-orang hebat dan tangguh. Jika kalian bergerak, usahakan agar bergerak ke arah barat. Ke arah barat Cowie, karena arah itu menuju ke perbatasan Kamboja. Beberapa bulan yang lalu, saya melihat helikopter tempur Amerika yang menjemput Kolonel MacMahon bergerak ke arah itu. Barangkali di sana ada gugus tugas pasukan Amerika. Ingat, ke arah barat, Cowie….!”
“Tunggu, bagaimana kami tahu bahwa yang menembak pertama adalah engkau, sehingga kami yakin bahwa tembakan setelah itu merupakan tembakan balasan dari tentara Vietnam? Bisa saja merekalah yang pertama kali menembakmu…” ujar Cowie.
Si Bungsu terdiam. Benar juga ucapan orang ini, fikirnya.
“Baik, tembakan pertama akan saya arahkan ke tempat kalian ini. Kemudian baru ke arah mereka. Nah kawan, saya pergi.…”
Si Bungsu lalu bergerak cepat. Baik Cowie maupun Jock Graham dan Smith, nyaris tak mendengar suara apapun ketika lelaki itu menjauh dari mereka. Padahal lelaki itu bergerak di antara belukar yang amat lebat. Dia bergerak seolah-olah tak menyentuh sehelai daun pun. Cowie menarik nafas panjang.
“Lelaki yang luar biasa. Hanya saya tak mengerti, untuk apa dia berada di Vietnam ini….”
Tak ada yang mengomentari ucapannya. Malam terasa merangkak amat perlahan dalam belantara yang ditelan kegelapan kental itu. Ada suara burung hantu di kejauhan. Ada suara desir angin di pucuk-pucuk pohon, jauh di ketinggian belantara. Sesekali ada bunyi kepak sayap kelelawar, yang terbang melintas dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Dalam kegelapan yang mencekam tersebut terdengar Tim Smith yang memiliki banyak sekali perbendaharaan sumpah serapah dan carut marut itu, berkata perlahan. Perkataan yang seolah-olah ditujukan pada dirinya sendiri.
“Saya tak faham ucapannya. Orang itu sungguh penuh misteri. Dia mengatakan melihat helikopter tempur menjemput Kolonel MacMahon dari arah perbatasan Kamboja. Dia tentu berada di sana ketika MacMahon dijemput helikopter tersebut. Mengapa dia ada di sana? Kalau dia berada di pihak Amerika, dia tentu pergi meninggalkan Vietnam bersama MacMahon. Ternyata dia tak pergi. Itu berarti dia berada di pihak Vietnam. Tetapi, jika dia di pihak Vietnam kenapa dia disekap bersama kita dalam neraka berlumpur itu?”
Tak segera ada yang mengomentari ucapan Smith. Cowie bertanya pada Jock Graham.
“Engkau datang bersamanya Jock. Apakah engkau tahu kenapa dia ditangkap Vietnam?”
“Saya bertemu dengan dia ketika sudah di atas truk yang akan mengangkut kami ke tempat kalian. Selama di truk tak ada pembicaraan. Mata kami saja ditutup dengan kain….”
Cowie dan Smith mendengar jawaban Jock Graham yang singkat itu dengan berdiam diri, sampai tiba-tiba mereka mendengar suara tembakan. Dan peluru tembakan pertama itu mereka dengar menghantam sebuah dahan kayu di atas mereka. Detik berikutnya mereka dengar tembakan beruntun, tapi mereka bisa menandai bahwa tembakan beruntun itu berasal dari bedil yang sama dengan suara tembakan pertama tadi,Lalu sepi…
 
Dalam Neraka Vietnam-700
Hanya sesaat, lalu terdengar tembakan balasan dari belasan bedil yang lain. Demikian ramainya, seolah-solah akan merobek belantara tersebut.
“Kita pergi, sekarang…!” ujar Cowie sambil bangkit memapah Jock Graham.
“Saya bisa berjalan. Kondisi saya sudah jauh lebih baik…” ujar Jock Graham yang memang merasakan kondisinya tubuhnya lebih memadai setelah menelan dedaunan yang diberikan si Bungsu.
“Kalau begitu kita pergi. Jangan terpisah terlalu jauh. Go! Go….!” bisik Cowie.
Dengan merunduk dia menyelusup diiringi Jock dan Smith di bahagian belakang sekali. Mereka keluar dari belukar lebat tempat mereka bersembunyi sejak senja tadi. Dari belakang mereka masih terus mendengar tembakan beruntun. Kemudian disusul tembakan balasan satu-satu. Tidaklah diperlukan pengalaman perang yang berlebihan untuk mengetahui bahwa tembakan dari belasan bedil itu berlawanan arah dengan tempat mereka. Artinya, si Bungsu telah mengatur posisi mengalihkan perhatian tentara Vietnam ke arah yang berlawanan dari ke tiga tentara Amerika yang melarikan diri itu.
Ketiga tentara Amerika tersebut tahu bahwa tembakan salvo, tembakan satu-satu dari dua bedil yang dibawa si Bungsu ganti berganti, adalah upaya orang Indonesia itu untuk mengecoh tentara Vietnam. Dengan tembakan salvo dari dua bedil tersebut, ada dua hal yang difahami Cowie. Pertama, orang-orang Vietnam tersebut tahu bahwa tembakan salvo itu dalam upaya para pelarian menghemat peluru. Kedua, dua bedil itu memberikan kesan, bahwa ke empat orang tersebut masih berkelompok. Dugaan Cowie itulah yang memang termakan oleh komandan pasukan Vietnam tersebut.
Dia memang menduga ke empat pelarian tersebut masih mengelompok. Cowie mendengar tembakan salvo si Bungsu mau pun tembakan balasan dari lima sampai enam bedil orang-orang Vietnam itu secara bergantian, semakin lama semakin jauh dari posisi mereka. Cowie tahu, hal itu disebabkan dua hal. Pertama, mereka memang sedang bergerak menjauhi tempat mereka terkepung tadi. Kedua, si Bungsu berhasil memancing tentara Vietnam tersebut memburu dirinya yang semakin ke arah timur. Ke arah yang berlawanan dengan arah larinya Cowie dan dua temannya.
Si Bungsu sebenarnya dengan mudah bisa berputar dan tiba-tiba berada di belakang salah seorang para pemburunya. Dia mengenal belantara seperti mengenal garis di telapak tangannya. Namun dia tak melakukan hal itu. Karena tujuannya hanya ingin memperjauh jarak antara tentara Vietnam ini dengan Cowie, Smith dan Jock Graham. Tujuannya bukan untuk membunuh. Kemudian beberapa tembakan balasan menghajar kayu besar tempatnya berlindung, si Bungsu memekik. Kemudian diam.
“Mereka kena…!” desis komandan regu Vietnam kepada sersan di sebelahnya.
“Sudah dua yang kena…” ujar sersan tersebut.
Sebab tadi dia juga mendengar pekik kesakitan dalam kecamuk tembakan.
“Tinggal dua lagi. Saya yakin dua orang yang kena tembak itu segera mati. Kondisi mereka sudah amat buruk saat di lobang penyekapan…” ujar si komandan.
Melalui perintah beranting, dari mulut ke mulut, dia menyuruh cek berapa pasukannya yang tertembak. Tak berapa lama, pesan beranting itu sampai kembali kepada si komandan. Ada dua anak buahnya yang tak diketahui nasibnya dan sembilan orang mereka yang tertembak. Namun sembilan yang tertembak itu nampaknya bernasib baik. Tak seorang pun yang mati.
“Siapa kedua orang yang tak bertemu itu?” tanya si komandan.
Sersan yang berada di sebelahnya menyebut dua nama. Tak seorang pun di antara mereka yang tahu, bahwa kedua teman mereka itu tergeletak lumpuh kena totok.Pengejaran dan pengepungan ini amat melelahkan. Ke empat tentara Amerika yang mereka buru seperti tahu saja di mana posisi mereka. Tembakan ke empat orang itu hampir bisa dipastikan selalu memakan korban.
Si komandan melihat jam tangannya. kegelapan yang mencekam yang angka-angka dan jarumnya memakai radium, yang menyebabkan angka dan jarum jam tersebut bersinar hijau dalam kegelapan. Semakin gelap hari, semakin jelas cahaya yang dipancarkan radium pada angka dan jarum jam tersebut.“Sudah pukul empat lewat…” ujarnya.
Dia lalu kembali memberi perintah beranting untuk memperkecil jepitan pengepungan dengan sistem tapal kuda. Dia memerintahkan ada yang ditangkap hidup-hidup untuk diinterogasi. Kini tugas utama adalah memperkecil jepitan kepungan, kemudian tunggu matahari terbit. Baru disergap. Menjelang itu, bertahan sambil berjaga agar tak ada yang lolos. Bisik berisi perintah itu diteruskan si sersan secara berantai. Orang pertama yang mendengar pesan itu segera merayap atau berjalan membungkuk-bungkuk lima atau enam depan ke sampingnya, sampai bertemu dengan temannya yang lain.
Lalu menyampaikan pesan si komandan. Saat pesan kedua bergerak ke kanan atau ke kiri untuk menyampaikan pesan pada orang berikutnya, yang menyampaikan pesan pertama kembali ke posisi semula.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-701
Demikian cara menyampaikan pesan beranting dalam pertempuran dimana
tak ada radio atau isyarat lain yang bisa di lihat.Ketika si komandan merasa
isyaratnya sampai kesayap kiri maupun ke sayap kanan,dia melakukan uji coba
untuk mengetahui apakah buruan mereka masih berada di titika sasaran yang
mereka perkirakan.Dia memuntahkan beberapa tembakan ke arah yang
mereka perkirakan.Dia memuntahkan beberapa tembakan ke arah yang
mereka perkirakan itu.
Kemudian mereka menanti.Tak berapa lama,dua tembakan balasan terdengar
menggema.Dan si komandan bercarut marut dengan wajah pucat,karena salah
satu peluru nyaris menyambar pipinya.Tapi dia merasa lega.Orang yang
mereka buru masih berada di depan sana.
“Sebentar lagi!Tunggulah sebentar lagi!Begitu cahaya pagi turun kau ku
bekuk.Dan kau harus menjilat pantatku.Harus!Jika tidak,akan ku sayat daging
pipi,paha dan betismu.Akan ku patahkan jari kakak dan jari tanganmu satu
persatu.Akan ku cabuti gigimu satu demi satu…”desis si komandan dengan
kebencian memenuhi hampir seluruh pembuluh darahnya.
Betapa dia takkan dendam,dia sudah bisa menebak hukuman atau paling
tidak cemooh yang akan dia terima sekembalinya ke markas besok.Memburu
empat pelarian yang kurus kerempeng,sakit-sakitan dan kelaparan,ada
sembilan anak buahnya yang luka tertembak.Yang dua lagi mungkin sudah
mati,cemooh semakin tak bisa di bayangkan.Masih untung kalau dia hanya
mendapat cemooh bisa-bisa turun pangkat dan tak di beri jabatan apapun.Dia
bersandar di pohon besar sambil memejamkan mata.
Dia yakin buruan mereka takkan lolos.Dia yakin anak buahnya sudah
melakukan kepungan yang ketat.Tak mudah orang bisa meloloskan diri.Dia
yakin itu,karena mereka sudah sangat terlatih bertempur,mengepung dan
menjebak tentara Amerika dalam pertempuran belantara begini.Baik siang
maupun malam hari.Sudah belasan kali mereka melewati peperangan di
belantara seperti ini.Malah kali ini sebenarnya sungguh sebuah pertempuran
yang sangat ringan.
Biasanya,dalam setiap pertempuran mereka selalu di hujani peluru mortir
atau peluru senapan mesin.Lagi pula,biasanya musuh mereka jumlahnya
selalu lebih banyak!kini,yang mereka hadapi hanya empat orang.Itupun
keadaannya hanya compang-camping.Usahkan mortir ataupun senapan mesin
senapan semi otomatis yang mereka miliki pun nampaknya sudah kehabisan
peluru.Itu di buktikan dari beberapa kali tembakan balasan yang terdengar
dari orang yang mereka kejar.Malah ketika dia perintahkan pasukannya tidak
menembak,tetap tak ada tembakan balasan.
Waktu merangkak perlahan.S komandan tersentak saat si sersan mencowel
bahunya.Rupanya dia tertidur.Sayup-sayup terdengar kokok ayam hutan.Dia
melihat jam tangannya.Sudah pukul lima lewat,namun hutan itu masih sangat
gelap.Di menoleh kearah di mana pelarian itu di duga sudah mereka’kunci’.Tak
ada yang kelihatan,masih sangat gelap.Di luar belantara cahaya sudah cukup
terang.Dia mengambil sebuah ranting kecil.Mematahkannya jadi dua
potong,masing-masing sepanjang dua jengkal.Yang satu di bagikan kepada
sersan yang di kiri,satunya kepada yang kanan.
Tanpa sepatah katapun,karena sudah memahami yang di inginkan sang
komandan,kedua sersan itu merayap.Yang kiri ke arah kiri,yang kanan ke arah
kanan.Setelah merayap beberapa jauh mereka bertemu dengan teman
mereka,mereka serahkan ranting tersebut.Seperti meneruskan pesan lisan
berantai sebelumnya,terutama saat terkepung maupun mengepung.Saling
membangunkan dan atau untuk mengontrol.
Mengontrol apakah jumlah personel masih lengkap atau tidak.Memakan
waktu hanya setengah jam,kedua ranting oitu kebali ke tangan sang
komandan.Si letnan mengambil penples air di pinggangnya.Dia memang sudah
menyuruh bagian dapur untuk selalu mengisi penplesnya itu dengan kopi yang
di beri gula sedikit.Di teguk kopi itu dengan nikmat.Kedua sersan yang ada di
kiri kanan nya berbuat hal yang sama.
Hari sudah pukul enam lewat saat sang komandan memberi perintah dengan
suara tembakan,untuk memulai penyerangan ke arah pelarian yang sejak
semalam sudah mereka”kunci”.Hanya beberapa detik setelah tembakan
pertama si letnan,kesunyian belantara itu di robek oleh dengan suara-suara
letusan bedil.Dalam cahaya pagi yang sudah mulai terang-terang
tanah,mereka melihat tempat yang di jadikan pelarian tentara Amerika itu
adalah sebuah pohon besar yang tumbang melintang panjang.
Bukan main,rupanya mereka mendapat tempat perlindungan yang kokoh.Si
letnan membari perintah agar pasukannya yang berda di belakang pohon
tersebut segera merengsek maju,sementara dia dan belasan tentara lainnya
melindungi dari tempat mereka,demikian cara denikian tak ada lagi celah bagi
pelarian itu untuk lolos.Dari arah kiri dan kanan delapan tentara Vietnam itu
merengsek maju ke tempat perlindungan tentara Amerika tersebut.
Saat kedelapan tentara itu mendapatkan posisi yang baik,ganti ujung lainnya
yang maju dan mereka pula yang melindungi.Karena belantara sudah cukup
terang,dengan cepat mereka bisa maju.Dala tiga kali bergerak tiap ujung yang
menjepit itu,mereka kini sampai ke dekat pohon itu.Salah satu tentara yang
meju itu melihat sebuah ujung bedil di balik pohon besar itu.
Tentu saja dia tahu kalau di ujung pangkal bedil itu pasti ada orangnya.Dengan
gerakan yng cepat dia melangkah kearah kanan sambil melepaskan tembakan
gencar ke arah semak ujung pangkal bedil itu.Mereka juga bergerak cepat
dengan menghujani tembakan ke arah persembunyian pelarian itu,tapi
mereka lupa pesan komandannya tadi malam kalau salah satu dari pelarian
itu harus di biarkan hidup.