Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 591-592-593

Dalam Neraka Vietnam -bagian 591-592-593


Dalam Neraka Vietnam -bagian-591
makmur hendrik
Di sela-sela celah itulah si Bungsu meluncurkan rakitnya dengan amat perlahan.
Melewati baris pertama ke baris kedua, yang memakan waktu antara satu sampai dua menit, bagi mereka terasa seperti bertahun-tahun. Ada sepuluh jajaran yang harus mereka lewati. Tatkala sudah melewati baris ke tujuh, tiba-tiba buaya di baris ke sembilan menghantamkan ekornya. Air muncrat ke udara. Buaya-buaya di sekitarnya pada mengangakan mulut.
Si Bungsu menghentikan rakit dan mereka semua seperti merasa sudah berada di dalam mulut buaya. Buaya di baris ke sembilan itu melibaskan ekornya karena merasa terganggu oleh seekor bangau yang hinggap di punggungnya. Ada enam ekor buaya yang mengangkat mulutnya lebar-lebar. Semula kepala dengan moncong menganga lebar itu bergerak ke kiri dan kekanan, seperti parabola televisi.
Kemudian, masih dalam posisi menganga lebar, semua kepala itu kembali menghadap ke depan. Berada dalam posisi seperti itu dengan tubuh diam tak bergerak-gerak. Mereka berempat masih terdiam seperti membeku di atas rakit. Detik demi detik merangkak seperti bertahun-tahun.
Buaya di bahagian kiri, kanan dan belakang rakit tetap mengapung diam. Ada satu dua menit rakit mereka tak bergerak. Si Bungsu menahan gerak rakit itu dengan bertahan dan memegang kuat-kuat galah yang dia pancangkan ke dasar rawa.
“Kita akan bergerak maju. Tetaplah waspada…” bisik si Bungsu sambil menekan galah arah ke belakang. Rakit itu bergerak perlahan ke depan.
“Perhatikan dahan terdekat, bila terjadi sesuatu melompatlah ke sana…” kembali si Bungsu berbisik. Diangkatnya galah, kemudian ditancapkannya perlahan ke bahagian depan. Lalu ditekannya, dan kini rakit mereka bergerak hanya sedepa dari dua ekor buaya yang mulutnya masih menganga lebar.
Ketika sedang melewati buaya pertama, tiba-tiba buaya di baris paling akhir memutar badan ke arah mereka. Si Bungsu terkesiap. Duc Thio dan Han Doi mengangkat bedil.
“Jangan menembak…” ujar si Bungsu yang berdiri di bahagian depan rakit.
Dia mencari akal bagaimana bisa melewati rintangan terakhir ini dengan selamat. Celakanya, buaya terakhir ini lebih besar dari buaya-buaya yang sudah mereka lewati sebelumnya. Thi Binh yang mencoba membuka mata karena mendengar ucapan si Bungsu ‘jangan menembak’ barusan, hampir saja terpekik melihat mulut buaya yang menganga sedepa di depan rakit yang berhenti.
Padahal, di belakang mereka buaya lain juga masih menganga mulutnya menghadap lurus ke depan. Si Bungsu membelokkan rakitnya perlahan ke kanan. Celaka! Buaya itu juga mengarahkan mulutnya yang terbuka lebar itu ke arah rakit mereka. Nampaknya buaya ini memang mengintai mereka.
“Di belakang…!” ujar Duc Thio yang sudut matanya menangkap ada gerakan di belakang rakit mereka.
Si Bungsu menoleh. Dan dengan terkejut melihat buaya yang menganga yang baru saja mereka lewati tadi kini juga memutar kepala ke arah mereka.
“Di kanan…” ujar Duc Thio.
Si Bungsu dan Han Doi menoleh ke kanan mereka. Dan mereka melihat buaya yang di kanan mereka yang tadi hanya mengapung diam, kini bergerak mendekati rakit.
“Tembak mulut buaya yang di depan!” perintah si Bungsu sambil mencabut galah.
Hanya sedetik kemudian rentetan peluru terdengar memecah kesunyian. Semburan belasan timah panas menghajar mulut buaya besar yang di depan mereka. Menghancurkan kepalanya. Akibat tembakan itu sungguh luar biasa. Hampir semua buaya yang mengapung diam itu tiba-tiba bergerak.
Buaya yang kena tembak itu menggelepar dan menghempas di dalam air. Mengejutkan buaya di kiri kanannya. Dan saat itulah si Bungsu bertindak cepat dengan galahnya. Dia menancapkan galah, kemudian meluncurkan rakit di antara dua buaya yang sedang bergerak mendekati mereka.
Duc Thio dan Han Doi menghantamkan popor bedil mereka masing-masing ke kiri dan ke kanan rakit, ke kepala buaya yang sudah sangat dekat ke rakit. Buaya yang kena hantam kepalanya itu menggelepar. Seekor buaya yang berada di bahagian kiri rakit kelihatan menyelam.
Si Bungsu tahu maksudnya. Buaya itu akan membalikkan rakit mereka dari bawah. Dia melihat buaya yang lain juga sedang memutar kepala ke arah mereka. Mereka benar-benar sudah berada di pintu neraka. Sebelum hal itu benar-benar terjadi, si Bungsu menghentakkan galah dengan cepat dan dengan cepat pula menekan galah itu sambil melangkah ke belakang, agar rakit itu bisa bergerak dengan cepat.
Namun dia lupa, saat bergerak melangkah ke belakang sambil menekan galah itu Thi Binh masih memeluk pahanya. Akibatnya sungguh mengejutkan. Pelukan tangan gadis itu di pahanya terlepas. Sementara akibat gerakan si Bungsu yang cepat, membuat Thi Binh terseret dan… jatuh ke air. Kendati sebelah tangannya masih sempat menyambar kaki kanan si Bungsu, yang dia sambar dalam keadaan kalut, namun seluruh tubuhnya sudah berada dalam rawa.
Celakanya, saat itu pula seekor buaya yang lain berada hanya sehasta dari tubuhnya yang berada di dalam air. Mulut buaya itu segera menganga dan dengan cepat meluncur ke arah Thi Binh. Gadis itu memekik-mekik dan berusaha dengan panik mengangkat dirinya kembali ke rakit. Saat itu pula mulut buaya itu menyambar betisnya yang menggapai gapai di air.
Namun sebelum celaka menimpa Thi Binh, si Bungsu segera menghantam ujung galah ke mulut buaya yang mengaga itu. Galah bambunya menghentak pangkal kerongkongan reptil besar itu, kemudian mendorongnya kuat-kuat. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya menyambar tubuh Thi Binh.
Gadis itu tak berhasil dia sambar tangannya. Yang tersambar hanya bajunya. Namun itu usaha terakhir si Bungsu untuk menyelamatkan nyawa Thi Binh yang sudah berada di ujung tanduk. Sekali betis atau kaki gadis itu kena sambar buaya, tubuh gadis itu pasti disentakkan dan di bawa jauh ke dalam air. Dan maut jelas menantinya.
Dengan sekuat tenaga pakaian di bahagian punggung Thi Binh yang berhasil dia sambar itu di sentaknya kuat-kuat. Pakaian gadis itu robek di bahagian punggungnya. Namun sentakan itu menyebabkan tubuh Thi Binh terangkat dari air, dan mereka berdua jatuh bergulingan di rakit.
Untunglah rakit itu sedang meluncur cepat ke pinggir rawa, akibat dorongan si Bungsu pada tenggorokan buaya yang akan menyambar Thi Binh tadi.
Duc Thio menyemburkan peluru di bedilnya ke arah tiga buaya lain yang datang memburu. Demikian pula puluhan buaya yang lain pada meluncur ke arah rakit tersebut. Rakit itu tiba-tiba tersampang di akar pohon di pinggir rawa. Dua ekor
buaya sudah mendekat. Duc Thio dan Han Doi kembali menembak.
“Meloncat ke darat…!!” ujar si Bungsu sambil membawa tubuh Thi Binh berdiri.

Dalam Neraka Vietnam -bagian-592
Han Doi dan Duc Thio segera melompat ke akar-akar kayu besar di tepi rawa. Hanya beberapa detik kemudian si Bungsu dengan memanggul Thi Binh di bahunya juga melompat. Begitu sampai di daratan. Si Bungsu meletak kan Thi Binh di tanah
“Ayo kita selamatkan rakit…” ujar si Bungsu sambil bergegas kembali ke akar-akar kayu yang besar itu.
Duc Thio dan Han Doi faham, kendati mereka bisa selamat dari kejaran tentara Vietnam kelak, mereka harus tetap memiliki rakit untuk melintasi rawa maut ini. Mereka segera berlari ke arah rawa. Dan menariknya pada saat yang benar-benar kritis. Sebab begitu rakit itu disentakkan ke atas, libasan ekor salah satu buaya menghantam tempat itu
Kalau saja rakit tersebut masih di sana, bisa dipastikan sudah bercerai berai menjadi kepingan tak berguna. Sementara di rawa sana, suatu kejadian dahsyat sedang berlangsung. Beberapa ekor buaya yang tadi mati ditembak Duc Thio dan Han Doi jadi rebutan belasan buaya yang hidup. Membuat rawa itu menggelegak dan berbuih oleh libasan belasan ekor buaya yang saling rebut, bahkan saling bunuh untuk mendapatkan makanan.
Bau darah yang menyebar di dalam air rawa tersebut merangsang mereka menjadi amat buas. Ada beberapa saat ketiga lelaki tersebut menatap kejadian ke tengah rawa itu dengan tegak mematung. Degan perasaan ngeri yang luar biasa, membayangkan bagaimana jadinya jika tadi mereka terbalik di rawa itu.
“Mari kita simpan rakit ini…” ujarsi Bungsu perlahan, sambil memutar badan dan melangkah ke darat.
Mereka menyembunyikan rakit tersebut di antara pepohonan yang rindang. Kemudian si Bungsu memebuka peta, memberi tanda di mana rakit itu diletakkan pada peta tersebut. Mereka lalu menyandang senapan masing – masing. Kemudian mulai menerobos hutan. Mendaki sebuah perbu¬kitan kecil tak jauh dari rawa tersebut.
Dari puncak bukit batu yang memanjang itu mereka dapat melihat cukup jauh. Di depan sana, terlihat bukit-bukit batu menjulang tinggi.
“Itu, bukit yang ada pohon kayu berdaun merah itu. Di bawah bukit itu ada belasan wanita lainnya disekap untuk dijadikan pemuas nafsu. Aku kenal daun – daun merah itu, karena setiap akan pergi ke sungai kecil untuk mandi, aku selalu menatap ke puncak bukit tersebut…” ujar Thi Binh dengan suara menggigil.
Si Bungsu menatap gadis itu. Kemudian memeluk bahunya dengan lembut.
“Akan kuberi engkau kesempatan untuk membalaskan dendammu, Thi-thi. Percayalah, akan tiba saatnya engkau membalaskan dendammu…” ujar si Bungsu perlahan.
Dia tak mengatakan, bahwa dia tahu, jalan ke bukit merah itu takkan mudah. Paling tidak jarak dari bukit rendah ini ke bukit batu yang ditumbuhi pohon berdaun merah itu harus ditempuh dalam setengah hari.
Namun itu ada baiknya. Mereka bisa sampai di sana ketika malam sudah turun. Si Bungsu memutuskan untuk beristirahat di puncak bukit itu beberapa saat, sembari memulihkan mental dari cengkeraman rasa takut atas teror buaya di rawa yang baru mereka tinggalkan.
“Tinggallah di sini sebentar. Saya akan kembali ke pinggir rawa sana, mencari buah-buahan untuk dimakan…” ujar si Bungsu.
Ternyata si Bungsu pergi cukup lama. Tidak hanya Thi Binh yang merasa amat gelisah, Duc Thio dan Han Doi juga merasa cemas. Kegelisahan itu baru sirna tatkala dua jam kemudian si Bungsu muncul.
“Hai, agak terlambat ya…” ujarnya sambil meletakkan pikulan yang di ujung depan ada pisang, rambutan dan durian dan di bagian belakang ada anak rusa yang sudah matang.
Thi Binh segera melompat dan menghambur memeluknya sebelum si Bungsu menurunkan pikulannya.
“Kenapa engkau tinggalkan saya begitu lama?” bisiknya sambil terisak.
Si Bungsu menjadi rikuh ditatap Duc Thio dan Han Doi. Namun dia berusaha menenangkan Thi Binh.
“Baik, lain kali saya tak akan meninggalkanmu…” bisiknya.
“Saya temukan anak rusa ini. Sudah saya bakar. Tak cukup kenyang kalau hanya memakan buah-buahan melulu. Membakar di dekat rawa sana lebih aman, asapnya tak kelihatan…” ujar si Bungsu pada Duc Thio dan Han Doi.
Mereka segera melahap panggang anak rusa itu sampai ludes. Panggang daging itu ludes bukan hanya karena perut mereka lapar, tapi terutama karena rasanya memang lezat sekali. Usai makan daging panggang itu, mereka masih sempat memakan beberapa buah rambutan.
Tapi, kecuali si Bungsu, tak seorang pun di antara ketiga orang Vietnam itu yang mampu untuk menambah makan pencuci mulut dengan rambutan, apalagi durian. Ketiga orang itu sudah pada tersandar, benar-benar kekenyangan. Malah Han Doi dan Duc Thio sudah mencari tempat berbaring.
Lelah dan kenyang, menyebabkan mereka cepat tertidur. Tidak demikian halnya dengan Thi Binh dan si Bungsu. Thi Binh kendati diserang kantuk dan lelah dan kekenyangan, namun dia tak bisa tidur begitu saja, karena cemas si Bungsu akan me-ninggalkan dirinya.
Sementara si Bungsu yang sudah terbiasa dan kebal diserang lelah sedahsyat apapun, tidak mengantuk bukan karena tak mau tidur.
Melainkan karena dia ingin makan durian yang sudah dua kali dia nikmati kelezatannya itu. Dengan dua kali menghayunkan parang tajam milik Duc Thio, sebuah durian besar segera terbuka. Isinya kuning seperti kunyit. Baunya sangat harum, jika tak dia tahan, air liurnya pasti sudah tumpah bergelas-gelas saking ngilernya.
“Hei, mau durian…?” ujarnya pada Thi Binh yang duduk di sisinya.
Gadis itu menggeleng.
“Saya kenyang sekali…” ujarnya.
“Tidak mengantuk…?” ujar si Bungsu sambil memasukkan isi durian ke mulutnya.
Thi Binh menggeleng. Si Bungsu tersenyum.
“Kenapa tersenyum?”
“Duriannya enak sekali…”
“Kau tersenyum bukan karena durian…” ujar Thi Binh.
Si Bungsu mengangguk.
“Kenapa tersenyum?” desak Thi Binh.
“Kau sebenarnya mengantuk, tapi hatimu yang keras menyebabkan engkau tak mau tidur…” ujar si Bungsu dengan suara yang tak begitu jelas karena mulutnya dipenuhi durian.
Thi Binh tak beraksi. Si Bungsu tersenyum lagi. Thi Binh menjadi jengkel.
“Kenapa kau tersenyum lagi?” tanyanya.
“Kerena aku senang. Senang ada yang tak tidur. Jadi aku punya teman.…”
Si Bungsu tak sempat menghabiskan ucapannya, dia terpekik, karena dicubit Thi Binh.
“Kenapa kau mencubit?” ujar si Bungsu sambil memasukkan isi durian ketiga ke mulutnya, yang besarnya sebesar lengan anak-anak.
“Senyummu sebenarnya menertawakan diriku…” ujar Thi Binh, sambil tangannya tetap mencubit lengan si Bungsu.
Si Bungsu tersenyum.

Dalam Neraka Vietnam -bagian-593
“Apa yang kau senyumkan?” tanya Thi Binh lagi.
“Dirimu…” ujar si Bungsu jujur.
“Mengapa diriku?”
“Kau tak mau tidur karena takut, bukan?”
“Takut pada apa?”
“Takut aku tinggalkan…” ujar si Bungsu sambil menelan durian di mulutnya.
Kali ini Thi Binh terdiam. Dia menatap si Bungsu yang kembali memasukkan isi durian ke empat ke dalam mulutnya.
“Kau tahu aku takut kau tinggalkan?” ujarnya.
Si Bungsu mengangguk.
“Apakah kau memang akan meninggalkan diriku?”
Si Bungsu menggeleng.
“Tidurlah. Aku takkan meninggalkan dirimu. Per cayalah…” ujar si Bungsu sambil menelan isi durian yang memenuhi rongga mulutnya.
Thi Binh menggeleng. Si Bungsu mengelap tangannya. Kemudian membuang kulit durian jauh-jauh. Lalu dia membaringkan tubuhnya di bawah pohon rindang di mana kini mereka berada.
“Tidurlah. Kita perlu memulihkan tenaga. Untuk bisa bergerak cepat ke bukit merah itu…” ujar si Bungsu sambil menguap.
Thi Binh menggeser dirinya ke dekat si Bungsu.
“Saya tidur bersamamu di sini, boleh?” ujarnya perlahan.
Si Bungsu menarik nafas. Betapapun gadis itu masih sangat kanak-kanak, yang tak seharusnya menerima cobaan yang demikian berat. Menjadi korban perkosaan dan pemuas nafsu puluhan tentara selama berbulan-bulan.
Dia mengangguk sambil mengulurkan tangan ke bahu Thi Binh. Gadis itu merebahkan dirinya di sebelah tubuh si Bungsu. Mereka berbaring berhadapan. Saling menatap. Si Bungsu membelai wajah gadis itu dengan lembut. Menyibakkan anak rambut di dahinya.
Kemudian perlahan mencium keningnya, matanya, pipinya. Kemudian mengecup bibirnya perlahan. Thi Binh merasakan semua yang dilakukan si Bungsu dengan sepenuh hati. Merasakan betapa bulu-bulu roma di tubuhnya berdiri, merasakan betapa bahagianya dia diperlakukan begitu oleh lelaki pertama yang dia cintai.
“Tidurlah…” bisik si Bungsu sambil memeluk tubuh gadis itu, dan menggeser dirinya, ke dekat tubuh Thi Binh.
Gadis itu memeluk si Bungsu.
“Kau takkan meninggalkan diriku, dikala aku tertidur bukan?” bisik Thi Binh sambil menatap dalam-dalam ke mata si Bungsu, yang hanya berjarak sejengkal dari wajahnya.
Si Bungsu menggeleng.
“Saya tak pernah mungkir janji, Thi-thi. Saya sudah berjanji padamu, tak akan meninggalkan dirimu. Akan membawamu keluar dengan selamat dari belantara ini ke kota. Insya Allah, Tuhan akan mengabulkan janji saya…” ujar si Bungsu perlahan sambil memainkan anak rambut Thi Binh.
“Terimakasih…” ujar Thi Binh, perlahan di antara matanya yang basah.
Si Bungsu kembali membelai rambut dan wajah gadis cantik itu, kemudian mengecup bibirnya dengan lembut. Mereka berdua pun akhirnya segera tertidur berselimut angin semilir, di bawah pohon rindang di puncak bukit tersebut.
Malam sudah merangkak cukup larut ketika keempat orang itu sampai di kaki bukit berkayu merah, yang siang tadi mereka lihat dari puncak bukit di mana mereka makan dan tidur. Tatkala sampai di sebuah tempat ketinggian, tiba-tiba Thi Binh terdengar merintih.
Si Bungsu yang berada di sisinya segera berpaling, khawatir kalau-kalau gadis itu disengat binatang berbisa atau digigit ular. Thi Binh menggigil dan bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Si Bungsu meraba dahi gadis itu. Merasakan kalau-kalau diserang demam.
Suhu badannya normal. Dia meraba nadi di pergelangan tangan Thi Binh. Denyut darah gadis itu memang terasa sangat kencang. Si Bungsu berjongkok, meraba seluruh kaki Thi Binh yang terbungkus oleh pantalon tebal. Memeriksa kalau-kalau ada kalajengking yang menyengat atau digigit ular.
Namun tak ada apapun yang dikhawatirkan.
“Ada apa..?” bisik si Bungsu, sementara Duc Thio dan Han Doi siaga dengan bedil mereka di depan.
Thi Binh menunjuk ke sebuah arah di bawah bukit, bibirnya kembali bergerak seakan-akan ingin bicara. Namun suaranya seperti tersendat di kerongkongan. Si Bungsu menatap ke arah yang ditunjuk Thi Binh. Dia melihat kerlip obor di bawah sana. Ada belasan obor dipasang di depan beberapa barak panjang.
Di antara cahaya obor itu, samar-samar kelihatan beberapa tentara lalu lalang. Dan tiba-tiba si Bungsu menjadi arif, apa yang membuat gadis itu terpekik dan menggigil.
“Itu barak di mana engkau dahulu pernah disekap, Thi-thi?” bisik si Bungsu.
Gadis itu menangis, kemudian mengangguk, kemudian memeluk si Bungsu erat-erat. Bayangan betapa dia melewatkan hari-hari penuh jahanam, di neraka di bawah sana, kembali melintas dalam fikirannya. Itulah yang membuat dia menjadi terguncang. Si Bungsu menarik nafas. Dia memeluk dan membelai punggung Thi Binh, sembari menatap pada Duc Thio dan Han Doi yang tegak berlindung di balik-balik kayu, sekitar tiga depa di depan mereka. Kedua orang itu juga tengah menatap padanya.
“Jika engkau memang benar-benar ingin membalaskan dendammu Thi Binh, engkau harus kuat…” bisik si Bungsu.
Thi Binh masih terisak beberapa saat. Kemudian dia mengangguk. Kemudian dia menghapus air mata. Kemudian menatap tepat-tepat pada si Bungsu.
“Aku kuat…!” bisik gadis itu pendek, sambil kembali mengangkat bedilnya.
Si Bungsu menarik nafas. Kemudian memberi isyarat kepada Han Doi dan Duc Thio untuk berkumpul. Si Bungsu mencari tempat yang dia rasa paling aman, selain untuk tempat mengawasi lembah di bawah sana, juga untuk mereka berunding.
“Tunggu di sini, saya akan memeriksa apakah ada tentara Vietnam menjaga bukit di mana kita sekarang berada…” bisik si Bungsu sambil bergerak untuk pergi.
Namun langkahnya tertahan oleh pegangan Thi Binh pada lengannya. Dia berhenti dan menatap gadis itu. Gadis itu juga tengah menatap padanya. Si Bungsu segera ingat janjinya, bahwa dia takkan pernah lagi meninggalkan Thi Binh meski agak sesaat.
“Baik, mari kita memeriksa bukit ini…” ujarnya.
Thi Binh tersenyum. Dengan bedil di tangan kanan, dan tangan kiri memegang tangan si Bungsu, dia segera mengikuti lelaki Indonesia itu menyelusup belantara gelap tersebut. Sementara Duc Thio dan Han Doi memperhatikan setiap gerak yang terjadi jauh di bawah sana, di lembah yang dipenuhi barak penghibur dan tentara Vietnam.
Sayup-sayup angin membawa ke telinga mereka suara gelak tentara dan pekik serta tertawa cekikan wanita. Sebagai bekas tentara dan intelijen, Han Doi memperkirakan paling tidak di bawah sana ada sekitar tiga puluh sampai lima puluh tentara. Jumlah itu tak seluruhnya. Sebab, menurut penuturan Thi Binh, barak para wanita penghibur itu terpisah dengan barak tentara.

Tidak ada komentar: