Senin, 04 November 2013

Tikam samurai - Di Singapura I (278-279-280-281-282)

Tikam Samurai - 278

Namun usahanya itu alangkah sulitnya dia lakukan. Darah melelh di sela batang samurai kecil itu. Akhirnya yang mampu dia lakukan adalah jatuh. Belum mati. Yang sudah mati adalah si Inggris yang memegang pistol otomatik itu. Ujung samurai kecil itu menyembul sedikit di tengkuknya. Dia merasakan nafasnya sesak. Jantungnya sperti akan pecah. Dia mengangkat pistol. Berusaha menarik pelatuknya.
Namun itulah usahanya yang terakhir. Pelatuk pistol itu tak pernah mampu di tarik. Yang tertarik justru pelatuk nyawanya. Dan nyawanya melompat ke luar dari tubuhnya yang laknat itu. Nyawanya melayang justru ketika tubuhnya masih tegak.
Dan tubuh yang tak bernyawa itu, jatuh dengan bunyi bergedubrak ke atas tubuh Cina gemuk yang tadi ketika mereka masih sama-sama hidup adalah anak buahnya. Kini setelah mereka mati, maka tak ada perbedaan mana yang bos dan mana yang buruh. Ketika sudah mati, yang buruh dan yang majikan jasadnya sama-sama jadi bangkai!
Si Belanda itu masih mengejang-ngejang ketika bosnya sudah mati. Tubuhnya meregang-regang. Suaranya gemuruh seperti kerbau disembelih. Lalu tiba-tiba diam. Matanya memandang pada si Bungsu dan juga sekaligus memandang pada bosnya. Kenapa bisa begitu? Memang begitulah, karena matanya jadi juling!
Si Bungsu juga jatuh terduduk. Darah sudah cukup banyak mengalir dari dua luka di paha dan di lengan kanannya.
Dia terduduk dengan lemah. Matanya memandang ke meja. Ada surat kabar dan ada majalah dengan gambar wanita-wanita telanjang. Dan ada dokumen yang tadi dirampas oleh Cina gendut itu darinya di hotel Sam kok.
Dia bangkit dengan susah payah. Untung saja di rumah ini hanya empat orang itu saja yang ada. Kalau ada seorang lagi, maka tamatlah riwayatnya. Bagaimana dia akan melawan dengan tubuh luka demikian?
Dia lalu memunguti dokumen itu. Memasukkan ke balik baju di sebelah kiri. Kemudian mengitari kamar-kamar di rumah itu dalam usahanya mencari kotak obat-obatan. Dan kotak obat itu dia temukan di ruang makan. Dia buka tutupnya. Mengambil sejenis alkohol. Menyiramkannya ke kapas. Lalu dia merobek kaki celana dan lengan bajunya di tentang luka tertembak tadi. Untung kedua peluru itu menembus langsung kaki dan tangannya. Dengan demikian dia tak begitu menderita.
Yodium itu dihapuskan ke lukanya. Pedihnya bukan main. Namun dengan teguh dia bersihkan terus. Setelah itu dia mengambil sejenis obat lalu membalutkan ke lukanya. Dia masih belum pergi dari rumah itu. Sidik jarinya bertebaran di rumah ini. Polisi Singapura bisa dengan mudah membekuknya dengan alasan pembunuhan. Sebab sidik jarinya diambil ketika dia mula pertama mendarat di lapangan udara.
Pembunuhan anggota sindikat itu di rumah Nurdin yang terletak di jalan Brash Basah memang tak diusut sebagai sebuah pembunuhan. Karena pihak Konsulat Indonesia melakukan protes dan menyatakan sindikat-sindikat itu datang dengan niat merampok.
Maka untuk menghilangkan jejak, si Bungsu lalu mengambil derigen minyak yang dia temukan di garasi. Lalu dia siramkan ke luruh ruangan.
Nah, kini tinggal mengambil korek api. Dan benda itu ada di atas meja. Dekat majalah dengan gambar perempuan telanjang. Dia mengambil korek api. Lalu membakar majalah dan koran di meja itu. Api menyala. Koran dan majalah itu dia lemparkan ke minyak yang tadi telah dia siramkan. Dan api segera menjilat dan membakar keseluruhan ruangan.
Si Bungsu masih menanti beberapa saat. Kemudian setelah yakin rumah itu bakal dilahap api seluruhnya, dia lalu berjalan keluar dengan tenang. Membuka pintu pagar. Kemudian dia masih harus berjalan beberapa ratus meter baru sampai di jalan Gagak Selari Timur. Di jalan itu baru ada taksi lewat. Dia menyetop taksi. Kemudian kembali ke hotelnya.
Gadis Cina akan pemilik hotel Sam Kok di daerah Anting itu kaget melihat dia muncul. Dari kaget wajahnya berobah sangat gembira. Dia lantas meninggalkan buku dan tamunya yang akan menginap. Berjalan bergegas ke arah si Bungsu. tamunya dua orang dari Australia, menganga saja ditinggalkan gadis itu.
“Hei, kami bagaimana, ada kamar atau tidak..” kedua orang Australia itu berseru. Tanpa menoleh gadis cantik dengan lesung pipit di kedua pipinya itu balas pula berseru:
“A Bun! Layani orang itu…”
Dari belakang muncul seorang lelaki Cina yang lain. Dialah A Bun yang di panggil gadis itu.
“Tuan ingin menginap disini?” tanya A Bun. Tapi kedua orang Australia itu masih memandang pada gadis cantik yang telah meninggalkannya itu.
“Itu suaminya?” salah seorang bertanya sambil memonyongkan mulutnya ke arah si Bungsu. A Bun menggeleng.
“Tunangannya?”
A Bun menggeleng.
“Pacarnya…?”
A Bun menggeleng.
“Apakah orang itu adalah orang yang menginap disini?”

Tikam Samurai - 279

Kali ini A Bun mengangguk.
“Kalau demikian, nona itu harus melayani kami juga. Dia harus adil melayani tamu. Jangan berat sebelah…”
“Tuan mau menginap disini atau tidak..?” A Bun bertanya kesal.
“Yes. Yeslah. Yeslah…”
A Bun lalu mencatat nama mereka. Tapi mata kedua orang Australia itu tak pernah lepas dari tubuh gadis Cina cantik itu. Pada pinggulnya yang sintal. Pada dadanya yang ranum. Pada lesung pipit dan senyumhya yang membuat kepala pusing tujuh keliling.
“Anda luka…” suara gadis itu terdengar perlahan begitu dia tegak di depannya. Si Bungsu menatap pada lukanya. Kemudian pada gadis itu. Lalau mengangguk perlahan.
“Anda berkelahi dengan mereka..?”
Si Bungsu menggeleng.
“Lalu kenapa kaki dan tangan anda luka begini..?’
“Digigit kerbau…”
Gadis itu menatap heran pada si Bungsu. si Bungsu menatap pula padanya. Akhirnya gadis itu tersenyum. Manis ekali dengan lesung pipit di pipinya.
“Kenapa senyum. Ada yang lucu?”
“Ya..”
“Apa..?”
“Tentang kerbau itu”
“Apanya yang lucu?”
“Bukankah kerbau yang menanduk anda itu adalah kerbau yang datang kemari pagi tadi?”
Dia melangkah masuk. Gadis itu mengiringkan. Tapi sampai di loby, kedua lelaki Australia tadi memegang tangan gadis itu. Gadis itu menyentakkan tangannya.
“Hei, kamu harus menunjukkan mana kamar kami, nona..”
“Ngomong ya ngomong. Tapi tangannya jangan getayangan ya!”
“Oho-ho! Galak benar si cantik ini. Siapa namamu upik?”
Yang berjambang lebat dan bermata coklat berkata sambil mencowel pipi gadis itu tentang lesung pipitnya. Namun gadis itu mengelak. Dan orang Australia itu mencowel angin.
“Tuan kalau tidak sopan, silahkan meninggalkan hotel ini..”
Kedua orang itu berpandangan. Kemudian tertawa.
“Ah, maafkan. Kami adalah orang yang paling sopan upik. Tentu kami berbaik-baik. Nah, kini tunjukkan dimana kamar kami…”
Gadis itu memberi tanda pada A Bun, dan A Bun membawa kunci berjalan ke belakang lewat gang yang dialas perlak berwarna merah. Kedua lelaki itu mengikuti sambil melemparkan senyum cengar-cengirnya pada gadis tersebut.
Gadis itu menoleh pada si Bungsu.  Tapi anak muda itu sudah tak ada lagi. Dia sudah sampai di kamarnya di lantai dua. Disana dia membuka pakaian. Kemudian dengan kelelahan yang tak tertanggungkan dia membaringkan diri setelah meletakkan dokumen tentang sindikat perdagangan wanita itu di dalam kopernya di lemari.
Sesaat setelah dia membaringkan diri, kepalanya terasa berdenyut. Lelah dan kantuk menyerang dengan hebat. Rasa sakit menhentak-hentak. Dan entah mana yang datang duluan, entah tidur entah pingsan. Yang jelas, sepuluh atau sebelas detik setelah dia meletakkan kepalanya di bantal diapun tak sadar diri.
Dan dalam tak sadar dirinya, Salma dan Mei-mei seperti datang merawatnya. Kemudian Hannako dan Michiko. Dia sangat gembira atas gadis-gadis itu. Namun itulah mimpin yang paling buruk seumur hidupnya.
Dia tersadar. Membuka mata perlahan. Yang membuat dia bangun adalah rasa lapar yang tak tertanggungkan. Kepalanya masih terasa berat. Ada bayangan samar-samar. Kemudian ketika dia membiasakan matanya dari cahaya terang. Dia jadi kaget melihat siapa yang di depannya. Dia berusaha bangkit. Namun tangan halus dari gadis yang duduk disisinya mencegahnya dengan halus. Dan gadis itu tersenyum. Dua lesung pipit segera saja membayang dipipinya yang montok.
“Anda harus banyak istirahat….tetaplah tenang…”
Si Bungsu menggelengkan kepala perlahan. Mencoba mengusir rasa pening dan bayangan mimpi yang tak menentu.
Dia memandang ke jendela.
“Hari sudah sore…” katanya perlahan.
“Ya. Dua kali sore. Anda bermimpi banyak sekali…” gadis itu tersenyum lagi. Si Bungsu menarik nafas, kemudian ketika ingat pada lukanya, dia melihat ke pahanya. Namun pahanya tertutup selimut. Dia buka selimut tentang bahunya. Bahunya telah terbalut kain.
“Obatnya telah diganti ayah saya. Ayah punya obat tradisional yang ampuh. Hari ini anda sudah bisa bangkit dan bisa ditanduk kerbau lagi. Lihatlah…!” berkata begitu, gadis tersebut menusuk luka di bahu si Bungsu. si Bungsu yang semula kaget, jadi terheran-heran. Bekas luka di bawah balutan kain itu tak merasa apa-apa lagi.
Dia menatap gadis itu.

Tikam Samurai - 280

“Ya. Sudah sembuh. Kami memiliki obat-obatan yang dibawa ayah dari daratan Tinggoan di Tiongkok. Kampung kami terkenal dengan tabib-tabi yang masyhur. Ayah saya termasuk salah seorang diantara tabib yang masyhur itu….nah, anda pasti lapar. Dua hari tak makan bukan?”
Si Bungsu akhirnya menyerahkan dirinya pada kehendak gadis itu. Dia disuapkan oleh gadis dengan bubur ayam yang bukan main nikmatnya terasa.
Pada sendokan kedua puluh empat, si Bungsu berhenti. Dia menatap gadis itu tepat-tepat.
“Ada apa? Ayo, tinggal lima atau enam sendok lagi…”
“Anda baik sekali nona. Kenapa anda mau bersusah-susah membantu saya?”
“Ah, sudah kewajiban saya membantu tamu yang menginap di hotel saya bukan? Anda tamu saya..”
“Anda berbuat baik pada setiap tamu?”
“Ya. Harus begitu bukan?”
Si Bungsu mengangguk. Dia tersenyum.
“Kenapa tersenyum segala, ada yang lucu?” tanya gadis itu.
“Tidak. Hanya saya sedang memikirkan, alangkah repotnya anda waktu menyuapkan kedua tamu orang asing yang mencowel pipi anda tempo hari…”
Muka gadis itu bersemu merah. Dia menunduk malu. Benar-benar gadis yang cantik.
“Apakah anda menyuapkan semua tamu anda?’ si Bungsu menggoda lagi.
“Ya. Kami menyuapkan mereka semua. Tapi bukan saya yang bertugas. Untuk menyuapkan tamu-tamu yang lain, saya menyuruh a Bun, pembantu saya…”
 Dan si Bungsu tertawa mendengar gurau ini. Gadis itu juga tertawa. Aneh, mereka seperti sudah menjadi teman akrab.
“Hei, nama saya telah anda ketahui. Tapi saya belum mengenal nama anda. Apakah anda punya nama?” si Bungsu bertanya lagi setelah menelan bubur yang disendokkan gadis itu.
“Apakah itu perlu?”
“Tentu. Bagaimana saya akan memanggil nona. Apakah cukup dengan si lesung pipit saja?”
Gadis itu tersipu lagi. Menunduk, dan menatap pada si Bungsu dengan matanya yang indah. Rasanya si Bungsu ingin sakit seratus tahun lagi.
“Nama saya Mei-mei…” suara gadis itu terdengar perlahan.
Namun ditelinga si Bungsu suara menyebutkan Mei-mei itu bukan main dahsyatnya. Dia terbatuk. Wajahnya jadi pucat. Gadis itu kaget. Memegang kepala si Bungsu. Menyangka panas dan penyakit anak muda itu kambuh lagi. Ketika kepala anak muda itu tak apa-apa, dia mendekapkan telinganya kepada si Bungsu yang tak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan saja gadis itu seperti dokter memeriksa pasiennya.
“Hei. Jantung anda tak normal. Terlalu kencang degupnya. Ada apa?”
Si Bungsu tak dapat menjawab sekalimatpun. Dia menatap gadis itu dengan tatapan tak menentu. Gadis itu bangkit. Mengambil sebuah tablet berwarna coklat di meja.
“Nah, minumlah ini, tablet ini bisa menenangkan anda. Degup jantung begitu bisa membuat anda sakit jantung…” gadis itu berkata sambil menoyongkan tablet itu kedekat mulut si Bungsu.
Busyet!
Si Bungsu menggeleng.
“Saya memang telah sakit jantung nona. Kalimat-kalimat anda membuat saya putus-putus..”
Gadis itu mengerutkan kening. Tersenyum. Dia tak mengerti apa yang diucapkan si Bungsu.
“Saya tak begitu mendengar anda menyebutkan nama sanda tadi. Dapatkah nona ulangi kembali?” si Bungsu meminta dengan harapan bahwa dia salah dengar.
“Nama saya Mei Ling. Tapi panggilan saya Mei-Mei..”
Si Bungsu terbatuk lagi. Kemudian matanya terpejam. Nafasnya memburu. Dan lagi-lagi gadis itu meraba kepalanya. Mendekapkan telinganya ke dada si Bungsu. waktu dia berbuat begitu, tubuhnya dibahagian atas menelungkup diatas tubuh si Bungsu. terang saja debur darah dan detak jantung si Bungsu seperti deru lokomotif yang mendaki lembah Anai.
“Hei. Anda sakit jantung?”
“Tidak. Jantung saya tak sakit. Tapi sudah pecah!”
Gadis itu tertawa dan mencubit tangan si Bungsu. dan mau tak mau, anak muda itu terpaksa ikut nyengir.
“Nah, untuk merekat kembali jantung anda yang pecah itu, minumlah obat ini” gadis itu menyorongkan tablet itu lagi. Karena si Bungsu tetap saja tak membuka mulut, maka tablet itu disumbatkannya ke bawah bibir si Bungsu!
Si Bungsu seperti orang memakai sugi. Bibir atasnya membengkak. Dan dia merasa lucu. Mau tak mau dia tertawa lagi. Gadis itu juga ikut tertawa renyai. Kemudian meminumkan si Bungsu air dari cawan putih.
“Bagaimana kalau saya memanggil dengan Mei Ling saja?” si Bungsu menawarkan kemungkinan lain pada gadis itu. Sebab bagaimana dia akan bisa menyebut nama Mei-Mei sementara nama itu adalah gadis yang dia cintai buat pertamakalinya. Dan gadis yang mati sebelum mereka menikah di mesjid kecil di Tarok dahulu?

Tikam Samurai - 281

“Seharusnya orang memanggil saya dengan sebutan itu. Tapi karena sejak kecil saya dipanggil Mei-Mei, maka saya seperti tak mengenal lagi nama Mei Ling itu. Jadi kalau anda memanggil saya dengan nama itu, barangkali saya takkan menyahut”
Aduh mak, mati awak, si Bungsu mengeluh.
“Apakah anda tak menykai nama Mei-Mei?” tiba-tiba gadis itu bertanya. Dan pertanyaan ini terang saja membuat jantung si Bungsu rengkah-rengkah. Seperti tanah sawah dihantam panas terik bertahun-tahun.
“Tidak. Ya. Eh, anu…suka. Suka, kenapa tidak. Mei-Mei…hmm, bukankah itu nama yang indah. Namanya indah, orangnya cantik…” si Bungsu ngomong asal ngomong saja. Soalnya hatinya tak menentu.
Mei-Mei tersenyum lagi. Lalu tegak membereskan menja dan piring mangkuk bekas makan si Bungsu.
“Hei, anda banyak sekali memiliki Samurai. Ada yang besar dan enam buah yang kecil. Lalu ini, dalam kopor anda ada enam buah lagi samurai kecil. Nampaknya anda seperti bersiap untuk sebuah pertempuran..”
Suara gadis itu mengejutkan si Bungsu. dia melihat tangan kiri dan kanannya. Dua hari yang lalu, ketika akan berbaring, dia lupa membuka ikatan samurai-samurai kecil di lengannya. Kini samurai itu tak asa lagi ditangannya. Dan tidak hanya itu, bajunya juga sudah ditukar. Pastilah gadis itu yang telah menukarkan bajunya, dan membuka samurai kecil-kecil itu.
“Dimana anda letakkan samurai kecil-kecil itu…?”
“Ada di bawah bantal. Saya rasa anda memerlukannya…” gadis itu kemudian meninggalkan kamar itu setelah melemparkan sebuah senyum.
Si Bungsu menarik nafas. Alangkah panjang dan berlikunya jalan yang dia tempuh.
Mei-Mei!
Mei-Mei nama gadis itu. Mana mungkin ada orang yang serupa. Dan mana mungkin dia bisa ketemu lagi dengan orang yang memiliki nama yang sama dengan nama kekasihnya yang mati diperkosa Jepang itu?
Mei-Mei gadis cina yang nyaris kawin dengannya dahulu adalah gadis yang juga merawat luka-luka yang dia derita tatkala usai dari perkelahian dengan Jepang di sebuah rumah pelacuran di Payakumbuh.
Kini, Mei-Mei yang ini juga merawat luka-luka yang dia derita dari sebuah perkelahian. Ah, dia seperti berulang-ulang menikam lagi jejak yang telah dia lalui.
Perlahan dia coba untuk bangkit. Luka bekas tembakan di paha dan dilengannya tak terasa lagi.
Namun ada yang terasa, yaitu rasa penat yang menyerang.
Dia ingin tidur, ingiin sekali. Namun diantara rasa kantuknya yang menyerang. Lambat-lambat dia mendengar suara langkah. Suara pintu ditutupkan. Kemudian suara bergumul. Dia tengah berbaring ketika pikirannya berjalan dan memikirkan apakah yang tengah terjadi. Suara apakah itu? Pikirnya.
Dan dirinya terserang oleh dua keinginan yang saling tindih. Antara keinginan untuk tidur dengan keinginan untuk mengetahui ada apa di luar. Tapi ini hotel, apa saja bisa terjadi, pikirnya pula sambil coba memicingkan mata.
Namun suara perempuan yang tertahan, seperti sedang disekap mulutnya, membuat si Bungsu tertegak tiba-tiba. Suara Mei-Mei kah itu, pikirnya. Dan dengan pikiran demikian dia segera saja menuju ke luar. Pintu kamarnya dia buka. Memandang ke lorong di depan kamar-kamar yang berdert di tingkat dua hotel itu. Lengang!
Tak ada apa-apa. Namun suara apakah sebentar ini yang terdengar olehnya? Dia tatap lagi lorong di depan kamar-kamar hotel itu. Lengang!
Perlahan dia masuk lagi. Menutupkan pintu. Kemudian tegak dibalik pintu itu dengan diam. Dia berkonsentrasi. Kalau dahulu di rimba gunung Sago, dia selalu dapat mendengarkan bunyi ular yang menjalar sekitar dua puluh meter dalam hutan dari dirinya, mengapa kini konsentrasi yang sama tidak dia lakukan?
Beberapa detik setelah dia konsentrasi, dia segera saja dapat mendengar suara orang bergumul. Tiga kamar di sebelah kiri kamarnya memang tengah terjadi pergumulan. Dan yang bergumul adalah ketiga orang Australia yang menginap disana. Yang datang ketika si Bungsu kembali dalam keadaan luka-luka tiga hari yang lalu.
Ke tiga orang Australia itu, adalah bekas tentara Sekutu dalam perang Dunia ke II yang baru saja berakhir. Mereka bekas anggota Raider Divisi III yang bertugas di India ketika Kemerdekaan RI diproklamirkan. Dan sebagai bekas tentara, bekas raiders pula, mereka adalah orang-orang yang mahir dalam perkelahian.
Tadi ketika Mei-Mei berada dalam kamar si Bungsu, mereka sudah mengintai di luar kamar. Dan begitu gadis itu keluar serta menutupkan pintu, merekapun menyergapnya. Menyeretnya ke kamar mereka.

Tikam Samurai - 282

Gadis itu coba meronta. Menggigit. Menjerit. Namun mulutnya tak pernah bisa sempat untuk menjerit. Yang keluar hanyalah suara-suara tertahan. Dia langsung dibawa ke kamar ketiga bekas Raiders itu. Dibaringkan di tempat tidur.
Tangannya dipegangi. Mulutnya disekap. Dia meronta, dan akibatnya pakaiannya tersingkap hingga ke perut. Ketiga bekas tentara itu melotot matanya melihat paha dan perut Mei-Mei yang alangkah mulus dan putihnya.
Yang seorang tak sabar lagi. Dia menerkam mencium Mei-Mei. Gadis itu menerjangnya. Kena kepala. Dia terpental ke bawah tempat tidur. Lelaki itu menyeringai. Senang juga dia kena hantam jidatnya. Dia bangkit lagi.
Sementara kedua temannya yang lain sudah menggerayangi tubuh gadis itu dengan tangan mereka. Pakaian gadis itu sudah sempurna terbuka. Kini yang membalut tubuhnya hanya sehelai celana dalam yang amat kecil. Sementara tubuh bagian atasnya tak tertutup sedikitpun. Dan kesanalah tangan ketiga bekas serdadu perang dunia ke II itu menggerayang silih berganti.
Gadis Cina itu menerjang-nerjang. Mencakar-cakar. Dia tidak bisa bersuara. Karena mulutnya disekap oleh salah seorang diantara mereka. Namun terjang dan rontaan ubunya justru membuat menaiknya nafsu ketiga bekas serdadu Australia itu. Karena meronta ingin melepaskan diri, pinggul gadis itu naik turun. Menggeliat kekiri dan kekanan. Dan gerakkan itu merangsang ketiga lelaki tersebut.
Mereka tengah menikmati gerak merangsang pinggul gadis yang hanya tertutup celana kecil itu ketika pintu tiba-tiba terbuka. Ketiga bekas serdadu itu menoleh. Dan mereka melihat dipintu berdiri anak muda yang beberapa hari yang lalu dilayani dengan baik oleh gadis Cina itu.
“Hei! Giliranmu sudah cukup lama bukan? Engkau sudah cukup puas. Kini giliran kami. Nah, pergilah. Jangan mengganggu..” suara yang pakai brewok dan bermata coklat terdengar serak. Sementara tangannya tak pernah lepas dari dada gadis itu.
Si Bungsu, yang tegak di pintu itu, tiba-tiba merasa perutnya mual melihat tingkah ketiga orang ini.
“Lepaskan dia…!” suaranya terdengar datar dengan wajah tenang seperti danau yang tak beriak.
Namun mama mau ketiga orang itu melaksanakan perintahnya. Mereka justru melanjutkan pekerjaan tangan mereka.
“Lepaskan dia. Atau kalian saya bunuh…!” ketiga lelaki itu benar-benar terhenti. Bukan karena takut dibunuh, tidak. Bagaimana mereka akan takut kena gertak meski gertak bunuh sekalipun? Ah, mereka sudah kenyang akan pembunuhan. Bukankah mereka bekas balatentara sekutu yang bergelimang elmaut di India? Ah, mereka tak pernah takut menghadapi maut.
Tapi mereka terpaksa berhenti karena nada suara anak muda itu. Nadanya dingin dan menegakkan bulu roma. Tidak besar mengguntur. Tidak pula diucapkan dengan nada marah. Namun dalam nada yang perlahan itu ersimpan bahaya yang alangkah mengerikannya. Dan itulah yang menyebabkan mereka berhenti.
Mereka tak mengenali siapa anak muda ini. Namun ada firasat yang membisiki diri mereka, bahwa yang mereka hadapi sekarang ini adalah bahaya yang luar biasa.
Perlahan mereka melepaskan gadis itu. Perlahan mereka tegak. Perlahan mereka turun dari pembaringan. Namun ketika Mei-Mei akan berlari dari tempat tidur itu ke arah anak muda tersebut, yang brewok menamparnya keras sekali. Gadis itu terjerembab pingsan.
Namun lelaki brewok itu dengan perbuatannya itu telah menentukan saat kematiannya. Karena begitu selesai menampar Mei-Mei, dia lalu berputar menghadap pada si bungsu. dan saat itu pula tangan si Bungsu menyerang. Samurai dilengannya lepas, jatuh dan disambut oleh jari-jarinya. Kemudian dengan sebuah ayunan yang sangat cepat, samurai kecil itu terbang ke arah si Brewok.
Tak seorangpun yang tahu persis apa yang telah terjadi. Sebab tahu-tahu si brewok mengeluh. Kemudian jatuh terlentang ke lantai. Dan persis diantara kedua matanya yang coklat itu, tertancap hulu samurai kecil. Darah mengalir sedikit membasahi matanya yang terbuka. Mulutnya ternganga. Nyawanya terbang mengirap!
Kedua temannya terbelalak. Menatap pada si Bungsu. Anak muda itu masih tegak dengan diam dan menatap pada mereka dengan tatapan mata yang dingin. Kedua lelaki ini adalah tentara yang telah terbiasa dengan bahaya. Namun menghadapi ketenangan anak muda yang satu ini, dalam keadaan damai pula, mereka tak bisa menyembunyikan rasa kaget dan takut.
Tapi itu hanya sesaat. Dan saat berikutnya, terdorong oleh rasa superior orang-orang barat, merasa diri mereka lebih mampu dan lebih kuat dari orang-orang Melayu yang dianggap ketinggalan dalam segala hal, yang bertubuh besar dengan otot kekar, mirip tukang jagal, maju menyerang si Bungsu.
Dia menyerang dengan pukulan. Namun si Bungsu sudah waspada. Dia mengelak tepat pada waktunya. Pukulan bekas tentara Australia itu menerpa pintu dimana tadi kepala si Bungsu berada. Pintu itu berdebrak. Dan anjlok sebesar kepalan tangan orang itu!
Bekas tentara itu menarik tangannya kembali. Dan tampa membayangkan rasa sakit sedikitpun, dia menyerang lagi!

Tidak ada komentar: