Senin, 04 November 2013

Tikam samurai - Di Singapura I (298-299-300-301-302-303)

Tikam Samurai - 298

Mobil itu bergerak. Si Bungsu seperti berangkat menuju medan perang dunia. Dalam cahaya lampu jalan yang mereka lintasi tiap sebentar, si Bungsu menatapi temannya dalam Jeep itu satu persatu.
Miguel yang orang Spanyol, ahli meteorolgi. Sony, orang Inggris yang ahli alat peledak, Tongky, Negro Amerika ahli menyamar dan menyelusup ke daerah musuh. Licin bagai belut. Fred Williamson, orang Scotlandia yang ahli karate, Jhonson, berpangkat kopral berasal dari Inggris selatan, ahli renang dan berkelahi dalam air.
Di depan duduk sersan Donald yang ahli dalam soal-soal bedil dan mesiu. Kini dia pegang kemudi Jeep. Kemudian Kapten Fabian, orang Australia yang tak dia ketahui apa keahlian spesifiknya.
Tapi melihat keseganan anak buahnya, melihat wibawanya jelas dia punya banyak kelebihan. Jeep bekas perang dunia ke II itu meluncur dalam gelapnya malam. Barangkali memang persis sepuluh menit seperti perkiraan Kapten Fabian tadi. Mobil itu berhenti mendadak.
Tanpa menimbulkan suara mereka berlompatan turun. Jeep itu kemudian dibelokkan ke dalam semak-semak sepuluh meter dari jalan.
Didahului oleh Tongkyu yang negro itu, mereka mulai berjalan. Selang lima menit, mereka sampai di pinggir sebuah sungai. Nampaknya mereka berada di daerah muara. Sebab sungai itu kelihatan amat lebar. Dan di Selatan sana kelihatan muara samar-samar menganga memuntahkan air sungai ke laut lepas.
Mereka berada di sungai Jurong. Sungai yang tadi dikatakan oleh Kapten Fabian dalam penjelasannya.
Sebuah perahu karet yang cukup besar segera ditarik bersama ke air. Mereka lalu naik. Dan masih belum sepatahpun ucapan yang keluar sejak mereka berangkat dari markas tadi. Enam orang kecuali Katen Fabian, si Bungsu dan Tongky, segera mendayung sampan karet tersebut ke Muara.
Ketika tiba di mulut muara, Tongky dan Donald mengangkat sebatang aluminium sebsar lengan. Aluminium itu terlipat-lipat. Ketika dibuka dan disambungkan lagi dengan beberapa baut, aluminium yang semula hanya sepanjang dua meter itu berobah menjadi tiang layar setinggi empat meter.
Dengan kerjasama yang cepat dan masih tanpa suara, layar yang nampaknya dibuat dari kain parasut pasukan komando itu dipasang. Miguel si Spanyol yang ahli meteorologi itu memang tak omong kosong ketika mengatakan bahwa malam ini angin akan berhembus dari utara.
Tak lama setelah layar terkembang, angin bagaikan dipanggil saja. Layar yang terbuat dari kain parasut tipis berwarna merah darah itu segera saja menggelembung. Dan sampan karet itu tiba-tiba seperti disentakkan. Meluncur dengan kecepatan tinggi menuju pulau Pesek yang kelihatan sayup sayup dalam cahaya laut.
“Jam berapa sekarang..?”
Itu kalimat pertama. Dan diucapkan oleh Miguel. Kapten Fabian membuka tutup jam tanganya yang terbuat dari kulit hitam. Dalam gelap kelihatan angka-angkanya bersinar kebiru-biruan seperti kunang-kunang.
“Jam sebelas…” katanya.
Miguel  mengangkat tangannya tinggi keatas. Lalu hidungnya diarahkan ke utara. Ke arah datangnya angin. Dia seperti mencium sesuatu.
“Angin akan berobah. Kita akan dibawa ke Timur. Kepulau Marlimau. Dan hujan segera turun..”
“Hujan..?” tanya Kapten Fabian.
“Ya. Tapi yang berbahaya adalah perputaran angin. Daerah ini adalah selat dangkal. Terletak antara dua pulau. Angin tak begitu bebas. Pukulan angin bisa berobah karena terbentur hutan dan pulau-pulau di depan sana. Lebih baik layar sebelum terlambat…”
Tak ada yang membantah. Layar segera diturunkan. Si Bungsu jadi heran. Padahal angin masih bertiup dari arah buritan dengan kencang. Tak ada tanda-tanda akan berobah. Tak pula dia lihat akan datangnya hujan. Langit memang gelap. Tapi tak ada guruh, tak ada kilat. Hujan lebat darimana yang akan datang?
Namun dia tak usah menanti lama. Ketika layar baru saja selesai dilipat, ada suar seperti bertepuk. Dan angin tiba-tiba menampar dari rusuk kiri. Lalu berpiuh. Menampar dari rusuk kanan.
“Rapatkan tubuh ke perahu…!” terdengar perintah Kapten Fabian. Semua mereka menunduk dalam-dalam. Si Bungsu dalam tunduknya itu melayangkan pandangan pada Miguel yang duduk di kanannya.
“Kau memang hebat sobat. Ramalanmu tentang angin yang berkisar dapat ponten sembilan. Tapi tentang hujan? Saya berani bertaruh. Kalau hujan tak….” Kalimat itu tak pernah ia ucapkan.
Dia hanya bicara dalam hatinya saja. Tapi pembicaraan dalam hati itupun tak sampai keujungnya. Sebab ketika otaknya selesai mengucapkan kata “Bertaruh”, hujan tiba-tiba saja seperti dicurahkan dari langit. Seperti ada gergasi di atas kepala mereka yang menunggangkan air ratusan drom sekedar untuk membuktikan ucapan Miguel yang orang Spanyol itu.

Tikam Samurai - 299

Si Bungsu tak berani menatap pada Miguel. Hanya diam-diam hatinya bicara: memang hebatlah waang, kawan…!
Begitu hujan turun dengan lebatnya, Kapten Fabian memerintahkan untuk mendayung. Meski angin bersiut kencang, tapi tak berpiuh seperti tadi.
Dan kini mereka berkayuh melawan ombak dan hujan yang rasanya sebesar-besar tinju menerpa wajah.
Diam-diam si Bungsu melirik lagi pada Miguel si Spanyol yang katanya ahli meteorologi itu lain daripada intuisinya tentang alam yang amat peka. Ahli meteorologi membutuhkan peralatan untuk mengetahui perobahan cuaca. Tapi si Spanyol ini mengetahuinya lewat inderanya.
Si Bungsu teringat lagi peristiwa sebentar ini. Yaitu saat angin utara berhembus meluncurkan sampan layar itu dengan kencang ke arah pulau Pesek. Saat itu Miguel berkata bahwa angin segera akan merobah arah. Dan dia meminta layar agar digulung. Begitu layar digulung, angin memang berobah. Berpiuh-piuh dengan kencang dan tak menentu. Kalau saja layar masih terkembang, tak pelak lagi, sampan karet ini akan terbalik oleh piuhan angin selat pulau Pesek itu.
Kini si Miguel itu tengah berdayung, tanpa mengetahui bahwa si Bungsu sejak tadi mencuri pandang menatapnya.
Dan sampan itu melaju terus. Membelah gelombang. Membelah malam berhujan lebat.
Hampir tuga jam mereka berkayuh ketika akhirnya mereka mendekati pulau Pesek di selatan Singapura itu. Hutan-hutan bakau yang basah menyambut mereka. Mereka harus menunduk dalam-dalam ketika lewat dibawah dahan-dahan bakau tersebut.
Seorang terdengar turun. Kemudian berjalan bergegas mengarungi air setinggi pinggang dan kaki yang terbenam dalam lumpur setinggi lutut. Orang itu tak dikenal oleh si Bungsu karena gelapnya malam. Makin lama suara langkahnya dalam air makin menjauh. Akhirnya lenyap. Tak ada yang bersuara.
Si Bungsu masih terheran-heran. Kemana orang itu? Dan kenapa tak seorangpun yang peduli? Dia tak sempat berpikir jauh. Orang-orang disekitarnya terdengar turun. Sampan karet itu kini tak dapat lagi dikayuh. Mereka harus mengarungi air setinggi betis untuk mencapai daratan.
Tak ada senter. Tak ada korek api yang dinyalakan. Segala sesuatu dilakukan menurut firasat dan petunjuk alam yang amat samar-samar. Untung saja hujan tak lagi lebat.
Si Bungsu juga turun dan ikut menyeret sampan itu hingga mencapai bibir pulau.
Tiba-tiba da getar aneh ditengkuknya. Hm, si Bungsu kini berada dirimba belantara sebuah pulau. Dan dalam rimba dia seperti berada dalam rumah orang tuanya. Ah, sejak meninggalkan gunung Sago di Payakumbuh dahulu, baru kali ini dia berada dalam hutan liar. Dia seperti kembali kerumahnya. Betapa tidak, bukankah bertahun dia hidup di belantara kaki Gunung Sago yang tak kenal persahabatan itu?
Dan setiap dia berada dibelantara itu. Dan dia kenal setiap gerak gerik dan setiap perangai ini rimba tersebut. Mereka mengeret sampan itu makin dekat ke bibir pulau dibawah batang bakau. Firasat aneh itu makin mengencangkan pembuluh darah si Bungsu.
Hutan bakau berakhir. Kini mereka mengarungi semak yang terendam di air setinggi satu kaki. Saat itulah si Bungsu yang tadi berjalan di belakang segera berjalan ke depan. Dia melintasi Donald si ahli senapan. Melintasi Miguel yang ahli metrologi. Melintasi Kapten Fabian.
Karena hutan bakau telah diganti oleh belukar yang tak begitu tinggi, cuaca agak terang ketimbang dibawah pohon bakau yang gelap itu.
Mereka akan melewati sebuah pohon. Dan sedepa dari pohon itu sebuah dahan sebsar betis kaki seperti melenting kearah mereka.
“Awas…!” Kapten Fabian sempat menangkap bayangan itu. Semua anak buahnya merunduk dalam. Namun yang paling depan, ya itu si Bungsu tetap tegak.
Inilah firasat tak sedapnya itu. Batang kayu sebesar betis yang melenting kearah mereka itu. Di ujung cabang kayu itu ada dua titik cahaya merah. Dan sebelum batang itu mencapai mereka, terlebih dahulu tercium bau anyir disertai desis melinukan hati.
Seekor ular rawa berwarna merah berbelang kuning yang amat berbisa! Dan yang dituju kepala ular itu adalah manusia yang tegak di depan sekali. Dia adalah si Bungsu!
Si Bungsu menunduk cepat begitu kepala ular itu meluncur seperti anak panah ke arah lehernya.
Begitu sasarannya luput, kepala ular itu berputar kearah pohon dimana lima meter tubuhnya lelilit sebagai pegangan.
Ketujuh anggota Baret Hijau itu terkesiap. Kaget dan merasa ngeri. Mereka memang manusia-manusia yang tak takut pada maut. Tapi keberanian mereka adalah bila bertempur melawan manusia.
Mereka memang bukan pengecut. Namun diserang ular mendadak begini, nyali mereka jadi ciut juga. Mereka segera ingat pengalaman dua tahun lalu di India. Di Negeri ular itu, tak kurang dari  sebelas anggota baret hijau yang kesohor itu mati dipatuk ular berbisa. Tragis memang. Pasukan yang berani mati, yang ditakuti lawan dan kawan, ternyata banyak yang mati digigit ular!

Tikam Samurai - 300

Dan kini mereka berjongkok tanpa sempat berbuat apa-apa melihat ular itu kembali melesat ke arah orang yang laing depan. Mereka tak tahu siapa orang itu. Namun demi malaikat mereka menggigil melihat orang itu tetap tegak seperti menanti datangnya serangan ular raksasa itu.
Dan ular itu nampaknya memang berang benar. Kalau tadi yang meluncur kedepan hanyalah kepalanya dengan mulut menganga, diiringi mencuatnya taring yang hampir sejengkal panjangnya itu, dia juga melepaskan lilitan tubuhnya di pohon.
Dengan demikian, dia bermaksud menyerang lawannya habis-habisan dengan mematuk dan meremukkan tubuhnya dengan lilitan.
Tapi malangnya orang itu justru adalah si Bungsu! dia memang bukan Tarzan. Raja Rimba yang jadi legenda di hutan belantara Amerika serikat. Namun, hewan buas dan binatang melata mana yang tak “kenal” pada si Bungsu ketika dia bertarak di Gunung Sago?
Di rimba gunung sago yang belum pernah dijamah kaki manusia itu, binatang-binatang buas lebih senang menghindar jauh-jauh atau berdiam diri saja dipersembunyiannya bila manusia yang satu ini lewat.
Hal itu terjadi setelah setahun si Bungsu dirimba itu. Dan selama setahun itu memang banyak coba-coba. Maklumlah “orang baru”.
Namun anak muda ini telah bertekad untuk tetap hidup. Hidupnya adalah pembalasan dendam. Dan selama setahun itu tak terhitung ular, harimau yang ingin “mencobanya”. Namun dia menghadapi dengan samurai. Anak muda itu tak mau mengganggu kalau dia tak diganggu. Akhirnya seperti ada persepakatan antara mereka. Antara hewan buas itu dengan si Bungsu. bahwa mereka akan hidup sebagai tetangga yang rukun.
Dan hal itu memang jalan terbaik bagi hewan-hewan buas itu. Sebab setelah setahun, anak muda itu telah berobah menjadi manusia yang amat cepat mempergunakan samurai.
Nah, kini dia berhadapan dengan ular itu. Dia menunggu kepala ular itu dekat. Kemudian mengelak ke kiri. Dan samurainya berkelabat. Sekali. Dua kali! Empat!
Pada gerakkan pertama, kepala ular itu putus tentang lehernya. Kepalanya masih terus melayang ke belakang. Kepalanya masih terus melayang ke belakang. Mengenai tubuh Miguel. Miguel terpekik kaget.
Pada gerakkan kedua, ketiga dan keempat, butuh ular yang tengah meluncur dengan maksud melilit badannya itu berpotong-potong sama panjang! Semuanya jatuh dengan darah bersemuran! Lalu sepi!
Ke tujuh anggota Baret Hijau itu, termasuk Kapten Fabian, menatap dengan mulut ternganga dan bulu tengkuk merinding. Dalam cahaya samar-samar mereka melihat anak muda itu tegak dengan tenang. Kemudian dengan tenang pula secara perlahan dia menyarungkan samurainya!
Suasana tegang itu terpecahkan oleh suara langkah menguak semak-semak di depan mereka. Secara reflek mereka menyiapkan bedil. Suara burung malam menggema perlahan. Mereka menarik nafas. Seorang dari anggota rombongan itu menyahuti suara burung itu dengan nada yang sama.
Selang beberapa saat muncul sesosok tubuh. Dan si Bungsu segera mengenalinya sebagai si Negro.
“Kapal mereka nampak tengah menuju kemari. Hanya ada sebuah kapal….” Tongky si Negro itu melapor perlahan pada Kapten Fabian.
“Ya. Mereka mengumpulkan wanita-wanita itu ke kapal yang satu itu ditengah laut. Dan kini mereka menuju ke markas mereka di pantai sana. Mari kita bersiap…” Kapten Fabian memberi perintah-perintah.
“Kita takkan kembali lagi kemari. Kita akan merebut kapal dan menyelamatkan wanita-wanita itu. Jangan menembak sebelum ada komando dari saya dengan tembakan peluru sinar hijau”
Selesai perintah singkat itu merekapun bergerak. Tongky di depan sekali. Berturut-turut dalam jarak dua depa adalah Kapten Fabian, Donald, Miguel dan yang lain-lain.
Di belakang sekali si Bungsu.
Sebenarnya dia ingin berjalan di depan sekali. Dia ingin menjadi penunjuk jalan. Sebab meskipun belum pernah kepulau ini, tapi dia hapal setiap lorong dan setiap jengkal tanah rimba.
Dia tahu dari bau yang dipancarkan hutan itu apakah tanah yang mereka pijak keras atau lunak. Dalam jarak sepuluh depa, dia sudah tahu apapun di depan rawa, atau ada bahaya dalam bentuk binatang buas atau manusia.
Dia hapal segalanya itu. Ah, dia mengenali rimba raya seperti dia mengenali dirinya sendiri. Namun dia tak jadi berjalan ke depan karena perintah Kapten Fabian. Karena dalam pasukan komando itu Tongki lah yang ahli dalam mengenal lapangan.
Kini mereka berjalan dengan diam tanpa menyalakan lampu. Tanpa cahaya setitikpun. Rimba rendah di pinggir laut segera saja disambut oleh belantara yang lebat dibahagian darat pulau itu.
Dan dibawah pohon raksasa di pulau Pesek itu segalanya jadi gelap gulita. Hujan lebat yang menerpa mereka di tengah laut tadi, kini hanya tinggal titik-titik berupa hujan rintik. Namun saking rapatnya dedaunan, rintik-rintik itu tak sampai ke bawah.


Tikam Samurai - 301

Dan Tonky nempaknya memang ahli dalam menyelusup dirimba raya. Itu diakui oleh si Bungsu yang berjalan di belakang sekali. Negor pendiam itu dalam gelapnya malam dengan lincah menyelinap ke sana kemari. Menghindarkan dirinya dan rombongan dibelakangnya dari perangkap hutan belantara yang mereka lalui.
Mereka berpedoman dari bayangan di depan mereka agar tak kehilangan teman. Dan si Bungsu mengakui bahwa pasukan ini memang pasukan yang ahli dalam rimba. Dari cerita-cerita yang pernah dia dengar tentang pasukan Green Barets diketahuinya bahwa pasukan ini tak hanya tangguh bertempur merebut kota dari tangan musuh. Tapi juga tangguh dan sangat ditakuti di rimba dan di lautan.
Sebagai suatu pasukan Komando dibawah bendera pasukan sekutu yang bertempur melawan Jerman dan Jepang, pasukan ini memang diakui musuh. Mereka biasanya didrop ke daerah musuh yang paling tangguh. Dimana pasukan-pasukan infantri atau pasukan artileri tak kuasa menerobos pertahanan musuh., maka sudah bisa dipastikan bahwa Jenderal Eisihhower yang menajdi panglima pasukan sekutu akan mengirim telegram pada komando pasukan Green Barets.
“Kami kandas dalam menerobos sasaran “X” telah dicoba  dengan infantri yang ribuan jumlahnya. Dan dibantu oleh pasukan artileri serta pasukan-pasukan payung. Namun pertahanan mereka sangat tangguh. Kami berharap dan bangga sekali kalau pasukan Green Barets dapat membantu kami. Terimakasih, Einsihower”
Selalu demikian bunyi “perintah” jenderal berbintang empat itu. Dia tak pernah memakai kalimat “dengan ini saya perintahkan”. Dia selalu memakai kalimat “Kami bangga sekali kalau pasukan Green Barets dapat membantu kami..’
Itu sebabnya kenapa Eisinhower jadi akrab dengan setiap prajurit yang dipimpinya. Meskipun “perintah” dan “kepatuhan” merupakan dogma yang mutlak bagi setiap prajurit, namun Eisinhower selalu berusaha menghindar dari sistim itu. Dia seorang jenderal yang keras, tegas dan berwibawa. Namun disamping itu dia juga seorang jenderal yang dicintai.
Dia adalah perpaduan antara Panglima dalam arti militer, dan Pemimpin dalam arti sipil. Dan kini, Green Barets, pasukan kebanggan tentara sekutu itu, juga kebanggan Eisinhower, sebagian anggotanya berada di depan si Bungsu. berada dalam rimba pulau Pesek di selatan Singapura.
Pasukan kecil beranggotan sembilan orang itu suatu saat berkumpul di sebuah tempat gelap.
“Kita akan menyeberang rawa ini…” Tongky brekata perlahan.
“Tak ada buaya…?” terdengar pertanyaan dari mulut Donald.
“Tidak. Tadi saya menyeberang disini juga. Ini jalan pintas terdekat. Disebelah sana, setelah menerobos sedikit belukar, kita akan sampai antara rumah papan yang mereka jadikan sebagai markas dengan pelabuhan kapal dimana mereka menurunkan perempuan-perempuan itu…”
“Engkau menyeberang disini pulang pergi tadi?” kali yang bertanya adalah Kapten Fabian.
“Ya. Inilah jalan saya tadi. Buktinya saya masih hidup, toh?” Tongky meyakinkan. Dan dia memang masih hidup. Dan dia memang lewat di rawa itu tadi. Dia tak berbohong akan hal itu. Namun si Bungsu tak sependapat dengan Negro itu.
Barangkali saja Tongky benar, bahwa rawa ini tak berbuaya. Namun firasat si bungsu mencium bahaya yang jauh lebih dahsyat daripada seekor atau lima ekor buaya. Inderanya yang amat tajam tentang perilaku rimba belantara membisikkan bahaya itu pada hatinya.
“Baik, engkau duluan. Yang lain mengikuti dalam jarak empat depa….” Kapten Fabian berkata. Mereka berkata-kata tetap berupa bisik-bisik perlahan.
Tongky mulai masuk ke air.
Tapi langkahnya terhenti ketika terdengar ucapan “tunggu” dari belakangnya.
Dia berhenti, dan dia termasuk juga seluruh rombongan menoleh pada si Bungsu yang mengatakan “tunggu” itu.
“Saya rasa jalan ini berbahaya…” katanya perlahan.
Anggota bekas pasukan baret hijau itu menatap padanya tepat-tepat. Mereka tak bersuara. Menanti penjelasan dari anak muda itu.
“saya tak dapat mengatakan apa bahayanya. Tapi firasat saya mengatakan hal itu. Barangkali bukan buaya atau ular. Tapi kesunyian di seberang sana membuat saya curiga….” Si Bungsu berkata separoh berbisik.
Tongky mendekat lagi mendengar penjelasan itu.
“Ya diseberang sana memang sepi. Saya tadi menyelusup sampai ke dekat rumah yang mereka jadikan markas. Disana enam lelaki. Semuanya berbedil otomatis. Dan mereka semua asik main kartu. Di pelabuhan ada dua orang yang memberi isyarat pada kapal yang kelihatannya masih sangat jauh. Mereka memberi isyarat dengan pelita kecil. Nah, jumlah mereka hanya delapan. Barangkali dari kapal yang akan merapat itu ada sekitar sepuluh orang lagi. Jadi semuanya hanya delapan belas. Betapapun juga, dengan kekuatan sedemikian kita sanggup menyikat mereka…”
Kemudian dia menatap kembali pada Kapten Fabian. Lalau tatapan matanya berpendar pada ketujuh anggota Baret Hijau yang lain. Lalu terdengar suaranya perlahan..


Tikam Samurai - 302

“Tak dapat saya mengatakan bagaimana saya menarik kesimpulan bahwa diseberang sana ada perangkap. Tapi saya dapat merasakannya. Jika ingin diperjelas lagi, maka diri saya adalah bahagian dari belantara yang berbahaya tetapi sepi…”
Kapten fabian tahu, orang ini tak berbohong. Jauh dilubuk hati Kapten itu juga mengakui, bahwa dia merasa firasat anak muda ini adalah benar.
Namun bagaimana jalan keluar?
“kini, bagaimana kita menyebrenag ke sana jika kita dari arah ini? Jika diambil jalan memutar, rasanya terlalu jauh”
Semua terdiam mendengar ucapan Kapten tersebut.
“Bagaimana kalau saya dengan satu atau dua orang sukarelawan lainnya menyeberang terus pada jalan ini?” yang berkata ini adalah si Tongky Negro yang ahli menyelusup itu. Dan siapa pun diantara yang hadir itu dapat mengetahui bahwa Tongky kurang yakin pada firasat si Bungsu. sebenarnya tidak hanya Tongky, hampir seluruh mereka, kecuali Kapten Fabian kurang yakin akan firasat si Bungsu itu.
Namun mereka tak berani melanggar perintah Kapten Fabian. Dalam soal-soal begini, sebuah pasukan Komando memang ditentukan nasibnya oleh Komandan. Kecuali jika mereka telah berpencar, maka nasib mereka berada ditangan mereka sendiri. Pada saat begitulah kemampuan pribadi sangat diandalkan. Kini, betapapun juga kesatuan pasukan harus dipertahankan.
Dan itu pulalah sebabnya Tongky tak secara langsung mengajukan protes atas ramalan si bungsu. dia hanya menawarkan suatu alternatif lain dengan mengatakan : Bagaimana kalau saya tetap menyeberang  dengan satua atau dua sukarelawan..
Artinya, dia ingin membuktikan bahwa ramalan si Bungsu itu tak benar. Mendengar tawaran itu, beberapa orang segera saja menyatakan akan ikut. Jumlah mereka justru enam orang.
“Saya rasa jumlahnya cukup tiga orang yang diusulkan Tongky. Dan saya masuk satu diantaranya…” yang berkata ini adalah si Bungsu. dan semua mereka jadi kaget. Sebentar ini anak muda tersebut mengatakan bahwa diseberang sana ada perangkap. Tapi dia malah menyatakan akan ikut dalam penyeberangan itu. Apakah dia hanya sekedar ingin membuat sensasi?
“oke. Jika demikian anda ikut dengan Tongky. Dan sebagai seorang Letnan, regu yang tiga orang ini berada dibawah pimpinan anda. Kami akan menanti disini…”
Kapetn Fabian akhirnya memutuskan.
Dan semua orang memang tak membantah. Soalnya waktu sudah semakin sempit. Untuk mempersoalkan apakah diseberang sana ada perangkap atau tidak ini saja, mereka telah terhenti selama lima menit.
Sukarelawan yang satu lagi adalah Donald. Si Bungsu menuju ke samping. Dan dia mengambil sebatang bambu sebesar ibu jari yang beruas panjang-panjang. Memotongnya sepanjang sehasta. Memberikannya pada Tongky dan Donald masing-masing sepotong. Untuknya sendiri sepotong.
“Barangkali ini kita perlukan. Saya lebih percaya bahwa kita akan aman jika menyelam dan mempergunakan bambu kecil ini sebagai slang pernafasan. Dengan demikian kita tak usah muncul di permukaan air sampai sekarang”
Si Bungsu kemudian masuk ke air rawa yang dalam malam pekat ini kelihatan seperti aspal, hitam pekat.
Dia menoleh pada Kapten Fabian dan berkata:
“Untuk menyeberang, kami butuh waktu sepuluh menit paling lama. Kami akan memberi syarat kalau keadaan aman, maka musuhlah yang akan memberi isyarat dengan tembakan ke arah kami..” sehabis berkata dia memberi hormat. Kemudian mulai melangkah ke tempat dalam.
Lima meter dari pinggir dia berheti. Menoleh ke belakang ke arah Tongky dan Donald. Dia berkata separoh berbisik.
“Ini batas kita berjalan. Dari sini kita harus menyelam. Nah, kita mulai…”
Dia meletakkan bambu bengkok itu ke mulutnya. Kemudian menyelam. Dengan memakai bambu bengkok tersebut di mulut, dia dapat menyelam telungkup.
Tubuhnya segera lenyap ke dalam air. Dan di permukaan air rawa hanya terlihat sepotong ranting kecil bergerak perlahan ke arah seberang sana.
Donald dan Tongky berpandangan. Mereka sebenarnya tak mau menyeberang dengan cara itu. Mereka memang tak usah khawatir dengan senjata mereka, senjata adalah senjata-senjata yang dirancang oleh para ahli. Yang bisa ditembakkan meski senjata itu telah terendam air.
Magazine tempat pelurunya serta loop senjata otomat tersebut diluar sistim yang pelik. Sehingga air tak bisa masuk kedalamnya meski terendam air agak dua hari.
Yang membuat mereka tak sedap adalah harus berendam lagi.
Tapi anak muda itu telah ditetapkan sebagai Komandan Regu mereka.
Dan mereka adalah orang-orang yang telah dididik dengan disiplin keras, bahwa komandan harus dipatuhi.
Maka merekapun meletakkan bambu bengkok yang dipilih oleh si Bungsu itu ke mulut. Lalu dengan perasaan separoh enggan mulai menelungkup dalam air.

Tikam Samurai - 303

Lalu mereka mulai berenang keseberang. Kapten Fabian dan kelima anggotanya tiba-tiba melihat ketiga orang itu lenyap dalam rawa. Dari tempat mereka tegak, tak ada yang kelihatan. Bambu kecil yang mencuat sejengkal lebih ke atas permukaan air itu juga tak bisa dikenali lagi diantara semak dan ranting kayu yang berserakkan di permukaan.
Kalau benar di seberang sana ada perangkap seperti dikatakan si Bungsu, maka Kapten Fabian harus mengakui bahwa cara peyebrangan yang kini dilakukan anak muda itu adalah cara yang sempurna.
Dan kalaupun tak ada musuh seperti yang diduga itu, cara penyebrangan sebentar ini tetap saja merupkan tindakan hati-hati yang memang harus dilakukan.
Mereka menanti dengan hati berdebar peyebrangan itu.
Sementara itu dalam air, si Bungsu menyeruak diantara rumpun-rumpun rumput. Dia harus bergerak perlahan sekali. Dan dia berharap agar hal yang sama juga dilakukan oleh kedua anggotanya di belakang. Kalu rumput-rumput itu bergerak dengan kuat, dan geraknya menuju ke pinggir, maka penjebak tentu akan segera curiga. Dan siapapun yang melihat pasti akan segera tahu bahwa didalam air ada penyelam yang sedang mendekat. Sebab mustahil ada kapal selam dalam rawa sedengkal begini.
Dan si Bungsu memang beruntung. Sebab baik Tongky maupun Donald yang berada di belakangnya memang bertindak hati-hati pula. Mereka nampaknya memang berasal dari pasukan yang disiplin. Ketiga mereka berenang dengan lambat.
Si Bungsu merasakan air makin dangkal. Tapi dia tetap tak mau muncul. Bahkan dia telah merayap ditanah, namun dia masih belum mau mengangkat kepalanya dari permukaan air.
Beraulah ketika air telah menimbulkan rambut dikepalanya dia mendongak perlahan. Sepi. Dia masih tiarap dia air. Perlahan dia menoleh ke belakang. Dua meter dibelakangnya, dia lihat dua sosok bayangan mendekat. Persis seperti yang dia lakukan tadi, kedua orang itu juga tetap tak mau bangkit seski air telah amat dangkal.
Mereka merayap dalam sikap hati-hati sekali. Akhirnya ketiga orang itu berada sejajar berdekatan. Dingin menusuk kulit.
“Nah, Letnan, apa lagi kini?” Donald berbisik.
“Jalan menuju ke markas mereka ada dibelah kananmu Letnan…” Tongky menyambung bisik Donald.
Si Bungsu mengangkat tangan. Memberi isyarat untuk tak berbisik. Dan tangannya masih bergoyang memberi isyarat ketika perlahan terdengar suara dari sebelah kiri, yaitu tak jauh dari tempat Tongky menelungkup.
“Nampaknya kita disuruh menunggu nyamuk disini…” suara itu jelas dalam aksen Tionghoa.
“Tenanglah. Tadi saya melihat sesuatu bergerak di seberang sana…” suara lain menyahut perlahan. Aksennya dalam nada Melayu.
“Ya, saya juga melihat ada yang bergerak. Barangkali ada orang menari striptis disana.heheh…hihi…huhu….” orang lain yang nampaknya juga sudah jengkel menanti  ikut menyambung.
“Cibai! Kalian tak bisa diam?!” Cina yang lain bercarut dalam bahasanya. Dan tiga orang yang tadi menyumpah-nyumpah kesal itu pada terdiam. Nampaknya yang bercarut terakhir ini cukup berpengaruh diantara mereka.
Suasana kembali sepi. Si Bungsu, Tongky dan Donald masih tetap tiarap. Diam. Tongky dan Donald yang berbaring dilumpur berdekatan saling pandang.
Dan seperti bersepakata, mereka menoleh pada si Bungsu. namun anak muda itu tengah menatap ke arah Cina yang bercarut terakhir. Cina itu nampak bersembunyi diatas dahan yang tingginya sekitar sedepa dari tanah. Terlindung oleh dedaunan yang lebat.
Tongky dan Donald diam-diam mengakui ketajaman firasat anak muda itu. Coba kalau tadi mereka menyeberang saja bersama. Tentu kini mereka telah jadi tapisan di drel oleh senapan orang-orang yang menanti mereka ini.
Si Bungsu masih menatap ke arah suara di atas dahan yang jaraknya sekitar dua puluh depa dari tempatnya. Dia lalu menoleh pada Tongky dan Donald. Memberi isyarat. Dengan gerakkan sehalus ular, kedua bekas anggota Baret Hijau ini merayap kearahnya.
Dan ketika jarak mereka tinggal sejengkal kedua orang itu berhenti. Si Bungsu berbisik perlahan:
“Kita tak tahu dengan pasti berapa orang yang menanti kita disini. Yang kita dengar berbicara hanya empat. Tapi saya merasa yakin jumlahnya lebih dari itu. Barangkali sekitar sepuluh orang. Nah, tugas kita sekarang membuat jalan aman bagi teman-teman di seberang. Caranya hanya satu. Yaitu melenyapkan segala perangkap yang ada. Saya akan menyelesaikan Cina yang di pohon itu. Kalian pilih yang berdua yang bicara pertama tadi…” dan si Bungsu memberi beberapa penjelasan. Lalu dalam posisi tengkurap di lumpur itu, ketiga mereka salaing bersalaman.
Lalu Tongky dan Donald bergerak. Tongky nampaknya menuju ke arah Cina yang mula-mula bicara. Sementara Donald ke arah Melayu yang menyahut kedua.

Tidak ada komentar: