tikam samurai (bagian 99)
Namun tak seorang pun di antara romusha itu yang sempat berada di luar terowongan- setiap romusha yang masuk terowongan itu tak pernah diketahui ada yang keluar. Tak pernah. Mereka dimasukkan ke terowongan itu di malam buta. Tapi tak seorang pun yang melihat mereka keluar hidup ataupun mati Si Bungsu telah mendengar cerita itu semua. Semuanya. Termasuk cerita yang mengatakan bahwa gua itu dibuat Jepang untuk melawan ekspansi balatentara Sekutu yang akan menuntut balas atas kekalahan mereka di Pilipina dan di Samudera pasifik, Di Pearl Harbour, di daratan cina, di Malaysia, dan di Indonesia Kini ketiga Kempetai itu melangkah masuk ke ruangan dimana mereka tertahan.
“Hmmm, kamu orang sudah sadar he Bungsu ?”
Seorang dari mereka yang berpangkat Syo-I (Letda) bersuara. si Bungsu menatapnya dengan diam. Syo-I menyeringai menatapnya. Kemudian mereka berbicara dalam bahasa mereka sesamanya.
Lalu menatap kepada Kari Basa yang masih terikat. Yang berpangkat prajurit segera mengambil air dari sebuah tong besar yang terletak di sudut ruangan. Tempat dia ditahan nampaknya merupakan sebuah kamar penyiksaan. Sebab beberapa alat pemukul, bedil, samurai dan alat-alat penyiksa bergantungan di sebuah kayu yang dipakukan ke dinding.
Air itu disiramkan ke muka Kari Basa. Kari Basa tetap saja pura-pura pingsan. Yang seorang lagi, yang berpangkat Kopral, tiba-tiba dengan sebuah pekik panjang melambung. Lalu kakinya mendarat diperut Kari Basa. Itu adalah sebuah serangan karate bernama Mae Tubigeri.
Sebuah tendangan yang dihunjamkan melompat, dan amat tangguh. Kari Basa segera saja melenguh dan muntah. Ketiga Kempetai itu menyengir. Lambat-lambat, wajah si Bungsu menegang melihat penyiksaan tersebut.
“Nah, Kari, atau siapapun namamu. Sebelum pagi datang, kau harus sudah mengatakan dimana saja markas kalian. Kemudian siapa-siapa saja yang melibatkan diri dalam gerakan melawan Balatentara Teno Haika. Baik dari kalangan penduduk maupun dari kalangan Gyugun. Jangan kalian kira bahwa kami tak tahu, bahwa di antara Gyugun ada yang terlibat. Hehe. Beberapa orang diantara mereka telah kami tangkap.
Kini kami inginkan kepastian. Nah, katakanlah. . . Bicaralah. Lebih baik bicara sebelum disakiti, daripada terlanjur disakiti dan akhirnya bicara juga. . .”
Syo-i itu bicara perlahan dari atas kursi kayu tua yang dia pergunakan sebagai tempat duduk. Namun Kari Basa tak membuka mata sedikit pun. Syo-i itu memberi isyarat kepada si kopral yang tadi melancarkan tendangan Mae Tubigeri. Kopral bertubuh bulat ini nyengir. Sambil memandang dengan tatapan licik pada si Bungsu, dia melangkah ke dinding.
Mengambil sebuah kayu sebesar lengan orang dewasa dan panjangnya dua depa. Dia tegak sedepa dari Kari Basa. Kemudian dengan sebuah ayunan kuat sekali, kayu itu dihantamkan keperut Kari Basa. Tubuh Kari Basa seperti akan terlipat dua. Tapi ikatan pada tangan dan kakinya membuat tubuhnya terguncang kuat. Dan sekali lagi . . .
Kari Basa melenguh. Ludahnya berbuih di mulut. Seluruh bulu tengkuk si Bungsu merinding melihat hal ini.
“Nah, Kari. Kini jawab pertanyaanku. Kau kenal anak muda ini bukan ?”
Letnan dua itu bertanya sambil menunjuk pada si Bungsu. Kari Basa berusaha mengangkat kepala. Menatap Letnan itu. Namun kepalanya terkulai lagi, tapi kemudian perlahan dia menggeleng.
“Tak Kenal, ya?”
Seiring pertanyaan itu, letnan tersebut memberi isyarat pada si Kopral. Kayu sebesar lengan itu kembali dihantamkan keperut Kari Basa. Kari Basa itu tak menjerit. Hanya suara lenguhannya terdengar menyayat hati si Bungsu.
“Jawablah, kau kenal padanya bukan?”
Kari Basa dalam keadaan terkulai kembali menggeleng perlahan. Letnan itu menyumpah-nyumpah dalam bahasa nenek moyangnya.
“Baiklah…baiklah. Kalau kau tak kenal dengan mereka. Kini kau cukup mengangguk saja. Akan kubacakan beberapa nama anggota Gyugun yang kami ketahui terlibat dalam gerakkan kalian ini. Kalau ada di antara mereka yang kau kenali, kau cukup mengangguk saja. Jika ada satu orang saja yang kau kenali, maka malam ini juga kau kami bebaskan.”
Usai bicara si letnan lalu memberi isyarat pada si Kopral. Kopral tersebut membuka ransel. Mengeluarkan sebuah buku hitam. Mengambil sehelai kertas dan memberikannya pada si Letnan.
“Nah, Kari Basa dengarkanlah baik-baik. Saya akan mulai dari yang berpangkat Nito Hei (Prajurit Dua)” ujarnya.
Lalu dia mulai membaca daftar yang terdiri dari tak kurang enam puluh nama dengan mengeja perlahan. Namun sampai akhir enam puluh nama itu dibacakan kepala Kari Basa tetap menggeleng. Muka Letnan yang sejak tadi tersenyum-senyum dan nyengir-nyengir kuda, kini berobah jadi keras. Dia memberi isyarat pada si kopral. Kopral itu berjalan ke dinding. Dari sana dia mengambil sebuah sebuah tang.
Air itu disiramkan ke muka Kari Basa. Kari Basa tetap saja pura-pura pingsan. Yang seorang lagi, yang berpangkat Kopral, tiba-tiba dengan sebuah pekik panjang melambung. Lalu kakinya mendarat diperut Kari Basa. Itu adalah sebuah serangan karate bernama Mae Tubigeri.
Kini kami inginkan kepastian. Nah, katakanlah. . . Bicaralah. Lebih baik bicara sebelum disakiti, daripada terlanjur disakiti dan akhirnya bicara juga. . .”
“Baiklah…baiklah. Kalau kau tak kenal dengan mereka. Kini kau cukup mengangguk saja. Akan kubacakan beberapa nama anggota Gyugun yang kami ketahui terlibat dalam gerakkan kalian ini. Kalau ada di antara mereka yang kau kenali, kau cukup mengangguk saja. Jika ada satu orang saja yang kau kenali, maka malam ini juga kau kami bebaskan.”
tikam samurai (bagian 100)
“Kau memang tak mengenali salah seorang pun dari mereka?” Letnan itu bertanya. Kari Basa menggeleng. Letnan itu menggertakkan gigi.
“Selain tak mengenali mereka, tapi kamu orang ikut dalam gerakkan melawan Jepang, apakah juga kamu tak mengenali mereka sebagai orang kampungmu?”
Kari Basa menggeleng. Si letnan memberi isyarat lagi. Kopral yang memegang tang itu maju. Dia membungkuk. sebelum si Bungsu sadar apa yang akan dilakukan Jepang itu, terdengar Kari Basa memekik. Dan dengan terkejut si Bungsu melihat betapa di mulut tang itu terjepit sesuatu. Kuku Yah Tuhan, kuku empu kaki Kari Basa dicabut dengan tang Darah meleleh diempu kakinya itu.
“Jawablah Kau mengenali salah satu dari mereka ?”
Kari Basa menggeleng dengan gerakan keras.
“Baik. Kini saya baca yang berpangkat Itto-f Hei. (Prajurit Satu).”
Karena disetiap akhir mendengar nama yang dibacakan Kari Basa tetap menggeleng, maka dia memekik lagi karena sebuah kukunya dicabut lagi. Dan. Lagi. Lagi Nama-nama Gyugun itu disebut terus setelah Nitto f Hei, ftto f Hei, Tjo f Hei, Hei cho, Go cho, Go-n syo, Syo cho, Djun-I, Syo-I, dan sampai ke Tai-I (Kapten) yang berpangkat tertinggi bagi para Gyugun yang berasal dari putera Indonesia waktu itu.
Entah berapa kali Kari Basa memekik. Pingsan, Memekik, pingsan. Menggeleng, memekik, pingsan. Menggeleng, memekik, pingsan. Disiram air. Begitu terus berulang-ulang. Yang tak kurang menderitanya adalah si Bungsu. Tubuhnya bersimbah peluh. Beberapa kali dia memejamkan mata. Ia menggigit bibir. Menahan pendengaran agar tak tertangkap suara pekik Kari Basayang hanya beberapa depa di depannya. Namun bagaimana dia akan menahan pendengarannya? Tiap pekik Kari Basa menyebabkan hatinya seperti tertikam.
Dan kesepuluh kuku jari Kari Basa ini habis tercabut Ya Tuhan, alangkah menderitanya lelaki itu. Namun Tuhan jualah Yang Maha Kuasa, karena lelaki itu tetap saja berkeras untuk menggeleng. Tubuhnya tergantung saja di rantai. Tergantung tak sadarkan diri.
“Jahannam..” Letnan itu bersuara lagi.
Kopral dan prajurit bawahannya mengambil ember besar berisi air. Kemudian menyiramkan pada Kari Basa. Kari Basa membuka mata, mengangkat kepala perlahan, kemudian terkulai lagi. Letnan itu meninggalkan kursinya. Berjalan mendekati Kari Basa. Dengan kasar dia mencekal rambut Kari Basa. Menyentakkan hingga kepalanya tertegak. Bicaralah Letnan itu mengeram.
“Baik. Kini saya baca yang berpangkat Itto-f Hei. (Prajurit Satu).”
Dan kesepuluh kuku jari Kari Basa ini habis tercabut Ya Tuhan, alangkah menderitanya lelaki itu. Namun Tuhan jualah Yang Maha Kuasa, karena lelaki itu tetap saja berkeras untuk menggeleng. Tubuhnya tergantung saja di rantai. Tergantung tak sadarkan diri.
Tapi di wajah Kari Basa hanya tergurat kebencian, dan tangan Letnan itupun bergerak. Sebuah pukulan karate jarak dekat menghajar mulut Kari Basa. Terdengar bunyi tak sedap ketika pukulannya beradu dengan bibir Kari Basa.
“Nah, bicaralah syetan” Letnan itu berkata lagi sambil menegakkan kepala Kari Basa. Dan tiba-tiba…Tuih!!!! Kari Basa meludahi muka Letnan yang berjarak sejengkal di hadapannya itu. Ludahnya bercampur darah dan gigi. Ya, pukulan tidak hanya memecahkan bibirnya. Tapi juga merontokkan empat buah gigi depannya. Letnan itu menyumpah-nyumpah dan muntah kena ludahnya. Dan tiba-tiba dia berbalik.
Menghantam Kari Basa dengan tendangan, pukulan-Tendangan-Pukul Tendang Pukul Lalu terhenti terengah-engah. Tubuh Kari Basa tergantung tak bergerak. Dan mata si Bungsu berkunang-kunang. Tubuhnya basah oleh peluh. Dia jadi malu pada dirinya. Teringat olehnya betapa cepatnya dia menyerah ketika di Koto Baru itu. Kenapa dia turuti perintah Mayor itu untuk menyerah membuang samurai? Kenapa ? Bukankah dia bisa melawan? Secepat itukah dia harus menyerah? Kini lihatlah Kari Basa ini. Tak segeming pun dia beranjak dari pendiriannya.
Dia jadi malu pada dirinya sendiri. Dan dia mengagumi lelaki yang barangkali usianya telah melampaui empat puluh lima ini. Dia tatap tubuh lelaki yang terkulai dalam ikatannya itu. Kelihatannya lemah dan tak berdaya. Tapi di dalam tubuhnya yang kini tak berdaya itu, alangkah besarnya kehormatan yang dia miliki. Alangkah mulia pribadinya. Alangkah banyaknya. pejuang-pejuang lainnya berhutang nyawa padanya. Sekali saja dia buka mulut, mengatakan salah seorang di antara Gyugun itu ikut dalam gerakkan mereka, bisa dipastikan bahwa Gyugun yang lain akan bisa digulung dan dihukum tembak Si Bungsu berani bertaruh, jarang satu diantara seratus ribu bangsanya yang akan tahan menutup rahasia jika telah disiksa seperti Kari Basa ini. Kini dia melihat betapa teguhnya lelaki tua ini memegang rahasia. Betapa teguhnya. Tak tergoyahkan oleh pukulan kayu. Tak tercabikkan meski oleh cabutan kuku. Dan tak beranjak meski bibir dan giginya rontok.
“Hari sudah pagi. Mari kita tinggalkan dia …..” letnan itu berkata. Mereka bersiap untuk pergi. Letnan itu berhenti, kemudian menoleh pada si Bungsu.
“Beberapa saat lagi giliranmu Bungsu. Engkau telah banyak menimbulkan korban diantara balatentara Tenno Heika. Apa yang akan kau terima jauh lebih nikmat daripada yang diterima Kari Basa. Nah, bersiaplah menjelang kami datang. . . he . .he. . .he”
Dan Kempetai itu kembali lenyap di balik pintu kayu betulang besi dan berbingkai beton diujung kamar tersebut. Tinggallah kini si Bungsu dan Kari Basa Sunyi cahaya lampu listrik yang menggantung tinggi di langit-langit terowongan bersinar suram. Menerangi kamar tahanan mereka yang berukuran empat kali meter tersebut. Si Bungsu meneliti ruangan itu. Meneliti kalau-kalau dia bisa menyelamatkan diri.
Dia jadi malu pada dirinya sendiri. Dan dia mengagumi lelaki yang barangkali usianya telah melampaui empat puluh lima ini. Dia tatap tubuh lelaki yang terkulai dalam ikatannya itu. Kelihatannya lemah dan tak berdaya. Tapi di dalam tubuhnya yang kini tak berdaya itu, alangkah besarnya kehormatan yang dia miliki. Alangkah mulia pribadinya. Alangkah banyaknya. pejuang-pejuang lainnya berhutang nyawa padanya. Sekali saja dia buka mulut, mengatakan salah seorang di antara Gyugun itu ikut dalam gerakkan mereka, bisa dipastikan bahwa Gyugun yang lain akan bisa digulung dan dihukum tembak Si Bungsu berani bertaruh, jarang satu diantara seratus ribu bangsanya yang akan tahan menutup rahasia jika telah disiksa seperti Kari Basa ini. Kini dia melihat betapa teguhnya lelaki tua ini memegang rahasia. Betapa teguhnya. Tak tergoyahkan oleh pukulan kayu. Tak tercabikkan meski oleh cabutan kuku. Dan tak beranjak meski bibir dan giginya rontok.
tikam samurai (bagian 101)
Ya, inilah saatnya untuk berusaha lepas. Sementara Kempetai-kempetai keparat itu pergi. Kalau saja dia lepas, dan di dinding sana ada dua bilah samurai, oh alangkah akan jahanamnya Jepang-Jepang itu dia perbuat. Dan matanya meneliti.
Kamar itu sengaja dibuat untuk kamar penyiksaan tawanan itu terlihat dari gelang-gelang perantai kaki dan perantai tangan yang tersebar di lantai dan di langit-langit. Kemudian perkakas penyiksaan. Bau ruangan ini juga pengap. amis. Tak syak lagi, disini telah cukup banyak darah tertumpah. Telah cukup banyak nyawa direnggutkan. Kini bagaimana dia harus membebaskan diri ? Dia tengok tangannya. Keduanya terantai ke atas.
Dia coba merenggut rantai itu. Tapi terlalu kukuh. Nampaknya rantai itu ditanamkan dan dicor dengan semen ke loteng Goa yang terbuat dari batu itu. Tangannya tak mungkin lepas. Kecuali kalau dipotong sebatas pergelangan. Dia mau saja memotongnya sebatas pergelangan asal bebas. Tapi tanpa jari-jemari, apakah artinya lagi? Dan kalau dia ingin bebas, dia harus memotong kedua pergelangan tangannya. Lantas dengan apa lagi dia harus membalas ? Dia teringat pada bayangan tatkala Datuk Penghulu akan rubuh. Ya, dia ingat kini. Ekspresi dan sinar mata orang tua itu seakanakan berkata :
“Jaga dirimu baik-baik nak. Tetaplah bertahan untuk hidup.Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan bersamamu. . .”
Itulah ucapan yang tak terucapkan, tapi sempat dia baca dari wajah orang tua itu. Tetaplah bertahan untuk hidup. Jangan menyerah . .
Kalimat ini seperti sebuah sumpah yang dipegang teguh oleh pejuang-pejuang ini. Matanya melirik pada Kari Basa. Ke tubuhnya yang terkulai. Tapi jelas dadanya beralun perlahan. Dia masih hidup. Sekurang-kurangnya dia kini tengah bertahan untuk tetap hidup.
Dan dia tak menyerah pada penjajah. Betapapun siksaan yang dia terima. Dia tak menyerah Ya, betapapun penderitaannya, namun Kari Basa tak pernah menyerah untuk membuka rahasia. Dan dia juga tengah bertahan untuk hidup, Perlahan-lahan, semangat untuk takkan menyerah, semangat untuk berusaha agar tetap hidup muncul menguat pada dirinya. Berhasil atau tidak dia melepaskan diri dari belenggu ini, batapapun jua dia harus bertahan untuk tetap hidup. Harus…
Tapi di samping itu dia juga harus berusaha untuk membebaskan diri. Harus. Dia tak boleh menyerah. Tak boleh menanti sampai Jepang-jepang itu datang menyiksa dirinya. Dia harus bergerak. Dia menatap kekakinya. Kakinya dimasukkan ke sebuah gelang yang dikunci.
Gelang itu dihubungkan dengan dua buah mata rantai yang kukuh, ditanamkan ke lantai yang juga dicor dengan beton. Dia menarik nafas. Menggoyangkan kaki. Menggoyangkan tangan. Tak ada harapan pikirnya.
“Ya. Tak ada harapan …..”
Sebuah suara yang amat perlahan mengejutkannya. Dia menoleh pada Kari Basa. Tapi lelaki itu masih terkulai. Diakah yang bicara? Tak ada harapan untuk dapat melepaskan diri …..
“Kembali ada suara, dan suara itu jelas suara Kari Basa.
“Pak Kari . .” katanya heran.
“Ya. Sayalah yang bersuara Bungsu. Saya memang tak melihat engkau, mata saya kabur. Bahkan untuk bernafas pun saya susah. Namun telinga saya dapat menangkap bunyi gemerincing rantai karena engkau goyang. Dan saya bisa menduga, engkau pastilah tengah mencari-cari jalan untuk membebaskan diri. Saya tahu itu dengan pasti, sebab saya juga telah melakukan sebelum engkau dimasukkan kemari. Dan seperti yang engkau lihat, usaha saya sia-sia .. .”
Kari Basa terdiam. Si Bungsu juga terdiam. Dia terdiam karena kekagumannya pada daya tahan lelaki di depannya itu.
“Rantai ini terlalu besar Bungsu. Dan ditanamkan dalam-dalam di lantai serta di loteng. Sebelum dicor dengan semen, diberi bertulang besi. Tak ada harapan memang .. “ Kari Basa bicara lagi.
Si Bungsu tak bicara. Sebenarnya banyak yang ingin dia katakan. Tapi dia tak mau mengatakannya. Dia tak mau melawan Kari Basa bicara. Dia ingin agar orang tua itu istirahat.
Dia sangat mengasihani lelaki tersebut. Dan Kari Basa akhirnya memang terkulai diam. Pingsan lagi. Penderitaannya benar-benar sempurna. Kakinya berlumur darah setelah sepuluh kuku jarinya dicabuti. Dia muntah beberapa kali setelah perutnya dihantam dengan potongan kayu sebesar lengan. Dan mulutnya berdarah, giginya copot dihantam pukulan karate.
Namun pejuang yang tak banyak dikenal ini, alangkah teguhnya pada pendiriannya. Dan memang tak ada jalan untuk melepaskan diri dari belenggu dikaki dan ditangan si Bungsu.
Kari Basa memang berkata benar. Meski segala usaha telah dia jalankan, namun itu hanya menambah penderitaannya saja. Pergelangan tangannya lecet dan
berdarah karena usahanya itu.
“Ya. Sayalah yang bersuara Bungsu. Saya memang tak melihat engkau, mata saya kabur. Bahkan untuk bernafas pun saya susah. Namun telinga saya dapat menangkap bunyi gemerincing rantai karena engkau goyang. Dan saya bisa menduga, engkau pastilah tengah mencari-cari jalan untuk membebaskan diri. Saya tahu itu dengan pasti, sebab saya juga telah melakukan sebelum engkau dimasukkan kemari. Dan seperti yang engkau lihat, usaha saya sia-sia .. .”
tikam samurai (bagian 102)
Dan ketika ketiga Kempetai yang menyiksa Kari Basa itu muncul lagi dengan menyeringai si Letnan berkata.
“HHmmmmm ….. .ingin lari ya. He. .hee. .ingin lari he.. he . .”
Seringainya amat buruk. Tapi yang lebih buruk lagi adalah perlakuan setelah itu. Si Bungsu, seperti halnya Kari Basa, dipaksa untuk mengatakan siapa-siapa saja yang diketahuinya mengorganisir perlawanan terhadap Jepang. Siapa saja teman Datuk Penghulu. Siapa saja yang telah dihubungi mereka dalam Gyugun. Apakah Engku Syafei di Kayu Tanam, Encik Rahman El Yunussiyah di Padang Panjang termasuk ke dalam orang-orang yang menyusun kekuatan ini.
Kemudian kepadanya dibacakan pula sederet nama Gyugun seperti yang dibacakan pada Kari Basa. Berlain dengan Kari Basa yang selalu menggeleng, maka si Bungsu hanya menatap dengan pandangan dingin pada ketiga Kempetai itu. Tak pernah menggeleng sekalipun. Tak pernah mengangguk sedikitpun dan ketiga Kempetai itu mengerjakannya dengan sempurna pula. Ketiga mereka nampaknya dilatih untuk menjadi orang-orang yang tak mepunyai kemanusiaan. Dalam ketentaraan nampaknya memang dididik orang-orang seperti mereka. Gunanya untuk bahagian interogasi.
Dan ketiganya spesialis penyiksaan ini sambil tertawa gembira, sambil menyeringai buruk, mempermak tubuh si Bungsu. Tahap pertama, si Kopral mempergunakan tubuh si Bungsu yang terikat itu sebagai sebuah karung latihan. Yaitu karung yang diikatkan dan diisi dengan pasir. Bagi siswa-siswa beladiri, karung seperti ini dinamakan sansak dakam dunia tinju atau makiwara dalam dunia karate, dipergunakan untuk melatih tendangan dan pukulan.
Nah, itulah kini fungsi tubuh si Bungsu. Kopral itu beberapa kali melambung yang diakhiri dengan mendaratnya tendangannya di perut dan didada si Bungsu. Letnan itu mepergunakan buku tangannya untuk menghajar wajah anak muda tersebut. Si Bungsu berusaha untuk tak memekik. Kendati terpaksa mengeluh beberapa kali saking amat sakitnya. Kemudian muntah.
Isi perutnya keluar bersama darah kental. Tubuhnya kemudian diguyur dengan air. Ketika sadar, dia lihat Letnan itu sudah memegang samurai “He .. he kau kabarnya mahir dengan samurai. Kini kau lihat pula permainan samuraiku”.
Sehabis ucapannya, samurai itu berkelebat cepat. Si Bungsu menggigit bibir agar tak memekik kesakitan. Pakaiannya segera saja cabik-cabik disambar ujung samurai si letnan. Dan bersamaan dengan itu, dadanya. Wajahnya, perutnya robek-robek. Darah mengalir dengan deras dari bekas lukanya.
“Siram..!” perintah si Letnan.
Kopral yang sama-sama sadisnya dengan si letnan itu mengambil air bekas pengacau semen. Kemudian menyiramkannya pada tubuh si Bungsu yang penuh luka itu. Ya, Tuhan, benar-benar Tuhan saja yang mengetahui betapa menderitanya anak muda tersebut. Bayangkan, tubuh yang penuh luka di siram dengan air pengacau semen Pedih dan sakit sekali.
Sakitnya mencucuk-cucuk ke hulujantung yang paling dalam. Menyelusup ke seluruh pembuluh darah. Ke seluruh sumsum. Namun siksaan itu berlanjut terus, menyebabkan si Bungsu harus menggigit bibir sampai berdarah.
Dia tak ingin menjerit. Tak ingin. Ada dua hal yang dia jaga. Pertama dia tak mau Kari Basa sampai terbangun dari pingsannya mendengar jeritannya. Dia ingin memberi istirahat pada orang tua yang dia hormati itu. Sebab kedua kenapa dia tak mau menjerit adalah karena malu pada Kari Basa.
Kalau orang tua itu sendiri tak menyerah, kenapa dia harus menunjukkan kelemahannya dengan menjerit?
Meskipun dengan siksa yang dia terima sebenarnya dia ingin menjerit setinggi langit, namun dia paksa untuk menahannya. Padahal setiap orang tahu, jika kesakitan, maka tangis pekik merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi sakit dan derita yang ditanggung.
Rasa sakit dan derita itu berkurang bukan dari segi fisiknya. Melainkan dari segi psikologisnya. Rasa sakit tetap sama. Menjerit atau tak menjerit. Tetapi secara ilmu kejiwaan, menjerit atau menangis bagi seorang penderita merupakan penyaluran. Dan sebuah penyaluran merupakan pengurangan bagi penderitaan.
Itu teorinya. Tetapi si Bungsu tak mau memakai teori ini. Baginya lebih baik dan lebih terhormat untuk tetap diam. Meskipun bibirnya berdarah dia gigit dalam usahanya menahan sakit yang tak tertanggungkan itu. Selesai upacara penyayatan dengan samurai itu, maka letnan tersebut istirahat sejenak. Namun itu bukan berarti istirahat pula bagi penderitaan si Bungsu. Sebab begitu si Letnan duduk. si prajurit tegak. Dengan tang di tangan, dia maju melangkah mendekati si Bungsu.
“Katakan siapa-siapa yang ikut dalam gerakkan kalian Siapa pula diantara Gyugun yang terlibat . .?” Ujar si Letnan dari tempat duduknya. Si Bungsu tetap diam. Dia tengah membayangkan kesakitan yang akan dia derita. Dia tahu, tang ditangan prajurit sadis itu akan dipakai untuk mencabut kuku-kukunya seperti yang telah dilakukan pada Kari Basa. Karena dia diam, Letnan itu memberi isyarat. Si Prajurit meraih sebuah tong.
Sehabis ucapannya, samurai itu berkelebat cepat. Si Bungsu menggigit bibir agar tak memekik kesakitan. Pakaiannya segera saja cabik-cabik disambar ujung samurai si letnan. Dan bersamaan dengan itu, dadanya. Wajahnya, perutnya robek-robek. Darah mengalir dengan deras dari bekas lukanya.
Dia tak ingin menjerit. Tak ingin. Ada dua hal yang dia jaga. Pertama dia tak mau Kari Basa sampai terbangun dari pingsannya mendengar jeritannya. Dia ingin memberi istirahat pada orang tua yang dia hormati itu. Sebab kedua kenapa dia tak mau menjerit adalah karena malu pada Kari Basa.
Kalau orang tua itu sendiri tak menyerah, kenapa dia harus menunjukkan kelemahannya dengan menjerit?
Rasa sakit dan derita itu berkurang bukan dari segi fisiknya. Melainkan dari segi psikologisnya. Rasa sakit tetap sama. Menjerit atau tak menjerit. Tetapi secara ilmu kejiwaan, menjerit atau menangis bagi seorang penderita merupakan penyaluran. Dan sebuah penyaluran merupakan pengurangan bagi penderitaan.
tikam samurai (bagian 103)
Meletakkan disisi kiri si Bungsu. Kemudian dia naik ke atas.
Sebelum si Bungsu sadar apa yang akan terjadi Jepang itu menjepit telunjuk si Bungsu dengan tangnya. Letnan itu mengangguk. Dan si Bungsu kali ini tak bisa menahan pekik kesakitannya. Tak bisa Betapa dia akan mampu menahan rasa sakit, kalau tulang telunjuknya itu dipatahkan dengan jepitan tang?
“ Mengakulah . .” si Bungsu hanya mengerang kecil. Dan kali ini jari tengahnya dapat giliran dipatahkan. Dan kembali dia memekik.
Mengakulah . .” si Bungsu hanya mengeluh dan mengerang. Air matanya membasahi pipinya. Dan jari manisnya mendapat giliran. Dia kembali memekik. Pada pekik yang ketiga ini. Kari Basa mengangkat kepala. Dan dia melihat betapa tubuh anak muda itu berlumur darah. Pakaian dan sebahagian dagingnya robek-robek. Persis kerbau yang selesai dikerjakan di rumah jagal.
“Mengakulah..” si Bungsu tetap bungkam. Dan kembali kelingkingnya dipatahkan. si Bungsu memekik. Namun dia tetap diam, tak mau membuka rahasia.
“Tahan . .” tiba-tiba ada suara. Dan yang bersuara tak lain daripada Kari Basa. Letnan itu menoleh padanya.
“Kau mau mengaku?”
“Baik saya mengaku, tapi lepaskan anak muda itu. Dia tak bersalah . . .”
“Ooo. Kau kenal padanya ya … ?”
“Justru karena saya tak kenallah makanya dia harus dibebaskan. Dia tak ada sangkut pautnya dengan perjuangan kami. Kami tak mengenalnya.”
Si Bungsu menatap Kari Basa. Apakah ini semacam penyingkirannya dari kalangan pejuang-pejuang ini? Apakah Kari Basa berkata begitu karena si Bungsu juga pernah berkata begitu ketika rapat di Birugo dahulu? Ketika pertanyaan begitu berkecamuk dalam fikiran si Bungsu, Kari Basa sekilas menatap padanya. Dan dari cahaya mata lelaki tua itu, dia dapat menangkap. Bahwa Kari Basa hanya membuat siasat. Namun kelegaan hatinya segera lenyap ketika letnan itu berkata :
“He..he tak ada sangkut paut kalian?
Kalian saling tak mengenal? He. .he
Bukankah kalian sama-sama hadir ketika rapat di Birugo dahulu?
Bukankah kau punya hubungan dengan Datuk Penghulu?
Nah, dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa kalian punya hubungan. Jangan kami pula hendak kalian bohongi.”
Dan kali ini penyiksaan dilakukan berbarengan. Si prajurit mengerjakan tubuh si Bungsu, si sersan mengerjakan Kari Basa. Kedua serdadu sadis ini lihai dalam pekerjaannya. Meskipun korbannya sudah remuk redam, sudah cabik-cabik tapi mereka jaga agar si korban tak segera mati. Mereka amat ahli dalam hal ini. Bagaimana menyiksa tawanan sampai separoh mampus, bahkan terkadang sampai tiga perempat mampus, tapi tetap saja tak sampai mampus. Itulah penderitaan yang ditanggung oleh kedua orang itu.
Si Bungsu sudah hampir mampus ketika dia dengar suara letusan.
Letusan sekali. Dua kali. Tiga kali!
Dia merasa dirinya amat luluh. Dirinyakah yang kena tembak? Kari Basa kah? Dia tak merasakan sakit karena seluruh tubuhnya adalah sakit itu sendiri. Dia tak merasa menderita karena tembakan itu karena dirinya adalah puncak dari penderitaan itu sendiri.
Dan diapun terkulai. Sampai disini ajalku…..bisiknya. Dan dia juga yakin, bahwa bersama ajalnya, orang tua yang bernama Kari Basa itupun tamat pulalah riwayat hidupnya.
Namun tak demikian terjadi.
Teman-teman Datuk Penghulu dan Kari Basa mengetahui penangkapan terhadap kedua orang itu. Perintah langsung dari Engku Syafei menyuruh membebaskan mereka. Sebuah “pasukan khusus” yang beruniform beranggotakan sebelas orang segera diberangkatkan. Mereka mempergunakan beberapa bedil dan pistol yang selama ini secara dia,-diam dicuri atau dibeli dengan sangat rahasia. Bahkan ada beberapa bedil peninggalan Belanda.
Tugas untuk mengetahui dimana kedua orang ini ditahan dierahkan pada Tai-I (Kapten) Dakhlan Djambek. Namun untuk menemui Kapten ini bukan main sulitnya. Jepang memang telah mencium adanya gerakan pribumi yang akan menentang penjajahan.
Karena itu setiap Anggota Gyugun, mulai dari prajurit sampai para perwira diawasi dengan ketat. Hanya dengan sangat susah payahlah Tai-I Dakhlan Djambek bisa berhubungan dengan teman-temannya. Namun setelah dua hari berusaha, Dakhlan Djambek masih belum berhasil mengetahui dimana kedua orang itu ditawan.
Para pimpinan tentara Jepang nampaknya memang telah waspada sejak semula pertama menjejakkan kakinya di Indonesia. Mereka sudah menduga bahwa lambat laun perlawanan dari penduduk-penduduk setempat kepada para penjajah pastilah akan timbul.
Karena itu para Gyugun yang berasal dari pemuda-pemudi Indonesia tak pernah ditugaskan di proyek-proyek militer yang vital. Dan di Bukittinggi mereka tak pernah ditugaskan di bawah kota yang sedang digali itu.
Sebelum si Bungsu sadar apa yang akan terjadi Jepang itu menjepit telunjuk si Bungsu dengan tangnya. Letnan itu mengangguk. Dan si Bungsu kali ini tak bisa menahan pekik kesakitannya. Tak bisa Betapa dia akan mampu menahan rasa sakit, kalau tulang telunjuknya itu dipatahkan dengan jepitan tang?
“Justru karena saya tak kenallah makanya dia harus dibebaskan. Dia tak ada sangkut pautnya dengan perjuangan kami. Kami tak mengenalnya.”
Kalian saling tak mengenal? He. .he
Bukankah kalian sama-sama hadir ketika rapat di Birugo dahulu?
Bukankah kau punya hubungan dengan Datuk Penghulu?
Nah, dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa kalian punya hubungan. Jangan kami pula hendak kalian bohongi.”
Namun tak demikian terjadi.
Teman-teman Datuk Penghulu dan Kari Basa mengetahui penangkapan terhadap kedua orang itu. Perintah langsung dari Engku Syafei menyuruh membebaskan mereka. Sebuah “pasukan khusus” yang beruniform beranggotakan sebelas orang segera diberangkatkan. Mereka mempergunakan beberapa bedil dan pistol yang selama ini secara dia,-diam dicuri atau dibeli dengan sangat rahasia. Bahkan ada beberapa bedil peninggalan Belanda.
Tugas untuk mengetahui dimana kedua orang ini ditahan dierahkan pada Tai-I (Kapten) Dakhlan Djambek. Namun untuk menemui Kapten ini bukan main sulitnya. Jepang memang telah mencium adanya gerakan pribumi yang akan menentang penjajahan.
Karena itu setiap Anggota Gyugun, mulai dari prajurit sampai para perwira diawasi dengan ketat. Hanya dengan sangat susah payahlah Tai-I Dakhlan Djambek bisa berhubungan dengan teman-temannya. Namun setelah dua hari berusaha, Dakhlan Djambek masih belum berhasil mengetahui dimana kedua orang itu ditawan.
Para pimpinan tentara Jepang nampaknya memang telah waspada sejak semula pertama menjejakkan kakinya di Indonesia. Mereka sudah menduga bahwa lambat laun perlawanan dari penduduk-penduduk setempat kepada para penjajah pastilah akan timbul.
Karena itu para Gyugun yang berasal dari pemuda-pemudi Indonesia tak pernah ditugaskan di proyek-proyek militer yang vital. Dan di Bukittinggi mereka tak pernah ditugaskan di bawah kota yang sedang digali itu.
Teman-teman Datuk Penghulu dan Kari Basa mengetahui penangkapan terhadap kedua orang itu. Perintah langsung dari Engku Syafei menyuruh membebaskan mereka. Sebuah “pasukan khusus” yang beruniform beranggotakan sebelas orang segera diberangkatkan. Mereka mempergunakan beberapa bedil dan pistol yang selama ini secara dia,-diam dicuri atau dibeli dengan sangat rahasia. Bahkan ada beberapa bedil peninggalan Belanda.
Tugas untuk mengetahui dimana kedua orang ini ditahan dierahkan pada Tai-I (Kapten) Dakhlan Djambek. Namun untuk menemui Kapten ini bukan main sulitnya. Jepang memang telah mencium adanya gerakan pribumi yang akan menentang penjajahan.
Karena itu setiap Anggota Gyugun, mulai dari prajurit sampai para perwira diawasi dengan ketat. Hanya dengan sangat susah payahlah Tai-I Dakhlan Djambek bisa berhubungan dengan teman-temannya. Namun setelah dua hari berusaha, Dakhlan Djambek masih belum berhasil mengetahui dimana kedua orang itu ditawan.
Para pimpinan tentara Jepang nampaknya memang telah waspada sejak semula pertama menjejakkan kakinya di Indonesia. Mereka sudah menduga bahwa lambat laun perlawanan dari penduduk-penduduk setempat kepada para penjajah pastilah akan timbul.
Karena itu para Gyugun yang berasal dari pemuda-pemudi Indonesia tak pernah ditugaskan di proyek-proyek militer yang vital. Dan di Bukittinggi mereka tak pernah ditugaskan di bawah kota yang sedang digali itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar