Laman

Senin, 04 November 2013

Tikam samurai - Di Singapura I (283-284-285-286-287)

Tikam Samurai - 283

Si Bungsu mengelak. Tapi orang Australia yang satu lagi, yang tadi hanya tegak diam, tiba-tiba mendorong si Bungsu dari belakang. Akibatnya elakan si Bungsu tak terkontrol. Pukulan maut itu mendarat di wajahnya! Prakk!! Ada rasa asin dimulutnya. Ada cairan hangat melelh dihidungnya.
Dia membuka mata. Aneh, tiba-tiba saja dia mendapatkan dirinya diatas tempat tidur. Melingkar diujung sebeleh ke dinding. Tiga depa dari bekas serdadu yang tadi memukulnya! Kalau demikian, ternyata dia telah terpental sejauh itu akibat pukulan tersebut. Dan si Bungsu tak merasa heran. Dia memang yakin bahwa demikianlah kejadiannya, makanya dia sampai ke pembaringan ini!
Dia menggelengkan kepala. Merangkak di pembaringan.
“Babi, sok jago koe disini…!” yang memiliki kepalan seperti godam itu menyumpah sambil mendekat ketempat tidur. Dia menjangkaukan tangannya yang berotot besi bertulang kawat itu kearah tengkuk si Bungsu. namun saat itu pula, si Bungsu bertelekan ke kasur. Lalu kakinya menyorong kebawah perut, langsung ke dada bekas tentara itu.
Tendangan dengan jurus silat ini menerpa dada tentara tersebut.
Dan tubuhnya besar terjajar kedinding. Sebelum dia sadar sepenuhnya si Bungsu melompat turun. Kini mereka tegak berhadapan. Bekas tentara itu maju lagi dan cepat mengirimkan sebuah pukulan beruntun ke kepala dan ke dada si Bungsu.
Secara reflek, si Bungsu menjatuhkan tangannya ke lantai. Dan secara reflek pula kaki kananya menerjang ke belakang dalam bentuk sebuah cuek yang kuat sekali.
Orang Australia itu seperti dihantam kerbau besar. Perutnya kena sepak belakang yang telak. Matanya juling. Dia melosoh ke lantai. Yang satu lagi menyerang dari samping. Namun si Bungsu menyambutnya dengan sebuah tendangan telak menyamping. Sebuah tendangan mirip-mirip Kekomi dari jurus karate. Bekas tentara itu tersentak kebelakang. Namun dia menyerang lagi dengan sebuah pukulan. Si Bungsu mengelak, dan saat berikutnya dia balas memukul dengan cepat. Kepalanya masuk ke bawah hidung tentara itu. Terdengar suara berderak. Hidung orang itu remuk. Darah mengucur.
Tapi tanpa dia sadari, si kekar besar yang tadi melosoh ke lantai bangkit diam-diam. Dan disuatu kesempatan, dia memiting leher si Bungsu dari belakang secara tiba-tiba. Nafas si Bungsu jadi sesak. Melihat anak muda ini tersekap begitu, yang kena hantam hidungnya tadi segera mendekat dan mengirimkan sebuah pukulan ke perut si Bungsu. si Bungsu merasa perutnya akan pecah.
Namun ketika orang itu akan melancarkan pukulan kedua, kakinya dia hantamkan ke kerampang bekas tentara itu. Suara tak sedap terdengar dan bekas tentara itu melolong sambil kedua tangannya memegang kerampangnya. Dia meringkuk dan melingkar di lantai.
Pada saat itu pula, dengan menghimpun sisa tanaganya, si Bungsu membungkuk dengan cepat. Karena tubuhnya membungkuk tiba-tiba itu, bekas serdadu yang memitingnya dari belakang jadi terangkat tubuhnya.
Si Bungsu meneruskan gerakkan itu. Dan tanpa dapat dikontrol, orang Australia bertubuh kekar itu terbanting ke lantai di depan si Bungsu. si Bungsu menarik nafas panjang. Mengatur lagi pernafasannya yang seperti akan meledak dipiting tadi.
Lalu ketika orang itu tengah merangkak bangkit, dia menendang pelipisnya dengan kuat. Bekas tentara itu tercampak lagi ke lantai. Namun dia benar-benar ulet, dia merangkak lagi bangkit. Si Bungsu membiarkannya untuk coba bangkit. Ketika lelaki itu belum begitu sempurna tegaknya, dia menendang kerampang tentara Australia itu.
Terdengar suara berderak. Mata bekas tentara itu membelalak. Tangannya seperti tangan temannya tadi, memegang kerampangnya. Mulutnya mengeluh. Dan tubuhnya rubuh. Ketika dia rubuh, temannya yang kena tendang duluan tengah berusaha bangkit. Namun si Bungsu menendang rusuknya. Dan lelaki ini rubuh lagi. Kini keduanya tak bergerak. Pingsan!
Si Bungsu tegak. Menghapus darah yang masih melelh dari hidung dan bibirnya akibat pukulan tadi.
Lalu menoleh pada Mei-Mei yang masih terbaring pingsan. Tubuh gadis itu hampir telanjang. Dia mengambil selimut. Menutupkannya ke tubuh gadis itu. Kemudian mengangkatnya keluar.
Peritiwa itu segera saja membuat heboh. Polisi datang memeriksa. Mei-Mei dan beberapa saksi yang kebetulan mengintip ketika kejadian itu menceritakan bahwa bekas tentara Australia itu mati karena akan memperkosa Mei-Mei. Yang membunuhnya adalah seorang anak muda dari Indonesia.
Tapi ketika pintu kamar anak muda itu dibuka, dia tak ada lagi disana. Si Bungsu tahu bahwa pembunuhan di kota besar seperti Singapura ini tak akan didiamkan begitu saja. Makanya dia cepat-cepat menyingkir dari hotel Sam Kok itu. Dia meja dia tinggalkan uang sewa penginapan.
Mei-Mei merasa matanya basah begitu mengetahui bahwa anak muda itu telah meninggalkan hotelnya.
Dan peritiwa itu ternyata dipeti-eskan. Sebab, bagi pejabat Singapura, adalah rumit juga menuntut kedua bekas tentara Sekutu yang masih hidup itu ke pengadilan.
Namun si Bungsu tak pergi jauh. Hanya berjarak seratus meter di kiri hotel Sam Kok itu ada lagi hotel bernama International. Hotel itu kecil saja, meski mereknya International namun di dalamnya serba brengsek. Si Bungsu memilih hotel itu hanya karena letaknya yang strategis. Berada tepat di depan jalan yang menuju dermaga di pelabuhan.

Tikam Samurai - 284

Dari balik jendela kamarnya dia bisa langsung melihat ke dermaga. Melihat orang-orang yang lalu lalang. Melihat mobil yang keluar masuk. Dan di hotel International yang brengsek itulah dia mempelajari lagi dokumen tentang sindikat perdagangan wanita-wanita itu.
Dari dokumen itu dia melihat bahwa di Jakarta ada beberapa nama dengan jabatan-jabatan resmi di beberapa departemen. Ada pula beberapa nama yang kerjanya adalah pedagang. Overste Nurdin nampaknya telah menyelidiki hal ini sampai mendetail.
Hanya saja, ketika dia akan mulai bertindak tubuhnya diberondong peluru. Dan ingatan itu segera menyadarkan si Bungsu pada keadaan Nurdin. Bagaimana temannya itu kini? Sudah beberapa hari ini dia tak datang ke gedung Konsulat untuk menengoknya.
Dia segera berkemas. Menyimpan dokumen itu dan mengunci kamar. Kemudian dengan sebuah taksi dia berangkat ke Konsulat.
Di Konsulat dia mendapatkan Nurdin masih terbaring diam. Tubuhnya masih dipenuhi balutan. Salma menemani disana. Duduk dengan diam disisi pembaringan suaminya. Sementara Eka, anak mereka, duduk dipangkuannya.
“Sudah banyak angsurannya?” si Bungsu bertanya perlahan. Salma mengangguk.
“sudah bisa makan?”
Salma mengangguk. Kemudian mereka sama-sama terdiam.
“Paman, apakah paman telah menangkap orang yang melukai ayah?” tiba-tiba gadis kecil itu bertanya.
Si Bungsu menatap gadis kecil itu.
“Sudah. Mereka telah paman bunuh…”
“Betul?”
“Betul..”
“Paman bunuh pakai apa? Pakai pistol seperti punya ayah?”
“Tidak”
“Lalu pakai apa?”
“Mereka…mereka..” si Bungsu terhenti. Akankah dia ceritakan terus terang pada gadis kecil ini? Dan dia menoleh pada Salma.
Salma juga tengah menatap padanya. Dan Salma yakin bahwa si Bungsu memang telah membunuh orang yang menembak suaminya itu. Dia yakin benar akan hal itu.
 Dan dia tahu, si Bungsu pasti lah membunuhnya dengan samurai kecil itu. Dan Salma juga tahu bahwa si Bungsu kesulitan dalam menjawab pertanyaan anaknya itu.
“Dengan pisau” si Bungsu berkata perlahan.
“Dengan pisau..?” gadis kecil itu mengerutkan keningnya.
“Ya. Dengan pisau.”
“Apakah orang bisa mati karena pisau?”
“Bisa”
“Ah. Tapi orang jahat itu matinya tentulah tak sesakit yang diderita ayah..”
“Sakit. Malah dia jauh lebih menderita dari ayah Eka..” si Bungsu menjelaskan.
“Benar…?”
“Benar!”
Wajah anak itu berseri.
“Terimakasih paman. Eka akan ceritakan pada ayah kakau dia bangun nanti, bahwa orang jahat itu telah paman bunuh. Paman tidur disini saja malam ini ya? Kami selalu ketakutan. Malam tadi ada orang yang memanjat jendela. Ibu sampai berteriak ketika orang itu memecahkan jendela. Lihatlah, jendela itu masih epcah…” gadis kecil itu menunjuk ke jendela yang menghadap ke belakang.
Si Bungsu kaget mendengar cerita anak itu. Dia menoleh ke arah jendela yang disebutkan gadis kecil itu. Dan benar saja, kaca jendela itu kelihatan ompong. Dia menatap pada Salma.
“Ya. Malam tadi ada orang masuk. Sekitar jam satu. Saya tak pernah tidur sebelum jam tiga. Saya duduk disini. Mendengar saya memekik, orang itu kaget sebentar. Kemudian nampaknya ingin masuk terus. Mungkin karena tahu saya sendirian disini. Tapi begitu penjaga yang berada di ruang sebelah masuk, dia lalu melompat lari.
Penjaga tak sempat memburunya. Orang itu melarikan diri dengan sebuah mobil yang tak sempat pula dikenali penjaga. Mobil itu parkir di lorong belakang konsulat ini..”
Salma mengakhiri ceritanya. Si Bungsu masih menatap dengan diam. Ada semacam ketegangan menjalar di pembuluh darah anak muda ini mendengar cerita itu.
“Barangkali orang itu berniat mencuri…”  Salma berkata perlahan. Namun naluri si Bungsu tak berkata demikian.
Ada sesuatu yang tak beres di gedung konsulta ini. Ucapan Nurdin seperti melintas lagi ketika overste itu baru kena tembak:
“Saya harap engkau meminta dokumen itu pada Salma. Bawa ke Jakarta. Jangan sampai tahu orang di konsulat bahwa dokumen itu ada padamu Bungsu. bukannya saya tak percaya pada rekan-rekan di konsulta. Tapi….tapi…saya lebih suka dokumen itu berada padamu…”
Ada misteri dan rahasia yang terpendam dalam ucapan Ocerste Nurdin itu. Kenapa dia tak mempercayai dokumen itu pada seseorang di konsulat ini? Apakah ada diantara orang di konsulat yang ikut terlibat dalam sindikat perdagangan wanita internasional itu?
Tak ada petunjuk tentang hal itu dalam dokumen tersebut.

Tikam Samurai - 285

Si Bungsu mengulangi membaca dokumen itu berkali-kali di hotenya. Dia coba mencari petunjuk meski amat kecil sekalipun tentang keterlibatan orang di konsulat itu. Namun usahanya sia-sia.
Dalam dokumen itu hanya ada beberapa nama orang Melayu, Inggris, Keling dan Cina. Namun alamat mereka tak tertera jelas. Empat orang diantara mereka telah mati. Yaitu Cina gemuk seperti kerbau dan orang Inggris yang mati dimarkasnya empat hari yang lalu.
Lelah mencari petunjuk itu, si Bungsu akhirnya memutuskan untuk mengintai gedung konsulat Indonesia itu malam ini. Siapa tahu, malam ini ada lagi orang yang berniat datang ke sana seperti malam sebelumnya.
Tak begitu sulit baginya untuk menemukan lorong di belakang gedung konsulat itu.
Di mulut lorong itu dia melihat seorang Melayu tengah menyapu jalan. Orang itu memakai topi lebar dari bambu, dengan baju dinas berwarna biru. Si Bungsu melewati orang itu.
Berjalan terus ke lorong yang cukup untuk dilewati sebuah sedan.
Tiba-tiba dia melihat sebuah gudang kosong. Dia masuk kesana. Lalu bersiul panjang. Tukang sapu itu menoleh. Si Bungsu melambainya. Tukang sapu itu datang.
“encik mau apak…?” tanyanya.
“Di dalam sana ada perempuan cantik tidur..” si Bungsu berkata sambil menunjuk ke dalam. Tukang sapu itu mengerutkan kening. Kemudian berjalan ke arah yang ditunjukkan si Bungsu.
Sampai di dalam dia mencari-cari. Tapi tak seorangpun yang dia lihat. Usahkan perempuan cantik, cacingpun tak ada yang tidur disana. Merasa dipermainkan, dia lalu menoleh pada si Bungsu.
“Hei, encik jangan main-main ya. Mana perempuan cantek yang encik katakan itu…”
Si Bungsu yang tegak sedepa darinya hanya tersenyum.
“Jangan senyum-senyumlah…” bentaknya berang.
Namun berangnya hanya sampai disitu. Sebab sebuah pukulan dengan sisi tangan tiba-tiba mendarat di tengkuknya.  Tukang sapu itu melosoh jatuh.
“Maaf kawan. Saya ingin meminjam pakaianmu. Jadi engkau harus jadi perempuan cantik itu. Tidur disini…” si Bungsu berguman sendiri sambil membukai pakaian dinas tukang sapu itu.
Kemudian tukang sapu itu dia ikat. Nah, kini dia mirip tukang sapu dengan segenap peralatannya. Dengan pakaian itu, dia bebas berada di lorong tersebut. Dia berjalan terus hingga melewati belakang gedung konsulat. Dia meliaht jendela yang pecah itu kini telah diganti kacanya.
Dan dia melihat pula, bahwa gedung itu memang mudah untuk dipanjat dari belakang ini. Modelnya yang kuno, yang banyak variasi jendelanya, banyak bendul dan bahagian-bahagian yang menonjol membuat gedung itu mudah untuk dinaiki tanpa tangga pembantu. Artinya mudah bagi kaum pencuri.
Si Bungsu meneruskan langkahnya sambil sekali-sekali melayangkan sapunya ke sampah yang ada dilorong itu.
Seratus meter dari gedung konsulat itu lorong tadi tembus ke jalan besar. Jadi dari ujung dia masuk tadi ada jarak lima puluh meter baru sampai ke konsulat. Kemudian seratus meter dari konsulat sampai pula ke jalan besar.
Lorong ini merupakan jalan pintas dan bahagian belakang dari gedung-gedung besar lagi kuno yang ada di daerah itu. Merasa sudah cukup mengenal situasi. Si Bungsu balik lagi ke gedung kosong dimana tukang sapu tadi dia pukul sampai pingsan.
Tukang sapu itu masih meringkuk dengan kaki dan tangan terikat.
Tapi ternyata orang ini tidak pingsan lagi. Hal itu segera diketahui oleh si Bungsu lewat suara dengkurnya yang berirama.
Ternyata pingsannya dia sambung dengan tidur lelap. Mungkin karena lelah bekerja, makanya tukang sapu ini tertidur.
Dia luar gedung, hari berangkat gelap. Begitu lampu-lampu mulai menyala, si Bungsu segera keluar gedung itu.
Dia memperhatikan lorong belakang itu dari ujung ke ujung sepi.
Apakah akan ada orang datang malam ini? Firasatnya mengatakan ada! Cuma dia ragy, apakah orang itu akan datang lewat pintu belakang ini atau lewat…
Dia seperti tersentak. Lewat pintu depan, pikirnya. Ya, kalau benar ada orang konsulat yang terlibat dalam sindikat ini, maka bukannya tak mustahil bahwa orang yang akan membunuh Overste Nurdin itu masuk dari pintu depan.
Karena bukankah orang dalam, yaitu pegawai konsulat takkan dicurigai untuk masuk?
Dia mendekati dinding belakang itu. Kemudian tak begitu sulit baginya untuk memanjat dinding itu ketingkat dua dimana Nurdin masih terbaring.
Dia sampai ke jendela ditingkat dua itu. Mengintip ke dalam. Di dalam di bawah penerangan lampu neon kelihatan Salma duduk menyuapi suaminya. Disisinya, diatas sebuah kursi, duduk Eka, gadis kecil mereka. Sebelah tangan Nurdin membelai kepala anaknya itu. Sementara mulutnya tetap melulur perlahan bubur yang disuapkan oleh isterinya.

Tikam Samurai - 286

Dia masih menunggu sesaat ketika tiba-tiba dia lihat Salma menoleh ke pintu. Nampaknya ada yang mengetuk pintu. Sebelum Salma berdiri, pintu kamar itu terbuka. Dan tiba-tiba saja muncul dua orang lelaki.
Yang satu tak lain daripada Polisi Singapura yang siang tadi bertugas menjaga di depan konsulat. Dan polisi ini menodongkan pistolnya ke arah Overste Nurdin yang terbaring itu begitu dia masuk ke kamar tersebut.
Disamping Polisi ini, adalah seorang lelaki yang dikenal si Bungsu sebagai seorang staf konsulat! Ya, dia adalh orang Indonesia yang menduduki tempat penting pada staf konsulat itu.
Lelaki itu tersenyum. Kedua tangannya berada dalam kantong. Senyumnya lebih mirip seringai.
“Tetap sajalah duduk di sana tenang-tenang nyonya…” lelaki itu bicara sopan dan masih tersenyum pada Salma yang akan bangkit. Suaranya terdengar perlahan ketelinga si Bungsu.
Salma bukan main kagetnya melihat kejadian ini. Sebab dia tahu benar lelaki ini Staf Konsulat, teman sejawat suaminya.
Akan halnya Nurdin yang terbaring sakit itu tetap saja bersikap tenang. Dia mengunyah makanan dalam mulutnya perlahan.
“Selamat malam Overste…” lelaki itu berkata dengan senyum tetap menghias bibirnya.
“Selamat malam…” jawab Nurdin.
“Hmm, nampaknya anda tak terkejut dengan kehadiran saya….” Staf konsulat itu berkata. Nurdin tak segera menjawab. Dia meminta air pada isterinya. Minum beberapa teguk. Lalu kembali menatap pada rekannya itu.
“Kenapa saya harus terkejut. Saya sudah menduga anda terlibat dalam sindikat ini. Lagipula dalam sebuah negeri penghianat-penghianat merupakan kejadian yang lumrah…”
Muka lelaki itu jadi merah. Senyumnya lenyap. Namun dia masih tetap tegak di tempatnya. “Saya datang untuk menawarkan kerjasama Overste…”
“Hmm, menarik juga. Kerjasama bagaimana…?”
“Anda ikut dalam sindikat kami. Dan anda akan mendapat perlindungan berikut seluruh keluarga anda. Itu dari segi keamanan . dari segi materi anda dapat memiliki apa saja. Dari segi jabatan, anda bisa kami angkat menjadi Panglima Tentara di Indonesia..”
“Tawaran yang menarik. Tapi anda mempergunakan kalimat “kami”. Siapa yang lainnya?”
“Itu akan overste ketahui kelak”
“Bagaimana kalau saya tak mau..”
“Tak soal. Anda bisa memilih. Dan kami tinggal melaksanakan pilihan anda itu. Kalau anda menerima, maka serahkan dokumen yang anda susun itu pada kami, dan anda akan menerima imbalan sesuai dengan yang saya ucapkan tadi. Kalau anda tak mau menerima, maka anda tak perlu susah-susah lagi bekerja. Kami datang untuk menyudahi hidup anda..”
Salma jadi pucat. Dia memeluk anaknya. Pembicaraan kedua lelaki itu nampaknya biasa-biasa saja. Namun siapapun bisa mengetahui, bahwa pembicaraan mereka adalah mengenai soal hidup atau mati. Soal sebuah sindikat dan sebuah negara.
Si Bungsu masih tetap diam bergelantungan di luar jendela. Dia ingin tahu apa kelanjutannya. Kini jelas olehnya “orang dalam” yang terlibat dalam sindikat perdagangan wanita ini. Hanya dia ingin melihat bagaimana Nurdin keluar dari saat yang genting ini. Sementara Polisi Singapura itu tetap saja menodongkan pistolnya ke arah Nurdin.
Sementara itu Nurdin bicara lagi.
“Kalaupun saya anda bunuh, namun anda takkan pernah mendapatkan dokumen itu. Dan anda takkan pernah selamat. Saya sudah mengirimkan nama anda ke Jakarta….”
Lelaki itu tertawa perlahan.
“Apa artinya bagi saya pengiriman nama itu ke Jakarta. Di Jakarta laporan anda itu akan diterima oleh teman saya. Dan kalaupun jatuh ketangan orang lain, saya juga tak usah khawatir. Saya tak perlu kembali ke Indonesia. Seluruh keluarga saya…”
“Sudah di Tiongkok…” overste Nurdin memutus ucapannya.
“Hmm, anda mempunyai pengamatan yang tajam juga…”
“Ah. Siapapun akan bisa menebak, bahwa anda adalah orang Komunis. Setelah gagal dengan pemberontakan Madiun kalian menyelusup ke seluruh departemen…”
Lelaki itu tertawa lagi.
“Bukankah itu suatu bukti, bahwa pemerintah berada di pihak kami? Buktinya, meski kami telah memberontak, kami diterima lagi Departemen-departemen. Bahkan menduduki posisi kunci. Nah, kita tak usah berpanjang lebar lagi Overste… kini serahkan dokumen itu dan bekerja sama dengan kami, atau kalian bertiga kami sudahi di sini..”
Lelaki itu mengeluarkan tangannya yang sejak tadi tersimpan dalam kantong celananya. Dan kalau tadi dia selalu tersenyum ramah, kini wajah aslinya kelihatan. Mukanya berkerut masam.
“Tak satupun yang akan anda peroleh…” jawab overste itu tenang. Sementara tangan kananya tetap membelai kepala anaknya yang berada dipangkuan isterinya.

Tikam Samurai - 287

“Kami tidak main-main Overste…” berkata begini, tangannya segera merenggutkan tangan Salma. Perempuan itu tertegak oleh renggutan kasar itu.
“Hajar dia..!” kata lelaki itu pada Polisi Singapura yang nampaknya merupakan bahagian dari sindikat itu. 
Polisi itu maju setapak dan bersiap menarik picu pistolnya. Si Bungsu sudah menggebrak kaca jendela, ketika tiba-tiba terdengar letusan. Terlambat, pikirnya. Dan seiring dengan letusan itu tubuhnya menghantam kaca jendela. Hanya beberapa detik, dia sudah tegak dalam kamar itu. Dan tangannya yang telah menggenggam dua samurai kecil terayun.
Namun gerakannya terhenti. Dia melihat Polisi Singapura itu rubuh dengan dada berlumur darah. Sementara staf konsulat yang tadi menyentakkan tangan Salma tegak kaget memandang ke jendela dan juga pada Overste Nurdin.
Lalu tiba-tiba tangannya bergerak ke balik jasnya. Sepucuk pistol kecil muncul dan sebuah letusan lagi bergema. Gema letusan itu berasal dari bawah selimut overste Nurdin. Staf konsulat itu terputar. Bahunya dihantam peluru. Dan ketika Nurdin mengeluarkan tangan kirinya, dia menggenggam sebuah revolver enam silinder.
Si Bungsu masih tetap tegak diam. Nurdin teranyata berhasil keuar dari saat kritis itu dengan baik.
Nurdin dan si Bungsu bertatapan. Kemudian overste itu tersenyum.
“Terimakasih. Anda telah menjaga diriku dari balik jendela kaca itu…” kata Nurdin sambil tersenyum.
Si Bungsu tak sempat menjawab, sebab Salma dan gadis kecilnya telah memeluk Nurdin. Lalu saat itu pintu terbuka. Dan dipintu tegak Konsul Indonesia bersama tiga orang petugas keamanan.
“Saya dilaporkan ada tembakan disini…” kata konsul itu.
“Ya. Dan yang kena tembak adalah dia. Yang menembak saya…” Nurdin berkata sambil menunjuk pada staf konsulat yang saat itu tengah duduk dilantai. Bersandar kedinding sambil memegang bahunya mengalirkan darah.
Konsul itu menatap pada stafnya itu. Lalu menatap pula pada Nurdin.
“Ya. Dialah orangnya…” kata Nurdin.
Konsul itu melihat pada staf seniornya itu dengan berang.
“Komunis jahanam! Kau akan mendapat ganjaran, laknat!” kemudian memerintahkan untuk mengangkat mayat polisi singapura itu. Menyerahkannya pada pihak penguasa disertai laporan lengkap tentang sindikat perdagangan wanita tersebut. Sementara staf senior konsulat Indonesia itu dijebloskan ke dalam tahanan.
Nampaknya Nurdin telah meporkan soal sindikat itu pada Konsul. Namun satu hal yang pasti. Nurdin tetap tak pernah mengatakan soal dokumen yang ada pada si Bungsu.
“Engkau harus ke Jakarta Bungsu. saya punya firasat bahwa apa yang dikatakan staf senior konsulat itu memang benar. Bahwa setiap laporan tentang sindikat yang saya kirim ke Jakarta, jatuh ketangan komplotan itu sendiri. Artinya, di departemen yang menangani kasu ini juga terdapat orang-orang Komunis yang menjadi dalang sindikat ini di Indonesia.
Karena itu engkau berangkat ke sana. Meski pun saya sembuh, namun saya tak bisa bertindak drastis. Ada peraturan yang harus saya taati sebagai seorang militer. Tapi sebaliknya saya tak ingin mengampuni sindikat perdagangan wanita ini. Dan saya tak mau toleransi pada Komunis. Keduanya, sindikat dan Komunis itu sama jahanamnya. Mereka telah gagal dalam pemberontakan di Madiun. Namun saya yakin, suatu saat nanti, cepat atau lambat, mereka akan memberontak lagi. Mungkin korban yang jatuh akan lebih banyak. Bagi mereka menjual wanita, membunuh orang tak ada artinya sama sekali. Mereka tak mengenal Tuhan.
Saya ingin mereka dibunuh saja semua. Bayangkan betapa menderitanya sanak famili dari perempuan-perempuan yang dijual oleh sindikat itu. Saya tak tahu dengan pasti berapa orang sudah perempuan dari Indonesia yang berhasil metreka bujuk dan mereka jual sampai ke Eropah sana untuk dijadikan penghuni rumah lacur. Namun menurut catatan selama saya bertugas disini, tak kurang dari seratus wanita telah dibawa dari Indonesia.
Sindikat ini harus digulung. Anggotanya harus dibunuh. Ya, itu nhukuman yang patut buat mereka. Namun saya tak bisa melaksanakan itu. Makanya engkau yang saya minta Bungsu…”
Si Bungsu duduk dengan diam disisi pembaringan Nurdin. Mendengarkan ucapan Overste itu dengan tenang. Pembicaraan itu sepekan setelah penembakan terhadap staf senior konsulat itu.
Si Bungsu tak segera bisa memberikan jawab atas permintaan Nurdin. Sebab dihatinya semula telah ada rencana untuk pulang ke kampungnya. Dia terlalu rindu pada harumnya bau padi dan bunga jagung. Dia rindu pada kesejukan angin yang bertiup dari kaki Gunung Sago.
Ah, siapa yang takkan rindu pada kampung halamannya? Siapa yang takkan rindu pada kampung dimana mereka berlarian mengejar layang-layang sewaktu kecil. Mengendap-endap mengintai burung balam. Bermain dan berlari di jalan yang membelah kampung. Meskipun jalan kampung tak pernah diaspal, namun kerinduan padanya tak pernah padam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar