Laman

Senin, 04 November 2013

tikam samurai - Di Jepang ( Bagian 182-183-184-185-186)

Di Jepang (bagian 182)

“Tenanglah Hanako….” Si Bungsu berusaha mendekat.
Namun gadis itu melompat ke bawah dan berusaha untuk lari. Si Bungsu mencegatnya di pintu.
“Pergi! Jangan dekati aku….pergilah….!”
Gadis itu memukul bahu si Bungsu hingga kain yang menutupi tubuhnya jatuh lagi.
“Tenanglah Hanako, mereka yang mencemarkan dirimu telah kubunuh…tenanglah..” dan tiba-tiba gadis itu memeluk si Bungsu. Menangis di dadanya.


Si Bungsu mengambil kain dan menyelimutkan ke tubuh gadis malang itu, lalu mengangkatnya ke pembaringan. Gadis itu makin menjadi tangisnya.
“Nakanaide kudasai Hanako-san…nakanaide kudasai..” (Hanako, jangan menangis, jangan menangis..) katanya perlahan.
Tapi gadis itu menangis terus. Dia menelungkupkan wajahnya ke bantal.
“Mereka telah menodai saya Bungsu-san…mereka benar-benar jahanam…”
“Tenanglah…..”
“Bungsu-san, apa jadinya diriku. Aku tak berharga lagi…apa artinya seorang gadis bila telah ternoda…?”
“Tenanglah Hanako. Tuhan akan melindungimu. Tuhan menyayangi orang-orang yang teraniaya…”


“Tetapi Tuhan tak menolong kami. Budha tak menolong kami. Budha membiarkan diriku tercemar, Budha membiarkan abangku teraniaya. Mereka tak menolong kami dari kekejaman bangsa kami sendiri…”
“Tenanglah Hanako-san. Bukan saya yang menolong kalian. Saya hanya pejalan takdir Tuhan. Tuhan telah mengatur segalanya…tenanglah. Tabahkan hatimu. Saya akan membantu Kenji-san..”
Gadis itu bangkit, duduk dan tiba-tiba memeluk si Bungsu erat-erat.


“Terimakasih Bungsu-san. Kami tak lagi punya orang tua. Engkaulah kini tempat kami berlindung. Engkau dan Kenji-san. Jangan tinggalkan kami…”
“Saya akan membantu kalian Hannako, percayalah…”
Hannako beberapa saat masih menangis di bahunya. Kemudian si Bungsu membaringkannya kembali. Gadis ini benar-benar patut dikasihani. Dia mendapat goncangan jiwa yang dahsyat.
Di ruang tengah Kenji tengah berusaha merawat lukanya.

“Bagaimana adikku, Bungsu-san?”
“Dia tak apa-apa. Dia tengah istirahat….bagaimana lukamu Kenji-san..?
“Mereka memakai samurai… di kamarku ada obat Bungsu-san…tolonglah…”
Dan mereka sibuk mengurus luka-luka Kenji. Mujur Naruito adik lelaki Kenji tak di rumah.
Selesai merawat luka Kenji, si Bungsu memberesi ruang tengah yang berlumur darah itu. Dia mengintip keluar. Tak ada orang. Salju turun seperti kapas. Hari sudah sore.

“Kita buang kemana mayat ini Kenji-san?”
“Saya tak tahu harus dibuang ke mana Bungsu-san. Saya tak sanggup berpikir. Nasib kami, saya serahkan padamu…” Kenji berkata dari pembaringan dengan lemah. Dia cukup banyak mengeluarkan darah.
Bungsu bertindak cepat. Orang tak boleh tahu tentang apa yang telah terjadi di rumah ini. Terutama adik lelaki Kenji yang kecil. Bungsu mengangkat mayat itu satu persatu. Di belakang rumah mereka ada parit besar sekali. Parit ini dalam musim dingin begini penuh airnya. Airnya tak membeku karena seluruh air yang masuk ke sana disaring lewat penutup riol. Seluruh air akan berkumpul di saluran yang besarnya ada tiga meter bundaran.


Dan saluran induk pembuang kotoran ini berada di belakang rumah mereka. Tanpa banyak pikiran Bungsu membuang mayat itu ke dalam riol besar tersebut. Tak peduli apakah mayatnya dihanyutkan atau tidak. Persetan. Kemudian dia membersihkan darah yang bergelimang di lantai. Lalu mengepel lantai itu hingga kering. Ketika dia berhenti, dia melihat Hannako tegak di pintu. Gadis itu sejak tadi tegak di sana dengan tubuh lemah melihat si Bungsu bekerja.

“Bungsu-san…” katanya perlahan.
Si Bungsu tersenyum. Mendekati gadis itu. Memegang bahunya. Dan tiba-tiba gadis itu kembali memeluknya. Menangis lagi dipundaknya.
“Tenanglah Hanako, semuanya sudah lewat…” Hannako menggeleng.
“Belum ada yang lewat Bungsu-san. Ini baru permulaan. Jakuza tak pernah meninggalkan sisa bila ia membereskan suatu soal. Mereka akan datang lagi dalam jumlah yang lebih banyak. Dan mereka akan membunuh kita. Engkau pergilah jauh-jauh Bungsu-san. Selamatkan dirimu. Biarkan kami menyelesaikan soal ini sendiri. Ini persoalan kami Bungsu-san. Jangan libatkan dirimu terlalu jauh…”


“Tenanglah Hanako. Siapa bilang ini bukan urusanku. Bukankah aku justru yang memulai membuat soal dengan Jakuza. Yaitu takkala membunuh ke empat lelaki yang akan membawamu dari terowongan di daerah Yotsui dulu? 

Di Jepang (bagian 183)

Nah, akan kita lihat bagaimana akhirnya soal ini. Kita sudah memulai bersama, dan kita akan tetap berkumpul bersama sampai soal ini selesai..”
Hannako kembali menangis. 
Dia beru menghentikan tangisnya ketika di luar terdengar suara anak-anak menyanyi. Naruito pulang dari sekolah. 
Dia masuk dengan melompat gembira. 
Namun terhenti dan membungkuk dalam-dalam memberi hormat takkala di balik pintu dia lihat si Bungsu tegak sambil tersenyum.

“Selamat sore Bungsu-san…” katanya.
“Selamat sore Naruito, kenapa sore baru pulang?
“Saya sudah bilang sama kakak tadi, bahwa ada acara di sekolah…mana kakak?”

Hanako mendengar adiknya pulang segera ke kamar mandi membersihkan diri. Dia tak ingin adiknya mengetahui bencana yang telah menimpa mereka siang ini.

“Kakakmu di kamar. Nah, letakkanlah buku. Sudah saatnya kita makan bukan?”
“Haii…!” seru anak itu sambil berlari ke kamarnya.
Sementara itu Hannako muncul di kamar makan menyiapkan makanan adiknya. Mereka memang belum ada yang makan sejak siang tadi.
“Engkau bisa iku makan bersama Kenji-san?”
Si Bungsu bertanya pada Kenji yang terbaring di tempat tidurnnya.
“Ya, saya akan ikut makan. Perut saya memang lapar. Tapi, apa jawab saya kalau Ito bertanya tentang luka ini?”
Mereka bertatapan. Tak ada yang bicara.
“Katakan saja engkau cedera dalam latihan…”
“Mereka tahu, dalam latihan Karate dan Judo tak dipergunakan senjata tajam…”
“Bagaimana kalau dikatakan bahwa engkau mendapat kecelakaan mobil ketika ke pasar tadi?”
“Ya, itu lebih baik…” kata Kenji sambil bangkit.
Dan ketika makan Naruito menanyakan luka Kenji. Dan mereka menjawabnya sesuai rencana semula. Lalu hari-hari setelah itu, mereka lalui penuh ketegangan. Pagi, siang, sore, petang dan malam mereka menanti dengan tegang. Tak seorangpun yang bisa tidur dengan lelap.


Jakuza seperti akan tiba setiap saat. Mereka demikian tegangnya. Hingga Hannako jatuh demam. Meski demikian, Naruito tetap disuruh sekolah seperti biasa. Anak itu akan tetap aman. Sebab mereka pergi dan pulang sekolah dijemput oleh bus sekolah yang dijaga oleh petugas keamanan. Kepada kedua kanak-kanak itu kejadian yang menimpa mereka tetap dirahasiakan. Akhirnya suatu malam.

“Kenji-san….kita bisa gila menanti begini…” si Bungsu berkata perlahan agar tak membangunkan Hannako yang baru saja tidur. Saat itu sudah lewat tengah malam.


“Ya. Begini memang taktik Jakuza dalam menghancurkan mental lawan yang mereka anggap kuat Bungsu-san…”


“Mereka mengharap kita lengah. Atau menyerah. Atau mengharap kita pindah dan mereka menyikat kita di perjalanan…”

Si Bungsu menarik nafas panjang mendengar penjelasan Kenji. Dan akhirnya si Bungsu memutuskan untuk datang sendiri kerumah Kawabata! Menanti atau mendatangi, akhirnya toh sama saja. Yaitu pertarungan hidup atau mati. Perbedaan antara menanti dan mendatangi adalah lama dan cepatnya pertarungan itu terjadi. Jika Jakuza ingin menyiksa mental mereka lebih lama, maka itu berarti penantian itu bisa sebulan, dua bulan atau lebih.


Dalam saat penantian begitu, keseimbangan jiwa dan keteguhan mental benar-benar diuji.


Mungkin dalam penantian itu mereka lengah. Menyangka Jakuza telah melupakan peristiwa itu. Dan disaat lengah itulah Jakuza beraksi. Atau kalau tidak lengah, maka mereka yang menanti dengan tegang itu bisa pecah sarafnya. Hanya soalnya dia kini sendiri. Kalau saja Kenji tidak luka parah, maka dia yakin bisa berbuat lebih banyak jika pergi berdua.


Tapi kini Kenji luka parah. Dan kini masih belum pulih. Dia tak memberitahu Kenji akan niatnya itu. Yang jelas dia harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin. Betapapun jua, Kenji dan adik-adkinya harus dia bantu. Dia berhutang budi banyak pada Kenji yang telah mengajarnya bahasa Jepang. 
Yang telah mengajarkan padanya tentang segala sesuatu kehidupan di negeri ini. Dia datang kemari untuk membunuh orang Jepang. Dia datang karena orang Jepang telah melaknati negeri dan keluarganya. Dia datang sendiri, ternyata ada keluarga Jepang yang mau bersahabat dengannya. 
Yang mengajarkan padanya tentang tatacara kehidupan negeri asing ini. Kalau tak ada Kenji, dia tak tahu bagaimana dia hidup di Tokyo ini. Bayangkan, berada di suatu negeri yang asing sama sekali. Asing bahasa dan asing segala-galanya. Dia datang hanya dengan modal dendam di hati, samurai di tangan dan keberanian di dada. Hanya itu modalnya. 
Dan di negeri ini modal itu ditambah oleh Kenji dan adik-adiknya. Dan kini Kenji serta adik-adiknya terancam bahaya. Bukankah dia harus membelanya?

Di Jepang (bagian 184)

Esoknya, sehabis makan pagi, dia berkata akan pergi ke stasiun kereta api. Siang itu di rumah Kawabata ada rapat penting yang dihadiri oleh Tokugawa. Yaitu kepala Jakuza untuk wilayah Tokyo dan sekitarnya. Rapat itu dihadiri oleh dua puluh anggota pilihan. Ada pengangkatan kepala-kepala Cabang baru. Dalam organisasi Jakuza ada suatu wilayah tertentu yang dikepalai oleh pimpinan cabang. Saat ini Tokyo dibagi dalam 12 cabang utama. Dan Tokyo merupakan kota kedua bagi organisasi Jakuza. Kota pertamanya adalah Kyoto. Yaitu suatu kota yang terletak sekitar 500 kilometer di selatan Tokyo.

Wilayah Tokyo dan sekitarnya dipimpin oleh Tokugawa. Tokugawa adalah keluarga turunan samurai yang tersohor sejak zaman dahulu. Dari suku Tokugawa inilah lahir pahlawan-pahlawan samurai yang tersohor di seluruh Jepang. Dinasti Tokugawa terkenal dengan pemerintahannya yang bersih. Dari suku mereka lahir perwira-perwiara yang tangguh. Prajurit-prajurit yang bersedia mati untuk kerajaannya. Dan kalau ada Tokugawa yang hari ini menjadi seorang kepala begal seperti organisasi Jakuza ini, maka itu hanyalah sebagai kewajaran proses zaman saja. Tak seluruh suku pahlawan akan melahirkan pahlawan. Ada juga diantaranya yang jadi pengkhianat. Sama halnya, tak semua penjahat melahirkan turunan penjahat. Ada pula yang melahirkan penegak hukum, ulama atu pendidik.

Mereka sedang mengangkat minuman sake atas selesainya pemilihan pimpinan cabang yang baru takkala seorang anak muda tiba-tiba saja sudah berada di ujung ruangan.
“Gomenkudasai…” katanya tenang.
Suaranya menyebabkan gelas-gelas yang diangkat untuk meminum sake itu pada terhenti. Dan dengan cawan masih terangkat, semua kepala menoleh ke ujung ruangan. Semua mereka, tak terkecuali Kawabata, merasa heran atas kehadiran orang asing bertongkat ini. Tokugawa yang bermata tajam segera dapat mengetahui bahwa yang di tangan orang asing itu bukanlah tongkat biasa.

Melainkan sebilah samurai! Perbedaan samurai biasa dengan samurai yang di tangan orang asing itu adalah pada hulu dan sarungnya. Samurai anak muda ini sarungnya sudah dibuat sedemikian rupa, sehingga jika mata tak terlalu tajam akan kelihatan seperti tongkat kayu biasa saja. 
Namun Tokugawa memang seorang keturunan samurai.
Dia mengenal dengan baik puluhan jenis buatan samurai yang ada di seluruh Jepang. Dan sekali pandang saja, melihat lengkung dan ukuran panjang samurai di tangan anak muda itu, dia segera tahu bahwa anak muda itu memegang samurai buatan kota Sakamoto. Yaitu sebuah kota kecil di tepi danau Biwa di Propinsi Chubu. 
Dan samurai dari negeri tepi danau Biwa itu adalah salah satu diantara tiga samurai terbaik yang dibuat oleh Jepang.
“Maafkan saya mengganggu…” lelaki asing itu, yang tak lain daripada si Bungsu, berkata lagi.
Kawabata memberi isyarat pada dua orang lelaki untuk menyuruh orang itu keluar. Tapi Tokugawa memberi isyarat lain. Dia justru tertarik dengan kedatangan orang asing ini.

“Siapa anda?” tanyanya sambil meletakkan cawan berisi sake yang belum diminum.
Ke 20 orang pimpinan Jakuza daerah Tokyo itu ikut meletakkan cawan mereka seperti yang dilakukan Tokugawa.
“Watashi wa Indonesia-jin desu, Bungsu desu…” (nama saya Bungsu, saya orang Indonesia..) katanya tenang.
“Aa, orang Indonesia, Selamat datang. Anda rupanya datang dari jauh, mari silakan minum bersama kami….” Tokugawa memberi isyarat pada pelayan.
Pelayan segera mengisi sebuah cawan dengan sake. Karena si Bungsu tetap tak mendekat, maka Tokugawa menyuruh mengantarkan Sake itu padanya dekat pintu.
“Terimalah. Mari kita minum bersama. Kami baru saja mengangkat pimpinan-pimpinan cabang yang baru. Sekalian sambil mengucapkan selamat datang pada anda, mari kita minum sake…”

Tokugawa mengangkat cangkirnya. Ke 20 orang pemuka Jakuza Tokyo itu, termasuk Kawabata mengangkat cangkirnya. Si Bungsu menerima cangkir sake tersebut. Dan ketika semua mengangkat cawan tinggi-tinggi, dia juga ikut mengangkatnya. Semua memandang padanya sebelum meminum sakenya. Kemudian serentak mereka meminum sake tersebut. Si Bungsu juga meminumnya. Selama di Jepang ini, dia sudah terbiasa minum sake. Minuman itni memanaskan badan. Tak banyak bedanya dari air tapai di kampungnya. Hanya saja sake yang dia minum di Jepang ini, kwalitasnya lebih baik dan wangi serta lebih keras. Itu menyebabkan tubuh lebih cepat panas dalam cuaca dingin bersalju seperti sekarang.
Tokugawa meletakkan cangkirnya.
“Nah, anak muda dari Indonesia, apa yang bisa kami bantu? Patut anda ketahui, kami adalah kelompok Jakuza. Kau pernah dengar nama itu?”

Di Jepang (bagian 185)

“Di Indonesia saya tak pernah mendengarnya. Saya hanya merasakan kekejaman tentara Jepang di negeri saya itu. Saya baru mendengar nama Jakuza di Tokyo ini. Dan saya segera melihat bahwa kelompok tuan adalah kelompok penjahat yang benar-benar tak kenal peri kemanusiaan…”



Ke 20 anggota pilihan Jakuza wilayah Tokyo itu pada menahan nafas mendengar kekurang ajaran anak muda dari Indonesia itu. Mereka menahan nafas, karena yakin sebentar lagi anak muda ini akan disembelih oleh Tokugawa.

Namun suatu keanehan terjadi. Tokugawa justru tertawa menyeringai.



“Ya. Anda benar. Kelompok kami adalah kelompok bandit. Nah, kalau sudah mendengar bahwa kami adalah manusia yang tak berperi kemanusiaan, kenapa berani masuk kemari?’



Ucapan ini adalah semacam ancaman. Dan ke 20 anggota Jakuza itu pada diam tak bergerak.



“Saya datang mencari tuan Kawabata…” suara si Bungsu terdengar perlahan. Matanya meneliti mencari mana lelaki yang bernama Kawabata itu.

Semua mata, kecuali mata Tokugawa, pada menoleh pada seorang lelaki berdegap yang duduk persisi di depan Tokugawa. Dan si Bungsu segera mengetahui, dialah Kawabata!
Dan dengan cepat dia mengukur lelaki itu. Dia yakin lelaki itu adalah lelaki tangguh. Tapi licik dan sadis. Kawabata sendiri kaget mendengar bahwa dialah yang dicari anak muda ini. Dia benar-benar tak pernah mengenalnya.
“Hmm, ada perlu apa engkau mencari salah seorang pimpinan cabang Jakuza anak muda?” suara Tokugawa terdengar bergema.
“Saya mempunyai perhitungan dengan dia…” kembali semua mata menatap pada Kawabata.

“Saya tak mengenal… “ Kawabata coba memutus pembicaraan, tapi tangan Tokugawa yang terangkat membuat dia terdiam.
“Teruskan anak muda. Perhitungan apa yang ada diantara kalian berdua?” suara Tokugawa terdengar lagi.
Si Bungsu segera mengerti, orang inilah pastilah pimpinan Jakuza yang disegani. Sebab semua hormat sekali padanya.
“Saya telah membunuh lima orang anak buahnya” dan kali ini tak ada yang terdiam. Suara seperti lebah terdengar berdengung. Tak kurang dari Tokugawa sendiri juga jadi kaget.
“Siapa yang kau bunuh?”
“Empat orang Jakuza yang beroperasi di terowongan bawah tanah di daerah Yotsui. Saat itu mereka mencoba dengan kasar menangkap seorang gadis bernama Hannako. Saya telah memintanya untuk melepaskan gadis itu dengan baik-baik. Tapi mereka melakukan kekerasan. Maka saya terpaksa membunuhnya”

Kawabata jadi merah mukanya. Semua yang hadir di sana jadi berpandangan. Mereka sudah lama menyelidiki siapa yang membunuh keempat Jakuza itu. Mereka selama ini yakin bahwa yang membunuh keempat anggota mereka adalah seorang samurai Jepang. Sebab luka ditubuh anggota mereka jelas bekas samurai. Mana mereka pernah berfikir bahwa ada orang asing yang melebihi kemahiran anggoat Jakuza memakai samurai. Kini rupanya anak muda inilah yang telah membunuh anggota mereka itu. Betapa mereka takkan kaget.

“Setelah itu, mereka datang ke rumah kami di Uchibori Dori. Mereka memperkosa Hannako di sana. Dan melukai kakaknya Kenji. Mereka datang bertiga. Yang satu mati di tangan Kenji. Yang satu saya yang membunuhnya, yang satu lagi saya suruh menyampaikan pesan kemari, pada Kawabata. Bahwa saya menanti Jakuza di rumah itu. Pesan itu saya suruh sampaikan dengan memotong sebelah tangannya..”
Ruangan itu benar-benar sepi seperti di kuburan,. Suara anak muda itu mengagetkan mereka. Ceritanya seperti tak bisa mereka percayai. Namun itulah yang terjadi. Mereka menatap anak muda itu dengan pandangan takjub. Mungkinkah anak Indonesia ini sanggup melakukan seperti yang dia ceritakan?

“Apakah gadis yang kau ceritakan itu, e…siapa namanya?’
“Hanako..”
“Ya, apakah Hanako itu adalah isteri atau kekasihmu?” Suara Tokugawa terdengar lagi.
“Tidak”
“Lalu kenapa engkau membelanya?”
Si Bungsu lalu menceritakan pertemuannya dengan Hannako di terowongan di daerah Yotsui itu. Kemudian ternyata Hannako adalah adik Kenji. Teman sekapal yang telah mengajarnya bahasa dan tatacara kehidupan Jepang.

“Tapi terlepas dari masalah hubungan saya dengan Kenji, saya merasa perlakukan Kawabata atau Jakuza terhadap gadis itun sudah sangat keterlaluan. Terlalu biadab. Untuk itulah saya datang kemari. Mereka kini dicekam ketakutan di rumahnya. Mereka tak lagi punya ayah dan ibu. Setiap saat mereka merasa Jakuza yang ditakuti itu, yang bagi saya tak lain daripada bajingan busuk yang hanya berani menindas orang lemah, akan datang mencelakai mereka. Kini saya datang untuk membuat perhitungan..”

Di Jepang (bagian 186)

Tokugawa sampai berdiri mendengar ucapan anak muda ini. Yang lain juga pada tegak segera. Suara kursi bergeser terdengar bising sejenak. Mereka semua memakai kimono pelindung udara dingin. Kini mereka membuat setengah lingkaran. Di ujung lingkaran yang setengah itu, tegak si Bungsu!
“Perhitungan bagaimana yang maksud akan kau buat dengan Kawabata?” Suara Tokugawa terdengar berat dan mengandung amarah.
Si Bungsu tahu gelagat itu. 
Dia kini berada di sarang Harimau. Namun dia datang sendiri. Kalaupun dia mati, maka takkan ada seorang pun yang akan menangisinya di Minangkabau sana. Tak seorangpun!
“Maaf, bolehkah saya tahu siapa tuan?” 
suara si Bungsu tetap tenang.

Tangan kirinya memegang samurai dengan kukuh. Sementara tangan kanannya lemas tergantung. Seperti tak bertenaga. Namun Tokugawa arif bahwa tangan kanan anak muda ini siap menyebar maut, setiap detik. Dia arif benar akan hal itu. Dan dia segera dapat mengetahui bahwa anak muda ini adalah seorang samurai yang otodidak. Seorang yang mahir karena belajar sendiri. Diam-diam dia merasa bangga. Bangga bahwa ada anak muda asing yang mahir mempergunakan samurai. Senjata kebanggan sukunya. Suku Tokugawa yang masyur turun temurun.

“Nama saya Tokugawa. Saya pimpinan bandit yang tak berperikemanusiaan, Jakuza, untuk daerah Tokyo dan sekitarnya….” Tokugawa memperkenalkan diri sambil mengulangi ucapan si Bungsu tadi.
Si Bungsu membungkuk memberi hormat. 
Dan tanpa merasa rendah diri Tokugawa juga membungkuk dalam-dalam membalas penghormatan itu. 
Ke 20 anggota Jakuza disana menjadi heran bercampur kaget melihat sikap pimpinan mereka ini. Bahkan Gubernur atau Walikota sendiri tak pernah dia hormati seperti itu.

“Tokugawa..”
“Ya, saya Tokugawa. Kau pernah mendengar nama itu?”
“Maaf, saya banyak mendengar nama Tokugawa. 
Tapi yang saya dengar hanya tentang yang baik-baik saja. 
Tokugawa yang saya dengar adalah turunan pahlawan sejati. 
Turunan samurai yang tak ada duanya si seluruh Jepang. 
Tak pernah saya dengar seorang Tokugawa yang kepala bandit”

Ke 20 Jakuza lainnya jadi menciut saking takutnya akan murka yang akan menyembur dari Tokugawa. Anak muda ini benar-benar mencari penyakit, pikir mereka. Tapi lagi-lagi mereka melihat suatu keanehan. Tokugawa bukannya murka. Malah tegak dengan diam dan menatap dengan tepat-tepat pada si Bungsu.
“Terimakasih atas peringatanmu anak muda. Engkau membangkitkan kebanggaan saya terhadap keluarga Tokugawa. Akan saya ingat ucapanmu itu”
Semua orang terdiam. Si Bungsu sendiri kaget, tak dia sangka orang tua ini sabarnya begitu hebat.
“Nah, katakanlah, apa perhitungan yang akan kau buat dengan Kawabata…”
“Saya datang kemari untuk mengajukan dua hal. 
Pertama, hentikan mengganggu Hannako, Kenji dan adiknya. 
Kedua, kalau hal itu tak dapat dilakukan dengan baik-baik, saya mempertaruhkan jiwa saya agar Kawabata tidak menggangu gadis itu…”

Tokugawa diam. Kawabata diam. Ke 20 anggota pimpinan Jakuza Tokyo itu diam. Tantangan anak muda ini benar-benar luar biasa. Luar biasa beraninya. Luar biasa hebatnya.
“Apakah engkau mencintai Hannako?” suara Tokugawa terdengar lagi.
Semua orang saling diam menunggu jawaban anak muda itu…
“Tidak…saya hanya menyayanginya….”
“Engkau mempertaruhkan nyawa bagi orang yang tak kau cintai. Lalu apa sebenarnya alasan pengorbananmu?”

Si Bungsu menatap keliling. Menatap pada Tokugawa, tiba-tiba dia merasa simpati pada orang tua gagah. Tiba-tiba dia teringat pada orang tuanya. Tokugawa dan seluruh anggota Jakuza di ruangan itu jadi heran bercampur kaget takkala pipi anak muda itu basah air mata.
“Saya datang kemari karena seluruh keluarga saya telah punah dibunuh. Tak usah saya katakan siapa yang membunuhnya. 
Saya merasa betapa pahitnya hidup tanpa ayah, tanpa ibu dan tanpa saudara. 
Dan Kenji serta adik-adiknya juga akan mengalami nasib seperti saya kalau Jakuza tak berhenti mencelakai mereka. Saya pertaruhkan nyawa saya untuk mereka, agar mereka tak mengalami nasib malang seperti saya…”

Tokugawa merasa jantungnya seperti ditikam mendengar ucapan anak muda asing ini. Di negerinya ada orang asing yang mau mengorbankan dirinya demi membela anak-anak Jepang dari penindasan. 
Dia adalah kepala bandit yang terkenal kejam. Namun mendengar apa yang dikatakan anak muda dari Indonesia ini, hatinya jadi luluh.
“Bagaimana engkau akan memaksakan Kawabata agar tak mengganggu Hanako?”
“Saya memang tak punya kekuatan untuk memaksanya. 

Tapi sebagai seorang lelaki, saya menantangnya untuk bertarung memakai samurai..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar