Tikam Samurai - 293
“Jenazah Robert bisa dikuburkan setiap saat tuan kehendaki…” seorang Mayor yang mengurus kejadian itu berkata.
“Dia takkan dikubur disini Mayor. Saya minta kalian menerbangkan mayatnya ke Australia. Disana ada anak dan isterinya. Disana jenazahnya harus dimakamkan…”
“Kami akan melaksanakan permintaan tuan. Ini ada telegram dari induk pasukan tuan di Inggris. Menyampaikan duka cita yang dalam atas meninggalnya Letnan Robert..”
Mayor itu memberikan telegram tersebut. Kapten tersebut menerimanya. Tapi tak membacanya. Telegram itu dia simpan dalam kantongnya.
“Kapan tuan kehendaki kami menerbangkan jenazah Robert ke Australia..?”
“Saya akan beritahu dalam waktu dekat…” sambil berkata begitu Kapten tersebut berdiri. Dia memberi isyarat pada si Bungsu untuk ikut.
Mereka menuju sebuah restoran di jantung kota Singapura.
“Saya sangat menyesal atas kematian Robert, Kapten…kalau saya tidak ikut dengan anda, saya rasa dia masih hidup…” si Bungsu berkata ketika mereka duduk dan memesan minuman.
“Jangan menyesali diri Bungsu. kita percaya pada takdir Tuhan bukan? Nah, memang takdirnya sudah harus mati di kota ini. Hanya saja, saya akan membuat perhitungan dengan orang yang membunuhnya. Saya akan mencari jejaknya, dan saya akan menemukan mereka. Dan saya akan membunuh mereka. Saya yakin, mereka berada dalam satu komplot. Dan jika perlu, saya akan berperang dengan mereka. Saya masih punya pasukan di kota ini. Bekas pasukan Baret Hijau yang telah mengundurkan diri seusai perang dunia yang laknat itu…”
“Ini bukan peperangan anda Kapten…ini peperangan saya. Mereka sebenarnya menghendaki nyawa saya. Mereka adalah anggota sebuah sindikat perdagangan wanita…”
Dan si Bungsu menceritakan segala kejadian yang dia alami sehubungan dengan sindikat itu. Mulai dari dia bertemu dengan Nurdin sampai pada detik terakhir mereka ditembak dijalan yang menyebabkan kematian Robert.
“Dan Overste Nurdin ditembak persis ditempat Robert kena tembak. Dia ditembak juga dari sebuah taksi yang dilarikan dengan kencang….” Si Bungsu mengakhiri ceritanya.
Bekas Kapten berbaju kaos oblong itu meneguk wiskinya. Kemudian menatap pada si Bungsu.
“Kini persoalan ini bukan hanya persoalan dirimu Bungsu. juga jadi persoalan saya. Selain disebabkan orang itu telah membunuh Robert, kita telah mengikat persahabatan. Kami memang orang kasar. Umumnya bekas tentara yang keluar dari kencah perang dunia seperti kami memang berperangai kasar. Tapi kami adalah orang-orang yang memuliakan persahabatan. Ah, kalau saja Robert masih hidup, kita bertiga akan bersama-sama menyikat sindikat itu. Jangan khawatir Bungsu, saya masih punya pasukan. Saya akan sebar mereka untuk mencari dimana markas sindikat itu. Selain membalas perlakuan mereka pada dirimu dan pada temanmu yang bernama Nurdin itu, sindikat perdagangan wanita itu memang harus dibinasakan…kita akan bahu membahu…nah habiskan minumanmu. Kita akan segera mulai…”
Si Bungsu tercengan dan merasa haru yang amat dalam mendengar ucapan Kapten itu. Banyak hal-hal yang tak dia duga yang pernah dia temui dalam hidupnya. Antara lain, dia tak pernah menduga bahwa Michiko, gadis yang ditolongnya di Asakusa dan yang sekereta dengannya menuju Kyoto itu, dan yang dia cintai itu, adalah anak Saburo Matsuyama. Anak musuh besarnya!
Dan kini, orang yang akan membunuhnya karena persoalan Mei-Mei di hotel Sam Kok itu. Bekas serdadu perang dunia ke II, tiba-tiba saja beralih menjadi sahabat yang bersedia mati untuk membantunya.
“Terimakasih, Kapten…” katanya perlahan.
Mereka segera saja menyelesaikan minum disana. Kemudian Kapten itu menuju telepon. Kelihatan dia bicara dengan seseorang. Lalu menuju kembali pada si Bungsu.
“Apakah dokumen sindikat itu ada padamu..?”
“Ada. Di hotel..”
“Mari kita lihat..”
Dengan sebuah taksi mereka menuju hotel didepan pelabuhan dimana mereka hampir bertarung dengan pisau kemaren.
Si Bungsu memperlihatkan dokumen itu. Bekas Kapten itu mempelajari sejenak. Dokumen itu mempunyai sebuah peta darurat. Sebagai seorang bekas perwira dari pasukan Komando, tak begitu sulit bagi Kapten itu untuk membaca peta rahasia itu.
Dia kemudian bicara lagi pada seseorang lewat telpon di hotel itu.
“Nah, sahabat. Tinggallah dahulu. Anda istirahatlah. Malam ini kita akan bergerak. Anda akan saya jemput sekitar jam delapan nanti malam..”
Mereka bersalaman. Kemudian bekas perwira baret hijau itu berlalu. Si Bungsu seperti bermimpi saja. Alangkah banyaknya pengalaman yang dia timba dari kehidupan yang dua hari ini.
Dia tengah duduk termenung di kamarnya ketika pintu kamar diketuk. Ketika pintu dia buka, seorang lelaki Barat, mungkin dari Amerika masuk dengan sebuah tas.
“Dia takkan dikubur disini Mayor. Saya minta kalian menerbangkan mayatnya ke Australia. Disana ada anak dan isterinya. Disana jenazahnya harus dimakamkan…”
“Kami akan melaksanakan permintaan tuan. Ini ada telegram dari induk pasukan tuan di Inggris. Menyampaikan duka cita yang dalam atas meninggalnya Letnan Robert..”
Mayor itu memberikan telegram tersebut. Kapten tersebut menerimanya. Tapi tak membacanya. Telegram itu dia simpan dalam kantongnya.
“Kapan tuan kehendaki kami menerbangkan jenazah Robert ke Australia..?”
“Saya akan beritahu dalam waktu dekat…” sambil berkata begitu Kapten tersebut berdiri. Dia memberi isyarat pada si Bungsu untuk ikut.
Mereka menuju sebuah restoran di jantung kota Singapura.
“Saya sangat menyesal atas kematian Robert, Kapten…kalau saya tidak ikut dengan anda, saya rasa dia masih hidup…” si Bungsu berkata ketika mereka duduk dan memesan minuman.
“Jangan menyesali diri Bungsu. kita percaya pada takdir Tuhan bukan? Nah, memang takdirnya sudah harus mati di kota ini. Hanya saja, saya akan membuat perhitungan dengan orang yang membunuhnya. Saya akan mencari jejaknya, dan saya akan menemukan mereka. Dan saya akan membunuh mereka. Saya yakin, mereka berada dalam satu komplot. Dan jika perlu, saya akan berperang dengan mereka. Saya masih punya pasukan di kota ini. Bekas pasukan Baret Hijau yang telah mengundurkan diri seusai perang dunia yang laknat itu…”
“Ini bukan peperangan anda Kapten…ini peperangan saya. Mereka sebenarnya menghendaki nyawa saya. Mereka adalah anggota sebuah sindikat perdagangan wanita…”
Dan si Bungsu menceritakan segala kejadian yang dia alami sehubungan dengan sindikat itu. Mulai dari dia bertemu dengan Nurdin sampai pada detik terakhir mereka ditembak dijalan yang menyebabkan kematian Robert.
“Dan Overste Nurdin ditembak persis ditempat Robert kena tembak. Dia ditembak juga dari sebuah taksi yang dilarikan dengan kencang….” Si Bungsu mengakhiri ceritanya.
Bekas Kapten berbaju kaos oblong itu meneguk wiskinya. Kemudian menatap pada si Bungsu.
“Kini persoalan ini bukan hanya persoalan dirimu Bungsu. juga jadi persoalan saya. Selain disebabkan orang itu telah membunuh Robert, kita telah mengikat persahabatan. Kami memang orang kasar. Umumnya bekas tentara yang keluar dari kencah perang dunia seperti kami memang berperangai kasar. Tapi kami adalah orang-orang yang memuliakan persahabatan. Ah, kalau saja Robert masih hidup, kita bertiga akan bersama-sama menyikat sindikat itu. Jangan khawatir Bungsu, saya masih punya pasukan. Saya akan sebar mereka untuk mencari dimana markas sindikat itu. Selain membalas perlakuan mereka pada dirimu dan pada temanmu yang bernama Nurdin itu, sindikat perdagangan wanita itu memang harus dibinasakan…kita akan bahu membahu…nah habiskan minumanmu. Kita akan segera mulai…”
Si Bungsu tercengan dan merasa haru yang amat dalam mendengar ucapan Kapten itu. Banyak hal-hal yang tak dia duga yang pernah dia temui dalam hidupnya. Antara lain, dia tak pernah menduga bahwa Michiko, gadis yang ditolongnya di Asakusa dan yang sekereta dengannya menuju Kyoto itu, dan yang dia cintai itu, adalah anak Saburo Matsuyama. Anak musuh besarnya!
Dan kini, orang yang akan membunuhnya karena persoalan Mei-Mei di hotel Sam Kok itu. Bekas serdadu perang dunia ke II, tiba-tiba saja beralih menjadi sahabat yang bersedia mati untuk membantunya.
“Terimakasih, Kapten…” katanya perlahan.
Mereka segera saja menyelesaikan minum disana. Kemudian Kapten itu menuju telepon. Kelihatan dia bicara dengan seseorang. Lalu menuju kembali pada si Bungsu.
“Apakah dokumen sindikat itu ada padamu..?”
“Ada. Di hotel..”
“Mari kita lihat..”
Dengan sebuah taksi mereka menuju hotel didepan pelabuhan dimana mereka hampir bertarung dengan pisau kemaren.
Si Bungsu memperlihatkan dokumen itu. Bekas Kapten itu mempelajari sejenak. Dokumen itu mempunyai sebuah peta darurat. Sebagai seorang bekas perwira dari pasukan Komando, tak begitu sulit bagi Kapten itu untuk membaca peta rahasia itu.
Dia kemudian bicara lagi pada seseorang lewat telpon di hotel itu.
“Nah, sahabat. Tinggallah dahulu. Anda istirahatlah. Malam ini kita akan bergerak. Anda akan saya jemput sekitar jam delapan nanti malam..”
Mereka bersalaman. Kemudian bekas perwira baret hijau itu berlalu. Si Bungsu seperti bermimpi saja. Alangkah banyaknya pengalaman yang dia timba dari kehidupan yang dua hari ini.
Dia tengah duduk termenung di kamarnya ketika pintu kamar diketuk. Ketika pintu dia buka, seorang lelaki Barat, mungkin dari Amerika masuk dengan sebuah tas.
Tikam Samurai - 294
“Saya Donald. Mac Donald dari pasukan Green Barets. Saya disuruh Kapten Fabian untuk menemui anda disini…” orang yang baru masuk itu langsung saja bicara dan menyalami si Bungsu.
“Saya si Bungsu. Apa yang bisa saya perbuat?”.
Serdadu yang bernama Donald itu tak bicara. Dia membuka ritsleting tas kulitnya. Dari dalamnya dia mengeluarkan sepucuk thompson. Sejenis senjata otomatis bermagazine bundar.
“Anda bisa mempergunakan besi tua ini?”
Si Bungsu menggeleng. Dia memang tak pernah melihat bedil seperti itu.
“Nah, caranya mudah saja…begini” dan anak buah Kapten Fabian itu memberikan petunjuk selama beberapa saat pada si Bungsu tentang penggunaan senjata otomat itu.
Lalu setelah dia merasa si Bungsu bisa, diapun berlalu. Senjata itu dia bawa kembali dengan tas kulitnya yang usang. Dan kembali si Bungsu tinggal dalam biliknya sendirian.
Dan tanpa terasa haripun malamlah. Di luar terdengar mobil berhenti. Si Bungsu bersiap.
Tak lama setelah mobil itu berhenti, terdengar suara langkah masuk. Makin lama makin dekat ke kamarnya. Dia sudah bermaksud membukakan pintu, ketika firasatnya yang amat tajam, firasat yang terlatih di rimba Gunung Sago mengirimkan denyut peringatan.
Hanya beberapa detik, dia segera merasa ada sesuatu yang tak beres. Tangannya cepat memadamkan lampu. Lalu dalam dua loncatan dia sampai dekat jendela.
Ketika tubuhnya melambung dalam loncatan ketiga, pintu ditendang dengan sangat kuat. Pintu itu tanggal dengan engsel-engselnya.
Ketika daun pintu tercampak menerpa tempat tidur, tubuh si Bungsu menerpa kaca jendela. Kaca itu hancur berderai. Tubuhnya jatuh bergulingan di halaman hotel. Dan saat itu terdengar enam deram tembakan di dalam kamar. Sepi. Suara langkah kaki memburu ke jendela yang pecah.
Seseorang mengintai lewat jendela itu dengan bedil otomatis di tangannya. Dia melihat bayangan. Dekat sekali. Orang itu mengulurkan senapannya, dan menarik kepalanya masuk. Tapi terlambat. Bayangan sekilas yang dia lihat itu tak lain dari berkelabatnya pedang samurai.
Si Bungsu memang menanti diluar jendela. Dan dia tak peduli lagi, siapapun orangnya yang menembak-nembak dalam kamarnya pastilah menghendaki nyawanya. Dan orang itu harus mendapat ganjaran yang setimal. Dalam sekali ayun, samurai panjang yang dia bawa dari Situjuh Ladang Laweh, yang telah membunuh banyak manusia, termasuk ayah, ibu dan kakaknya, memakan leher orang berbedil di jendela itu.
Leher orang itu putus. Seperti membabat batang pisang saja. Kepalanya jatuh keluar jendela. Tubuhnya terkulai di jendela itu. Senepannya masih tergenggam di tangan. Tak ada suara pekikan. Tak ada keluhan.
“Ada dia disana?” terdengar pertanyaan dari dalam kamar. Suaranya jelas beraksen asing. Seperti suara orang eropah. Mirip suara Kapten Fabian siang tadi!
“Ada, dia lari keseberang jalan…” si Bungsu berkata sambil mendekatkan dirinya ke mayat di jendela. Dadanya berdebar kencang. Dia ingin tahu siapa orangnya yang di dalam itu.
Langkah mendekat ke jendela. Nampaknya orang itu tertegun kaget melihat temannya tak berkepala. Dan waktu itulah si Bungsu berdiri. Tegak persis di depan jendela. Menatap dalam ke arah orang yang kaget itu.
Orang itu, teman sipenembak yang telah putus kepalanya itu tersurut begitu melihat ada orang yang tegak tiba-tiba di depannya. Dia memang orang barat. Tapi bukan Kapten Fabian seperti dugaan si Bungsu.
Orang itu nampaknya seperti orang Teksas. Tinggi besar dan bermata coklat. Mereka bertatapan sejenak sebelum keduanya sama-sama bergerak untuk saling membunuh. Orang teksas itu, sebagaimana lazimnya orang-orang dari Amerika, amat mengandalkan kecepatannya menggunakan pistol.
Si Teksas mengangkat pistol yang memang telah dia genggam sejak tadi. Si Bungsu masih tetap tegak menatapnya. Ketika pelatuk pistol ditarik, si Bungsu menghayunkan samurai. Ujung samurainya memang tidak ditujukan pada tubuh si Teksas. Melainkan memukul ujung pistolnya ke bawah.
Pistol itu menekur. Dan meledak. Pelurunya menghujam ke punggung mayat temannya yang tergantung di jendela. Sementara orang ramai mulai berkerumun. Namun semuanya melihat saja dari kejauahan.
Ketika si Teksas itu akan mengangkat pistolnya lagi, si Bungsu menghujamkan samurainya lurus ke depan. Samurai itu masuk ke leher si Teksas. Si Teksas kaget dan kesakitan luar biasa, dia berusaha terus mengangkat pistolnya. Namun si Bungsu menekankan lagi samurainya yang luar biasa runcing dan luar biasa tajamnnya itu.
Bilah samurai itu masuk mengenai tulang leher. Mecong sedikit kekiri. Kemudian tembus ke tengkuk. Teksas itu masih berdiri. Matanya mendelik. Darah tak setetespun keluar dari lehernya yang luka. Darah justru menyembur lewat tengkuknya.
“Saya Donald. Mac Donald dari pasukan Green Barets. Saya disuruh Kapten Fabian untuk menemui anda disini…” orang yang baru masuk itu langsung saja bicara dan menyalami si Bungsu.
“Saya si Bungsu. Apa yang bisa saya perbuat?”.
Serdadu yang bernama Donald itu tak bicara. Dia membuka ritsleting tas kulitnya. Dari dalamnya dia mengeluarkan sepucuk thompson. Sejenis senjata otomatis bermagazine bundar.
“Anda bisa mempergunakan besi tua ini?”
Si Bungsu menggeleng. Dia memang tak pernah melihat bedil seperti itu.
“Nah, caranya mudah saja…begini” dan anak buah Kapten Fabian itu memberikan petunjuk selama beberapa saat pada si Bungsu tentang penggunaan senjata otomat itu.
Lalu setelah dia merasa si Bungsu bisa, diapun berlalu. Senjata itu dia bawa kembali dengan tas kulitnya yang usang. Dan kembali si Bungsu tinggal dalam biliknya sendirian.
Dan tanpa terasa haripun malamlah. Di luar terdengar mobil berhenti. Si Bungsu bersiap.
Tak lama setelah mobil itu berhenti, terdengar suara langkah masuk. Makin lama makin dekat ke kamarnya. Dia sudah bermaksud membukakan pintu, ketika firasatnya yang amat tajam, firasat yang terlatih di rimba Gunung Sago mengirimkan denyut peringatan.
Hanya beberapa detik, dia segera merasa ada sesuatu yang tak beres. Tangannya cepat memadamkan lampu. Lalu dalam dua loncatan dia sampai dekat jendela.
Ketika tubuhnya melambung dalam loncatan ketiga, pintu ditendang dengan sangat kuat. Pintu itu tanggal dengan engsel-engselnya.
Ketika daun pintu tercampak menerpa tempat tidur, tubuh si Bungsu menerpa kaca jendela. Kaca itu hancur berderai. Tubuhnya jatuh bergulingan di halaman hotel. Dan saat itu terdengar enam deram tembakan di dalam kamar. Sepi. Suara langkah kaki memburu ke jendela yang pecah.
Seseorang mengintai lewat jendela itu dengan bedil otomatis di tangannya. Dia melihat bayangan. Dekat sekali. Orang itu mengulurkan senapannya, dan menarik kepalanya masuk. Tapi terlambat. Bayangan sekilas yang dia lihat itu tak lain dari berkelabatnya pedang samurai.
Si Bungsu memang menanti diluar jendela. Dan dia tak peduli lagi, siapapun orangnya yang menembak-nembak dalam kamarnya pastilah menghendaki nyawanya. Dan orang itu harus mendapat ganjaran yang setimal. Dalam sekali ayun, samurai panjang yang dia bawa dari Situjuh Ladang Laweh, yang telah membunuh banyak manusia, termasuk ayah, ibu dan kakaknya, memakan leher orang berbedil di jendela itu.
Leher orang itu putus. Seperti membabat batang pisang saja. Kepalanya jatuh keluar jendela. Tubuhnya terkulai di jendela itu. Senepannya masih tergenggam di tangan. Tak ada suara pekikan. Tak ada keluhan.
“Ada dia disana?” terdengar pertanyaan dari dalam kamar. Suaranya jelas beraksen asing. Seperti suara orang eropah. Mirip suara Kapten Fabian siang tadi!
“Ada, dia lari keseberang jalan…” si Bungsu berkata sambil mendekatkan dirinya ke mayat di jendela. Dadanya berdebar kencang. Dia ingin tahu siapa orangnya yang di dalam itu.
Langkah mendekat ke jendela. Nampaknya orang itu tertegun kaget melihat temannya tak berkepala. Dan waktu itulah si Bungsu berdiri. Tegak persis di depan jendela. Menatap dalam ke arah orang yang kaget itu.
Orang itu, teman sipenembak yang telah putus kepalanya itu tersurut begitu melihat ada orang yang tegak tiba-tiba di depannya. Dia memang orang barat. Tapi bukan Kapten Fabian seperti dugaan si Bungsu.
Orang itu nampaknya seperti orang Teksas. Tinggi besar dan bermata coklat. Mereka bertatapan sejenak sebelum keduanya sama-sama bergerak untuk saling membunuh. Orang teksas itu, sebagaimana lazimnya orang-orang dari Amerika, amat mengandalkan kecepatannya menggunakan pistol.
Si Teksas mengangkat pistol yang memang telah dia genggam sejak tadi. Si Bungsu masih tetap tegak menatapnya. Ketika pelatuk pistol ditarik, si Bungsu menghayunkan samurai. Ujung samurainya memang tidak ditujukan pada tubuh si Teksas. Melainkan memukul ujung pistolnya ke bawah.
Pistol itu menekur. Dan meledak. Pelurunya menghujam ke punggung mayat temannya yang tergantung di jendela. Sementara orang ramai mulai berkerumun. Namun semuanya melihat saja dari kejauahan.
Ketika si Teksas itu akan mengangkat pistolnya lagi, si Bungsu menghujamkan samurainya lurus ke depan. Samurai itu masuk ke leher si Teksas. Si Teksas kaget dan kesakitan luar biasa, dia berusaha terus mengangkat pistolnya. Namun si Bungsu menekankan lagi samurainya yang luar biasa runcing dan luar biasa tajamnnya itu.
Bilah samurai itu masuk mengenai tulang leher. Mecong sedikit kekiri. Kemudian tembus ke tengkuk. Teksas itu masih berdiri. Matanya mendelik. Darah tak setetespun keluar dari lehernya yang luka. Darah justru menyembur lewat tengkuknya.
“Saya si Bungsu. Apa yang bisa saya perbuat?”.
Serdadu yang bernama Donald itu tak bicara. Dia membuka ritsleting tas kulitnya. Dari dalamnya dia mengeluarkan sepucuk thompson. Sejenis senjata otomatis bermagazine bundar.
“Anda bisa mempergunakan besi tua ini?”
Si Bungsu menggeleng. Dia memang tak pernah melihat bedil seperti itu.
“Nah, caranya mudah saja…begini” dan anak buah Kapten Fabian itu memberikan petunjuk selama beberapa saat pada si Bungsu tentang penggunaan senjata otomat itu.
Lalu setelah dia merasa si Bungsu bisa, diapun berlalu. Senjata itu dia bawa kembali dengan tas kulitnya yang usang. Dan kembali si Bungsu tinggal dalam biliknya sendirian.
Dan tanpa terasa haripun malamlah. Di luar terdengar mobil berhenti. Si Bungsu bersiap.
Tak lama setelah mobil itu berhenti, terdengar suara langkah masuk. Makin lama makin dekat ke kamarnya. Dia sudah bermaksud membukakan pintu, ketika firasatnya yang amat tajam, firasat yang terlatih di rimba Gunung Sago mengirimkan denyut peringatan.
Hanya beberapa detik, dia segera merasa ada sesuatu yang tak beres. Tangannya cepat memadamkan lampu. Lalu dalam dua loncatan dia sampai dekat jendela.
Ketika tubuhnya melambung dalam loncatan ketiga, pintu ditendang dengan sangat kuat. Pintu itu tanggal dengan engsel-engselnya.
Ketika daun pintu tercampak menerpa tempat tidur, tubuh si Bungsu menerpa kaca jendela. Kaca itu hancur berderai. Tubuhnya jatuh bergulingan di halaman hotel. Dan saat itu terdengar enam deram tembakan di dalam kamar. Sepi. Suara langkah kaki memburu ke jendela yang pecah.
Seseorang mengintai lewat jendela itu dengan bedil otomatis di tangannya. Dia melihat bayangan. Dekat sekali. Orang itu mengulurkan senapannya, dan menarik kepalanya masuk. Tapi terlambat. Bayangan sekilas yang dia lihat itu tak lain dari berkelabatnya pedang samurai.
Si Bungsu memang menanti diluar jendela. Dan dia tak peduli lagi, siapapun orangnya yang menembak-nembak dalam kamarnya pastilah menghendaki nyawanya. Dan orang itu harus mendapat ganjaran yang setimal. Dalam sekali ayun, samurai panjang yang dia bawa dari Situjuh Ladang Laweh, yang telah membunuh banyak manusia, termasuk ayah, ibu dan kakaknya, memakan leher orang berbedil di jendela itu.
Leher orang itu putus. Seperti membabat batang pisang saja. Kepalanya jatuh keluar jendela. Tubuhnya terkulai di jendela itu. Senepannya masih tergenggam di tangan. Tak ada suara pekikan. Tak ada keluhan.
“Ada dia disana?” terdengar pertanyaan dari dalam kamar. Suaranya jelas beraksen asing. Seperti suara orang eropah. Mirip suara Kapten Fabian siang tadi!
“Ada, dia lari keseberang jalan…” si Bungsu berkata sambil mendekatkan dirinya ke mayat di jendela. Dadanya berdebar kencang. Dia ingin tahu siapa orangnya yang di dalam itu.
Langkah mendekat ke jendela. Nampaknya orang itu tertegun kaget melihat temannya tak berkepala. Dan waktu itulah si Bungsu berdiri. Tegak persis di depan jendela. Menatap dalam ke arah orang yang kaget itu.
Orang itu, teman sipenembak yang telah putus kepalanya itu tersurut begitu melihat ada orang yang tegak tiba-tiba di depannya. Dia memang orang barat. Tapi bukan Kapten Fabian seperti dugaan si Bungsu.
Orang itu nampaknya seperti orang Teksas. Tinggi besar dan bermata coklat. Mereka bertatapan sejenak sebelum keduanya sama-sama bergerak untuk saling membunuh. Orang teksas itu, sebagaimana lazimnya orang-orang dari Amerika, amat mengandalkan kecepatannya menggunakan pistol.
Si Teksas mengangkat pistol yang memang telah dia genggam sejak tadi. Si Bungsu masih tetap tegak menatapnya. Ketika pelatuk pistol ditarik, si Bungsu menghayunkan samurai. Ujung samurainya memang tidak ditujukan pada tubuh si Teksas. Melainkan memukul ujung pistolnya ke bawah.
Pistol itu menekur. Dan meledak. Pelurunya menghujam ke punggung mayat temannya yang tergantung di jendela. Sementara orang ramai mulai berkerumun. Namun semuanya melihat saja dari kejauahan.
Ketika si Teksas itu akan mengangkat pistolnya lagi, si Bungsu menghujamkan samurainya lurus ke depan. Samurai itu masuk ke leher si Teksas. Si Teksas kaget dan kesakitan luar biasa, dia berusaha terus mengangkat pistolnya. Namun si Bungsu menekankan lagi samurainya yang luar biasa runcing dan luar biasa tajamnnya itu.
Bilah samurai itu masuk mengenai tulang leher. Mecong sedikit kekiri. Kemudian tembus ke tengkuk. Teksas itu masih berdiri. Matanya mendelik. Darah tak setetespun keluar dari lehernya yang luka. Darah justru menyembur lewat tengkuknya.
Tikam Samurai - 295
Si Teksas menarik pelatuk pistol. Sebuah ledakan bergema. Tapi pelurunya sudah kelantai arahnya. Si Bungsu menarik samurainya dengan cepat. Si Teksas menggelepar. Jatuh ke tempat tidur. Kemudian kejang. Mati!
Si Bungsu melompat lagi ke dalam lewat jendela. Menyambar dokumen yang terletak diatas meja. Kemudian ketika orang-orang mulai heboh, dia menyelinap keuar.
Begitu dia tiba diliaur, mobil polisi datang.
“Tuan saya tahan…” kata seorang polisi berpangkat letnan ketika seseorang berkata bahwa anak muda itulah yang telah membantai kedua orang dikamar tersebut.
Si Bungsu berniat melawan, tapi tahu-tahu saja tiga orang polisi Singapura telah memegangnya. Dan borgol segera pula dilekatkan ketangannya.
Dia masih ingin memberikan penjelasan. Tapi dia telah dinaikkan ke sebuah jeep berpengawal dan berdinding baja. Jeep spesial membawa tawanan berbahaya. Dan jeep itu segera dilarikan ke markas polisi.
Si Bungsu heran kenapa Kapten Fabian yang berjanji akan datang jam delapan itu tak kunjung tiba. Perjalanan didalam jeep Polisi itu terasa amat lama.
Ketika akhirnya Jeep itu berhenti, dengan terkejut si Bungsu menyadari bahwa dia tak dibawa ke markas Polisi Singapura. Tidak. Gedung dimana mereka berhenti ini adalah sebuah gedung tua di luar kota. Keadaannya sepi saja.
Suatu perasaan tak enak menyelusup kehatinya.
Apakah polisi yang membawanya adalah anggota komplotan sindikat itu? Dia segera di suruh turun. Kemudian dengan tangan terborgol, dibawa masuk. Dia dibawa masuk lewat sebuah lorong yang panjang. Dan sebuah ruangan terbuka.
Dia tertegak dengan tubuh kaku menatap siapa didepannya. Seorang lelaki tinggi besar duduk di sebuah kursi. Di depannya sebuah meja yang penuh oleh bedil. Dan selain lelaki tinggi itu ada tiga orang lagi lelaki yang lain.
Yang membuat tubuhnya terasa kaku adalah lelaki tinggi besar itu. Dia tak lain daripada Kapten Fabian! Orang Australia yang mengatakan menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas itu. Yang berjanji akan membantunya menumpas sindikat perdagangan wanita itu. Kini apa kerjanya disini? Dan ternyata dia pula yang menyuruh keempat polisi Singapura itu menangkap dirinya!
Begitu dia masuk, Kapten itu menoleh.
“Hai. Sanat tidak enak diangkut dengan tangan terbogrol bukan..?” suara Kapten itu terdengar ramah dengan senyum di bibirnya. Si Bungsu tak menjawab. Hanya menatap dengan diam.
Kapten itu memberi isyrat pada anak buahnya. Dan Polisi yang tadi memborgolnya segera membuka borgol itu.
Kapten itu berdiri.
“Nah, Bungsu, ini teman-teman saya ketika di Komando dulu. Itu Sony, sersan spesialis alat peledak. Itu Tongky, negro yang ahli menyelusup kemana saja. Itu Fred, ahli karate. Dan keempat Polisi yang menyergapmu ini adalah empat anggota Green Barets yang ahli dalam pertempuran… tuan-tuan, inilah saudara Bungsu yang saya katakan itu. Seorang anak Indonesia yang ahli dengan samurai. Tidak hanya sekedar ahli, tapi dia memiliki predikat Grand Master dalam hal itu. Selama beberapa pekan di Singapura ini dia sendirian memerangi sindikat perdagangan wanita. Silahkan tuan-tuan berkenalan..”
Si Bungsu jadi malu pada persangkaannya tadi. Dia sangka Kapten inilah komandan sindikat itu. Dia punya alasan untuk berprasangka demikian. Sebab dia dibawa kemari dengan tangan terborgol. Ke tujuh bekas anggota baret hijau itu tegak dan menyalami si Bungsu. Tubuh mereka rata-rata kekar. Ada yang berwajah sadis, ada yang berwajah murung, ada yang biasa-biasa saja. Namun satu hal yang dirasakan si Bungsu tentang orang-orang ini. Mereka semua adalah individu-individu yang tangguh dan kelompok kecil yang sanggup menaklukan satu bataliyon tentara.
Selesai mereka berkenalan, Kapten itu membawa mereka ke ruang sebelah. Di sana ada sebuah kertas besar dengan peta yang dibuat darurat sekali. Mereka segara duduk di kursi yang tersedia.
“Sebelum saya mulai menerangkan detail penyerangan malam ini, kepada saudara Bungsu ingin saya sampaikan sesuatu. Kami telah mengetahui bahwa ada yang akan menyerang saudara ke hotel jam delapan tadi. Ada maksud kami untuk memberitahukan saudara. Tapi ternyata kami harus berpacu dengan waktu.
Akhirnya diambil keputusan bahwa saudara akan kami jemput setelah pertarungan itu selesai. Kami yakin saudara yang akan keluar sebagai pemenang. Untuk mengelabui, maka keempat anggota yang menjemput saudara saya suruh berpakaian polisi.
Dan kalau ternyata saudara yang kalah dalam pertarungan tadi maka keempat polisi ini bertugas menyudahi kedua penyerang itu. Mereka berempat sebenarnya saya beri dua alternatif. Pertama membantu saudara dalam perkelahian itu, atau “menangkap” saudara setelah perkelahian usai.
Ternyata mereka memilih alternatif kedua. Mereka ingin membuktikan apakah engkau memang seorang master dengan samurai seperti yang kukatakan sebelum mereka berangkat menjemputmu”
Si Teksas menarik pelatuk pistol. Sebuah ledakan bergema. Tapi pelurunya sudah kelantai arahnya. Si Bungsu menarik samurainya dengan cepat. Si Teksas menggelepar. Jatuh ke tempat tidur. Kemudian kejang. Mati!
Si Bungsu melompat lagi ke dalam lewat jendela. Menyambar dokumen yang terletak diatas meja. Kemudian ketika orang-orang mulai heboh, dia menyelinap keuar.
Begitu dia tiba diliaur, mobil polisi datang.
“Tuan saya tahan…” kata seorang polisi berpangkat letnan ketika seseorang berkata bahwa anak muda itulah yang telah membantai kedua orang dikamar tersebut.
Si Bungsu berniat melawan, tapi tahu-tahu saja tiga orang polisi Singapura telah memegangnya. Dan borgol segera pula dilekatkan ketangannya.
Dia masih ingin memberikan penjelasan. Tapi dia telah dinaikkan ke sebuah jeep berpengawal dan berdinding baja. Jeep spesial membawa tawanan berbahaya. Dan jeep itu segera dilarikan ke markas polisi.
Si Bungsu heran kenapa Kapten Fabian yang berjanji akan datang jam delapan itu tak kunjung tiba. Perjalanan didalam jeep Polisi itu terasa amat lama.
Ketika akhirnya Jeep itu berhenti, dengan terkejut si Bungsu menyadari bahwa dia tak dibawa ke markas Polisi Singapura. Tidak. Gedung dimana mereka berhenti ini adalah sebuah gedung tua di luar kota. Keadaannya sepi saja.
Suatu perasaan tak enak menyelusup kehatinya.
Apakah polisi yang membawanya adalah anggota komplotan sindikat itu? Dia segera di suruh turun. Kemudian dengan tangan terborgol, dibawa masuk. Dia dibawa masuk lewat sebuah lorong yang panjang. Dan sebuah ruangan terbuka.
Dia tertegak dengan tubuh kaku menatap siapa didepannya. Seorang lelaki tinggi besar duduk di sebuah kursi. Di depannya sebuah meja yang penuh oleh bedil. Dan selain lelaki tinggi itu ada tiga orang lagi lelaki yang lain.
Yang membuat tubuhnya terasa kaku adalah lelaki tinggi besar itu. Dia tak lain daripada Kapten Fabian! Orang Australia yang mengatakan menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas itu. Yang berjanji akan membantunya menumpas sindikat perdagangan wanita itu. Kini apa kerjanya disini? Dan ternyata dia pula yang menyuruh keempat polisi Singapura itu menangkap dirinya!
Begitu dia masuk, Kapten itu menoleh.
“Hai. Sanat tidak enak diangkut dengan tangan terbogrol bukan..?” suara Kapten itu terdengar ramah dengan senyum di bibirnya. Si Bungsu tak menjawab. Hanya menatap dengan diam.
Kapten itu memberi isyrat pada anak buahnya. Dan Polisi yang tadi memborgolnya segera membuka borgol itu.
Kapten itu berdiri.
“Nah, Bungsu, ini teman-teman saya ketika di Komando dulu. Itu Sony, sersan spesialis alat peledak. Itu Tongky, negro yang ahli menyelusup kemana saja. Itu Fred, ahli karate. Dan keempat Polisi yang menyergapmu ini adalah empat anggota Green Barets yang ahli dalam pertempuran… tuan-tuan, inilah saudara Bungsu yang saya katakan itu. Seorang anak Indonesia yang ahli dengan samurai. Tidak hanya sekedar ahli, tapi dia memiliki predikat Grand Master dalam hal itu. Selama beberapa pekan di Singapura ini dia sendirian memerangi sindikat perdagangan wanita. Silahkan tuan-tuan berkenalan..”
Si Bungsu jadi malu pada persangkaannya tadi. Dia sangka Kapten inilah komandan sindikat itu. Dia punya alasan untuk berprasangka demikian. Sebab dia dibawa kemari dengan tangan terborgol. Ke tujuh bekas anggota baret hijau itu tegak dan menyalami si Bungsu. Tubuh mereka rata-rata kekar. Ada yang berwajah sadis, ada yang berwajah murung, ada yang biasa-biasa saja. Namun satu hal yang dirasakan si Bungsu tentang orang-orang ini. Mereka semua adalah individu-individu yang tangguh dan kelompok kecil yang sanggup menaklukan satu bataliyon tentara.
Selesai mereka berkenalan, Kapten itu membawa mereka ke ruang sebelah. Di sana ada sebuah kertas besar dengan peta yang dibuat darurat sekali. Mereka segara duduk di kursi yang tersedia.
“Sebelum saya mulai menerangkan detail penyerangan malam ini, kepada saudara Bungsu ingin saya sampaikan sesuatu. Kami telah mengetahui bahwa ada yang akan menyerang saudara ke hotel jam delapan tadi. Ada maksud kami untuk memberitahukan saudara. Tapi ternyata kami harus berpacu dengan waktu.
Akhirnya diambil keputusan bahwa saudara akan kami jemput setelah pertarungan itu selesai. Kami yakin saudara yang akan keluar sebagai pemenang. Untuk mengelabui, maka keempat anggota yang menjemput saudara saya suruh berpakaian polisi.
Dan kalau ternyata saudara yang kalah dalam pertarungan tadi maka keempat polisi ini bertugas menyudahi kedua penyerang itu. Mereka berempat sebenarnya saya beri dua alternatif. Pertama membantu saudara dalam perkelahian itu, atau “menangkap” saudara setelah perkelahian usai.
Ternyata mereka memilih alternatif kedua. Mereka ingin membuktikan apakah engkau memang seorang master dengan samurai seperti yang kukatakan sebelum mereka berangkat menjemputmu”
Si Bungsu melompat lagi ke dalam lewat jendela. Menyambar dokumen yang terletak diatas meja. Kemudian ketika orang-orang mulai heboh, dia menyelinap keuar.
Begitu dia tiba diliaur, mobil polisi datang.
“Tuan saya tahan…” kata seorang polisi berpangkat letnan ketika seseorang berkata bahwa anak muda itulah yang telah membantai kedua orang dikamar tersebut.
Si Bungsu berniat melawan, tapi tahu-tahu saja tiga orang polisi Singapura telah memegangnya. Dan borgol segera pula dilekatkan ketangannya.
Dia masih ingin memberikan penjelasan. Tapi dia telah dinaikkan ke sebuah jeep berpengawal dan berdinding baja. Jeep spesial membawa tawanan berbahaya. Dan jeep itu segera dilarikan ke markas polisi.
Si Bungsu heran kenapa Kapten Fabian yang berjanji akan datang jam delapan itu tak kunjung tiba. Perjalanan didalam jeep Polisi itu terasa amat lama.
Ketika akhirnya Jeep itu berhenti, dengan terkejut si Bungsu menyadari bahwa dia tak dibawa ke markas Polisi Singapura. Tidak. Gedung dimana mereka berhenti ini adalah sebuah gedung tua di luar kota. Keadaannya sepi saja.
Suatu perasaan tak enak menyelusup kehatinya.
Apakah polisi yang membawanya adalah anggota komplotan sindikat itu? Dia segera di suruh turun. Kemudian dengan tangan terborgol, dibawa masuk. Dia dibawa masuk lewat sebuah lorong yang panjang. Dan sebuah ruangan terbuka.
Dia tertegak dengan tubuh kaku menatap siapa didepannya. Seorang lelaki tinggi besar duduk di sebuah kursi. Di depannya sebuah meja yang penuh oleh bedil. Dan selain lelaki tinggi itu ada tiga orang lagi lelaki yang lain.
Yang membuat tubuhnya terasa kaku adalah lelaki tinggi besar itu. Dia tak lain daripada Kapten Fabian! Orang Australia yang mengatakan menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas itu. Yang berjanji akan membantunya menumpas sindikat perdagangan wanita itu. Kini apa kerjanya disini? Dan ternyata dia pula yang menyuruh keempat polisi Singapura itu menangkap dirinya!
Begitu dia masuk, Kapten itu menoleh.
“Hai. Sanat tidak enak diangkut dengan tangan terbogrol bukan..?” suara Kapten itu terdengar ramah dengan senyum di bibirnya. Si Bungsu tak menjawab. Hanya menatap dengan diam.
Kapten itu memberi isyrat pada anak buahnya. Dan Polisi yang tadi memborgolnya segera membuka borgol itu.
Kapten itu berdiri.
“Nah, Bungsu, ini teman-teman saya ketika di Komando dulu. Itu Sony, sersan spesialis alat peledak. Itu Tongky, negro yang ahli menyelusup kemana saja. Itu Fred, ahli karate. Dan keempat Polisi yang menyergapmu ini adalah empat anggota Green Barets yang ahli dalam pertempuran… tuan-tuan, inilah saudara Bungsu yang saya katakan itu. Seorang anak Indonesia yang ahli dengan samurai. Tidak hanya sekedar ahli, tapi dia memiliki predikat Grand Master dalam hal itu. Selama beberapa pekan di Singapura ini dia sendirian memerangi sindikat perdagangan wanita. Silahkan tuan-tuan berkenalan..”
Si Bungsu jadi malu pada persangkaannya tadi. Dia sangka Kapten inilah komandan sindikat itu. Dia punya alasan untuk berprasangka demikian. Sebab dia dibawa kemari dengan tangan terborgol. Ke tujuh bekas anggota baret hijau itu tegak dan menyalami si Bungsu. Tubuh mereka rata-rata kekar. Ada yang berwajah sadis, ada yang berwajah murung, ada yang biasa-biasa saja. Namun satu hal yang dirasakan si Bungsu tentang orang-orang ini. Mereka semua adalah individu-individu yang tangguh dan kelompok kecil yang sanggup menaklukan satu bataliyon tentara.
Selesai mereka berkenalan, Kapten itu membawa mereka ke ruang sebelah. Di sana ada sebuah kertas besar dengan peta yang dibuat darurat sekali. Mereka segara duduk di kursi yang tersedia.
“Sebelum saya mulai menerangkan detail penyerangan malam ini, kepada saudara Bungsu ingin saya sampaikan sesuatu. Kami telah mengetahui bahwa ada yang akan menyerang saudara ke hotel jam delapan tadi. Ada maksud kami untuk memberitahukan saudara. Tapi ternyata kami harus berpacu dengan waktu.
Akhirnya diambil keputusan bahwa saudara akan kami jemput setelah pertarungan itu selesai. Kami yakin saudara yang akan keluar sebagai pemenang. Untuk mengelabui, maka keempat anggota yang menjemput saudara saya suruh berpakaian polisi.
Dan kalau ternyata saudara yang kalah dalam pertarungan tadi maka keempat polisi ini bertugas menyudahi kedua penyerang itu. Mereka berempat sebenarnya saya beri dua alternatif. Pertama membantu saudara dalam perkelahian itu, atau “menangkap” saudara setelah perkelahian usai.
Ternyata mereka memilih alternatif kedua. Mereka ingin membuktikan apakah engkau memang seorang master dengan samurai seperti yang kukatakan sebelum mereka berangkat menjemputmu”
Tikam Samurai - 296
Kapten itu menoleh pada keempat “polisi” Singapura yang tadi menangkap si Bungsu. keempat mereka tersenyum.
“Ya, kami menonton saja kejadian itu tadi. Kami datang setelah kedua orang itu turun dari kendaraannya. Kami sudah diberi tahu, bahwa akan ada serangan pada anda. Kami lalu memarkir kendaraan sejauh sepuluh meter. Dan kami melihat anda melompat dengan memecah jendela kaca. Kemudian membunuh kedua orang itu. Nah, ketika orang ramai itulah kami datang menangkap anda…” Polisi gadungan berpangkat letnan yang tadi menyarungkan borgol pada si Bungsu bercerita.
Si Bungsu hanya menarik nafas. Bagi orang-orang sisa perang dunia ini, pertarungan hidup dan mati seseorang rupanya merupakan tontonan yang mengasyikan.
“Nah. Saya rasa perkelanan itu sudah cukup sekian. Kini silahkan lihat detail pada peta ini. Peta ini merupakan gabungan dengan dokumen yang dibuat Overste Nurdin dari Konsulat Indonesia yang saya peroleh dari saudara Bungsu dengan hasil penyelidikan selama 12 jam terakhir.
Malam ini mereka menanti pengiriman dua belas wanita dari Indonesia. Dan delapan orang dari Siam, enam orang dari Hongkong. Semua wanita ini akan dibawa ke eropah dan Afrika. Di kedua negeri itu, wanita-wanita Asia berharga tinggi.
Menurut rencana mereka, yang sempat diselidiki oleh Tongky, wanita itu akan didaratkan serentak”
Kapten Fabian berhenti.
Dia menatap anggotanya. Juga menatap pada si Bungsu. tak seorangpun yang bicara. Dan Kapten itu melanjutkan lagi:
“Sekarang perhatikan ini. Ini peta bahagian Selatan dari pulau Singapura. Ini gugusan pulau di selatan yang masih belum berpenghuni. Pulau yang terletak paling barat ini bernama pulau Pesek.
Barangkali mereka telah mengetahui bahwa gerakkan mereka telah tercium oleh Overste Nurdin. Itulah kenapa sebabnya sejak sebulan terakhir ini, perempuan-perempuan itu tak lagi diturunkan lewat pelabuhan resmi sebagai turis atau sebagai pencari kerja sebagaimana biasanya.
Mereka diturunkan dimalam hari di pulau Pesek ini. Nah, sekarang markas dimana kita berada ini terletak di daerah Bukit Timah. Dari sini kita akan naik jeep sekita sepuluh menit ke tepi sungai Jurong. Dari muara sungai itu kit akan naik sampan layar sekitar dua jam menuju pulau itu.
Jika angin berhembus kencang, dan malam ini menurut Minguel yang ahli meteorologi dalam pasukan kami dahulu, malam ini memang akan bertiup angin utara. Berarti kita akan dibantu sangat banyak.
Sengaja tidak kita gunakan mesin boat, karena kita tak ingin kedatangan ini diketahui mereka. Nah, sampai disni ada pertanyaan?”
Tak ada yang bertanya. Bekas anak buahnya semua pada menatap diam. Mereka seperti mesin-mesin yang siap bergerak bila kenopnya ditekan.
“Jika tak ada yang bertanya, kita bersiap…”
Dan segera saja ruangan itu berisik. Semua anak buah Kapten Fabian kelihatan menukar pakaian, termasuk juga Kapten itu sendiri.
“Bungsu, hari ini engkau kami terima menjadi pasukan Baret Hijau. Hanya orang-orang dengan kemahiran istimewa dapat menjadi anggota pasukan kami. Kami memang telah berhenti dari pasukan itu. Tapi kebanggsaan korp tetap kami pegang. Nah, pakailah pakaian dan baret ini. Engkau layak memakainya, karena kemahiranmu bersamurai dan melempar pisau melebihi anggota Baret Hijau manapun jua!”
Kapten itu memberikan sebuah ransel berisi pakaian pasukan komando pada si Bungsu.
Si Bungsu kaget. Dia menatap pada Kapten itu. Kemudian pada tujuh anggotanya. Dan semua bekas anggota Green Barets dari Inggris Raya itu dengan pakaian lengkap mereka yang loreng-loreng, tegak dengan diam. Menatap padanya. Bulu tengkuk si Bungsu merinding menerima penghargaan ini.
Perlahan dia terima ransel itu.
“Saya, saya tak tahu harus mengatakan apa atas penghargaan tuan-tuan. Saya harap kemampuan saya yang seujung kuku itu, takkan menjatuhkan nama besar pasukan Baret Hijau yang kesohor itu…’ dia berkata perlahan. Semua anggota pasukan Kapten Fabian masih tetap tegak dengan diam.
Si Bungsu membuka bajunya. Memakai pakaian tersebut. Ternyata pakaian itu adalah pakaian bekas. Meski masih baru, tapi dia tahu, pakaian yang dia pakai ini adalah milik seseorang.
Kapten Fabian mengulurkan tangan. Menjabat tangannya dengan hangat.
“Bungsu. pakaian yang engkau pakai adalah pakaian Letnan Robert yang terbunuh di jalan raya ketika kita bersama tiga hari yang lalu. Ternyata ukuran tubuh kalian sama besar. Pakaian ini sengaja kami berikan padamu, demikian juga pangkatnya. Engkau sekarang adalah seorang Letnan Baret Hijau Kerajaan Inggris, Bungsu. atau tepatnya, engkau adalah anggota Komandan Baret Hijau. Oleh karena kami sudah tak lagi dalam pasukan itu, maka kami sama-sama pencinta pasukan itu. Nah, selamatlah…’
Dan ketujuh anggota bekas Pasukan Baret Hijau di perang dunia ke dua itu memberi salam pada si Bungsu. Demi Muhammada dan Malaikat, si Bungsu tak tahu bagaimana perasaannya saat itu. Dia menjadi anggota dari suatu pasukan yang kesohor dalam perang dunia ke II. Ah, alangkah mustahilnya. Namun begitulah sejarah berkehendak.
Kapten itu menoleh pada keempat “polisi” Singapura yang tadi menangkap si Bungsu. keempat mereka tersenyum.
“Ya, kami menonton saja kejadian itu tadi. Kami datang setelah kedua orang itu turun dari kendaraannya. Kami sudah diberi tahu, bahwa akan ada serangan pada anda. Kami lalu memarkir kendaraan sejauh sepuluh meter. Dan kami melihat anda melompat dengan memecah jendela kaca. Kemudian membunuh kedua orang itu. Nah, ketika orang ramai itulah kami datang menangkap anda…” Polisi gadungan berpangkat letnan yang tadi menyarungkan borgol pada si Bungsu bercerita.
Si Bungsu hanya menarik nafas. Bagi orang-orang sisa perang dunia ini, pertarungan hidup dan mati seseorang rupanya merupakan tontonan yang mengasyikan.
“Nah. Saya rasa perkelanan itu sudah cukup sekian. Kini silahkan lihat detail pada peta ini. Peta ini merupakan gabungan dengan dokumen yang dibuat Overste Nurdin dari Konsulat Indonesia yang saya peroleh dari saudara Bungsu dengan hasil penyelidikan selama 12 jam terakhir.
Malam ini mereka menanti pengiriman dua belas wanita dari Indonesia. Dan delapan orang dari Siam, enam orang dari Hongkong. Semua wanita ini akan dibawa ke eropah dan Afrika. Di kedua negeri itu, wanita-wanita Asia berharga tinggi.
Menurut rencana mereka, yang sempat diselidiki oleh Tongky, wanita itu akan didaratkan serentak”
Kapten Fabian berhenti.
Dia menatap anggotanya. Juga menatap pada si Bungsu. tak seorangpun yang bicara. Dan Kapten itu melanjutkan lagi:
“Sekarang perhatikan ini. Ini peta bahagian Selatan dari pulau Singapura. Ini gugusan pulau di selatan yang masih belum berpenghuni. Pulau yang terletak paling barat ini bernama pulau Pesek.
Barangkali mereka telah mengetahui bahwa gerakkan mereka telah tercium oleh Overste Nurdin. Itulah kenapa sebabnya sejak sebulan terakhir ini, perempuan-perempuan itu tak lagi diturunkan lewat pelabuhan resmi sebagai turis atau sebagai pencari kerja sebagaimana biasanya.
Mereka diturunkan dimalam hari di pulau Pesek ini. Nah, sekarang markas dimana kita berada ini terletak di daerah Bukit Timah. Dari sini kita akan naik jeep sekita sepuluh menit ke tepi sungai Jurong. Dari muara sungai itu kit akan naik sampan layar sekitar dua jam menuju pulau itu.
Jika angin berhembus kencang, dan malam ini menurut Minguel yang ahli meteorologi dalam pasukan kami dahulu, malam ini memang akan bertiup angin utara. Berarti kita akan dibantu sangat banyak.
Sengaja tidak kita gunakan mesin boat, karena kita tak ingin kedatangan ini diketahui mereka. Nah, sampai disni ada pertanyaan?”
Tak ada yang bertanya. Bekas anak buahnya semua pada menatap diam. Mereka seperti mesin-mesin yang siap bergerak bila kenopnya ditekan.
“Jika tak ada yang bertanya, kita bersiap…”
Dan segera saja ruangan itu berisik. Semua anak buah Kapten Fabian kelihatan menukar pakaian, termasuk juga Kapten itu sendiri.
“Bungsu, hari ini engkau kami terima menjadi pasukan Baret Hijau. Hanya orang-orang dengan kemahiran istimewa dapat menjadi anggota pasukan kami. Kami memang telah berhenti dari pasukan itu. Tapi kebanggsaan korp tetap kami pegang. Nah, pakailah pakaian dan baret ini. Engkau layak memakainya, karena kemahiranmu bersamurai dan melempar pisau melebihi anggota Baret Hijau manapun jua!”
Kapten itu memberikan sebuah ransel berisi pakaian pasukan komando pada si Bungsu.
Si Bungsu kaget. Dia menatap pada Kapten itu. Kemudian pada tujuh anggotanya. Dan semua bekas anggota Green Barets dari Inggris Raya itu dengan pakaian lengkap mereka yang loreng-loreng, tegak dengan diam. Menatap padanya. Bulu tengkuk si Bungsu merinding menerima penghargaan ini.
Perlahan dia terima ransel itu.
“Saya, saya tak tahu harus mengatakan apa atas penghargaan tuan-tuan. Saya harap kemampuan saya yang seujung kuku itu, takkan menjatuhkan nama besar pasukan Baret Hijau yang kesohor itu…’ dia berkata perlahan. Semua anggota pasukan Kapten Fabian masih tetap tegak dengan diam.
Si Bungsu membuka bajunya. Memakai pakaian tersebut. Ternyata pakaian itu adalah pakaian bekas. Meski masih baru, tapi dia tahu, pakaian yang dia pakai ini adalah milik seseorang.
Kapten Fabian mengulurkan tangan. Menjabat tangannya dengan hangat.
“Bungsu. pakaian yang engkau pakai adalah pakaian Letnan Robert yang terbunuh di jalan raya ketika kita bersama tiga hari yang lalu. Ternyata ukuran tubuh kalian sama besar. Pakaian ini sengaja kami berikan padamu, demikian juga pangkatnya. Engkau sekarang adalah seorang Letnan Baret Hijau Kerajaan Inggris, Bungsu. atau tepatnya, engkau adalah anggota Komandan Baret Hijau. Oleh karena kami sudah tak lagi dalam pasukan itu, maka kami sama-sama pencinta pasukan itu. Nah, selamatlah…’
Dan ketujuh anggota bekas Pasukan Baret Hijau di perang dunia ke dua itu memberi salam pada si Bungsu. Demi Muhammada dan Malaikat, si Bungsu tak tahu bagaimana perasaannya saat itu. Dia menjadi anggota dari suatu pasukan yang kesohor dalam perang dunia ke II. Ah, alangkah mustahilnya. Namun begitulah sejarah berkehendak.
“Ya, kami menonton saja kejadian itu tadi. Kami datang setelah kedua orang itu turun dari kendaraannya. Kami sudah diberi tahu, bahwa akan ada serangan pada anda. Kami lalu memarkir kendaraan sejauh sepuluh meter. Dan kami melihat anda melompat dengan memecah jendela kaca. Kemudian membunuh kedua orang itu. Nah, ketika orang ramai itulah kami datang menangkap anda…” Polisi gadungan berpangkat letnan yang tadi menyarungkan borgol pada si Bungsu bercerita.
Si Bungsu hanya menarik nafas. Bagi orang-orang sisa perang dunia ini, pertarungan hidup dan mati seseorang rupanya merupakan tontonan yang mengasyikan.
“Nah. Saya rasa perkelanan itu sudah cukup sekian. Kini silahkan lihat detail pada peta ini. Peta ini merupakan gabungan dengan dokumen yang dibuat Overste Nurdin dari Konsulat Indonesia yang saya peroleh dari saudara Bungsu dengan hasil penyelidikan selama 12 jam terakhir.
Malam ini mereka menanti pengiriman dua belas wanita dari Indonesia. Dan delapan orang dari Siam, enam orang dari Hongkong. Semua wanita ini akan dibawa ke eropah dan Afrika. Di kedua negeri itu, wanita-wanita Asia berharga tinggi.
Menurut rencana mereka, yang sempat diselidiki oleh Tongky, wanita itu akan didaratkan serentak”
Kapten Fabian berhenti.
Dia menatap anggotanya. Juga menatap pada si Bungsu. tak seorangpun yang bicara. Dan Kapten itu melanjutkan lagi:
“Sekarang perhatikan ini. Ini peta bahagian Selatan dari pulau Singapura. Ini gugusan pulau di selatan yang masih belum berpenghuni. Pulau yang terletak paling barat ini bernama pulau Pesek.
Barangkali mereka telah mengetahui bahwa gerakkan mereka telah tercium oleh Overste Nurdin. Itulah kenapa sebabnya sejak sebulan terakhir ini, perempuan-perempuan itu tak lagi diturunkan lewat pelabuhan resmi sebagai turis atau sebagai pencari kerja sebagaimana biasanya.
Mereka diturunkan dimalam hari di pulau Pesek ini. Nah, sekarang markas dimana kita berada ini terletak di daerah Bukit Timah. Dari sini kita akan naik jeep sekita sepuluh menit ke tepi sungai Jurong. Dari muara sungai itu kit akan naik sampan layar sekitar dua jam menuju pulau itu.
Jika angin berhembus kencang, dan malam ini menurut Minguel yang ahli meteorologi dalam pasukan kami dahulu, malam ini memang akan bertiup angin utara. Berarti kita akan dibantu sangat banyak.
Sengaja tidak kita gunakan mesin boat, karena kita tak ingin kedatangan ini diketahui mereka. Nah, sampai disni ada pertanyaan?”
Tak ada yang bertanya. Bekas anak buahnya semua pada menatap diam. Mereka seperti mesin-mesin yang siap bergerak bila kenopnya ditekan.
“Jika tak ada yang bertanya, kita bersiap…”
Dan segera saja ruangan itu berisik. Semua anak buah Kapten Fabian kelihatan menukar pakaian, termasuk juga Kapten itu sendiri.
“Bungsu, hari ini engkau kami terima menjadi pasukan Baret Hijau. Hanya orang-orang dengan kemahiran istimewa dapat menjadi anggota pasukan kami. Kami memang telah berhenti dari pasukan itu. Tapi kebanggsaan korp tetap kami pegang. Nah, pakailah pakaian dan baret ini. Engkau layak memakainya, karena kemahiranmu bersamurai dan melempar pisau melebihi anggota Baret Hijau manapun jua!”
Kapten itu memberikan sebuah ransel berisi pakaian pasukan komando pada si Bungsu.
Si Bungsu kaget. Dia menatap pada Kapten itu. Kemudian pada tujuh anggotanya. Dan semua bekas anggota Green Barets dari Inggris Raya itu dengan pakaian lengkap mereka yang loreng-loreng, tegak dengan diam. Menatap padanya. Bulu tengkuk si Bungsu merinding menerima penghargaan ini.
Perlahan dia terima ransel itu.
“Saya, saya tak tahu harus mengatakan apa atas penghargaan tuan-tuan. Saya harap kemampuan saya yang seujung kuku itu, takkan menjatuhkan nama besar pasukan Baret Hijau yang kesohor itu…’ dia berkata perlahan. Semua anggota pasukan Kapten Fabian masih tetap tegak dengan diam.
Si Bungsu membuka bajunya. Memakai pakaian tersebut. Ternyata pakaian itu adalah pakaian bekas. Meski masih baru, tapi dia tahu, pakaian yang dia pakai ini adalah milik seseorang.
Kapten Fabian mengulurkan tangan. Menjabat tangannya dengan hangat.
“Bungsu. pakaian yang engkau pakai adalah pakaian Letnan Robert yang terbunuh di jalan raya ketika kita bersama tiga hari yang lalu. Ternyata ukuran tubuh kalian sama besar. Pakaian ini sengaja kami berikan padamu, demikian juga pangkatnya. Engkau sekarang adalah seorang Letnan Baret Hijau Kerajaan Inggris, Bungsu. atau tepatnya, engkau adalah anggota Komandan Baret Hijau. Oleh karena kami sudah tak lagi dalam pasukan itu, maka kami sama-sama pencinta pasukan itu. Nah, selamatlah…’
Dan ketujuh anggota bekas Pasukan Baret Hijau di perang dunia ke dua itu memberi salam pada si Bungsu. Demi Muhammada dan Malaikat, si Bungsu tak tahu bagaimana perasaannya saat itu. Dia menjadi anggota dari suatu pasukan yang kesohor dalam perang dunia ke II. Ah, alangkah mustahilnya. Namun begitulah sejarah berkehendak.
Tikam Samurai - 297
Mereka segera mempersiapkan senjata. Dan sersan Donald yang tadi siang mengajarinya mempergunakan Tomygun, segera memberikan senjata otomatis itu padanya. Si Bungsu memegang bedil itu. Menatapnya beberapa menit.
“Maaf, saya tak pernah mempergunakan mainan ini. Apakah dalam pasukan Green Barets ada kekecualian. Maksud saya apakah boleh memakai samurai saja?”
Kedelapan anggota bekas pasukan baret hijau itu saling pandang mendengar ucapan si Bungsu. dan akhirnya mereka sama-sama tertawa. Si Bungsu juga ikut-ikut tertawa.
“Boleh” jawab Kapten Fabian. “Pasukan ini pasukan istimea. Karenaya angggotanya juga mendapat perlakuan istimewa. Anda boleh memakai samurai…” si Bungsu merasa lega.
Dia memberikan kembali senjata otomatis itu pada Donald. Nah, kini semuanya siap berpakaian dan memiliki perlengkapan yang utuh.
Aba-aba bersiap terdengar dari mulut Kapten Fabian. Semua anggota pasukan itu, termasuk si Bungsu, tegak dengan tegap ditempat masing-masing. Menatap pada Kapten tersebut.
Sebuah pasukan komando di tepi Kota Singapura. Lengkap dengan peralatan perangnya. Sejarah seperti ditarik kembali menikam jejak yang telah dia lalui. Ada yang aneh terasa oleh si Bungsu. kenapa pasukan ini masih menyimpan perlengkapan mereka. Padahal mereka telah berhenti dari pasukan itu setelah perang dunia ke II usai. Mereka telah bertempur di daratan eropah melawan pasukan Hitler. Terakhir mereka berada di Vietnam dan Indocina melawan pasukan Jepang. Kenapa kini mereka seperti membentuk suatu regu tersendiri?
Pertanyaan itu menyelusup dipikran si Bungsu. namun dia merasa kurang tepa waktunya sekarang untuk bertanya. Sementara itu Kapten Fabian memberikan komando terakhir.
“Saudar. Ada dua hal kenapa kita menghadang perang malam ini. Pertama karena membalas kematian Letnan Robert. Kedua karena membantu saudara Bungsu untuk menumpas perdagangan wanita. Kedua tugas ini sama pentingnya.
Perdagangan wanita sama artinya dengan menghidupkan kembali perbudakan. Wanita-wanita yang dijual itu malah jauh lebih hina ketimbang seorang budak. Dan hal ini harus kita cegah.
Amerika telah mengorbankan ratusan ribu nyawa putra-putranya dalam perang saudara demi menghapus perbudakan.
Pasukan baret hijau ini, dan pasukan sekutu lainnya, termasuk bangsa Indonesia telah mengorbankan jutaan nyawa untuk menghapus penjajahan dipermukaan bumi. Penjajahan adalah bentuk lain yang lebih kejam daripada perbudakan. Itulah sebabnya hari ini kita kembali berpakaian Baret Hijau ini.
Kepada anda, Bungsu, karena anda telah menjadi anggota kami, dapat saya sampaikan, bahwa bekas pasukan baret hijau ini, yang kini berkumpul disini adalah juga sebuah sindikat!”
Kapten itu berhenti sejenak.
“Maksud saya” sambungnya, “kami berhenti dari pasukan baret hijau karena memang tak mau lagi berperang. Banyak perwira-perwira dan orang-orang sipil yang mempergunakan kesempatan perang untuk memperkaya diri mereka.
Bayangkan, ketika kami bertempur di garis depan, meninggalkan anak isteri menghadang maut, saat itu pula orang-orang sipil mengeruk kekayaan. Mereka menjerit minta tolong pada tentara dikala musuh datang. Tapi begitu negeri aman, mereka menjadi orang-orang sombong dan pongah.
Kami punya daftar perwira-perwira yang korup. Yang mempergunakan pangkatnya untuk memerintah anak buahnya guna kepentingan diri mereka. Merampas harta rakyat. Kami juga punya daftar pejabat-pejabat sipil atau orang swasta yang bekerja sama dengan pihak musuh sekutu, yang juga menghimpun kekayaan untuk pribadi mereka.
Karena kami tergabung dalam tentara Sekutu, maka kami punya daftar lengkap tentang penghianat dan koruptor ini diberbagai negara anggota Sekutu. Mulai dari Amerika sampai ke Inggris dan negara-negara eropah.
Nah, kami akan menumpasnya. Kami juga bertekad menumpas bandit-bandit di negeri Sekutu itu. Kami tidak lagi orang pemerintah. Kami sekarang menjadi semacam pasukan gelap. Kami akan muncul disaat perlu. Dan bila tidak beroperasi, kami akan kembali menjadi orang-orang sipil biasa.
Engkau boleh memilih Bungsu. apakah ingin ikut dengan kami untuk seterusnya, atau akan mengundurkan diri setelah ini. Nah, saya rasa cukup sekian. Barangkali engkau heran kenapa kami memakai seragam ini. Padahal kami sudah pensiun dari pasukan Baret Hijau. Kiranya penjelasan saya tadi dapat menjawab keherananmu itu..”
Si Bungsu menarik nafas. Semua anggota pasukan itu kemudian memberi hormat pada Kapten Fabian. Lalu mereka keluar rumah. Jumlah mereka kini sembilan orang. Sembilan orang yang memilki ketangguhan luar biasa. Sembilan manusia yang barangkali sanggup melumpuhkan sebuah kota yang dipertahankan pasukan lengkap.
Jeep yang dipakai untuk “menangkap” si Bungsu tadi sudah menanti. Mereka berlompatan ke atas. Sersan Donald yang mengajar si Bungsu mempergunakan Tomygun siang tadi bertindak sebagai sopir. Disampingnya duduk Kapten Fabian. Dibelakang duduk si Bungsu dan enam orang temannya yang lain.
Mereka segera mempersiapkan senjata. Dan sersan Donald yang tadi siang mengajarinya mempergunakan Tomygun, segera memberikan senjata otomatis itu padanya. Si Bungsu memegang bedil itu. Menatapnya beberapa menit.
“Maaf, saya tak pernah mempergunakan mainan ini. Apakah dalam pasukan Green Barets ada kekecualian. Maksud saya apakah boleh memakai samurai saja?”
Kedelapan anggota bekas pasukan baret hijau itu saling pandang mendengar ucapan si Bungsu. dan akhirnya mereka sama-sama tertawa. Si Bungsu juga ikut-ikut tertawa.
“Boleh” jawab Kapten Fabian. “Pasukan ini pasukan istimea. Karenaya angggotanya juga mendapat perlakuan istimewa. Anda boleh memakai samurai…” si Bungsu merasa lega.
Dia memberikan kembali senjata otomatis itu pada Donald. Nah, kini semuanya siap berpakaian dan memiliki perlengkapan yang utuh.
Aba-aba bersiap terdengar dari mulut Kapten Fabian. Semua anggota pasukan itu, termasuk si Bungsu, tegak dengan tegap ditempat masing-masing. Menatap pada Kapten tersebut.
Sebuah pasukan komando di tepi Kota Singapura. Lengkap dengan peralatan perangnya. Sejarah seperti ditarik kembali menikam jejak yang telah dia lalui. Ada yang aneh terasa oleh si Bungsu. kenapa pasukan ini masih menyimpan perlengkapan mereka. Padahal mereka telah berhenti dari pasukan itu setelah perang dunia ke II usai. Mereka telah bertempur di daratan eropah melawan pasukan Hitler. Terakhir mereka berada di Vietnam dan Indocina melawan pasukan Jepang. Kenapa kini mereka seperti membentuk suatu regu tersendiri?
Pertanyaan itu menyelusup dipikran si Bungsu. namun dia merasa kurang tepa waktunya sekarang untuk bertanya. Sementara itu Kapten Fabian memberikan komando terakhir.
“Saudar. Ada dua hal kenapa kita menghadang perang malam ini. Pertama karena membalas kematian Letnan Robert. Kedua karena membantu saudara Bungsu untuk menumpas perdagangan wanita. Kedua tugas ini sama pentingnya.
Perdagangan wanita sama artinya dengan menghidupkan kembali perbudakan. Wanita-wanita yang dijual itu malah jauh lebih hina ketimbang seorang budak. Dan hal ini harus kita cegah.
Amerika telah mengorbankan ratusan ribu nyawa putra-putranya dalam perang saudara demi menghapus perbudakan.
Pasukan baret hijau ini, dan pasukan sekutu lainnya, termasuk bangsa Indonesia telah mengorbankan jutaan nyawa untuk menghapus penjajahan dipermukaan bumi. Penjajahan adalah bentuk lain yang lebih kejam daripada perbudakan. Itulah sebabnya hari ini kita kembali berpakaian Baret Hijau ini.
Kepada anda, Bungsu, karena anda telah menjadi anggota kami, dapat saya sampaikan, bahwa bekas pasukan baret hijau ini, yang kini berkumpul disini adalah juga sebuah sindikat!”
Kapten itu berhenti sejenak.
“Maksud saya” sambungnya, “kami berhenti dari pasukan baret hijau karena memang tak mau lagi berperang. Banyak perwira-perwira dan orang-orang sipil yang mempergunakan kesempatan perang untuk memperkaya diri mereka.
Bayangkan, ketika kami bertempur di garis depan, meninggalkan anak isteri menghadang maut, saat itu pula orang-orang sipil mengeruk kekayaan. Mereka menjerit minta tolong pada tentara dikala musuh datang. Tapi begitu negeri aman, mereka menjadi orang-orang sombong dan pongah.
Kami punya daftar perwira-perwira yang korup. Yang mempergunakan pangkatnya untuk memerintah anak buahnya guna kepentingan diri mereka. Merampas harta rakyat. Kami juga punya daftar pejabat-pejabat sipil atau orang swasta yang bekerja sama dengan pihak musuh sekutu, yang juga menghimpun kekayaan untuk pribadi mereka.
Karena kami tergabung dalam tentara Sekutu, maka kami punya daftar lengkap tentang penghianat dan koruptor ini diberbagai negara anggota Sekutu. Mulai dari Amerika sampai ke Inggris dan negara-negara eropah.
Nah, kami akan menumpasnya. Kami juga bertekad menumpas bandit-bandit di negeri Sekutu itu. Kami tidak lagi orang pemerintah. Kami sekarang menjadi semacam pasukan gelap. Kami akan muncul disaat perlu. Dan bila tidak beroperasi, kami akan kembali menjadi orang-orang sipil biasa.
Engkau boleh memilih Bungsu. apakah ingin ikut dengan kami untuk seterusnya, atau akan mengundurkan diri setelah ini. Nah, saya rasa cukup sekian. Barangkali engkau heran kenapa kami memakai seragam ini. Padahal kami sudah pensiun dari pasukan Baret Hijau. Kiranya penjelasan saya tadi dapat menjawab keherananmu itu..”
Si Bungsu menarik nafas. Semua anggota pasukan itu kemudian memberi hormat pada Kapten Fabian. Lalu mereka keluar rumah. Jumlah mereka kini sembilan orang. Sembilan orang yang memilki ketangguhan luar biasa. Sembilan manusia yang barangkali sanggup melumpuhkan sebuah kota yang dipertahankan pasukan lengkap.
Jeep yang dipakai untuk “menangkap” si Bungsu tadi sudah menanti. Mereka berlompatan ke atas. Sersan Donald yang mengajar si Bungsu mempergunakan Tomygun siang tadi bertindak sebagai sopir. Disampingnya duduk Kapten Fabian. Dibelakang duduk si Bungsu dan enam orang temannya yang lain.
“Maaf, saya tak pernah mempergunakan mainan ini. Apakah dalam pasukan Green Barets ada kekecualian. Maksud saya apakah boleh memakai samurai saja?”
Kedelapan anggota bekas pasukan baret hijau itu saling pandang mendengar ucapan si Bungsu. dan akhirnya mereka sama-sama tertawa. Si Bungsu juga ikut-ikut tertawa.
“Boleh” jawab Kapten Fabian. “Pasukan ini pasukan istimea. Karenaya angggotanya juga mendapat perlakuan istimewa. Anda boleh memakai samurai…” si Bungsu merasa lega.
Dia memberikan kembali senjata otomatis itu pada Donald. Nah, kini semuanya siap berpakaian dan memiliki perlengkapan yang utuh.
Aba-aba bersiap terdengar dari mulut Kapten Fabian. Semua anggota pasukan itu, termasuk si Bungsu, tegak dengan tegap ditempat masing-masing. Menatap pada Kapten tersebut.
Sebuah pasukan komando di tepi Kota Singapura. Lengkap dengan peralatan perangnya. Sejarah seperti ditarik kembali menikam jejak yang telah dia lalui. Ada yang aneh terasa oleh si Bungsu. kenapa pasukan ini masih menyimpan perlengkapan mereka. Padahal mereka telah berhenti dari pasukan itu setelah perang dunia ke II usai. Mereka telah bertempur di daratan eropah melawan pasukan Hitler. Terakhir mereka berada di Vietnam dan Indocina melawan pasukan Jepang. Kenapa kini mereka seperti membentuk suatu regu tersendiri?
Pertanyaan itu menyelusup dipikran si Bungsu. namun dia merasa kurang tepa waktunya sekarang untuk bertanya. Sementara itu Kapten Fabian memberikan komando terakhir.
“Saudar. Ada dua hal kenapa kita menghadang perang malam ini. Pertama karena membalas kematian Letnan Robert. Kedua karena membantu saudara Bungsu untuk menumpas perdagangan wanita. Kedua tugas ini sama pentingnya.
Perdagangan wanita sama artinya dengan menghidupkan kembali perbudakan. Wanita-wanita yang dijual itu malah jauh lebih hina ketimbang seorang budak. Dan hal ini harus kita cegah.
Amerika telah mengorbankan ratusan ribu nyawa putra-putranya dalam perang saudara demi menghapus perbudakan.
Pasukan baret hijau ini, dan pasukan sekutu lainnya, termasuk bangsa Indonesia telah mengorbankan jutaan nyawa untuk menghapus penjajahan dipermukaan bumi. Penjajahan adalah bentuk lain yang lebih kejam daripada perbudakan. Itulah sebabnya hari ini kita kembali berpakaian Baret Hijau ini.
Kepada anda, Bungsu, karena anda telah menjadi anggota kami, dapat saya sampaikan, bahwa bekas pasukan baret hijau ini, yang kini berkumpul disini adalah juga sebuah sindikat!”
Kapten itu berhenti sejenak.
“Maksud saya” sambungnya, “kami berhenti dari pasukan baret hijau karena memang tak mau lagi berperang. Banyak perwira-perwira dan orang-orang sipil yang mempergunakan kesempatan perang untuk memperkaya diri mereka.
Bayangkan, ketika kami bertempur di garis depan, meninggalkan anak isteri menghadang maut, saat itu pula orang-orang sipil mengeruk kekayaan. Mereka menjerit minta tolong pada tentara dikala musuh datang. Tapi begitu negeri aman, mereka menjadi orang-orang sombong dan pongah.
Kami punya daftar perwira-perwira yang korup. Yang mempergunakan pangkatnya untuk memerintah anak buahnya guna kepentingan diri mereka. Merampas harta rakyat. Kami juga punya daftar pejabat-pejabat sipil atau orang swasta yang bekerja sama dengan pihak musuh sekutu, yang juga menghimpun kekayaan untuk pribadi mereka.
Karena kami tergabung dalam tentara Sekutu, maka kami punya daftar lengkap tentang penghianat dan koruptor ini diberbagai negara anggota Sekutu. Mulai dari Amerika sampai ke Inggris dan negara-negara eropah.
Nah, kami akan menumpasnya. Kami juga bertekad menumpas bandit-bandit di negeri Sekutu itu. Kami tidak lagi orang pemerintah. Kami sekarang menjadi semacam pasukan gelap. Kami akan muncul disaat perlu. Dan bila tidak beroperasi, kami akan kembali menjadi orang-orang sipil biasa.
Engkau boleh memilih Bungsu. apakah ingin ikut dengan kami untuk seterusnya, atau akan mengundurkan diri setelah ini. Nah, saya rasa cukup sekian. Barangkali engkau heran kenapa kami memakai seragam ini. Padahal kami sudah pensiun dari pasukan Baret Hijau. Kiranya penjelasan saya tadi dapat menjawab keherananmu itu..”
Si Bungsu menarik nafas. Semua anggota pasukan itu kemudian memberi hormat pada Kapten Fabian. Lalu mereka keluar rumah. Jumlah mereka kini sembilan orang. Sembilan orang yang memilki ketangguhan luar biasa. Sembilan manusia yang barangkali sanggup melumpuhkan sebuah kota yang dipertahankan pasukan lengkap.
Jeep yang dipakai untuk “menangkap” si Bungsu tadi sudah menanti. Mereka berlompatan ke atas. Sersan Donald yang mengajar si Bungsu mempergunakan Tomygun siang tadi bertindak sebagai sopir. Disampingnya duduk Kapten Fabian. Dibelakang duduk si Bungsu dan enam orang temannya yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar