tikam samurai (bagian 94)
Datuk Penghulu segera mengetahui maksud anak muda itu. Dia mengambil pistol mayor itu dari pinggangnya. Yang lain pada memungut bedil di tanah. Kemudian mereka ganti menodong Jepang-Jepang itu. Dari balik pintu, dari balik jendela, penduduk tetap mengintai dengan diam. Mengintai dengan takut.
Barangkali ada rasa gembira dan bangga di hati mereka melihat betapa pejuang-pejuang itu berbalik menguasai tentara Jepang yang mereka benci. Namun sebagaimana umumnya rakyat sipil dari sebuah negara yang sedang dilanda perang, dimanapun negara itu berada, bangsa manapun dia, ketakutan terhadap militer selalu saja menghantui mereka. Di setiap negara yang dilanda perang, apalagi negara yang dijajah, maka penduduk sipil selalu saja menjadi korban tak berdosa dari keganasan militer. Saat itupun, penduduk di Birugo itu selain merasa bangga, sekaligus juga merasa takut. Bangga karena bangsa mereka ternyata sudah mulai unjuk gigi dalam melawan penjajah. Ngeri karena mengingat pembalasan yang akan datang dari Jepang.
Karena betapapun jua, pejuang Indonesia itu pastilah sebentar berada di kota. Setelah itu mereka akan lenyap bersembunyi. Karena seluruh jengkal tanah di bumi Indonesia saat itu dikuasai o leh Jepang. Penduduk dapat membayangkah setelah sore hari ini, maka akan ada ratusan tentara jepang yang akan memeriksa seluruh rumah di Birugo ini. Dan mereka ada yang akan ditangkap. Ada yang diperkosa. Begitu selalu. Dan dari balik p intu, dari balik jendela, mereka melihat anak muda yang tadi meringkus mayor itu berjalan ke depan.
Mayor itu kini berada d i bawah ancaman senjata yang dipegang oleh Datuk Penghulu. Si Bungsu melangkah ke dekat truk. Sepuluh langkah di depan Letnan dua yang bernama Atto itu dia berhenti. Samurai sudah berada dalam sarangnya. Dia pegang dengan tangan kiri. Dia menatap tajam pada atto yang sama sekali tak mengenal anak muda ini. Tapi ditatap begitu, bulu tengkuknya merinding.
“Ambil samuraimu yang tergelak di tanah itu Atto . . .” Tiba-tiba dia dengar anak muda ini bersuara.
Dia tertegun. Kaget dan tak percaya pada pendengarannya.
“Ambillah samuraimu. Engkau yang bernama Atto, yang memimpim penangkapan dan pembakaran rumah di Tarok dua puluh hari yang lalu bukan ?”
Tanpa dia sadari, letnan itu mengangguk.
“Nah, sayalah suami dari gadis yang bernama Mei-mei yang engkau perkosa ketika dia dalam luka parah di pondok dalam hutan bambu di Tarok malam itu, masih ingat?” Seperti orang dungu, letnan itu kembali mengangguk.
“Dia sudah mati. Mati karena menderita. Menderita kalian perkosa bersama-sama. Namun sebelum dia meninggal, saya telah bersumpah untuk membunuhmu. Kini ambillah samurai itu. Atau kau akan saya bantai tanpa membela diri. Bagi saya sama saja. Saya hitung sampai tiga. Kalau kau tetap tak mau mengambil samuraimu, kau akan saya bunuh seperti membunuh seekor anjing.
Satu…..!”
Suara si Bungsu bergema. Dia sudah mulai menghitung. Tidak hanya Atto dan prajurit-prajurit Jepang yang banyak itu, Datuk-Datuk yang berada di pihak si Bungsu yang kini tegak dekat Datuk Penghulu, juga merasa ngeri mendengar ancaman anak muda itu. Dan Atto, sebagaimana jamaknya samurai-samurai dari Jepang, merasa harga dirinya di injak-injak mendengar penghinaan anak muda itu. Dia segera memungut samurainya.
Dengan sikap seorang samurai sejati, dia mulai melangkah mendekati anak muda itu. Si Bungsu tegak dengan kaki terpentang selebar bahu. Tegak dengan diam. Menatap tepat-tepat ke mata si Atto. Wajahnya membersitkan rasa benci yang sangat dalam. Terbayang di matanya betapa Atto yang bertubuh kekar ini merenggut pakaian Mei-mei. Kemudian setelah nafsu setannya puas, dia menyuruh anak buahnya untuk meneruskan perbuatannya.
Saat itulah Atto membuka serangan. Sebuah sabetan yang amat cepat. Si Bungsu kaget, khayalannya tengah menerawang ketika serangan itu datang. Tak ampun lagi, bahunya terbabat menganga lebar. Darah menyembur, Datuk Penghulu terpekik. Hampir saja dia menembak Atto dengan pistol di tangannya. Tapi dia segera ingat. Si Bungsu berniat membunuh letnan dengan tangannya sendiri.
Kini dengan bahu kiri luka lebar, darah membanjir, si Bungsu tegak dengan waspada empat depa di depan Atto. Si Bungsu yakin, jika lama dia tegak begini tubuhnya akan jatuh sendiri karena kehabisan darah Maka dia segera memancing agar Atto menyerang. Tubuhnya sempoyongan. Meliuk ke kiri. Ke kanan. Dan saat itu dengan cepat sekali Atto menyerang dengan tiga kali bacokan cepat terarah.
Datuk Penghulu sudah bertekad untuk menembak saja Jepang laknat itu. Tapi maksudnya belum kesampaian, ketika tiba-tiba tubuh si Bungsu jatuh ke tanah di atas lututnya. Dan tahu-tahu sebuah sinar yang amat cepat berkelebat. Pada sabetan yang pertama samurai di tangan Atto seperti dihantam martil besar. Samurainya terpental. Pada bacokan kedua, tangan perwira muda itu putus di atas bahu. Dia memekik. samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Kedua lutut letnan itu putus.
Tubuhnya tersungkur ke tanah tanpa lengan tanpa kaki. Persis seperti nasib penyamun yang kena babat di penginapan kecil ketika mula-mula dia datang ke kota ini bersama Mei-mei.
Tapi Atto masih beruntung. Dia tak sempat hidup merana tanpa kaki tanpa tangan seperti Datuk Penyamun itu. Karena begitu tubuhnya tergolek di tanah, samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Dadanya terbelah dua.
Karena betapapun jua, pejuang Indonesia itu pastilah sebentar berada di kota. Setelah itu mereka akan lenyap bersembunyi. Karena seluruh jengkal tanah di bumi Indonesia saat itu dikuasai o leh Jepang. Penduduk dapat membayangkah setelah sore hari ini, maka akan ada ratusan tentara jepang yang akan memeriksa seluruh rumah di Birugo ini. Dan mereka ada yang akan ditangkap. Ada yang diperkosa. Begitu selalu. Dan dari balik p intu, dari balik jendela, mereka melihat anak muda yang tadi meringkus mayor itu berjalan ke depan.
Dia tertegun. Kaget dan tak percaya pada pendengarannya.
Satu…..!”
tikam samurai (bagian 95)
Dan kali terakhir kepalanya putus Semua yang hadir di sana memalingkan kepala .Tak sanggup melihat kejadian itu. Si Bungsu benar-benar menjadi amat buas. Dia seperti bukan manusia lagi. Dia seperti sudah menjelma menjadi tukang jagal yang tidak punya perikemanusiaan.
“Bungsu . . .”
Datuk Penghululah yang berteriak itu. Datuk itu sendiri merasa ngeri dan merasa bahwa perbuatan si Bungsu itu sudah melampaui batas. Si Bungsu tertegak diam. Dia segera menyadari kebuasannya sebentar ini. cepat sekali samurainya sudah masuk ke sarungnya. Dia menatap pada belasan Serdadu Jepang yang tegak terpaku dekat truk. Dan semua mereka pada merinding ketakutan ditatap anak muda itu. Kemudian dia berbalik menatap pada mayor tadi. Mayor itu tersurut. Dia seperti melihat malaikat maut. Kecepatan dan kehebatan anak muda itu mempergunakan samurainya hampir-hampir tak masuk akalnya.
“Bungsu . . .”
Datuk Penghululah yang berteriak itu. Datuk itu sendiri merasa ngeri dan merasa bahwa perbuatan si Bungsu itu sudah melampaui batas. Si Bungsu tertegak diam. Dia segera menyadari kebuasannya sebentar ini. cepat sekali samurainya sudah masuk ke sarungnya. Dia menatap pada belasan Serdadu Jepang yang tegak terpaku dekat truk. Dan semua mereka pada merinding ketakutan ditatap anak muda itu. Kemudian dia berbalik menatap pada mayor tadi. Mayor itu tersurut. Dia seperti melihat malaikat maut. Kecepatan dan kehebatan anak muda itu mempergunakan samurainya hampir-hampir tak masuk akalnya.
“Nah, sekarang terserah pada Datuk apa langkah selanjutnya. . .”
Akhirnya si Bungsu berkata pada Datuk Penghulu. Datuk itu menatap pada teman-temannya. Nampaknya mereka sudah punya rencana. Semua tentara Jepang itu mereka giring ke sebuah tebat. Dan setelah disuruh telanjang bulat, mereka disuruh masuk ke dalam tebat yang banyak taik itu.
“Tetap saja berendam di dalam tabek itu, mayor. Jika ada yang keluar, akan kami bunuh….” kata Datuk Penghulu.
Dan mayor itu bersama belasan anak buahnya terpaksa tegak diam dalam tebat tersebut. Berendam dalam air setinggi leher dalam keadaan bugil. oo, tak pernah mereka dipermalukan begini. Tidak pernah, seumur hidup mereka Dengan cepat Datuk Penghulu dan teman-temannya mengumpulkan semua senjata. Melemparkannya ke atas jip milik Kempetai yang sudah mereka rampas.
Kemudian mereka naik. Sebelum berangkat mereka terlebih dahulu merusak truk di dekat itu agar tak bisa digunakan memburu mereka. Lalu Datuk Putih Nan Sati menjalankan jip itu kearah Padang Luar melarikan diri. Tak seorang pun yang tahu ke mana arah mereka. Begitu terdengar mesin jip dihidupkan, mayor tadi melompat naik ke atas. Tapi ketika lanciriknya yang tak bertutup itu sudah ada di tebing tebat, sementara betis ke bawah masih di dalam air, seorang anak buahnya yang masih di tebat berkata:
“Awas, Yor. Anak muda bersamurai itu mungkin masih ada di atas”
Mayor itu tertegun. Kemudian cepat tubuhnya meluncur kembali ke dalam tebat. Ya, kalau kepadanya diingatkan bahwa yang masih ada di sekitar tebat itu awas, beberapa orang berbedil masih mengawasi, barangkali mayor itu takkan merasa gentar. Ia akan tetap naik, berpakaian dan kembali kemaerkas untuk menyusun pembalasan. Tapi karena peringatan itu berbunyi anak muda bersamurai itu mungkin masih ada di atas, maka gacarnya timbul. Saking gacarnya, dia tak dapat menahan kentutnya. Berantai dan kuat seperti bunyi mercon pula tu. Prep..prep..thoot…Thootthoot..pohh..pooh..!!
Dua bunyi poh.. yang terakhir terpancar ketika pantatnya sudah masuk ke air tebat. Hal itu menyebabkan air tebat tentang pantatnya seperti menggelegak sesaat, karena ada beberapa gelembung udara memecah ke atas. Belasan anak buahnya yang masih kedinginan dalam tebat busuk itu tiba-tiba terbagi menjadi tiga kelompok. sebagian tetap diam karena amat kedinginan- Sebagian juga kedinginan, tapi tak berani tertawa. Mereka hanya nyengir. Tapi sebagian lagi, kendati tebat itu dingin dan busu, tak dapat menahan rasa gelinya. Suara kentut si mayor akibat ketakutan itu benar-benar menjadi hiburan langka, karenanya merekapun tertawa “Huhu.. hihi..hehe..”
Mayor ini benar-benar merasa gacar. Dan tak seorang pun diantara mereka yang berani cepat-cepat naik ke darat. Seperti terbayang di mata, betapa kalau mereka naik, tiba-tiba saja anak muda bersamurai itu muncul. Lalu menebas batang leher mereka seperti menebas leher Atto tadi.
Hiii…!
Tapi setelah hari agak senja, karena tak tahan dingin akhirnya mayor itu merangkak juga ke atas. Apalagi bau tebat yang busuk karena tai manusia itu membuat beberapa dari mereka sudah mutah kayak. Bahagian bawah tubuh mereka juga jadi geli karena disundul-sundul ikan emas.
Setelah merangkak ke atas si mayor bergegas berpakaian dan berteriak memanggil prajuritnya yang masih di dalam tebat untuk naik semua. Tatkala semua sudah naik dan berbaris mengikuti perintahnya, yang tadi berteriak menakut-nakutinya dengan mengatakan mungkin si Bungsu masih ada, yang menyebabkan kentutnya terpancar saat dia kembali melosoh ke dalam tebat, dia perintahkan tegak ke depan. Lalu dengan sepenuh berang dia tampar prajurit bego itu.
“Bagerooo Waang takut-takuti saya yaa”
Puak. . . .puak. . . .plak. . plak.!
Muka prajurit itu lapuak-lapuak di lampang si mayor yang mukanya sudah membiru kedinginan itu. Tidak hanya yang satu itu, semua dapat bagian tempelengnya, sebab hampir semua tertawa ketika kentutnya tabosek tadi. Si prajurit hanya tegak dengan sikap sempurna.
Untunglah tak lama setelah mereka kena tempeleng, sebuah jeep dan sebuah truk datang. Seorang Tai-I (Kapten) turun. Dia memberi hormat. Namun segera terheran-heran melihat pasukan yang ada di depannya basah kuyup,
“Awas, Yor. Anak muda bersamurai itu mungkin masih ada di atas”
Tapi setelah hari agak senja, karena tak tahan dingin akhirnya mayor itu merangkak juga ke atas. Apalagi bau tebat yang busuk karena tai manusia itu membuat beberapa dari mereka sudah mutah kayak. Bahagian bawah tubuh mereka juga jadi geli karena disundul-sundul ikan emas.
tikam samurai (bagian 96)
“Jangan melongo” saja Mayor itu membentak. Si Kapten segera sadar.
“Saya diperintahkan untuk mencari pak Mayor. Sejak siang tadi dinanti di markas besar. Kami kira mendapat kesulitan. . .”
“Tak ada kira-kira. Kau pikir kami sedang lomba renang di sini?” Mayor itu membentak lagi sambil bergegas naik ke atas jeep. Pasukan yang lain melompat keatas truk. Dan kendaraan itu bergerak menuju ke Panorama. Malam itu juga dikerahkan tak benar dua kurang dari seratus tentara Jepang untuk mencari jejak pejuang-pejuang tersebut. Dan benar juga dugaan penduduk Birugo Puhun. Semua rumah digeledah sepanjang malam itu. Hampir seribu penduduk diinterogasi.
Beberapa orang ditangkap. Jepang tak peduli, bahwa rumah yang dipergunakan untuk rapat itu sebenarnya rumah yang sudah lama tak berpenghuni. Pemiliknya sudah pindah ke Bandung sejak lima tahun yang lalu. Jepang tak perduli itu. Yang jelas perusuh-perusuh itu rapat di wilayah Birugo Puhun. Tentu penduduk kampung itu merestui pertemuan itu. Maka penghuni lima buah rumah yang berdekatan dengan rumah tempat rapat itu ditangkap.
Diinterogasi di markas besar. Begitu selalu nasib penduduk sipil. Namun bagi penduduk. nasib demikian nampaknya sudah mereka terima dengan tabah. Keganasan suatu rezim justru menimbulkan kebencian pada rezim itu. Tak ada yang bisa dicapai dengan kekerasan. Penduduk justru makin mengharapkan agar pejuang-pejuang itu makin kuat.
Meski dari luar mereka terlihat pasrah menerima nasib atas perlakuan rezim yang menjajah negeri mereka. Sebab, apakah lagi yang bisa mereka perbuat, jika kepada mereka yamg lemah ditodongkan ujung sangkur dan moncong bedil. Apalagi bisa diperbuat selain dari pasrah. Namun, dari dalam tahanan para penduduk tetap berdoa semoga perang segera meletus. Mereka berdoa dan berharap. agar kemerdekaan segera tercipta bagi negara mereka.
Siang itu si Bungsu sedang berada di rumah seorang tabib, untuk mengobati luka di bahunya akibat perkelahian dengan Syo-I Atto di Birugo tempo hari. Saat menunggu tabib meramu obat itulah tiba-tiba saja rumah itu telah dikepung oleh dua puluh tentara Jepang. Dia sudah dianggap demikian berbahayanya. Sehingga Jepang mengerahkan hampir seluruh intelejennya yang ada di Sumatera Barat untuk mencium jejak pelariannya.
Tiga hari sebelumnya, mata-mata mereka mengetahui bahwa si Bungsu bersembunyi di sebuah rumah di kaki gunung Merapi. Diketahui pula bahwa lukanya akan diobati di rumah seorang tabib obat di Koto Baru. Begitulah, saat dia tengah menanti obat diramu, satuan-satuan tentara Jepang yang telah disiapkan segera mengepung tempat tersebut. Dan yang memimpin penangkapan itu tak lain adalah Mayor yang dia suruh berendam ke dalam tebat dalam keadaan telanjang di Birugo dulu. Si Mayor yang telah tegak di depan rumah tabib tersebut terdengar berseru:
“Bungsu, keluarlah. Rumah ini telah dikepung. Kalau kalian tak keluar dalam lima hitungan, rumah ini akan saya ledakkan dengan dinamit”
Dia seperti mengulangi lagi kalimat berbentuk ancaman yang dia ucapkan saat dia dan pasukannya mengepung rumah tempat para pejuang rapat di Birugo Puhun, sepekan yang lalu. Kali ini kemujuran serta nasib baik nampaknya tidak berpihak pada si Bungsu. Luka di dadanya mengalami infeksi. Ramuan obat yang dia ramu saat di Gunung Sago dan selalu dia bawa kemanapun pergi, telah habis.
Ketika dia ingin kembali meramu obat-obatan itu, dia terbentur pada ketiadaan beberapa jenis tumbuhan untuk bahan pembuatnya. Ada empat macam jenis akar, kulit, daun dan bunga kayu yang mengandung bisa dan tiga jenis rerumputan menjalar yang bergetah yang dia pakai sebagai ramuan. Di kaki gunung Merapi, dimana dia bersembunyi, tak semua jenis kayu dan rerumputan itu dia peroleh. Kendati sudah empat lima orang mencarinya selama beberapa hari. Karena lukanya semakin berinfeksi, akhirnya dia menurut ketika disarankan berobat ke seorang tabib di Koto Baru.
Mereka sebelumnya memang telah khawatir bahwa akan diketahui intelijen Jepang. Kini kekhawatiran itu terbukti. Datuk Penghulu yang selalui berada bersama si Bungsu tertegun. Dia menatap pada si tabib. Si Bungsu perlahan duduk dari pembaringannya. Tubuhnya amat lemah, wajahnya pucat karen sudah dua hari demam dengan panas amat tinggi. Di luar sana terdengan suara si mayor mulai menghitung. Tabib yang ditatap Datuk Penghulu itu sendiri jadi pucat.
“Saya tidak mengkhianati tuan-tuan. Demi Allah, saya tidak mengkhianati tuan-tuan” ujar tabib itu. Datuk Penghulu masih menatapnya. Demikian pula si Bungsu.
“Tidak. Kami tahu bapak tidak mengkhianati kami. Mereka memang telah menyebar ratusan intelejen. . .jangan takut ….” si Bungsu berkata sambil melangkah turun.
Bersama Datuk Penghulu dia membuka pintu tatkala hitungan mencapai empat. Semua tentara Jepang yang mengepung rumah itu mengacungkan bedil mereka. Mayor itu sendiri tegak dengan pistol di tangan. Nampaknya dia tak mau menanggung resiko. Pengalaman di Birugo Puhun dulu menyebabkan dia amat berhati-hati.
“Lemparkan samuraimu Bungsu. Lemparkan ke tanah. Kemudian kalian berdua berjalan kemari dengan tangan ke atas dan bergerak mundur. cepat. . . .”
Meski dari luar mereka terlihat pasrah menerima nasib atas perlakuan rezim yang menjajah negeri mereka. Sebab, apakah lagi yang bisa mereka perbuat, jika kepada mereka yamg lemah ditodongkan ujung sangkur dan moncong bedil. Apalagi bisa diperbuat selain dari pasrah. Namun, dari dalam tahanan para penduduk tetap berdoa semoga perang segera meletus. Mereka berdoa dan berharap. agar kemerdekaan segera tercipta bagi negara mereka.
Tiga hari sebelumnya, mata-mata mereka mengetahui bahwa si Bungsu bersembunyi di sebuah rumah di kaki gunung Merapi. Diketahui pula bahwa lukanya akan diobati di rumah seorang tabib obat di Koto Baru. Begitulah, saat dia tengah menanti obat diramu, satuan-satuan tentara Jepang yang telah disiapkan segera mengepung tempat tersebut. Dan yang memimpin penangkapan itu tak lain adalah Mayor yang dia suruh berendam ke dalam tebat dalam keadaan telanjang di Birugo dulu. Si Mayor yang telah tegak di depan rumah tabib tersebut terdengar berseru:
Ketika dia ingin kembali meramu obat-obatan itu, dia terbentur pada ketiadaan beberapa jenis tumbuhan untuk bahan pembuatnya. Ada empat macam jenis akar, kulit, daun dan bunga kayu yang mengandung bisa dan tiga jenis rerumputan menjalar yang bergetah yang dia pakai sebagai ramuan. Di kaki gunung Merapi, dimana dia bersembunyi, tak semua jenis kayu dan rerumputan itu dia peroleh. Kendati sudah empat lima orang mencarinya selama beberapa hari. Karena lukanya semakin berinfeksi, akhirnya dia menurut ketika disarankan berobat ke seorang tabib di Koto Baru.
“Tidak. Kami tahu bapak tidak mengkhianati kami. Mereka memang telah menyebar ratusan intelejen. . .jangan takut ….” si Bungsu berkata sambil melangkah turun.
tikam samurai (bagian 97)
Si Bungsu melakukan perintah Mayor itu. Dan melemparkan samurainya ke tanah. Kemudian samurai itu dipungut oleh seorang sersan. Mayor yang pernah mereka rendam di dalam tebat di Birugo beberapa hari yang lalu itu melangkah mendekat, begitu dia lihat samurai si Bungsu sudah dipungut anak buahnya.
Mayor ini merasa malu bukan main sejak peristiwa berendam dalam tebat tersebut. Marah serta dendam itu kini dia muntahkan. Dia tegak setengah depa di depan si Bungsu. Menatap anak muda itu dengan pandangan seperti akan melulurnya mentah-mentah. Tiba-tiba tangannya bergerak. cepat sekali. Demikian cepatnya, sehingga Datuk penghulu sendiri tak melihat bagaimana cara mayor itu menggerakkan tangannya. Si Bungsu terdengar memekik.
Tangan mayor itu bergerak lagi, dan meski sudah ditahan sekuat mungkin, namun tetap saja si Bungsu tak dapat untuk tidak memekik. Gerakan Mayor itu adalah sebuah gerakan karate bern chudan Nukite choki. Yaitu sebuah tusukan dengan keempat jari-jari tangan ke luka di bahu kiri si Bungsu. Tusukan jari-jari tangan yang dirapatkan itu amat telak dan amat cepat.
Kembali menusuk luka bekas tebasan samurai Syo-i Atto itu seperti pisau menusuk daging. Pada tusukan keempat jari pertama, kain yang membalut luka sementara dibahu si Bungsu jebol, amblas ke dalam luka tersebut. Pada hantaman ke dua, keempat jari tangan mayor tersebut masuk hampir sepertiganya. Demikian kuat dan cepatnya gerakan itu. Dilakukan oleh seorang ahli karate yang telah memiliki tingkatan Dan IV. Yaitu tingkatan keempat bagi pemegang sabuk hitam. Mendengar pekik yang menahan sakit luar biasa dari mulut si Bungsu, itu Datuk Penghulu yang tegak empat depa di belakangnya tersentak.
Anak muda itu rubuh ke tanah. Saat itulah, dengan melupakan setiap mara bahaya, semata-mata karena kasihan dan sayangnya pada si Bungsu, Datuk Penghulu tiba-tiba menghambur. Tubuhnya melayang di udara. Dan sebelum Kempetai-Kempetai itu sadar apa yang terjadi, tendangannya mendarat di kepala Syo Sha tersebut. Mayor itu terpelanting dua depa. Jatuh berguling di tanah, seorang prajurit mengangkat bedil.
Namun Datuk yang sudah kalap itu bergulingan di Ketika dia berdiri, tendangannya menghantam kerampang prajurit yang tengah membidik senapan itu meledak, tapi alat-alat di kerampangnya juga meledak kena tendang. Peluru itu senapannya menghantam tanah. Masih dalam kecepatan yang hanya dimiliki oleh pesilat-pesilat tangguh, pada langkah keempat setelah menyepak kerampang si prajurit, dia sampai kedekat Mayor yang kini sudah akan bangkit.
Mayor itu mencabut samurainya. Gerakannya demikian cepat. Dia masih berlutut ketika samurainya sudah keluar separoh. Tapi saat itu pula tendangan Datuk Penghulu menghajar dadanya. Namun saat itu pula samurainya berkelebat. Tubuh mayor itu tercampak. Dari mulutnya menyembur darah merah. Rusuknya patah tiga buah, lalu tergeletak tak sadar diri dengan muka membiru.
Datuk Penghulu tegak dengan kaki terpentang. Menghadap Mayor itu dengan perasaan muak. Disamping mayor itu tergeletak samurainya. Si Bungsu yang baru saja tergolek jatuh, melihat betapa perkasanya Datuk itu. Demikian cepat dia bergerak. Benar-benar seorang pesilat yang tangguh. Dia melihat betapa Datuk itu tetap tegak tanpa bergerak ketika Kempetai-kempetai itu mengepungnya dengan sangkur terhunus. Lalu tiba-tiba tubuh Datuk itu meliuk. Dan lambat-lambat dia berputar di atas kedua lututnya. Dan lambat-lambat dia jatuh di atas kedua lututnya. Tubuhnya berputar, menghadap pada si Bungsu yang masih tertelentang. Dengan terkejut, sesaat sebelum jatuh pingsan, si Bungsu melihat betapa perut Datuk itu robek mengalirkan darah perlahan ke bawah. Mereka bertatapan. Mulut Datuk itu bergerak. Tapi satu suara pun tak keluar. Namun, meskipun tak ada suara, si Bungsu seperti dapat menangkap apa yang akan diucapkan Datuk itu,
“Jaga dirimu baik-baik. Tetap bertahanlah untuk hidup, Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan bersamamu, nak.”
Sepertinya kalimat itulah yang akan diucapkan Datuk Penghulu. Mulutnya tak bersuara. Tapi si Bungsu dapat membaca kalimat itu lewat ekspresi wajahnya. Lewat matanya yang berangsur jadi redup.
“Pak. . .” suara si Bungsu bergetar perlahan.
Namun setelah itu dia sendiri jatuh pingsan. Hantaman jari-jari tangan mayor itu amat menderanya. Luka di dadanya robek. Penderitaan itu tak mampu dia tahankan, dia jatuh pingsan. Dan itulah saat terakhir dia melihat Datuk Penghulu. Sebab orang tua perkasa itu mati menyusul anak dan istrinya. Tatkala dia menendang Mayor itu, samurai si mayor sudah tercabut separoh. Ketika tendangannya mendarat di rusuk si mayor Jepang itu membabatkan.
Mayor itu adalah samurai yang tangguh. Pangkatnya yang Syo Sha itu saja sudah menjamin bahwa dia adalah seorang samurai yang tak bisa dikatakan tak cepat. Setiap perwira Jepang tidak hanya wajib mahir dalam mempergunakan samurai. Lebih dari itu, samurai merupakan suatu seni bela diri turun-temurun. Yang mendarah daging, yang merupakan kebanggaan tradisi bagi lelaki Jepang untuk mempelajarinya Makin mahir lelaki Jepang dengan samurainya, makin tinggi penghormatan orang padanya.
Anak muda itu rubuh ke tanah. Saat itulah, dengan melupakan setiap mara bahaya, semata-mata karena kasihan dan sayangnya pada si Bungsu, Datuk Penghulu tiba-tiba menghambur. Tubuhnya melayang di udara. Dan sebelum Kempetai-Kempetai itu sadar apa yang terjadi, tendangannya mendarat di kepala Syo Sha tersebut. Mayor itu terpelanting dua depa. Jatuh berguling di tanah, seorang prajurit mengangkat bedil.
Mayor itu mencabut samurainya. Gerakannya demikian cepat. Dia masih berlutut ketika samurainya sudah keluar separoh. Tapi saat itu pula tendangan Datuk Penghulu menghajar dadanya. Namun saat itu pula samurainya berkelebat. Tubuh mayor itu tercampak. Dari mulutnya menyembur darah merah. Rusuknya patah tiga buah, lalu tergeletak tak sadar diri dengan muka membiru.
“Jaga dirimu baik-baik. Tetap bertahanlah untuk hidup, Jangan menyerah pada penjajah. Tuhan bersamamu, nak.”
tikam samurai (bagian 98)
Nah, saat akan rubuh itulah dia sempat membabat perut Datuk Penghulu Dan babatannya sebagai seorang samurai andalan, berhasil membelah perut Datuk Penghulu serta memutus ususnya. Datuk itu masih bisa bertahan tetap tegak semata-mata karena ketangguhan dan kekerasan hatinya saja. saat si Bungsu jatuh pingsan, mata Datuk itu terpejam. Di sudut matanya kelihatan manik-manik air merembes perlahan. Lalu kepalanya terkulai bersama tubuhnya.
Tergeletak mencium bumi. Nyawanya dijemput Yang Khalik sebelum tubuhnya sempurna terguling di bumi Semua tentara Jepang yang tegak mengelilingi orang tua itu pada tertegun.
Diam-diam mereka mengagumi keperkasaan lelaki yang tersungkur di hadapan mereka ini. Dihadapan mereka sekarang tergeletak dua manusia yang barangkali tak terpaut jauh beda usianya. Yang satu adalah komandan mereka yang berpangkat mayor itu. Yang satu lagi adalah Datuk Penghulu. Lelaki pribumi yang tercatat sebagai musuh balatentara Jepang.
Yang satu mati karena melawan fasisme yang menjajah negaranya. Yang satu lagi tergolek hampir mampus karena mempertahankan kekuasaan negerinya untuk menjajah negeri lain. Keduanya sama-sama pejuang buat negeri masing-masing. Keduanya sama-sama mengabdikan dirinya buat bangsa mereka pada posisi yang saling berhadapan.
Si Bungsu tak tahu beberapa lama sudah dia jatuh pingsan. Namun ketika dia sadar yang pertama dia rasakan adalah rasa sakit yang amat menyiksa di bahunya. Demikian sakitnya, sehingga tubuhnya terasa menggigil. Panas dan berpeluh. Demam dengan panas yang amat tinggi masih menyerang dirinya. Dia tak kuasa menggerakkan tubuh. Bahkan menggerakkan jari-jarinya saja dia tak kuat. Satu-satunya yang mampu dia perbuat kini hanyalah membuka kelopak matanya.
Terasa berat. Tapi dia paksakan juga. Penglihatannya berputar. Merah, hitam, kuning, hijau. Warna-warni tak menentu bermain dan berpusing di hadapannya. Dia pejamkan matanya kembali. Dengan pendengarannya yang amat terlatih dia mencoba menangkap suara. Tapi tak terdengar apapun, kini lambat-lambat kembali dia buka matanya. Dan menarik nafas. Menatap ruangan di mana dia kini berada.
“Pak Datuk ….” Himbaunya tatkala melihat sesosok tubuh terikat empat depa di depannya. Tak ada jawaban.
“Pak Datuk . . .” Himbaunya lagi dengan suara pecah.
Lambat-lambat sosok tubuh itu mengangkat kepala. Bukan, dia bukan Datuk Penghulu. Si Bungsu segera mengenalinya sebagai salah satu seorang pimpinan rapat di Birugo dahulu. Dia memang tidak mengenal siapa namanya, tapi dia kenal betul lelaki itu. Saat dalam rapat itu dahulu lelaki ini hanya berdiam diri.
“Datuk Penghulu telah meninggal, Bungsu ….” ujar lelaki itu mulai bicara.
“Meninggal …..?” Ujar si Bungsu. Tapi suaranya hilang di tenggorokan.
“Ya, dia meninggal ketika mula pertama kalian ditangkap di Kota Baru. . . .”
“Meninggal? Datuk Penghulu meninggal?” Bungsu masih berkata sendiri. Sepertinya tak percaya dia akan apa yang dia dengar.
“Mustahil, mustahil Datuk Penghulu meninggaL Bukankah dia melihat lelaki itu tegak dengan perkasanya setelah menghantam Syo Sha itu dengan sebuah tendangan?”
“Tak ada yang mustahil bagi takdir Tuhan anak muda. Datuk Penghulu memang telah meninggal. Banyak jasanya bagi persiapan perjuangan yang akan datang. Tapi selain teman-teman dekat, tak ada orang lain yang mengenali perjuangannya. orang hanya mengenal dia sebagai kusir bendi. Tak lebih. Dan kami, telah kehilangan seorang pejuang, seorang teman, seorang mata-mata yang tangguh. Seorang guru silat yang berilmu tinggi. Hanya ada seorang muridnya yang menerima warisan ilmunya. Seorang gadis cina bernama Mei-mei. Tapi saya dengar gadis itu sudah meninggal pula beberapa waktu yang lalu. Kini, ilmunya itu dia bawa mati. . . .”
Lelaki itu terdiam. Si Bungsu menatapnya. Nampaknya lelaki ini cukup banyak mengetahui tentang Datuk Penghulu. Meski ada juga yang tak dia ketahui, misalnya tentang diri Mei-mei yang sebenarnya adalah tunangannya.“Saya melihat Bapak dalam rapat di Birugo dahulu. Siapakah bapak?”“Nama saya Kari Basa . . .” Ucapan lelaki itu terhenti tatkala pintu terdengar berderit.“Nah, sejak saat ini, kita saling tak mengenal.”Lelaki itu masih sempat berkata perlahan sebelum pintu diujung terbuka. Dan kepala lak-laki itui terkulai lagi, pura-pura pingsan.
Si Bungsu tak tahu beberapa lama sudah dia jatuh pingsan. Namun ketika dia sadar yang pertama dia rasakan adalah rasa sakit yang amat menyiksa di bahunya. Demikian sakitnya, sehingga tubuhnya terasa menggigil. Panas dan berpeluh. Demam dengan panas yang amat tinggi masih menyerang dirinya. Dia tak kuasa menggerakkan tubuh. Bahkan menggerakkan jari-jarinya saja dia tak kuat. Satu-satunya yang mampu dia perbuat kini hanyalah membuka kelopak matanya.
“Ya, dia meninggal ketika mula pertama kalian ditangkap di Kota Baru. . . .”
Lelaki itu terdiam. Si Bungsu menatapnya. Nampaknya lelaki ini cukup banyak mengetahui tentang Datuk Penghulu. Meski ada juga yang tak dia ketahui, misalnya tentang diri Mei-mei yang sebenarnya adalah tunangannya.“Saya melihat Bapak dalam rapat di Birugo dahulu. Siapakah bapak?”“Nama saya Kari Basa . . .” Ucapan lelaki itu terhenti tatkala pintu terdengar berderit.“Nah, sejak saat ini, kita saling tak mengenal.”Lelaki itu masih sempat berkata perlahan sebelum pintu diujung terbuka. Dan kepala lak-laki itui terkulai lagi, pura-pura pingsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar