Senin, 04 November 2013

tikam samurai (bagian 104-105-106-107-108-109-110-111)

tikam samurai (bagian 104)


Yang bertugas mengawasi pekerjaan atau mengawasi pemasukan amunisi hanyalah balatentara Jepang asli. Karena itu Dakhlan Djambek dan kawan-kawannya para Gyugun yang lain tak pernah mengetahui secara mendetail tentang situasi terowongan itu.
Dia berusaha keras untuk mengetahui ruangan-ruangannya, tapi akhirnya dia menyerah. Tak mungkin untuk mengetahui secara terperinci, apalagi dengan pengawasan yang ketat dari Kempetai terhadap Gyugun. Pada hari kedua, yaitu pada batas waktu yang diberikan, Kapten ini memberikan laporan akhir tentang penyelidikannya.

Isi laporan itu:
“Tak mungkin untuk menyelediki terowongan itu dengan cara intelijen. Tapi saya yakin, kedua mereka ditawan dalam salah satu kamar di dalam terowongan tersebut. Sebab beberapa tawanan sekutu juga dibawa kesana. Untuk mengetahui dimana mereka ditahan, satu-satunya jalan adalah menangkap dan memaksa salah seorang Kempetai yang pernah membawa tawanan kesana. Saya akan mengatur jebakan. Sediakan orang yang akan menanyainya.”



Dan surat yang disampaikan melalui kurir beranting itu akhirnya dilaksanakan. Seorang sersan Kempetai dengan cara yang sangat halus berhasil dijebak di Kampung Cina ketika sedang minum-minum sake dan memeluk seorang perempuan.

Perempuan itu dia bawa ke hotel. Di tangga hotel yang teram-temaram keduanya dipukul hingga pingsan. Si perempuan yang berkulit hitam manis dibiarkan tergolek di sana. Si sersan dibawa dengan sebuah truk ke sebuah tempat.

Dari mulut sersan inilah diketahui detail kamar tawanan tersebut. Semula si sersan tak mau mengaku, tapi ketika sebuah jari tangannya dipatahkan meniru kekejaman Kempetai, sersan itu menyerah. Lalu membuka rahasia kamar tawanan itu.

Dan ketika pengakuannya selesai, dia terkejut takkala melihat seorang perwira Gyugun masuk rumah itu. Dia segera tegak dan memberi hormat dengan sikap sempurna. Dia jadi gembira, karena denga kehadiran perwiranya itu berarti kebebasan baginya dari tangkapan ekstrimis ini.



Namun dia segara terkejut takkala melihat perwira itu menatapnya. Orang yang mematahkan jarinya itu mengambil sebilah samurai. Memberikan kepada sersan itu. Sersan itu terheran-heran. Rasa herannya berobah jadi rasa terkejut ketika perwira Gyugun itu berkata dengan nada memerintah:

“Harakiri….!”

Sersan Kempetai itu melongo.
“Harakiri..!!” lagi-lagi perintah perwira itu bergema.



Dan kini sama-sama jadi jelas soalnya oleh si sersan. Dia diperintahkan harakiri (bunuh diri) pastilah salah satu sari dua sebab. Pertama karena dia telah membocorkan rahasia militer. Kedua karena perwiranya ini berada dipihak orang yang menangkap dan mematahkan jari tangannya. Dan dia menduga , bahwa sebab kedualah yang paling besar kemungkinannya.



“Tai-i……..?” katanya lagi.

“Saya orang Indonesia. Jepang sudah terlalu banyak membunuh bangsa saya. Kini kau harakiri atau gunakan samurai itu untuk melawan…membebaskan diri….,” Perintah Tai-I yang tak lain daripada Dakhlan Djambek itu membuat tubuh si sersan menggigil.



Dia sudah tentu  memilih yang kedua. Yaitu mempergunakan samurai itu untuk melawan. Sebab baginya tak ada harapan untuk hidup. Demikian putusan Dakhlan Djambek. Kalau Jepang ini tak dibunuh, maka rahasia penangkapannya akan bocor. Dan kebocoran itu membahayakan perjuangan.

Sersan itu menebaskan samurainya. Orang pertama yang dia serang dengan samurainya adalah orang yang paling dekat dengannya. Orang itu adalah Tai-I Dakhlan Djambek. Tebasan samurainya amat cepat mengarah pada leher Kapten itu.

Namun Dakhlan Djambek adalah seorang perwira yang dididik dengan kekerasan disiplin militer Jepang. Karena dia perwira, maka kepadanya juga diajarkan cara menggunakan samurai. Dan kemana-mana, perwira Jepang umumnya membawa samurai. Demikian juga dengan Kapten ini.



Begitu sabetan samurai si sersan terayun, sesuai dengan latihan dasar yang diterima, dia mundur dengan cepat dua langkah ke belakang. Kemudian ketika serangan berikutnya datang, dia menggeser tegak dua langkah. Dan si sersan lewat disampingnya.

Dengan cepat sersan itu memutar tegak dan kembali mengayunkan samurainya. Namun saat itu pula samurai di pinggang Tai-I Dakhlan Djambek keluar dari sarungnya. Putaran tubuh si sersan di silang oleh tebasan samurai Dakhlan Djambek. Bahu kanan sersan itu hampir putus. Sabetan kedua membuat kepalanya hampir putus. Dia jatuh. Tapi kematian datang sebelum tubuhnya mencapai lantai rumah. Perlahan-lahan Kapten itu memasukkan samurainya kesarangnya setelah melapnya ke baju sersan yang rubuh itu



“Kuburkan dia malam ini. Dan malam ini juga kedua kawan-kawan itu harus dibebaskan. Mulai hari ini kontak antara teman-teman dengan kami para Gyugun harus diputuskan buat sementara waktu. Situasi tambah panas. Kabarnya di Jakarta telah terjadi sesuatu. Saya yakin saatnya untuk kemerdekaan sudah dekat. Karena itu, tunggu perkembangan selanjutnya. Salam saya untuk para pimpinan yang lain. Juga buat kedua teman-teman yang ditawan itu….”
Dan kapten ini lenyap ke dalam gelapnya malam.

tikam samurai (bagian 105)

Kejadian pembunuhan terhadap sersan Kepmpetai itu tepatnya berlangsung pada tanggal 5 Agustus 1945. Dua belas hari setelah itu, Kemerdekaan Indonesia di proklamirkan di Jakarta.

Kembali pada saat-saat letusan bergema dalam gua sesaat sebelum si Bungsu jatuh pingsan. Letusan itu ternyata bukan ditujukan pada dirinya atau pada diri Kari Basa. Letusan itu adalah letusan bedil dan pistol “pasukan khusus” yang membebaskannya.

Pejuang-pejuang bawah tanah itu berhasil bergerak cepat dan menemukan tempatnya sebelum terlambat sangat. Letusan pertama adalah letusan yang ditujukan ke kepala penjaga di luar pintu kamar tahanan.



Begitu penjaga itu mati, pintu diterjang. Dan letusan-letusan berikutnya ditujukan pada si Letnan, si sersan dan prajurit yang ada dalam ruangan itu.

Ketiga Kempetai sadis ini mati saat itu juga. Mereka tak sedikitpun menyangka akan ada perlawanan begitu dahsyat. Ketiga mereka mati dengan kepala rengkah kena tembak.

Dan enam orang “pasukan khusus” yang masuk keruangan itu pada mengucap istigfar takkala melihat keadaan tubuh kedua teman mereka yang tergantung itu. Yang tergantung itu bukan lagi tubuh manusia. Tapi lebih tepat untuk dikatakan sebagai manusia yang telah dijagal.

Namun harapan kembali timbul ketika mereka melihat bahwa kedua orang itu masih bernafas. Dengan gerakkan cepat, kedua mereka dilepaskan dari belenggunya. Kunci belenggu berada dalam kantong si letnan.
Dan tengah malam itu juga, kedua mereka dibawa ke rumah orang yang telah menyiapkan penampungan dan pengobatan. Pengobatan disediakan sesuai dengan pesan Kapten Dakhlan Djambek. Bahwa setiap tawanan Jepang yang dibawa ke terowongan di bawah kota itu, bila sempat keluar hanya akan mengalami dua hal.

Pertama mati. Dan kedua tubuh mereka lumat. Maka yang kedua hampir-hampir menemui kenyataan. Makanya obat-obatan telah disediakan. Kedua mereka dirawat di rumah yang berlainan.

Setelah tubuh kedua orang itu sampai di rumah yang dimaksud, pasukan khusus itu lenyap. Dan jejaknya tak pernah tercium sedikitpun!.



Pihak militer Jepang bukan main kagetnya atas serbuan dan penculikan tersebut. Mereka memeriksa setiap rumah penduduk untuk mencari jejak para penculik dan kedua tawanan itu.

Ada delapan orang yang jadi korban dipihak mereka dalam peristiwa itu. Yang pertama sersan pengawas bahagian peta penggalian terowongan. Sersan ini yang mati di tebas Tai-I Dakhlan Djambek tak pernah ditemukan mayatnya. Tiga orang lagi adalah penyiksa sadis yang mati dalam kamar tahanan. Yang satu mati di pintu bahagian luar kamar tahanan tersebut. Sedangkan tiga orang lainnya mati di sepanjang terowongan menuju ke kamar tahanan.

Pihak Jepang segara dapat menduga, bahwa kamar tahanan itu diketahui melalui mulut si sersan pengawas bahagian peta penggalian terowongan. Mereka menyangka bahwa seluruh jaringan dan penyimpanan amunisi vital dalam terowongan itu telah diketahui oleh pejuang-pejuang pribumi. Makanya mereka memasang perangkap untuk menjebak kalau-kalau pejuang-pejuang itu muncul lagi.



Namun pejuang-pejuang itu tak pernah mengorek keterangan tentang hal-hal lain mengenai terowongan tersebut. Tugas mereka hanya mengetahui dimana si Bungsu dan Kari Basa ditahan. Kemudian membebaskan kedua orang itu. Dari segi ini, para pejuang itu memang alpa. Kalau saja mereka bisa sedikit sabar dalam menghadapi si sersan, kemudian merencanakan masak-masak akan banyak sekali rahasia tentang terowongan itu yang akan terungkapkan.

Itulah sebabnya kenapa sampai puluhan tahun kelak, yaitu sampai turunan demi turunan, terowongan di bawah kota itu tetap saja merupakan suatu misteri yang tak kunjung terungkapkan. Tak seorangpun di kota itu yang tahu dengan pasti, berapa panjang terowongan di bawah kota mereka.

Misteri itu tetap tak terungkapkan, karena selama puluhan tahun tak ada yang berminat untuk menyelidikinya. Baik menyelidiki dengan mencari peta rencana pembuatan terowongan tersebut. Peta itu pasti ada pada pihak militer Jepang.

Akibat dari peristiwa itu, pihak Kempetai makin curiga pada anggota Gyugun. Namun mereka tak pernah mendapatkan bukti akan keterlibatan para Gyugun itu. Seluruh anggota Gyugun yang ada di Bukittinggi diinterogasi. Dimana dan kemana mereka dimalam lenyapnya si Sersan yang memegang rahasia terowongan itu.

Semua anggota Gyugun mempunyai alibi. Punya bukti-bukti bahwa mereka berada disuatu tempat, dimana banyak orang jadi saksi. Tai-I Dakhlan Djambek sendiri yang ikut diinterogasi pihak Kempetai, mempunyai alibi (alasan) yang kuat. Bahwa dia tak ikut dalam gerakan itu.

tikam samurai (bagian 106)

Malam itu dia justru bertugas disalah satu markas Kempetai bersama enam orang tentara Jepang asli lainnya. Dan keenam tentara Jepang yang sama-sama bertugas malam itu dengannya menerangkan bahwa Tai-I itu tak pernah meninggalkan markas malam itu.



Lalu bagaimana Dakhlan Djambek sampai bisa hadir dan justru membunuh sersan itu dihadapan para pejuang malam itu? Ceritanya sangat sederhana. Peristiwa dia membunuh sersan itu dengan samurai hanya berjarak sejangkau tangan dari markas Kempetai itu. Tepatnya, rumah tempat si sersan dibunuh terletak persis di belakang markas Kempetai itu. Dan antara markas dengan rumah itu hanya dibatasi dengan sebuah pagar batu setinggi pinggang.

Rumah itu sebuah rumah batu yang sudah lam ditinggal penghuninya. Pemiliknyu merantau ke Jawa. Tapi kuncinya ada pada seorang adiknya di Mandiangin. Nah rumah inilah yang dipilih Dakhlan Djambek untuk menanyai sersan.

Keputusan itu memang berbahaya. Tapi tak ada jalan lain, justru jalan itu pula paling aman. Kempetai pasti takkan pernah mencurigai kalau rumah di belakang markas mereka itu justru dipergunakan oleh pihak pejuang. Disamping tak mencurigai, Dakhlan Djambek bisa hadir disana tanpa menimbulkan kecurigaan.

Tinggal kini waktu diperhitungkan dengan cermat. Harus pas waktunya antara dibekuknya si sersan di hotel dengan tibanya di di rumah tersebut. Setelah si sersan dibekuk lalu dibawa ke rumah itu dengan truk. Dakhlan Djambek yang tegak di depan melihat mereka lewat.

Dia masih tegak di depan beberapa saat. Lalu masuk ke markas. Memerintahkan pada tiga orang Gyugun asal Indonesia untuk mengadakan patroli sekeliling markas.  Ketiga Gyugun itu keluar setelah memberi hormat. Kemudian Dakhlan Djambek duduk di depan Komandan Piket malam itu. Yaitu seorang Jepang berpangkat Mayor.

Tiba-tiba dia bangkit.



“Sakit perut….” Katanya menyeringai.

“Ha…banyak makan duren sore tadi. Bisa mencret Tai-i…” Si Mayor berkata sambil tertawa.



Dakhlan Djambek juga ikut tertawa. Empat orang Kempetai yang ada dalam ruangan itu juga tertawa. Sebab mereka giliran piket setiap 24 jam. Dan mereka telah mulai piket sejak tadi pagi. Dan sore tadi ada yang mentraktir makan durian. Mereka membeli durian lima belas buah. Lalu mereka makan bersama di kantin disebelah kantor.


Dakhlan Djambek dengan memegang perut lalu berlari ke belakang. Menutup pintu kakus. Menguncinya. Dan kakus ini juga sudah dia perhitungkan. Kakus ini mempunyai jendela besar di belakangnya.

Sekali hayun dia sudah membuka jendela. Kemudian terjun ke belakang. Berlari empat langkah, tiba di pagar. Meloncati pagar itu. Duduk dibaliknya. Dia bersiul menirukan bunyi burung malam. Terdengar sahutan. Dia bergegas tegak dan melangkah memasuki rumah itu dari belakang.



Tiga orang Gyugun yang tadi dia perintahkan untuk patroli menantinya di pintu. Dan mereka masuk. Kisah bagaimana si sersan mati, sudah diuraikan terdahulu. Dakhlan Djambek memberi kesempatan kepada sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya dia bisa saja membunuh sersan itu tanpa perlawanan. Tapi sebagai seorang pejuang, seperti umumnya pejuang-pejuang Indonesia, dia tak mau membunuh lawan yang tak berdaya. Apalagi dia seorang perwira.

Makanya dia memberi kesempatan kepada sersan itu untuk membela diri. Sebenarnya bisa saja keadaan berbalik jadi berbahaya. Yaitu kalau si sersan justru yang menang dalam perkelahian itu. Mungkin si sersan bisa juga dibunuh oleh pejuang-pejuang yang ada dalam ruangan itu. Namun kalau sudah jatuh korban, apalagi korban itu seorang Dakhlan Djambek, perwira Gyugun yang diandalkan untuk memimpin anggotanya kelak dalam revolusi, bukankah akan sia-sia jadinya?



Namun Dakhlan Djambek tetap pada sikap satrianya. Disamping juga dia punya keyakinan pada dirinya, dan terutama pada Tuhannya. Setelah sersan itu mati, jejak perkelahian di ruangan belakang rumah itu dilenyapkan. Dan Dakhlan Djambek kembali melompati jendela kakus. Kemudian pura-pura batuk dalam kakus. Pura-pura menyiramkan air. Lalu keluar dari kakus setelah yakin jejaknya tak ada di dinding. Dengan pura-pura melekatkan celana dan merapikan baju, dia membuka pintu.



Masuk kembali keruangan dimana si Mayor tengah mendengarkan siaran radio yang dipancarkan oleh Markas Besar tentara Jepang. Dengan menarik nafas lega, dia duduk. Seperti orang yang baru saja lepas dari siksaan.



“Hmmm, keluar semua?” Mayor itu bertanya sambil tersenyum.

“Tidak. Ususku masih tinggal di dalam……….’” Jawab Dakhlan Djambek. Mayor itu dan keempat



Kempetai tertawa terkekeh. Waktu yang terpakai baginya untuk “buang air” itu tidak lebih dari sepuluh menit. Benar-benar perhitungan seorang militer yang teliti.

Dan ketika interogasi, seluruh prajurit dan sang Mayor yang piket malam itu jadi saksi, bahwa dia tidak pernah keluar sesaatpun pada malam lenyapnya si sersan. Dan Kempetai tak pula pernah menyelidiki rumah kosong yang telah lama tak dihuni yang terletak persis dibelakang markas mereka. Kekhilafan-kekhilafan kecil begini biasanya memang terjadi satu dalam seribu peristiwa penting dipihak kemiliteran.

Dan kekhilafan kecil itulah yang menyelamatkan Dakhlan Djambek serta para Gyugun yang tugas di Bukittinggi malam itu dari pembantaian Kempetai.

tikam samurai (bagian 107)

Si Bungsu membuka mata. Silau sekali. Tapi selain silau yang amat sangat, yang paling dia rasakan adalah lapar yang menusuk-nusuk perut. Lapar sekali. Dia Kembali membuka mata. Sedikit demi sedikit. Dari balik bulu-bulu matanya dia mencoba melihat dan membiasakan dengan sinar terang.

Dia tak tahu dimana dia. Tak tahu apa yang terjadi. Rasanya kini dia tengah berbaring. Tapi dimana? Berbaring? Kenapa bisa berbaring? Dia coba merekat kembali sisa-sisa ingatannya. Yaitu tentang situasi terakhir yang pernah dia alami.

Terowongan

Rantai di kaki

Rantai di tangan

Rantai yang dicorkan dengan semen

Dicor ke lantai

Dicor ke langit-langit terowongan

Penyiksaan!

Ah, bukankah dia disiksa oleh tiga orang serdadu Jepang yang sadisnya melebihi hewan?

Kari Basa!

Tiba-tiba dia ingat pada orang tua itu. Bukankah orang tua itu terbelenggu pula empat depa di depannya dalam terowongan itu?

Dimana dia kini?

Ingatan pada orang tua itu membuat dia membuka matanya lebar-lebar. Menoleh ke kiri. Tak ada. Menoleh kekanan. Tak ada!



“Pak Kari…..!” dia memanggil perlahan.



Tak ada sahutan. Di luar ada suara ayam betina berkotek. Dia memperhatikan tempatnya. Benar, dia memang tengah berbaring di tempat tidur. Tempat tidur berkelambu. Berseprai kain setirimin merah jambu. Berkelambu juga dengan kain seterimin merah jambu. Seperti tempat tidur penganten baru.

Bau harum kembang melati merembes kehidungnya dengan lembut. Benarkah dia masih hidup? Atau ini hanya sebuah mimpi?

Mimpi dari sebuah siksa yyang tak tertangguhkan ditangan ketiga Kempetai sadis itu?

Ya, dia ingat lagi kini.


Tubuhnya dijadikan tempat pelampiasan kekejaman ketiga serdadu itu. Lalu suara tembakkan. Apakah tembakkan itu bukan untuk dirinya? Kalau dia kini masih hidup, pastilah tembakkan itu ditujukan pada Kari Basa. Kari Basa meninggal! Ya Tuhan.



“Pak Kari….” Dia memanggil lagi dan berusaha untuk duduk.

“Tetaplah berbaring..!” tiba-tiba suara mencegahnya. Lembut sekali. Rasa sakit dikepalanya karena berusaha bangkit itu lenyap ketika mendengar suara lembut itu.

“Mana Pak Kari?” tanya nya pada orang yang masih belum kelihatan wajahnya itu.

“Pak Kari..?” suara itu menjawab.

“Ya pak Kari, dimana dia dikuburkan?”



Tak ada jawaban. Tapi orang yang menjawab ucapannya itu kini kelihatan. Seorang gadis! Berwajah bundar. Bermata hitam. Berkulit kuning. Berambut hitam dengan mata yang bersinar lembut. Cantik adalah kata-kata yang tepat untuknya.

Si Bungsu mengerutkan kening. Siapakah gadis ini?



“Dimana saya…?’ tanyanya gugup.

Gadis itu tersenyum. Senyumnya amat teduh. Matanya yang bersinar lembut menatap si Bungsu dengan tatapan gemerlap.

“Uda berada disini…” jawabnya dengan masih tersenyum.

“Di sini? Di sini dimana…?’

“Di rumah kami….”

“Siapa kalian….maaf, saya maksudkan, saya rasa saya tak mengenal rumah ini. Juga orangnya. Kenapa saya bisa berada di sini. Sejak bila dan…”
Gadis itu lagi-lagi tersenyum mendengar pertanyaan yang tak hentinya itu. Dia tak segera menjawab pertanyaan si Bungsu. Melainkan berjalan ke arah kepala pembaringan. Mengambil sebuah gelas. Kemudian duduk dekat si Bungsu.



“Minumlah. Ini obat dari akar kayu. Nanti saya jawab pertanyaan abang itu satu persatu…”



Dia ingin bangkit. Tapi uluran tangan gadis itu untuk membantunya duduk tak bisa dia elakkan. Gadis itu membantunya meminum obat yang terasa pahit. Kemudia membantunya berbaring lagi dengan perlahan.

Dalam keadaan demikian, wajah gadis itu berada dekat sekali dengan wajahnya. Gadis itu bersemu merah mukanya. Mukanya sendiri juga terasa panas. Kemudian gadis itu mengambil sebuah kursi di tepi dinding. Duduk dekat pembaringan.



“Ini rumah pak Kari…” gadis itu mulai bicara. Si Bungsu tertegun.

“Rumah pak Kari?’

tikam samurai (bagian 108)


“Ya”

“Pak Kari Basa?”

“Ya, pak Kari Basa”

“Yang tertangkap dan disiksa dalam terowongan Jepang itu?’

“Ya. Yang disiksa bersama abang juga bukan?”

“Mana beliau…?”

“Di kamar sebelah…”

“Masih hidup?”

“Insya Allah sampai saat ini masih…”

“Alhamdulillah…”

“Saya adalah anaknya..”

Si Bungsu hampir terduduk. Tapi gadis itu menggeleng dengan senyum lembut dibibirnya.

“Kenapa harus kaget…tetaplah berbaring…”

“sejak kapan saya berada di rumah ini?”

“Sejak sebulan yang lalu” Si Bungsu kali ini benar-benar tertunduk. Matanya berkunang-kunang.



Namun dia tatap gadis di depannya itu. Gadis itu menunduk. Malu, Mukanya merah.



“Sebulan?”

“Ya. Sudah sebulan Uda di rumah ini…”

“Dan selama itu saya tak pernah sadar?” Gadis itu mengangkat wajahnya. Menatap si Bungsu.



Lalu menggeleng. Si Bungsu menjilat bibirnya yang terasa kering.



“Pernah. Tapi barangkali Uda tak pernah bisa berfikir dengan baik. Sebab ketika mula pertama dibawa kemari, tubuh abang seperti baru keluar dari rumah jagal. Tersayat-sayat berlumur darah… saya tak tahu  bahwa ayah juga sama keadaan dengan abang. Hanya ayah dibawa ketempat lain untuk dirawat. Ayah baru dibawa kemari sejak lima belas hari yang lalu….”



Si Bungsu kembali berbaring. Sudah sebulan di rumah ini. Pakaiannya bersih. Siap yang memakaikan pakaiannya? Selama itu dia pasti buang air. Nah, kalau dia tak sadar, siapa yang membereskan semua ini?



“Ada adik lelaki saya menukarkan pakaian abang sekali tiga hari. Saya hanya menyuapkan bubur untuk abang…” suara gadis itu seperti menjawab kata hatinya. Dia melihat padanya. Dan gadis itu lagi-lagi menunduk.

“Terimakasih atas kebaikan kalian….” Katanya perlahan.

“Uda akan makan?”



Si Bungsu tak segara menjawab. Dia merasakan perutnya kenyang. Aneh, tadi mula-mula sadar laparnya serasa tak tertahankan. Tapi kini perutnya terasa kenyang. Apakah itu karena obat yang barusan dia minum.



“Tidak, saya kenyang….” Jawabnya.

“Tapi sejak kemaren Uda belum makan…”

“Terimakasih. Sebentar lagilah….apakah Jepang tak pernah memeriksa rumah ini untuk mencari saya? Oh ya, siapa yang membawa saya kemari?”

“ Yang membawa Uda kemari adalah pejuang-pejuang teman ayah, teman Datuk Penghulu. Dan teman abang juga bukan?”



Si Bungsu menggelang.



“Saya tak punya teman di kota ini Upik. Oh maaf, saya harus memanggilmu dengan sebutan apa?”



Gadis itu menunduk. Si Bungsu menatapnya.



“Nama saya Salma….” Katanya perlahan.

“Salma?”

“Ya, Salma..”

“Terimakasih atas bantuanmu pada saya selama di rumah ini…nah, apakah Jepang tak pernah menggeledah di rumah ini?”

“Tidak, adik ayah bekerja dibahagian penerangan pemerintahan Jepang. Rumah ini rumah tua kami. Sebelumnya saya, ayah dan yang lain-lain tak tinggal di sini…… Rumah kami di Mandiangin. Tapi sejak malam itu, kami disuruh pindah kemari. Dan Jepang tak pernah mencurigai rumah ini, karena abang ditempatkan dibilik ini. Dibilik saya…”

“Bilikmu?”

“Ya. Ini bilik saya. Dan Jepang itu sering main kartu disini. Kamar tamu disebelah kamar ini. Dan mereka tentu saja tak pernah menduga dalam bilik ini ada abang sebab selama mereka di ruang tamu, saya selalu dikamar ini. Dan saya… saya juga tidur dikamar ini…”



Si Bungsu terbelalak. Gadis itu menunduk, mukanya merah. Malu dia.



“Ya. Saya tidur disini. Di bawah dengan sebuah kasur cadangan, ayah yang menyuruh. Untungnya setiap mereka kemari Uda tak pernah mengigau. Dan ayah dibawa kemari dua hari setelah proklamasi kemerdekaan….”



Si Bungsu terlonjak duduk…


“Proklamasi kemerdekaan…?!”

“Ya. Oh ya. Saya lupa bahwa abang tak mengetahui hal ini. Kita telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus. Dan sekarang sudah tanggal dua puluh lima…”

tikam samurai (bagian 109)



Muka si Bungsu berseri.



“Merdeka. Alhamdulillah… Tuhan Maha Besar….” bisiknya perlahan.   



Dan Salma melihat betapa di sudut mata anak muda itu kelihatan air menggenang. Kemudia di berbaring lagi perlahan.



“Akhirnya kita merdeka juga…..” bisiknya.



Dan pikirannya berlari kemasa yang lalu. Kekampung halamannya. Pada ayahnya. Ayahnya yang dulu mengorganisir sebuah organisasi melawan penjajahan. Dan ayahnya mati ditangan penjajah. Pikirannya melayang kepada ibunya. Pada kakaknya. Pada peristiwa berdarah dan pembakaran kampungnya oleh Jepang. Dan dia kembali tak sadar diri.

Diperlukan waktu yang cukup panjang bagi si Bungsu untuk sembuh secara sempurna di rumah itu. Dan dalam waktu yang panjang itu, Salma selalu merawatnya.

Kari Basa lah yang menyuruh antarkan anak muda itu kerumahnya. Agar dirawat disana. Dia sangat merasa kasihan pada anak muda tersebut. Salma, anak gadisnya kebetulan adalah murid Diniyah Putri Padang Panjang. Dia dipanggil untuk pulang sejak Jepang setahun menjajah. Dirumah rasanya lebih aman bagi gadis-gadis daripada jauh dari orang tua.

Dan tentu saja Salma bisa merawat ayahnya dan si Bungsu dengan baik. Sebab di Diniyah pelajaran P3K diajarkan secara intensif. Dan ketika Jepang masuk, Diniyah mengorganisir sebuah peleton P3K disekolahnya. Membantu pejuang-pejuang yang terluka. Kini jari-jari tangan si Bungsu yang patah telah sembuh kembali.

Demikian juga seluruh tubuhnya yang cabik-cabik dimakan samurai. Kari Basa juga telah sembuh. Meski telah dikalahkan Sekutu, namun Jepang belum angkat kaki dati tanah Indonesia. Dan si Bungsu suatu malam menyatakan niatnya untuk pergi.



“Kemana engkau akan pergi Bungsu? tanya Kari Basa.

“Ke Jepang…” si Bungsu berkata perlahan. Namun nada suaranya sangat pasti. Kari Basa dan Salma terbelalak mendengar ucapan itu.

“Ke Jepang….?’ suara Kari Basa mengandung ketidakyakinan.

“Ya. Saya berniat akan ke Jepang…”

“Sejauh itu. Mengapa engkau kesana?”

“Mencari seorang serdadu bernama Saburo Matsuyama..”



Kari Basa menarik nafas panjang. Dia segera mengetahui untuk apa anak muda itu pergi. Menuntut balas. Pastilah itu niatnya. Dia sudah mendengar dari Datuk Penghulu, bahwa anak muda ini berdendam pada pembunuh keluarganya. Seorang bernama Saburo Matsuyama.

Salma perlahan kembali melanjutkan sulamannya. Meski berkali-kali penjahitnya menyasar entah kemana. Namun dia menyulam juga. Hingga suatu saat telunjuknya tertusuk jarum.

Pikiranmu sedang tidak tenang Salma. Lebih baik tak usah menyulam” Kari Basa memperingatkan anaknya. Dan muka Salma segera saja jadi bersemu merah. Dan saat itu seorang lelaki masuk. Salma segera beranjak ke belakang begitu lelaki itu masuk. Lelaki itu seorang kurir.



“Alhamdulillah, pak Kari ada dirumah. Saya sudah kemana-mana….” katanya sambil menyalami Kari Basa dan si Bungsu.

“Saya disini selalu…” jawab Kari Basa sambil memperhatikan lelaki itu.



Dia dapat membaca ada sesuatu yang penting dibawa lelaki tersebut. Si Bungsu juga melihat hal itu. Barangkali sesuatu yang rahasia. Makanya, dia juga berniat untuk menghindar, agar kedua orang itu bebas bicara. Namun Kari Basa mencegahnya.



“Tak ada yang tak boleh kau ketahui Bungsu. Duduklah. Nah, Husin sampaikan apa yang terjadi”

“Malam tadi terjadi lagi bentrokan antara pejuang-pejuang kita dengan tentara Jepang di Sungai Buluh..”

“Lalu…?”

“Seharusnya kita berhasil mendapatkan belasan pucuk bedil. Tapi keburu datang pasukan Akiyama. Pejuang-pejuang kita mereka pukul mundur. Dipihak kita dua orang luka-luka. Tak parah. Tapi lenyapnya harapan untuk memiliki bedil itu membuat pimpinan merasa tak sedap hati…”

“Lagi-lagi Akiyama…” Kari Basa berguman.

“Ya. Dengan itu sudah empat kali dia menggagalkan sergapan kita….”

“Bagaimana dengan perundingan-perundingan resmi?”

“Saya tak tahu dengan pasti. Itu permainan tingkat atas…”



Mereka sama-sama terdiam. Saat itu saat-saat setelah hari Proklamasi adalah saat-saat transisi diseluruh Indonesia.

Jepang telah bertekuk lutut pada Sekutu. Bom Atom telah dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima. Meski Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, namun tak berarti segala sesuatu berjalan lancar dan mudah.
Jepang ternyata tak mau begitu saja menyerahkan pemerintahan pada bangsa Indonesia. Mereka juga tak mau begitu saja menyerahkan persenjataan mereka pada pejuang-pejuang Indonesia.

tikam samurai (bagian 110)

Ada dua hal yang menyebabkan mereka tak mau segera menyerahkan kekuasaan ataupun persenjataannya pada Bangsa Indonesia. Pertama mereka menyerah pada Sekutu. Bukan pada bangsa Indonesia. Karena itu, menurut peraturan maka pada tentara Sekutu lah persenjataan mereka harus diserahkan. Jika hal ini tidak mereka lakukan maka mereka bisa mendapat kesulitan.

Sebab kedua adalah, mereka takut akan pembalasan pejuang-pejuang Indonesia. Sebab pembalasan yang paling menakutkan pastilah datang dari penduduk yang terjajah. Dan Jepang maklum sangat, bahwa selama tiga setengah tahun di Minangkabau ini, merekla sudah membuat kekejaman yang tak tanggung-tanggung. Karenanya mereka takut pada pembalasan penduduk kalau senjata mereka serahkan.

Ada lagi sebab lain. Yaitu sedikit harapan untuk tetap bertahan. Mereka berharap agar pimpinan tinggi angkatan bersenjata memerintahkan untuk tetap berjuang sampai tetes darah terakhir.



Dan seluruh balatentara Jepang siap untuk berjibaku kalau perintah itu datang. Dan di Minangkabau, serta seluruh Sumatera umumnya, mereka menumpahkan harapan pertahanan di kota Bukittinggi. Bukankah mereka sudah menggali ribuan meter terowongan yang simpang siur. Yang bisa dijadikan pertahanan. Bukankah mereka telah mengisi terowongan itu dengan bahan makanan dan amunisi yang cukup untuk bertahan bagi satu resimen pasukan selama dua tahun.

Kini hanya soal perintah tetap bertempur. Itu lah yang mereka tunggu. Dan karena itu, mereka tetap mempertahankan senjata mereka. Mereka tetap memegang kendali Pemerintahan. Meski mereka tak lagi menjalankan aksi-aksi kekerasan seperti sebelum ditundukkan Sekutu, namun mereka tetap membalas serangan yang datang dari pejuang-pejuang.

Alasan mereka adalah menjaga ketertiban menjelang datangnya Tentara Sekutu. Dan bila Sekutu datang mereka akan menyerah dengan baik-baik. Itu yang mereka permaklumkan pada pemuka-pemuka Indonesia.

Namun pihak Indonesia sendiri bukannya tak berusaha secara baik-baik untuk mendapatkan persenjataan dari Jepang. Engku Syafei yang di Sumatera Tengah menjadi salah seorang tokoh Indonesia yang punya kontak langsung dengan Soekarno, Hatta dan Panglima Sudirman di Jawa, berusaha mengajak pihak Jepang berunding.



Beberapa kali pertemuan dengan Mayor Jenderal Fujiyama telah dilakukan. Namun usahanya namapaknya belum menunjukkan hasil. Sementara itu, pejuang-pejuang yang lebih radikal banyak yang tidak peduli dengan perundingan itu. Bagi mereka perang jauh lebih efektif untuk merebut senjata daripada berunding.

Beberapa pengalaman berunding dengan Belanda dahulu sudah memberikan pengalaman pahit pada mereka. Itulah sebabnya kenapa telah terjadi beberapa kali bentrokan senjata antara pejuang-pejuang itu dengan tentara Jepang.

Kontak-kontak senjata yang sering menjatuhkan korban itu, semata-mata dimaksudkan oleh pejuang-pejuang Indonesia untuk mendapatkan persenjataan dari Jepang. Mereka bukannya tak berhasil. Dari pertempuran di Biaro, pejuang-pejuang itu berhasil merampas sebelas bedil. Dua senapan mesin. Satu pistol dan beberapa ratus butir peluru.

Dan dari penghadangan di Gadut, Kabupaten Agam, mereka juga mendapat setengah lusin bedil. Selebihnya, beberapa kali penyergapan gagal karena Jepang mendatangkan bala bantuannya. Dan kini berita itulah yang dibawa kurir tersebut kerumah Kari Basa.



“Lalu apa kabar lai dari Sutan Baheramsyah?” Kari Basa bertanya.

“Dia menyampaikan akan ada rapat malam ini, ditempat biasa”

“Baiklah saya akan kesana….”



Kurir itu pergi. Kini kembali mereka tinggal berdua. Bari Basa dan si Bungsu.



“Akiyama lagi…” Kari Basa mendesis perlahan.

“Siapa dia?: si Bungsu bertanya. Kari Basa menatapnya.

“Engkau tak tahu siapa dia?”



Si Bungsu menggelang, Kari Basa menarik nafas panjang.



“Dalam tentara Jepang ada beberapa serdadu yang kejamnya bukan main. Masih ingat perlakuan yang kita terima dalam tawanan di terowongan itu?”



Si Bungsu mengangguk. Bagaimana dia akan melupakannya? Masih dia ingat betapa kuku jari Kari Basa dicabuti satu demi satu. Dan saat ini dia lirik jari-jari kaki Kari Basa tak berkuku sebuahpun. Dan dia juga masih ingat betapa tubuhnya disayat-sayat dengan samurai. Kemudian jarinya dipatahkan.



“Nah, cukup banyak tentara Jepang yang sadis begitu. Dan tukang ciptanya hanya seorang. Yaitu Akiyama!”

“Lalu Akiyama itu siapa?” si Bungsu kembali bertanya.

“Pangkatnya kini Letnan Kolonel. Dulu Mayor, masih ingat Mayor yang engkau ancam dengan samurai ketika mereka menyergap rapat di Birugo?”



Tubuh si Bungsu tiba-tiba menegang mengingat Mayor itu.



“Masih ingat bukan?” Kari Basa bertanya lagi. Dengan perasaan sumbang si Bungsu mengangguk.

“Nah, dialah Akiyama!”

“Akiyama…!” si Bungsu berkata perlahan.

“Ya. Dialah orangnya…”

tikam samurai (bagian 111)

Pikiran si Bungsu segera merekam kembali saat penangkapannya di Koto Baru. Betapa Mayor itu memerintahkan mereka untuk keluar dari rumah Tabib tempat dia berobat.

Kemudian ketika dia keluar bersama Kari Basa, Mayor itu menyuruh melemparkan samurainya ke tanah. Ketika samurainya telah dia lemparkan, dan telah dipungut oleh seorang Kempetai. Mayor itu maju. Kemudian dengan tusukan jari-jari tangannya dia menghantam luka di bahunya. Dua kali. Dan dia jatuh ke tanah dalam sakit yang tak terkira. Dan saat itu dia lihat Datuk Penghulu melayang. Menendang Mayor itu… dan Datuk Penghulu mati dicabik samurai Mayor tersebut. Dia iangat lagi semuanya itu. Ingat benar.

Kiranya Mayor itu masih hidup.



“Hei, kami ada oleh-oleh untukmu….” Kari Basa tiba-tiba ingat sesuatu.

“Salma, bawa kemari yang ayah suruh simpan kemarin….” Kari Basa berseru tanpa memberi kesempatan pada si Bungsu untuk bicara.



Tak lama kemudian anak gadis Kari Basa itu muncul dengan sebuah kayu ditangannya. Si Bungsu segera saja tertegak melihat oleh-oleh yang berada di tangan gadis itu.



“Samurai….” Katanya begitu dia mengenali benda itu sebagai samurai miliknya.

“Ya. Itu samurai milikmu…” kata Kari Basa.

“Ya. Ini milikku, dimana bapat dapat?”

“Bukan saya yang mendapatkannya. Dua malam yang lalu ada pejuang yang mencoba memasuki rumah Akiyama. Maksudnya ingin membunuhnya. Sebab sudah banyak kekejaman yang dilakukan Akiyama di negeri ini. Namun Akiyama tak dirumah. Yang ditemuinya hanya seorang Kopral. Kopral itu dibunuh. Dan di dinding, dia melihat samurai ini. Dia segera mengenalinya sebagai samurai milikmu. Karena dia ikut dalam penjagaan rapat di Birugo yang digerebek Jepang itu. Dia melihat engkau yang memakai samurai ini. Dia ambil, dan dia berikan kepada kami…”

“Ah, terima kasih. Terima kasih…” si Bungsu menerima dan mencabut samurainya.



Melihat matanya. Menjamahnya dengan ibu jari. Kemudian tanpa dia sadari matanya terpejam. Dan tiba-tiba tangannya berkelabat. Amat cepat, dan samurai itu masuk kembali kesarangnya. Dan di meja, seekor lalat mati dengan tubuh terbelah dua.

Kari Basa menatap pada anaknya. Salma tegak terpaku melihat kecepatan anak muda itu.



“Ah…sudah lama sekali rasanya tak mempergunakan samurai. Saya harus berlatih lagi dari awal. Sudah kaku sekali,,,,” dia berkata sambil menimbang-nimbang samurainya.


“Lambat? Lihatlah, engkau berhasil membelah seekor lalat yang sedang terbang. Persis belah dua…” Kari Basa menunjuk pada lalat yang terhantar di meja itu.
Si Bungsu tersenyum tipis.



“Hanya seekor… Bapak tahu berapa ekor yang ingin saya bunuh tadi? Ada empat ekor mereka terbang. Dan ternyata hanya seekor yang kena. Dahulu keempatnya pasti mati. Tapi kini, lihatlah, saya sudah terlalu lambat….” Dia berkata.



Kari Basa menggeleng-geleng. Takjub. Kagum.

Dan siang itu si Bungsu memang mulai berlatih mempergunakan samurainya. Dia berlatih dihalaman belakang. Mula-mula dia berlatih mencabut samurai itu. Sekali-dua, tiga kali, empat kali, sebelas….tiga puluh, delapan puluh, seratus dua puluh. Dan peluh membasahi tubuhnya.

Tangan kananya yang mencabut samuari itu rasa kesemutan. Sebab kecepatannya mencabut samurai sudah agak lumayan. Dia sadar sepenuhnya, dalam pertarungan dengan samurai kecepatan mencabut samurai sangat menentukan. Apalagi kalau perkelahian dilakukan dalam jarak sejangkauan tangan.

Dan perkelahian antara pesilat-pesilat yang tangguh dan perkelahian satria, memang dilakukan dalam jarak jangkau samurai.

Namun tak kalah pentingnya dari kecepatan adalah faktor kecepatan. Cepat dalam mencabut samurai, dan tepat dalam teknik menyerang. Itulah yang sempurna. Kecepatan saja tanpa ketepatan serangan, percuma saja. Setelah samurai dicabut, lalu diapakan? Maka ketepatan yang menentukan.



“Makanlah, nasi telah saya letakkan…” tiba-tiba dia mendengar suara Salma. Dia mengambil handuk kecil di jemuran. Kemudian melangkah ke bawah pohon jambu perawas.

“Apakah bapak sudah kembali?” tanyanya.

“Tidak. Bapak sudah berpesan, bahwa dia akan ke Tigo Baleh. Ada urusan di sana. Dan mungkin sampai malam nanti dia tak kembali…”



Si Bungsu segera ingat bahwa malam nanti akan ada rapat di “tempat biasa” seperti yang dikatakan kurir tadi pagi.

Dia menatap pada Salma. Sebuah rencana muncul dikepalanya. Sebuah rencana lagi. Tapi harus dia laksanakan. Yaitu sebelum dia pergi meninggalkan negeri ini menuju Jepang. Namun sebelum rencana itu dilaksanakan, dia harus latihan dulu dengan baik.



“Salma, mau membantu saya ?”



Salma menatapnya. Kemudian tersenyum. Dan turun kehalaman belakang.



“Apa yang dapat saya perbuat ?”


“Tunggu sebentar…” dan si Bungsu memanjat batang jambu perawas didekatnya. Mengambil putiknya. Ketika dia tengah memetik putik buah perawas itu dia teringat belum minta izin. Dia menoleh lagi pada Salma.

Tidak ada komentar: