tikam samurai (bagian 88)
“Kenapa dia meninggal. . . ?” Fujiyama memotong.
“Ditembak dan diperkosa bergantian oleh…” Ucapan Imam itu berhenti, dia tak berani melanjutkan bicaranya.
“Siapa yang menembak dan memperkosanya. Katakan, jangan takut. . . .”
“Kabarnya. . . .kabarnya anggota pasukan tuan yang datang ke rumah Datuk Penghulu itu untuk menangkap Datuk itu. Tapi yang mereka temui hanyalah isteri Datuk itu, si Upik anaknya dan Mei-mei. . ..”
“Siapa itu Mei-mei . . . ?”
“Gadis yang akan menikah dengan si Bungsu itu. . .”
“Namanya seperti nama cina. ..”
“Benar. Dia memang anak cina. Tapi dia telah masuk Islam. Hidupnya penuh penderitaan. Dia ditolong oleh si Bungsu dan diakui anak oleh Datuk Penghulu….”
Fujiyama mengangguk-angguk. “Teruskan ceritamu pak Imam. . ..”
“Setelah Mei-mei meninggal, saya diminta Datuk mencari orang untuk menguburkannya. Tapi di rumah saya, telah menanti enam orang serdadu tuan. Saya disiksa untuk mengatakan dimana kedua orang itu bersembunyi. Ketika saya tak mau mengatakan, anak saya akan diperkosa. Akhirnya saya katakan juga bahwa kedua orang itu bersembunyi di loteng surau. Saya katakan setelah Letnan itu berjanji takkan mengganggu anak dan isteri saya. Tapi begitu anak buahnya pergi ke surau itu, dia menendang saya hingga rubuh kemudian menyeret anak saya ke kamar. Dan . . .saya tak tahu lagi sampai si Bungsu dan Datuk itu membunuh mereka semua. . . .”
Komandan tertinggi balatentara Jepang itu menjadi merah mukanya. Dia memanggil komandan Intelejen. Kemudian memerintahkan untuk membebaskan Imam anak beranak. Diiringi dengan perintah untuk jangan mengganggu Imam itu. Dan dengan marah pula dia memerintahkan untuk menangkap komandan Kempetai
kota itu. Komandan Kempetai itu berpangkat syo sha (Mayor) bernama Akiwara.
“Telah saya katakan bahwa engkau harus mengawasi dengan ketat tingkah laku tentara Jepang yang ada di kota ini. Tentara tidak untuk ditakuti rakyat. Tentara harus dihormati dan disegani. Dan rakyat tak akan menyegani dan menghormati tentara kalau tentara itu sendiri kelakuannya tidak terhormat. Saya sudah mendapat laporan tentang banyak perbuatan jahanam yang dilakukan oleh tentara dalam wilayah Garnizun yang engkau bawahi. Bahkan Kempetai sendiri yang seharusnya menjaga disiplin itu, berkelakuan demikian pula. Dan saya mendengar pula tentang banyaknya korban jatuh dipihak tentara Jepang karena tak mampu menangkap hanya dua orang penduduk pribumi. Untuk itu semua, engkau saya penjarakan enam bulan, dan kedudukanmu digantikan oleh Tai-i (Kapten) Imamura dari Padang Panjang”
Tak ada kata yang bisa di ucapkan oleh Syo Sha Akiwara mendengar putusan komandan tertingginya itu. Dia hanya tegak dengan sikap sempurna. Kemudian di akhir perintah komandannya itu dia membungkuk dan berseru “Haik”. Namun akhirnya, Mayor Jenderal Fujiyama itu tersingkir juga dari jabatannya sebagai komandan Tertinggi Balatentara Kekaisaran Jepang di Sumatera.
Disiplin dan Hati Bersih dalam ketentaraan yang dia anut, yaitu sikap yang dia terima tatkala mula pertama balatentara Kekaisaran Tenno Heika didirikan, bersumber pada ajaran-ajaran Budha, dianggap tak cocok untuk tentara pendudukan. Tak cocok bagi kebanyakan perwira-perwira bawahannya.
Memang ada beberapa perwira tinggi yang sependapat dengan dia. Tetapi sebagaimana jamaknya dalam tubuh ketentaraan, perwira-perwira senior selalu dianggap makin lama makin tak mengikuti jaman. Tak mengikuti perkembangan dan tak sesuai lagi untuk hal-hal yang praktis. Dengan segala cara mereka disingkirkan. Dengan halus maupun kasar. Itulah yang dialami olehJenderal Fujiyama. Namun satu hal yang pasti, dia dianggap sebagai prototip tentara sejati. Yang melandaskan setiap tindakan pada sikap satria.
Si Bungsu dan Datuk Penghulu lenyap tak berbekas. Meski Komandan Kempetai untuk Garnizun Bukittinggi ditahan dan dicopot, namun Fujiyama tetap memerintahkan untuk mencari dan menangkap kedua orang pelarian itu. Mata-mata disebar. Tidak hanya mata-mata dari kalangan militer Jepang. juga mata-mata dari kalangan pribumi yang bersedia bekerja untuk fasis tersebut. Perintah itu telah membuat penjagaan diperketat dimana-mana. Dan itu menyebabkan beberapa rencana yang telah disusun oleh para pejuang bawah tanah Indonesia jadi berobah. Dirobah sebab kewaspadaan yang sangat ditingkatkan oleh Jepang.
Hal ini membuat beberapa pemimpin perjuangan bawah tanah Indonesia menjadi tidak senang. Datuk Penghulu dan si Bungsu dipanggil ke sebuah markas yang tersembunyi di Birugo, mereka seperti diadili. Datuk Penghulu duduk bersebelahan dengan si Bungsu. Sementara di depan mereka, duduk enam orang lelaki. Di luar, di tempat yang tak kelihatan tak kurang setengah lusin lelaki saling berjaga-jaga terhadap sergapan serdadu Jepang. sebab yang ada di dalam rumah itu beberapa orang diantaranya adalah pucuk pimpinan pergerakan kemerdekaan Indonesia di sumatera Barat.
“Datuk sengaja kami panggil beserta si Bungsu. . . .” yang duduk di tengah memakai baju putih mulai bicara. Datuk Penghulu hanya diam.
“Telah saya katakan bahwa engkau harus mengawasi dengan ketat tingkah laku tentara Jepang yang ada di kota ini. Tentara tidak untuk ditakuti rakyat. Tentara harus dihormati dan disegani. Dan rakyat tak akan menyegani dan menghormati tentara kalau tentara itu sendiri kelakuannya tidak terhormat. Saya sudah mendapat laporan tentang banyak perbuatan jahanam yang dilakukan oleh tentara dalam wilayah Garnizun yang engkau bawahi. Bahkan Kempetai sendiri yang seharusnya menjaga disiplin itu, berkelakuan demikian pula. Dan saya mendengar pula tentang banyaknya korban jatuh dipihak tentara Jepang karena tak mampu menangkap hanya dua orang penduduk pribumi. Untuk itu semua, engkau saya penjarakan enam bulan, dan kedudukanmu digantikan oleh Tai-i (Kapten) Imamura dari Padang Panjang”
Hal ini membuat beberapa pemimpin perjuangan bawah tanah Indonesia menjadi tidak senang. Datuk Penghulu dan si Bungsu dipanggil ke sebuah markas yang tersembunyi di Birugo, mereka seperti diadili. Datuk Penghulu duduk bersebelahan dengan si Bungsu. Sementara di depan mereka, duduk enam orang lelaki. Di luar, di tempat yang tak kelihatan tak kurang setengah lusin lelaki saling berjaga-jaga terhadap sergapan serdadu Jepang. sebab yang ada di dalam rumah itu beberapa orang diantaranya adalah pucuk pimpinan pergerakan kemerdekaan Indonesia di sumatera Barat.
tikam samurai (bagian 89)
“Adapun yang ingin kami bicarakan adalah sepak terjang Datuk dan si Bungsu bulan ini. Kegaduhan dan pembunuhan yang Datuk lakukan bersama si Bungsu telah menyebabkan rencana kita gagal. Dan itu sangat merugikan perjuangan kita. Kami ingin meminta pertanggungjawaban Datuk. Kenapa Datuk sampai melanggar perjanjian yang telah kita buat.” Semua terdiam menanti jawaban Datuk Penghulu.
“Jawablah Datuk.” Seorang lelaki yang pakai baju kuning bicara. Suara lelaki itu perlahan saja. Tapi di dalamnya jelas tergambar adanya nada tekanan. Datuk Penghulu menatap mereka. “Apa yang harus kujawab untuk kalian . . . ,” katanya datar.
Dengan menyebut kata kalian jelas ada nada menentang dari datuk itu. Hal itu menyebabkan suasana kurang enak diantara yang hadir.
“Yang harus Datuk jawab adalah, kenapa Datuk bertindak sendiri-sendiri. Datuk telah mulai menyerang Jepang sebelum ada perintah. Dan itu mengacaukan rencana yang telah kita susun berbulan-bulan . . ..”
“Saya rasa tak pernah ada larangan atau ketentuan untuk tak melakukan serangan..”
“Secara tertulis memang tidak. Tapi dalam kemiliteran, segala tindakan harus dengan satu komando. Sebagai perwira Intelejen, Datuk telah melanggar ketentuan itu.”
“Apakah saya harus membiarkan anak istri saya diperkosa kemudian dibunuh tanpa membalas?”
“Datuk harus berpikir secara NasionaL Kita berjuang bukan untuk membela kepentingan keluarga atau pribadi. Kita berjuang untuk Negara dan Bangsa.”
“Ya, tuan-tuan bisa berkata begitu karena tuan-tuan belum merasakan apa yang saya rasakan…..” Datuk itu mulai meninggikan suaranya.
“Apakah hanya karena emosi pribadi Datuk bersedia mengorbankan tujuan yang besar?”
“Tuan-tuan harus memisahkan mana yang pribadi, mana yang tujuan bersama. . . .”
“Bukan kami yang harus memisahkan, tapi Datuk”
Suara mereka terputus ketika si Bungsu tiba-tiba tegak. Dia melangkah keluar.
“Bungsu. . .”
Lelaki yang tadi membuka rapat itu memanggil. Si Bungsu membalikkan badan. Dia menunggu orang itu bicara. Tapi karena lelaki itu tak juga bicara, dia berbalik lagi. Tapi kembali terhenti ketika lelaki itu berkata
“Tunggu.”
“Tuan bicara pada saya?” tanyanya.
“Ya, saya bicara padamu. . . .”
“Nama saya Bungsu. Bukan Tunggu. Ada apa maka saya tuan cegah keluar . . . ?”
“Persoalan ini juga menyangkut diri Saudara. . ..”
“Diri saya?” si Bungsu merasa heran.
“Ya, sepak terjang Saudara merugikan rencana kami…”
“Rencana yang mana?”
“Rencana penyergapan kami terhadap beberapa markas Jepang. . .”
Si Bungsu tersenyum tipis. Kemudian berbalik menghadap tepat-tepat pada keenam lelaki itu. Dan ketika dia bicara, suaranya terdengar mendesis tajam.
“Saya tidak punya sangkut paut dengan rencana tuan-tuan. Saya tak punya sangkut paut dengan kemerdekaan atau kebebasan yang tuan inginkan. Saya bukan pejuang. Dan saya berhak berbuat sekehendak saya. . ..""
“Saya rasa tak pernah ada larangan atau ketentuan untuk tak melakukan serangan..”
“Bungsu. . .”
Dia berhenti bicara. Menatap keenam lelaki itu dengan tajam. Sejak mereka mengata-ngatai Datuk Penghulu tadi dia sudah merasa mual. Karenanya dia merasa lebih baik berada di luar ruangan itu daripada mendengar pembicaraan yang menyesakkan dadanya ini. Lelaki yang berbaju kuning berdiri.
“Kau tak bisa berbuat sekehendakmu buyung. Daerah ini daerah perjuangan. Kami telah membaginya dalam sektor-sektor. Tiap sektor berada dalam satu tangan komando. Dan kau berada di dalam sektorku. Karenanya engkau harus tunduk di bawah perintahku.”
“Baik. Apa perintah Tuan pada saya. . .?.”
“Buat sementara, untuk menghindarkan kekacauan pada rencana induk yang telah disusun, kau serahkan samuraimu. Ini hanya untuk sementara. Sampai saat yang memungkinkan. Harap dimengerti. . .”
Datuk Penghulu sampai tegak mendengar kata-kata ini. Tapi sebelum dia buka suara, si Bungsu telah menyahut,
“Baik. Datanglah kemari, dan ambil sendiri samurai ini….”
Dia mengulurkan tangan kirinya yang memegang samurai. Sikapnya menentang sekali. Semua orang yang ada di sana pada tertegun.
“Ambillah.
Tapi untuk tuan mengerti, sebelum tuan, sudah ada lebih dari empat puluh Jepang yang ingin mengambilnya dari saya. Dan saya telah bersumpah, jika ada yang berniat mengambil samurai ini, maka hanya satu di antara dua pilihan. Saya atau orang itu yang mati. Dan selama ini, saya masih bisa bertahan hidup, Barangkali hari ini keadaan jadi lain, silahkan saja Tuan coba mengambilnya. . ..”
Keenam lelaki itu mengerti, ucapan anak muda ini tidak hanya sekedar gertak sambal. Dari beberapa orang, mereka sudah mendengar kehebatan anak muda tersebut.
Namun beberapa orang diantara mereka memang belum pernah tahu tentang si Bungsu.
Kini mendengar betapa dalam rapat khusus ini ada anak muda yang seperti takabur dan menantang pimpinan gerilya, salah seorang di antara mereka tegak.
Tapi untuk tuan mengerti, sebelum tuan, sudah ada lebih dari empat puluh Jepang yang ingin mengambilnya dari saya. Dan saya telah bersumpah, jika ada yang berniat mengambil samurai ini, maka hanya satu di antara dua pilihan. Saya atau orang itu yang mati. Dan selama ini, saya masih bisa bertahan hidup, Barangkali hari ini keadaan jadi lain, silahkan saja Tuan coba mengambilnya. . ..”
Namun beberapa orang diantara mereka memang belum pernah tahu tentang si Bungsu.
Kini mendengar betapa dalam rapat khusus ini ada anak muda yang seperti takabur dan menantang pimpinan gerilya, salah seorang di antara mereka tegak.
tikam samurai (bagian 90)
“Baik, saya ingin mencoba mengambil samuraimu buyung. Dan jangan menangis kalau dapat merampasnya. . .”
Sehabis berkata ini lelaki itu meninggalkan tempat duduknya. Namun dia di cegat oleh Datuk Penghulu.
“Sabarlah. Sebagai pimpinan saudara harus banyak sabar. Anak muda itu tak bergurau dengan menyebutkan bahwa sudah puluhan Jepang mati di mata samurainya. Kau akan sia-sia merebut samurainya itu. .”
Datuk Penghulu sebenarnya bermaksud baik. Ingin menyabarkan dan menghindarkan pertumpahan darah di antara sesama awak. Tapi larangannya itu justru dianggap sebagai gertak oleh lelaki itu. Dia menyentakkan tangannya yang tengah dipegang oleh Datuk Penghulu. Datuk Penghulu tahu, demikian juga lelaki yang lain dalam ruangan itu, bahwa lelaki yang satu ini cukup berisi. Dia juga seorang guru silat dan guru ilmu batin. Kini dia tegak dua depa di depan si Bungsu.
“Nah buyung, kau serahkan baik-baik samurai celakamu itu atau kurampas dari tanganmu. Mana yang kau pilih. . .?”
Semua yang hadir menatap dengan tegang. Datuk Penghulu sendiri jadi serba salah. Dia menatap saja tepat-tepat pada si Bungsu.
“Saya rasa tak ada salahnya Tuan mengambil samurai celaka ini . .” si Bungsu berkata sambil tanganya bergerak. Suatu gerakan yang alangkah cepatnya. Lelaki itu, dan lelaki-lelaki yang ada dalam ruangan rapat khusus itu, hanya melihat secarik cahaya putih. Muncul dari dalam sarung samurai dan masuk lagi ke sarung samurai itu. Lamanya hanya sekitar empat detik. Ketika terdengar bunyi ‘trak’ maka samurai itu sudah masuk lagi ke sarungnya.
“Ambillah. . .,” kata si Bungsu menyambung ucapannya.
Tapi lelaki itu tegak dengan kaget. Mukanya berobah jadi pucat pasi. Dia memakai baju kemeja. Empat buah kancing baju kemeja itu sudah putus dan jatuh ke lantai. Tidak hanya sampai disitu, persis tentang jantungnya kemeja itu potong dua dari kanan ke kiri dan dua dari kiri ke kanan. Namun tak segores pun kulitnya tersentuh oleh ujung samurai. Demikian cepatnya, demikian telitinya, dan demikian terlatihnya gerakan anak muda itu.
Lelaki itu jadi pucat pasi. Karena kalau saja anak muda itu mau, maka tubuhnya pasti sudah putus beberapa potong. Dia menjilat bibirnya yang serta merta jadi kering. Si Bungsu tersenyum tipis. Wajahnya jadi keras. Matanya berkilat.
“Sudah kukatakan, kita tak punya sangkut paut. Ingatlah itu baik-baik. Saya tak mencampuri urusan perjuangan kalian. Karena itu jangan campuri urusan pribadi saya. . . .” Ujar si Bungsu perlahan. Kemudian dia menoleh pada Datuk Penghulu.
“Saya tunggu Pak Datuk di luar. Saya rasa rapat ini bukan untuk orang seperti saya,”
Dia lalu mengangguk memberi hormat pada semua orang. Lalu berbalik dan melangkah dengan tenang keluar. Beberapa lelaki yang masih duduk di kursinya tiba-tiba bernafas lega. Mereka pada mengusap peluh yang entah kenapa mengalir saja di wajah mereka. Luar biasa, benar-benar luar biasa Lelaki yang tadi memimpim rapat berkata perlahan. Akan halnya lelaki yang buah bajunya dan bajunya tercabik-cabik putus itu, lambat-lambat kembali ke tempat duduknya.
“Ya… dia sangat hebat. Saya beruntung dapat mengetahuinya dengan pasti. . .,” katanya sambil duduk.
“Tapi percobaan itu sangat berbahaya. . . .,” yang berbaju kuning berkata.
“Habis yang lain tak ada yang mau melaksanakan rencana itu. . . .,” dia membela diri.
“Saya sendiri yakin anak muda itu akan mampu mengontrol dirinya. Tapi tetap saja peluh membasahi tubuh saya. . . .,” Ujar yang seorang lagi.
Datuk Penghulu terheran-heran mendengar pembicaraan teman-temannya ini. Dan yang memimpin rapat tadi mengetahui keheranannya itu. Dia lantas berkata:
“Ini semua sebuah sandiwara. Datuk dan anak muda itu sengaja kami undang kemari untuk sebuah pembuktian. Sudah tersebar dari mulut ke mulut, dari bisik ke bisik, bahwa ada seorang anak muda yang perkasa, anak Minang yang bangkit menuntut balas kematian keluarganya justru mempergunakan samurai sebagai senjatanya.
Pimpinan tertinggi menyuruh kami mencek kebenaran itu. Dan sampailah akhirnya berita bahwa anak dan istri Datuk binasa dilaknati Kempetai.
Kami berduka atas peristiwa itu. Hari ini, kami ingin menyampaikan duka cita itu. Tapi harap maafkan, kami tak bisa menahan hati untuk tak membuktikan sampai dimana kehebatan anak muda itu mempergunakan samurainya. Kami menyangka hebat, sehebat yang diceritakan orang. Ternyata hari ini kami buktikan bahwa kehebatannya jauh melampaui yang diceritakan orang banyak. . . .”
Datuk Penghulu masih saja terheran-heran. Yang berbaju kuning, yaitu yang membawahi sektor Pasaman bicara pula, “Kita semua memerlukan anak muda seperti dia. Coba bayangkan hasil yang akan kita capai kalau ada sepuluh orang seperti dia. Sepuluh orang pemuda dengan kemahiran seperti itu. Ah …” lelaki itu tak menyudahi ucapannya.
Datuk Penghulu sebenarnya bermaksud baik. Ingin menyabarkan dan menghindarkan pertumpahan darah di antara sesama awak. Tapi larangannya itu justru dianggap sebagai gertak oleh lelaki itu. Dia menyentakkan tangannya yang tengah dipegang oleh Datuk Penghulu. Datuk Penghulu tahu, demikian juga lelaki yang lain dalam ruangan itu, bahwa lelaki yang satu ini cukup berisi. Dia juga seorang guru silat dan guru ilmu batin. Kini dia tegak dua depa di depan si Bungsu.
Tapi lelaki itu tegak dengan kaget. Mukanya berobah jadi pucat pasi. Dia memakai baju kemeja. Empat buah kancing baju kemeja itu sudah putus dan jatuh ke lantai. Tidak hanya sampai disitu, persis tentang jantungnya kemeja itu potong dua dari kanan ke kiri dan dua dari kiri ke kanan. Namun tak segores pun kulitnya tersentuh oleh ujung samurai. Demikian cepatnya, demikian telitinya, dan demikian terlatihnya gerakan anak muda itu.
Datuk Penghulu terheran-heran mendengar pembicaraan teman-temannya ini. Dan yang memimpin rapat tadi mengetahui keheranannya itu. Dia lantas berkata:
Pimpinan tertinggi menyuruh kami mencek kebenaran itu. Dan sampailah akhirnya berita bahwa anak dan istri Datuk binasa dilaknati Kempetai.
tikam samurai (bagian 91)
“Jadi saya dipanggil kemari hanya untuk memperlihatkan pada tuan-tuan betapa kepandaian anak muda itu mempergunakan samurainya ?”
“Ya. Tapi kalau kami beritahu pada Datuk maka kami yakin dia takkan datang.”
“Kalau begitu, saya menyesal tidak menyuruh dia menyiksa kalian tadi. . . .”
“Apa maksud Datuk. ..”
“Kalau saja saya tahu, saya hasut dia sehingga ada diantara kalian yang akan dia cencang menjadi potongan-potongan sate” Lelaki yang putus buah bajunya itu nyengir mendengar olok-olokan Datuk ini.
“Nah kita tak punya waktu lagi. Mari kita semua susun rencana berikutnya.” Yang memimpin rapat itu bicara lagi.
“Satuan tugas yang dikirim menyelidiki kegiatan Jepang dalam sebulan ini mendapat informasi, banyak amunisi yang datang dari Medan dan langsung lenyap setibanya di lapangan Gadut. Setelah diteliti, ternyata dari lapangan itu ada terowongan. Diduga terowongan itu menuju ke bawah kota Bukittinggi. Terowongan-terowongan itu dibuat untuk menyimpan peralatan perang serta sekaligus untuk perlindungan bila mereka nanti terdesak oleh tentara Sekutu. Jepang sudah mensinyalir bahwa ada dua bahaya yang akan mengancam mereka di Indonesia ini. Pertama gerakan Kemerdekaan dari pemuda-pemuda Indonesia dan kedua kembalinya Belanda merebut bekas jajahannya. Belanda diduga akan ikut membonceng bersama tentara Sekutu. Kini tugas kita adalah merebut persenjataan sebanyak mungkin. Atau kalau itu tak bisa, maka kita harus meruntuhkan terowongan yang mereka buat. Dengan demikian kita berarti melumpuhkan jalur suplai mereka….”
Dan rapat itu berlangsung terus. Kontak-kontak telah di buka dan disampaikan melalui radio rahasia antara pejuang-pejuang di Sumatera Utara, Jawa dan Sumatera Barat. Saat peristiwa ini terjadi, hari proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 45 hanya menunggu saatnya saja. Waktu itu tanggal telah memasuki awal Agustus 45.
Di luar si Bungsu bosan menanti. Dia pergi ke kedai kopi. Memesan secangkir kopi dan memakan ketan dengan pisang goreng. Dia termasuk yang beruntung berada di kedai kopi itu. Sebab tengah ia makan itu, tiba-tiba saja sebuah truk militer berhenti. Delapan orang Kempetai berloncatan turun mengepung rumah tersebut. Demikian cepatnya gerakan mereka. Tak diketahui siapa yang telah membocorkan rahasia rapat itu ke pihak kempetai.
Enam lelaki berpakaian preman yang sebenarnya ditugaskan untuk menjaga keamanan di luar rumah itu, jadi tak berdaya ketika tiba-tiba dari balik beberapa rumah, selusin Kempetai muncul melecuti mereka. Beberapa orang ada juga yang berusaha memberikan perlawanan. Tapi dengan jurus-jurus karate dan judo yang amat mahir, dengan mudah Kempetai kempetai itu melumpuhkan mereka. Seorang lelaki ingin berteriak, tetapi sebuah tusukan bayonet menghentikan suaranya.
Dia terkulai, dan tubuhnya dicampakkan ke atas truk.
Penduduk segera berlarian. Menutup pintu dan bersembunyi. Dalam waktu singkat, kampung Birugo Puhun itu seperti dikalahkan garuda. Sepi. Bahkan anjing pun tak ada yang kelihatan di luar. Mereka yang ada di kedai kopi pada terdiam. Dan selama mereka berdiam diri, mereka nampaknya tak digubris oleh Kempetai-kempetai itu. Dalam kedai kopi itu ada empat lelaki.
Keempatnya, termasuk si Bungsu, pada tertegun kaget dan tak tahu harus berbuat apa. Rumah di mana tengah berlangsung rapat rahasia itu telah dikepung dengan senjata dan bayonet terhunus. Cahaya sore mengirim sinarnya yang panas ke pintu rumah. Seorang Syo Sha (Mayor) maju ke depan. Di antara sekian tentara Jepang yang ada, hanya dia yang tak menghunuskan senjatanya. Sebuah pistol tergantung dipinggangnya sebelah kiri. Hulunya menghadap kedepan. Sedangkan sebuah samurai tergantung di pinggang kanan.
“Satuan tugas yang dikirim menyelidiki kegiatan Jepang dalam sebulan ini mendapat informasi, banyak amunisi yang datang dari Medan dan langsung lenyap setibanya di lapangan Gadut. Setelah diteliti, ternyata dari lapangan itu ada terowongan. Diduga terowongan itu menuju ke bawah kota Bukittinggi. Terowongan-terowongan itu dibuat untuk menyimpan peralatan perang serta sekaligus untuk perlindungan bila mereka nanti terdesak oleh tentara Sekutu. Jepang sudah mensinyalir bahwa ada dua bahaya yang akan mengancam mereka di Indonesia ini. Pertama gerakan Kemerdekaan dari pemuda-pemuda Indonesia dan kedua kembalinya Belanda merebut bekas jajahannya. Belanda diduga akan ikut membonceng bersama tentara Sekutu. Kini tugas kita adalah merebut persenjataan sebanyak mungkin. Atau kalau itu tak bisa, maka kita harus meruntuhkan terowongan yang mereka buat. Dengan demikian kita berarti melumpuhkan jalur suplai mereka….”
Di luar si Bungsu bosan menanti. Dia pergi ke kedai kopi. Memesan secangkir kopi dan memakan ketan dengan pisang goreng. Dia termasuk yang beruntung berada di kedai kopi itu. Sebab tengah ia makan itu, tiba-tiba saja sebuah truk militer berhenti. Delapan orang Kempetai berloncatan turun mengepung rumah tersebut. Demikian cepatnya gerakan mereka. Tak diketahui siapa yang telah membocorkan rahasia rapat itu ke pihak kempetai.
Penduduk segera berlarian. Menutup pintu dan bersembunyi. Dalam waktu singkat, kampung Birugo Puhun itu seperti dikalahkan garuda. Sepi. Bahkan anjing pun tak ada yang kelihatan di luar. Mereka yang ada di kedai kopi pada terdiam. Dan selama mereka berdiam diri, mereka nampaknya tak digubris oleh Kempetai-kempetai itu. Dalam kedai kopi itu ada empat lelaki.
tikam samurai (bagian 92)
Dari caranya menggantungkan kedua senjata ini, orang segera dapat menebak, bahwa Kapten ini mahir bermain samurai dengan tangan kiri. Sementara pistol dipergunakan dengan tangan kanan. Hanya saja letak pistol itu terbalik dari umumnya orang-orang yang kidal. Di belakang syo-Sha itu tegak seorang ajudan yang berpangkat Letnan. Mayor itu lalu berseru dengan suara lantang.
“Datuk Penghulu, Datuk Putih NanSati, Sutan Baheramsyah, atas nama Kaisar Tenno Heika, kalian saya perintahkan untuk menyerahkan diri. Kalian kami tangkap dengan tuduhan berkomplot ingin mencuri senjata, meledakkan rumah-rumah perwira, menculik dan membunuh perwira-perwira Jepang. Dokumen kalian telah kami temukan. Kini menyerahlah. . .”
Tak ada sahutan. Rumah itu tiba-tiba jadi sepi. Suara Mayor itu bergema jelas. Bahkan dapat didengar oleh penduduk yang rumahnya berdekatan dengan rumah dimana rapat itu sedang berlangsung. Angin bertiup perlahan. Semua menanti dengan tegang.
“Saya hitung sampai sepuluh Jika kalian tak menyerah, kami akan meledakkan rumah ini dengan dinamit. Kalian boleh pilih, menyerah untuk diadili, atau mati berkeping-keping dalam rumah ini….””
Syo sha itu mulai menghitung. Di dalam rumah, Datuk Penghulu dan semua lelaki yang tadi namanya disebutkan oleh Syo Sha tersebut pada tertegak diam. Mereka memang tak membawa senjata apapun. Meski mereka pimpinan gerilya, namun membawa senjata siang hari sangat berbahaya. Tapi mereka tak menyangka sedikitpun akan terperangkap hari ini.
“Pasti ada yang berkhianat.” Datuk Penghulu berkata.
Pejuang yang lain masih terdiam. Hitungan di luar sudah mencapai angka empat. Lelaki yang tadi punah buah bajunya dimakan samurai si Bungsu, perlahanlahan bergerak ke tepi dinding. Dari sebuah lubang kecil dia mengintai. Kemudian menghadap kepada teman-temannya yang memandang kepadanya dengan tegang.
“Semua petugas yang ada di luar sudah diringkus. Ada seorang nampaknya terluka. Kini dia terbaring di atas truk berlumur darah. . . Mana anak muda tadi?”
Tiba-tiba yang buah bajunya putus itu, yang rupanya bernama Datuk Putih Nan Sati yang dipanggil Syo sha tadi bertanya. Sebagai jawabannya dia mengintip lagi dari lubang kecil itu. Matanya coba mengintip ke luar. Menatap apakah di antara petugas yang tertangkap dan kini ditegakkan dekat truk itu ada si Bungsu atau tidak. Letih dia mencari anak muda itu tetap tak kelihatan.
“Dia tidak termasuk di antara yang ditangkap” katanya
“Apakah. . apakah tidak mungkin dia yang memberitahukan pada Jepang bahwa kita rapat disini,” salah seorang bertanya. Mereka saling pandang.
“Tak mungkin. Saya berani mempertaruhkan nyawa saya untuk itu . . .” Datuk Penghulu membantah, lalu mereka sama-sama terdiam.
Di luar hitungan sudah mencapai delapan Akhirnya si lelaki yang berbaju kuning, yang tak lain dari Sutan Baheramsyah yang menjadi pimpinan di antara seluruh mereka yang ada di rumah itu, tegak. Melangkah ke tengah ruangan.
“Apakah mereka memang bermaksud meledakkan kita dengan dinamit ?” tanyanya.
“Saya lihat memang begitu. …..” Datuk Putih Nan Sati yang kembali mengintai dari lobang kecil itu menyahut.
“Nah, kita kali ini kebobolan. Tapi daripada mati percuma, lebih baik menyerah. Saya yakin, dipenjara masih ada kesempatan untuk melarikan diri. Kalau kita menyerah, ada kesempatan bagi teman-teman yang lain untuk membebaskan kita. Mari kita keluar. .”
Sehabis berkata Sutan Baheramsyah melangkah ke depan. Yang lain tak dapat membantah. Sebab hitungan Syo Sha yang di luar sudah menyebutkan angka sepuluh Syo Sha itu sudah akan memberi isyarat untuk membakar sumbu dinamit, ketika pintu rumah itu terbuka. Lalu kelihatan Sutan Baheramsyah, Datuk Penghulu, Datuk Putih Nan Sati melangkah keluar bersama-sama teman-temanya yang lain.
Mereka berhenti dan tegak berjejer di depan rumah itu. Tegak berhadapan dalam jarak sepuluh depa dengan Syo Sha tersebut. Tak sedikitpun di wajah mereka tergambar rasa takut. Mereka menatap kepada Jepang-Jepang itu dengan kepala terangkat dan pandangan yang lurus.
“Silahkan tuan naik ke atas truk. …..” Syo Sha itu berkata. Dari bilik pintu dan jendela penduduk pada mengintip kejadian itu dengan perasaan tegang.
“Kami adalah para perwira. Menurut perjanjian militer kami harus pula diperlakukan seperti perwira ….” Sutan Baheramsyah berkata dengan nada datar.
“Tak ada tanda-tanda kepangkatan yang menandakan tuan seorang perwira, dan kami tak dapat memperlakukan tuan sebagai perwira karena tak ada tanda-tanda tersebut. . . .” Syo sha itu menjawab dengan nada tegas kemudian memberi perintah pada anak buahnya. Keenam lelaki itu digiring dengan bayonet terhunus ke atas truk yang telah menanti. Di atas truk, beberapa orang cepat membantu petugas yang tadi terluka kena tusukan bayonet. Namun dengan terkejut mereka mendapatkan pejuang itu sudah menghembuskan nafas yang terakhir.
“Jahanam. . benar-benar jahannam ..” Datuk Putih Nan Sati memaki.
Semua mereka sudah dinaikkan ke atas truk. Syo Sha itu melangkah mendekati jipnya yang terletak tak jauh dari truk itu. Dia melangkah dengan wajah angkuh dan lewat di depan kedai kopi dimana beberapa lelaki sedang terdiam. Syo Sha itu seorang perwira yang punya firasat tajam. Ketika lewat kedai kopi itu dia menyadari membuat Suatu kekeliruan kecil. Yaitu tidak memeriksa dan menangkapi lelaki yang ada dalam kedai kopi itu.
Siapa tahu di antara mereka ada pejuang-pejuang bawah tanah Indonesia. Siapa tahu di dalam kedai ada penembak tersembunyi. Menyadari kekeliruan kecil ini. Mayor itu segera menoleh ke belakang untuk memerintahkan pada bawahannya guna memeriksa lelaki yang ada dalam kedai tersebut. Namun instingnya terlambat. Firasatnya sebagai perwira intelejen ternyata tak menolong. Karena begitu dia berhenti untuk menoleh ke belakang, seorang lelaki tiba-tiba muncul di dekat jip yang dia naiki. Tak jauh dari sana, seorang kempetai yang tegak dengan bedil terhunus segera mengenali lelaki yang muncul itu adalah si Bungsu.
Kempetai itu mengangkat bedilnya dan menembak.
Sebab sudah sejak sepekan yang lalu anak muda itu dicari dengan perintah Tangkap hidup atau mati. Kini dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Bukankah pangkatnya akan naik kalau dia berhasil menembak mati anak muda yang telah membunuh banyak tentara Jepang itu? Dan impiannya itu sebenarnya bisa terwujud, yaitu kalau saja anak muda itu bukan si Bungsu Begitu mengangkat bedil, naluri si Bungsu yang amat tajam itu segera menyadari bahaya mengancamnya.
“Pasti ada yang berkhianat.” Datuk Penghulu berkata.
Di luar hitungan sudah mencapai delapan Akhirnya si lelaki yang berbaju kuning, yang tak lain dari Sutan Baheramsyah yang menjadi pimpinan di antara seluruh mereka yang ada di rumah itu, tegak. Melangkah ke tengah ruangan.
Mereka berhenti dan tegak berjejer di depan rumah itu. Tegak berhadapan dalam jarak sepuluh depa dengan Syo Sha tersebut. Tak sedikitpun di wajah mereka tergambar rasa takut. Mereka menatap kepada Jepang-Jepang itu dengan kepala terangkat dan pandangan yang lurus.
Sebab sudah sejak sepekan yang lalu anak muda itu dicari dengan perintah Tangkap hidup atau mati. Kini dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Bukankah pangkatnya akan naik kalau dia berhasil menembak mati anak muda yang telah membunuh banyak tentara Jepang itu? Dan impiannya itu sebenarnya bisa terwujud, yaitu kalau saja anak muda itu bukan si Bungsu Begitu mengangkat bedil, naluri si Bungsu yang amat tajam itu segera menyadari bahaya mengancamnya.
tikam samurai (bagian 93)
Lompat Tupai, Tubuhnya segera berguling ke depan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Dan letusan itu mengejutkan si Mayor. Begitu dia menoleh, begitu sesosok bayangan tegak di depannya. Mayor ini secara naluriah mengetahui bahaya yang mengancam. Dia segera mencabut samurai dengan tangan kiri. Tapi begitu samurai itu keluar dari sarungnya, begitu sebuah babatan menghantam samurainya tersebut.
Tangannya rasa kesemutan. Begitu kuat hantaman samurai itu.
Tanpa dapat dia tahan samuarainya terpental jatuh ke tanah. Dan saat itulah orang yang belum dia lihat wajahnya itu berputar ke belakang dan sebuah benda dingin, tajam, tipis dan menakutkan, menempel di lehernya. Anak muda itu tegak di belakangnya sambil memegang kepala si Mayor. Kepala Mayor itu dia buat tertengadah dan mata samurainya itu dia tekankan ke lehernya.
“Perintahkan semua anak buahmu melemparkan senjata mereka ke tanah, Mayor” Suara si Bungsu mendesis tajam. Bukan main cepatnya kejadian itu berlangsung. Sebahagian besar Serdadu Jepang itu masih tegak terpana. Dan kini menatap dengan mulut ternganga pada komandan mereka yang terancam itu.
Mayor itu sendiri hampir-hampir tak percaya kejadian yang dia alami ini. Dia tak yakin ada manusia yang dapat bergerak demikian cepatnya. cepat dalam bergerak. Dan cepat dalam memainkan samurainya.
“Si Bungsu . . .” akhirnya mayor itu bersuara perlahan.
Nama anak muda itu sudah menjadi buah bibir di antara para perwira di Markas besar mereka. Anak muda yang mahir dengan samurai.
“Ya. Sayalah si Bungsu Mayor. Dan saya tidak main-main dengan samurai saya ini. Sudah banyak bangsa saya yang terbunuh oleh samurai kalian ini. Dan dengan samurai ini pula, sudah puluhan Jepang yang saya bunuh. Dengan segala senang hati hari ini saya akan menambah jumlah itu dengan diri tuan. Yaitu kalau tuan tidak memerintahkan anak buah tuan melemparkan senjata mereka. . .”
Tanpa dapat ditahan Mayor itu merasakan seluruh bulu di tubuhnya pada merinding. Dia sudah berperang selam puluhan tahun. Mulai dari daratan Mongolia sampai ke daratan cina. Menembus rawa-rawa maut di sungai Yang Tse Kiang. Dia sudah menghadapi berbagai macam bentuk manusia yang siap merenggut nyawanya.
Dia sudah berhadapan dengan tentara Belanda, Amerika dan lain-lain. Namun dia tak pernah merasa gentar. Tapi sore ini, di bawah ancaman anak muda ini, tubuhnya tiba-tiba terasa mendingin. Tak hanya mendingin, buat pertama kali dalam hidupnya sebagai militer, tubuhnya tiba-tiba menggigil.
“Perintahkan Mayor Atau perlu kuhitung sampai sepuluh seperti engkau menghitung tadi ?”
Bulu tengkuk mayor ini tambah merinding. Dia sudah banyak mendengar, bahkan melihat sendiri betapa mayat-mayat tentara Jepang ketika akan menangkap anak muda ini di Tarok, terputus-putus seperti dijagai kena samurai.
“Lemparkan seluruh senjata kalian ke tanah . .” suara mayor itu terdengar serak.
Tanpa dapat dia tahan samuarainya terpental jatuh ke tanah. Dan saat itulah orang yang belum dia lihat wajahnya itu berputar ke belakang dan sebuah benda dingin, tajam, tipis dan menakutkan, menempel di lehernya. Anak muda itu tegak di belakangnya sambil memegang kepala si Mayor. Kepala Mayor itu dia buat tertengadah dan mata samurainya itu dia tekankan ke lehernya.
Nama anak muda itu sudah menjadi buah bibir di antara para perwira di Markas besar mereka. Anak muda yang mahir dengan samurai.
Dia sudah berhadapan dengan tentara Belanda, Amerika dan lain-lain. Namun dia tak pernah merasa gentar. Tapi sore ini, di bawah ancaman anak muda ini, tubuhnya tiba-tiba terasa mendingin. Tak hanya mendingin, buat pertama kali dalam hidupnya sebagai militer, tubuhnya tiba-tiba menggigil.
Satu demi satu anak buahnya melemparkan senjata. Si Bungsu menyeret tubuh mayor itu hingga tersandar ke dinding rumah yang tadi hampir saja diledakkan dengan dinamit. Dengan meletakkan tubuh mayor itu tetap di depannya, maka si Bungsu dapat mengawasi seluruh pasukan Jepang itu.
“Suruh mereka berkumpul di dekat truk. Semuanya ..”
Anak muda itu berkata lagi sambil memberi isyarat pada Datuk Penghulu dan kawan-kawannya yang berada di atas truk untuk turun. Mereka segera turun dan bergabung dengan di Bungsu di tepi dinding rumah.
“Cepat suruh mereka berkumpul dekat truk itu mayor….” si Bungsu kembali mengancam.
“Syo-i Atto. Perintahkan semuanya berbaring dekat truk. Lekasss..!!”
Mayor itu berteriak lagi dengan suara seraknya. Syo- I (Letnan dua ) itu segera melaksanakan perintah mayor tersebut. Sebaliknya tubuh si Bungsu menegang tiba-tiba begitu mendengar nama Atto disebut si Mayor. Demikian juga halnya dengan Datuk Penghulu. Mereka saling tatap. Mata si Bungsu menatap tajam dan membersitkan amarah yang hebat.
Atto... Nama itu mengiang di telinganya. Dia teringat pada saat-saat menjelang kematian Mei-mei. Gadis itu mengatakan bahwa dia diperkosa oleh satu regu Kempetai. Yang memulai perkosaan itu adalah komandan mereka. Gadis itu mendengar namanya disebut dengan Atto. Dan kini Letnan dua yang bernama Atto itu siap melaksanakan tugasnya. Dia tegak di depan prajurit-prajurit Jepang yang jumlahnya sekitar delapan belas orang itu.
Seluruh senjata mereka seperti karabin, pistol dan samurai, bergelatakan di tanah. Si Bungsu segera tersadar dari lamunannya pada Mei-mei. Lamunannya dan kebenciannya membuat tangannya tak terkontrol Dan mata samuarinya amat tajam itu melukai leher si Mayor. Darah mengalir kebawah, tapi untunglah lukanya hanya luka luar saja. Tentara Jepang yang lain pada merinding.
Mereka menyangka anak muda ini sudah menyembelih pimpinan mereka. Si Bungsu menoleh pada Datuk Penghulu.
“Ambillah bedil yang ada di tanah itu. Dan juga pistol mayor ini. Awasi dia. Saya akan buat perhitungan . .”
Atto... Nama itu mengiang di telinganya. Dia teringat pada saat-saat menjelang kematian Mei-mei. Gadis itu mengatakan bahwa dia diperkosa oleh satu regu Kempetai. Yang memulai perkosaan itu adalah komandan mereka. Gadis itu mendengar namanya disebut dengan Atto. Dan kini Letnan dua yang bernama Atto itu siap melaksanakan tugasnya. Dia tegak di depan prajurit-prajurit Jepang yang jumlahnya sekitar delapan belas orang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar