Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 533-534

Dalam Neraka Vietnam bagian – 533


dia mengarahkan moncong pistolnya kepada lelaki asing tersebutDalam Neraka Vietnam bagian – 533
PERWIRA Vietkong, yang mukanya merah karena pengaruh alkohol , merobek blus si gadis. Tanpa mempedulikan rontaan dan cakaran gadis pemilik bar tersebut, si perwira dengan amat biadabnya meremas-remas apa saja yang bisa dicapai tangannya pada tubuh si gadis. Bibir dan lidahnya dengan amat jahanamnya menjilati pula hilir mudik. Teman-temannya, terdiri dari seorang perwira muda dan empat prajurit, yang juga sedang menenggak minuman keras, tertawa cekikikan dan melototkan mata melihat adegan serta tubuh gadis ranum itu tersingkap-singkap di sana- sini. Di ruang bar itu ada dua orang abang gadis tersebut.
Keduanya bertubuh kekar dan bekerja sebagai bartender di bar yang tengah kedatangan tamu enam tentara Vietkong itu. Kendati yang sedang terancam kehormatannya adalah adik kandung mereka sendiri, namun keduanya takut untuk mencegah. Sebab tentara Vietkong kini selain amat berkuasa, juga amat bengis.
Apalagi terhadap penduduk Vietnam blasteran Eropa seperti mereka. Tetapi akhirnya, karena kelakuan perwira itu semakin tak beradab, dan adiknya semakin diperlakukan amat tidak senonoh, abang yang tertua tak bisa lagi berdiam diri. Dia mendekat, maksudnya sekedar mencegah agar perlakuan biadab dan brutal terhadap adiknya itu dihentikan.
Namun itulah langkahnya yang terakhir. Dua langkah menjelang sampai ke tempat si perwira yang duduk sembari meremas dan menciumi bagian-bagian tertentu tubuh adiknya, perwira yang seorang lagi menarik pistol di pinggangnya. Menembak. Dor! Pemuda indo Vietnam-Perancis itu terjungkal dengan kening berlobang. Hanya sedikit darah yang meleleh dari lobang di jidatnya. Namun dari bahagian belakang kepalanya, cairan merah bercampur putih kelihatan merembes ke lantai, makin lama makin banyak. Dua pelayan wanita, keduanya orang Vietnam, yang berada di balik bar, menjerit-jerit. Abang si gadis yang seorang lagi, tertegak kaku. Si gadis yang berada dalam pelukan si perwira menjerit-jerit.
Tapi kelima tentara Vietkong yang sedang menikmati minuman dan tontonan merangsang itu malah pada bertepuk tangan dan tertawa cengengesan. Peristiwa ini terjadi di Kota Da Nang, kota terbesar kedua di Vietnam Selatan setelah Saigon. Saat itu tak ada lagi Vietnam Utara dan Selatan. Seluruh Vietnam Selatan baru saja sebulan jatuh ke tangan Vietnam Utara. Vietnam kini hanya ada satu, Vietnam Raya. Suara tembakan si perwira yang membunuh abang si gadis pemilik bar tersebut tak terdengar ke luar. Kendati di jalan di depan bar itu ratusan manusia hilir mudik. Pintu dan jendela besar-besar berkaca hitam yang tertutup rapat karena bar itu full AC, membuat suara letusan pistol hanya terdengar di luar seperti suara gelas jatuh.
Gadis di pangkuan si perwira sudah setengah telanjang. Saat itu tiba-tiba pintu bar terbuka. Di pintu, dalam sikap ragu-ragu, terlihat berdiri seorang lelaki yang posturnya agak semampai. Namun wajahnya terlihat asing. Kendati masih kentara wajah Asianya, namun dipastikan dia bukan dari ras Cina seperti Vietnam, Kamboja, Laos atau Taiwan. Tak ada yang memperhatikan, kecuali abang si gadis yang masih hidup, dan dua pelayan yang tegak menggigil di belakang meja kasir. Mereka heran kenapa lelaki asing itu muncul lagi. Padahal tadi, beberapa saat sebelum keenam tentara Vietnam ini masuk, lelaki yang tegak di pintu itu sudah mereka usir.
Lelaki asing itu berhenti sesaat di depan pintu. Melihat ke mayat yang terbujur, lalu menatap ke arah enam tentara yang tengah melanjutkan minum mereka. Keenam tentara itu bersikap seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu yang penting sedikit pun. Di berbagai kota bekas Vietnam Selatan yang baru saja ditaklukkan, seseorang yang ditembak mati tentara nampaknya sudah merupakan sesuatu yang lumrah. Tak perlu diusut apa sebab atau apa salahnya. Lelaki asing yang baru masuk itu menatap kepada si perwira yang mendekap gadis pemilik bar itu, yang mulutnya semakin ganas saja menjalar hilir mudik di bahagian depan tubuh si gadis, yang tak berdaya sedikit pun untuk membebaskan diri.
“Lepaskanlah gadis itu…!”
Tiba-tiba gelak tawa kelima tentara Vietnam itu dan suara desah nafas si perwira yang tengah menjahanami gadis pemilik bar tersebut dipecah oleh suara lelaki asing di depan pintu itu. Suaranya terdengar perlahan namun dingin. Permintaan yang diucapkan dalam bahasa Inggeris itu memaksa semua tentara Vietnam di dalam bar tersebut menolehkan kepala. Mereka menyangka yang mengucapkan kata-kata itu adalah orang Eropah atau Amerika. Tetapi ketika mereka menoleh, mereka hampir tak percaya dengan yang mereka lihat.
“Lepaskan dia, dan keluarlah dari sini baik-baik….”
Kembali terdengar suara lelaki di depan pintu itu. Suaranya sedingin subuh berkabut, setajam pisau cukur. Si perwira yang baru saja menembak kepala pemilik bar itu, berdiri dengan pistol yang masih tergenggam di tangannya. Lalu dia mengarahkan moncong pistolnya kepada lelaki asing tersebut. Lelaki itu usahkan berbedil, sepotong kayu yang paling kecil pun tak ada di tangannya untuk membela diri. Benar-benar sebuah sikap bunuh diri, berani-beraninya mengancam tentara Vietkong.
“Sebutkan namamu! Sebelum kutanamkan timah panas ini di antara kedua matamu….” desis si perwira sambil mulai menekankan jarinya di pelatuk pistol.
“Nama saya… Si Bungsu….”
Dorr!!
Pistol di tangan si perwira menyalak. Asap tipis mengepul dari ujung laras pistolnya. Namun peluru yang muntah dari pistol si perwira itu ternyata menghantam loteng. Perwira itu masih tegak beberapa detik. Kemudin tubuhnya jatuh tergelantung ke atas meja yang dikelilingi lima rekan-rekannya. Menghantam dan memberantakkan gelas serta botol di meja tersebut. Kelima temannya dengan terkejut melihat sebuah pisau berbentuk samurai sebesar telunjuk, yang panjangnya mungkin hanya sejengkal, terbenam hampir ke hulunya. Merancap persis di antara kedua mata si perwira.
Hanya sesaat, empat prajurit yang duduk mengitari meja itu segera bangkit dari kursinya, meraih bedil yang mereka sangkutkan di sandaran kursi masing-masing. Lalu berbalik menghadap ke lelaki yang baru saja menyebutkan namanya “si Bungsu” itu. Nama yang amat asing di telinga mereka. Mereka mengokang bedil, namun itulah gerakan terakhir yang dapat mereka lakukan. Sebab tangan lelaki asing itu kembali bergerak. Dari tangannya meluncur kilatan yang amat sulit diikuti pandangan mata. Keempat tentara itu segera rubuh malang melintang. Sebilah samurai kecil menghujam di salah satu bahagian yang mematikan di tubuh mereka.
Ada yang terhujam di jantung, ada yang di antara dua mata, ada yang di leher. Satu-satunya yang masih hidup adalah si perwira yang masih memeluk gadis pemilik bar yang sudah setengah telanjang itu. Sadar bahwa yang baru datang ini bukan sembarang orang, perwira itu bersikap amat hati-hati. Masih dalam posisi duduk dia segera mencabut pistol, kemudian dengan cepat menempelkan ujungnya ke pelipis si gadis. Setelah itu dengan cepat pula dia bangkit. Menghadap kepada orang asing itu dengan si gadis menjadi tameng di depan tubuhnya.
“Buang senjatamu, datang kemari dengan merangkak….” desisnya dalam bahasa Inggeris yang kelam kabut.
Lelaki di pintu itu, yang memang tak lain dari si Bungsu, tak bergerak seinci pun dari tempatnya. Kedua tangannya tergantung di sisi tubuhnya. Dia menatap dengan tatapan yang menegakkan bulu roma.
“Lepaskan gadis itu….”desisnya lagi.
Melihat lelaki di pintu tak memegang senjata apapun, perwira Vietnam itu melepaskan ujung pistolnya dari pelipis si gadis, kemudian dengan cepat menembak orang yang telah membunuh rekannya itu. Namun pelurunya juga menghajar loteng. Dia meringis. Tanpa dapat dia tahan pistolnya terlepas dari genggaman, jatuh ke lantai. Tangan kanannya lumpuh total, akibat nadi utamanya yang terletak di lipatan sikunya putus dihantam samurai kecil lelaki tersebut. Kini samurai kecil itu masih tertancap di lengannya! Si gadis yang masih berada dalam pelukan si perwira meronta, dan lepas. Dengan susah payah dia berusaha menutupi bahagian atas badannya yang sudah tak bertutup apapun, dengan sobekan bajunya yang tergantung-gantung.
Gadis itu terkejut setelah melihat lebih teliti ke arah lelaki yang telah menyelamatkan kehormatannya, yang telah membalaskan kemarahannya. Lelaki itu ternyata lelaki yang tadi dia usir keluar dari barnya ini. Bukan apa-apa, bar ini sebagaimana umumnya bar-bar yang agak baik sampai bar kelas atas, dilarang melayani orang asing. Hanya boleh melayani tentara Vietnam atau orang Vietnam asli. Bagi tentara, polisi dan aparat harus diberikan korting 50 persen. Kini, lelaki yang dia usir itu ternyata telah menyelamatkan nyawanya.
“Kalian akan digantung semua….”
Terdengar si perwira yang lumpuh tangan kananya itu mengancam. Melihat tak seorang pun yang bereaksi, dengan cepat dia meraih pistol yang berada dalam genggaman temannya yang mati terlentang di meja.
Karena si Bungsu terlindung oleh sebuah tiang, maka pistol itu diarahkan kepada si gadis pemilik bar. Namun pelurunya menghantam botol-botol di belakang kasir, setelah menyerempet pelipis si gadis. Dan setelah itu perwira tersebut tersungkur, hidungnya remuk menghantam jubin. Di tengkuknya tertancap sebuah samurai kecil.
Sepi!
Gadis pemilik bar itu, sembari menghapus darah yang mengalir di pelipisnya yang diserempet peluru, kembali menatap orang yang untuk kedua kalinya menyelamatkan nyawanya.
“Maaf, saya terpaksa kembali kemari untuk menjemput ransel saya yang tertinggal,” ujar si Bungsu perlahan, sembari melangkah ke arah kursi di mana tadi dia duduk.Diambilnya ransel yang tertinggal di bawah meja. Sembari menyandang ransel di bahu, si Bungsu mendekati keenam mayat tentara Vietkong yang bergelimpangan malang melintang di dalam bar itu. Dicabutinya satu demi satu samurai kecil yang tertancap di tubuh mayat tentara tersebut. Setelah menghapus darah dari tiap samurai kecil itu kepakaian si tentara yang menjadi korban, dia lalu menyelipkan bilah-bilah samurai itu ke sabuk di balik lengan baju panjangnya. Sampai detik itu, gadis pemilik bar yang nyaris diperkosa dan abangnya yang masih hidup, berikut dua pelayan bar dekat meja kasir, tak seorang pun yang mampu bicara.
Mereka hanya menatap dengan diam kepada lelaki asing bernama si Bungsu itu. Tentara Vietkong yang sejak sebulan terakhir menjadi penguasa baru di wilayah selatan ini, teramat sangat berkuasa. Sebagai negeri yang baru saja usai diamuk perang, wilayah ini diperintah dengan hukum darurat perang.

Dalam Neraka Vietnam-bagian – 534
tikamsamurai
Tentara Utara, yang sudah belasan tahun bertempur dan berhasil mengalahkan tentara Selatan dan sekaligus mengusir tentara Amerika, berhak menembak mati siapa saja yang dicurigai sebagai musuh dan mata-mata. Selama sebulan sejak Selatan jatuh ke tangan Utara, di Kota Da Nang ini saja sudah susah menghitung korban yang ditembak tentara.
Mereka menembak orang yang dicurigai di sembarang tempat. Di jalan, di toko, di rumah, di pasar. Tidak ada ukuran yang pasti, siapa yang bisa dikategorikan sebagai ‘orang yang dicurigai’. Yang jelas, siapa saja yang tak disenangi tentara bisa dianggap sebagai ‘orang yang dicurigai’. Karenanya nyawa mereka boleh dicabut dimana saja dan kapan pun diinginkan. Tak peduli di pasar, di restoran, di bus, di kereta api, termasuk di rumah mereka sendiri. Usai menyisipkan samurai-samurai kecilnya, si Bungsu melangkah ke pintu.
Saat itulah si gadis pemilik bar menyadari bahwa dia harus berbuat sesuatu, atau paling tidak mengucapkan sesuatu kepada lelaki asing yang telah menyelamatkan kehormatan dan nyawanya.
“Tunggu….”
Si Bungsu berhenti. Gadis itu memberi isyarat kepada abangnya. Si abang berjalan ke pintu, membalikkan papan kecil yang tergantung di kaca pintu, yang ada tulisan dalam bahasa Chu Nom, yaitu bahasa Nasional Vietnam berdasarkan sistem tulisan Cina. Dia membalikkan papan kecil putih itu. Jika tadi tulisan ‘Buka’ menghadap ke luar, setelah papan dibalikkan, maka kini yang mengarah keluar adalah tulisan ‘Tutup’. Setelah itu dia berjalan ke luar. Dari luar, dengan pura-pura tak terjadi apa-apa, ditutupkan pula lapisan papan yang menjadi pelindung kaca-kaca pintu dan jendela. Kaca-kaca reben hitam dan lebar. Setelah mengunci pintu papan dari dalam, dia masuk.
Gadis indo Vietnam-Perancis pemilik bar itu memberi isyarat kepada abangnya, kemudian kepada dua gadis pelayan lainnya.
“Taruh dahulu mayat-mayat ini di ruang pendingin di belakang….” ujarnya pada si abang.
“Kalian segera bersihkan bekas darah….” ujarnya pada kedua gadis pelayan.
Setelah itu dia menatap pada si Bungsu , sementara kedua tangannya masih berusaha memegangi sobekan blus dan roknya untuk menutupi beberapa bagian tubuhnya.
“Janganlah meninggalkan kami saat ini, saya mohon….” ujarnya perlahan dengan air mata mulai menggenang, tatkala dia lihat lelaki asing itu masih tegak berdiam diri.
“Saya mohon maaf atas pengusiran Anda dari bar ini tadi….” ujarnya lagi.
“Bersedialah ikut saya ke atas….” mohonnya sembari melangkah perlahan ka arah tangga.
Dia berhenti dan menatap ke arah si Bungsu, karena si Bungsu masih saja belum bergerak setapak pun dari tegaknya.
“Please….” ujarnya memohon.
Si Bungsu yang baru saja tiba di Kota Da Nang ini akhirnya melangkah mengikuti gadis itu.
SEBENARNYA, apa asal muasal makanya dia terlibat dalam kasus di bar itu? Kenapa tadi dia sampai diusir? Si Bungsu masuk ke bar tersebut karena bar itulah yang terdekat saat dia turun dari taksi, yang membawanya dari lapangan udara. Dia ingin mencari penginapan. Namun rasa haus membuat dia memasuki bar pertama yang nampak oleh matanya di pusat Kota Da Nang ini. Setelah duduk, seorang pelayan, nampaknya gadis asal Vietnam, mendekatinya. Gadis itu bicara padanya. Dia tak mengerti bahasa yang diucapkan gadis cantik tersebut. Tapi dari nada ucapannya dan telunjuknya yang mengarah ke pintu, dia mengerti bahwa gadis pelayan itu menyuruhnya keluar.
“Saya hanya minta Cola Cola….” ujarnya perlahan.
Ucapan dalam bahasa Inggeris yang baik itu sudah untuk kali ketiga dia ucapkan. Pelayan itu akhirnya bosan, mungkin juga muak dan marah. Dia berjalan ke arah bar, bicara dengan seorang gadis yang sejak tadi asyik mencatat-catat sesuatu di mejanya. Gadis itu, nampaknya pemilik bar, menoleh ke arah lelaki yang tak mau disuruh keluar itu. Dia menyelipkan ballpoin di tangan kirinya ke daun telinga kanan. Kemudian bersiul. Siulan pendek yang keluar dari sela bibirnya yang merah, menyebabkan dua lelaki kekar yang sedang membersihkan meja meninggalkan pekerjaan mereka. Lalu melangkah mengikuti si bos ke meja si lelaki yang masih saja duduk dan menatap ke manusia yang lalu-lalang di jalan, di luar restoran.
Vietnam saat itu masih berada dalam suasana mabuk kemenangan. Tak satu negara pun di dunia yang percaya Amerika yang memiliki ribuan pesawat tempur super moderen dan senjata tercanggih di dunia, akan mengalami kekalahan dalam peperangan melawan Vietnam Utara yang hanya bermodal nekat. Tapi, beberapa bulan yang lalu ketidak percayaan itu menjadi kenyataan. Amerika harus menelan kekalahan teramat pahit dan amat memalukan. Kabur dari negeri itu setelah puluhan ribu tentaranya terbunuh. Belasan ribu lainnya dinyatakan hilang tak tahu rimbanya. Kekalahan yang benar-benar tak terbayangkan akan terjadi dalam sejarah negara super kuat itu.
Vietnam yang sebelumnya satu negara, kemudian terpecah menjadi dua. Utara yang berada di bawah pengaruh Cina komunis dan Selatan yang berada di bawah perlindungan Amerika. Kini, setelah Amerika berhasil diusir, dua Vietnam itu kembali menjadi satu negara berdaulat di bawah kekuasaan Partai Komunis.
Lelaki yang disuruh keluar dari bar itu baru sadar, kalau sebuah tim yang “siap tempur” sudah mengepungnya, yaitu tatkala si pemilik restoran berdiri persis di hadapannya. Menghalangi tatapan matanya yang sejak tadi memandang ke luar.
Dia tak tahu bahwa gadis yang tegak di depannya itu adalah pemilik bar. Dia menyangka gadis itu hanya pelayan yang lain. Bedanya pelayan ini cantiknya melebihi kecantikan rata-rata gadis yang pernah dia temui di lobi hotel maupun di jalan-jalan Kota Da Nang yang penuh sesak oleh manusia. Mata si gadis tak begitu sipit, sebagaimana jamaknya mata gadis-gadis asli Vietnam. Matanya juga tidak hitam sebagaimana mata orang Asia, melainkan kebiru-biruan. Dengan mata seperti itu, ditambah hidung mancung, sekali lihat orang dengan mudah mengetahui bahwa dia lahir dari sebuah perkawinan campuran.
Mungkin gadis ini blasteran Perancis. Hal itu kentara dari tubuhnya yang mungil dan bahasanya yang rada sengau. Negeri ini dahulu memang menjadi jajahan Perancis. Wajar saja kalau kemudian di negeri ini banyak lahir anak-anak blasteran Perancis.
Melihat gadis itu tegak di depannya, si lelaki kembali berkata dengan sopan.
“Boleh saya pesan Coca Cola dengan es….?”
“Tuan sudah diminta untuk keluar dari restoran ini….” ujar gadis itu dengan suara datar, dalam bahasa Inggeris dengan aksen Perancis tapi berlogat bahasa Vietnam dari rumpun An Nam Tinggi.
Si lelaki merasa heran bercampur terkejut. Dia ingin bertanya, namun tatapan si gadis membuat dia menoleh ke belakangnya. Dua lelaki kekar, keduanya punya wajah yang mirip dengan gadis yang di depannya, kelihatan tegak hanya beberapa jari dari tengkuknya. Menatap ke arahnya dengan tatapan setajam pisau cukur.
“Bar ini hanya melayani orang Vietnam, tidak melayani orang asing….” ujar si gadis dengan suara datar.
Lelaki asing itu terdiam mendengar suara yang demikian dingin dan tak bersahabat. Untuk sesaat dia masih duduk berdiam diri.
“Tuan keluar baik-baik atau….”
Lelaki itu memutus kalimat si pemilik restoran dengan mengangkat tangan kanannya.
“Maaf saya salah masuk….” ujarnya sambil berdiri dan melangkah ke pintu, lalu meninggalkan tempat yang tak bersahabat itu.
Hanya belasan detik setelah dia meninggalkan kursinya, enam serdadu Vietkong, dua di antaranya berpangkat perwira, masuk dengan suara gaduh. Mereka nampaknya mencari minuman, kendati sebahagian sudah sempoyongan karena mabuk.
“Ha… kita senang bisa minum lagi di restoran Madam… mmmm… siapa namanya? Mm… Amigo… mm.. Amiflo rence… oh ya Ami… Ami…!” ujar salah seorang perwira sambil menarik kursi.
Jelas ucapan sindiran. Nampaknya orang-orang utara yang kini menguasai seluruh tanah Vietnam amat men curigai, sekaligus membenci segala sesuatu yang berbau Eropah. Gadis pemilik bar ini, yang dia sebut bernama Amigo, amat ‘berbau’ Eropah. Baik bahasa apalagi wajahnya. Kedua lelaki bertubuh kekar yang tadi berdiri di belakang si lelaki asing yang keluar itu, buru-buru menarikkan kursi untuk keenam tentara tersebut. Akan halnya gadis pemilik bar yang baru disindir dengan sebutan madam, amigo dan amiflorence oleh si perwira, untuk sesaat memerah mukanya. Namun demi keselamatan dia harus bisa menyesuaikan situasi. Dia tersenyum dan berjalan ke bar.
“Kemari…! Kemari… Madam. Biarkan orang lain yang mengambilkan minuman untuk kami. Madam harus duduk di sini bersama kami, kecuali madam merasa tak sederajat dengan kami….”
Gadis itu berhenti melangkah. Kemudian memberi isyarat kepada dua gadis asli Vietnam yang bertugas sebagai pelayan, agar menyediakan minuman.

Tidak ada komentar: