Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 604-605

Dalam Neraka Vietnam -bagian 604-605


Dalam Neraka Vietnam -bagian-604
tikam samurai
Untuk sesaat mereka masih melangkah selangkah lagi, sampai akhirnya langkah mereka terhenti tatkala menyadari kehadiran orang lain di dalam terowongan yang amat dirahasiakan ini. Celakanya, karena mereka demikian yakin akan keamanan terowongan ini, karena banyak sekali ranjau yang ditanam secara rahasia, ditambah lagi para tawanan Amerika itu disekap dengan rantai sebesar-besar lengan di kaki, tangan dan pinggang, maka mereka merasa tak perlu siaga dengan senjata yang mereka bawa.
Masing-masing mereka memang membawa senjata. Namun senjata itu mereka sandang di bahu. Begitu berhenti setelah melihat ada orang asing di belakang mereka, ke empat tentara Vietnam itu agak lega. Karena lelaki asing itu sama sekali tak membawa bedil sebuah pun. Itulah sebabnya mereka dengan tenang meraih bedil yang mereka sandang. Kemudian mengarahkan larasnya ke arah si Bungsu.
Si Bungsu tetap tegak dengan dua kaki terpentang dengan kedua tangannya lurus di sisi kiri kanan tubuhnya. Salah seorang tentara Vietnam yang berpangkat sersan, paham bahwa orang ini sudah mengetahui tempat yang amat dirahasiakan oleh induk pasukannya. Jika orang ini tak ..
segera dihabisi, merekalah yang akan dihabisi komandan mereka. Dengan pikiran demikian, sersan itu segera menarik pelatuk bedilnya.
Namun begitu, telunjuknya menyentuh pelatuk, begitu dia rasakan sesuatu yang amat pedih di antara dua alis matanya. Pedih dan sakit yang amat sangat! Penglihatannya tiba-tiba menjadi gelap. Amat gelap gulita. Dan hanya itu. Sebab setelah itu, tubuhnya jatuh tertelungkup. Berkelojotan beberapa saat dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Lalu diam. Mati!
Ketiga temannya tak sempat merasa terkejut. Mereka hanya sempat melihat sekilas, kedua tangan lelaki itu bergerak dengan amat cepat. Mereka tak melihat ada bedil atau pistol di tangan lelaki itu. Mereka juga tak melihat ada sesuatu yang meluncur dari tangan lelaki tersebut. Namun entah apa sebabnya, tubuh ketiga mereka tiba-tiba menjadi limbung. Ada rasa sakit yang menyergap diri mereka dengan amat sangat.
Tak seorang pun yang sempat menarik pelatuk bedil. Dua orang di antara mereka merasakan sesuatu yang amat pedih di hulu jantung. Ketika tangan mereka menggapai ke arah yang amat sakit itu, mereka menemukan sebuah benda kecil tertancap di sana. Lalu, mata mereka terbeliak, lalu tubuh mereka rubuh terhempas. Yang seorang lagi merasakan tenggorokannya seperti dimasuki duri yang amat tajam.
Nafasnya seperti tersumbat, matanya mendelik. Dari mulutnya tiba-tiba menyembur darah segar. Sampai dia rubuh, menyusul ketiga temannya, dia tak pernah tahu bahwa tenggorokannya sudah ditembus sebuah samurai kecil yang teramat tajam, dan dilontarkan dengan cara yang teramat mahir, dengan kecepatan yang tak terikutkan mata, oleh lelaki asing yang tadi bersiul dari arah belakang mereka.
Tak seorang pun di antara keempat tentara Vietnam itu yang pernah membayangkan bahwa mereka akan menemui akhir perjalanan hidup seperti ini. Di kiri kanan terowongan besar, Kolonel MacMahon dan kelima anak buahnya menanti dengan perasaan tegang kemunculan tentara Vietnam itu. Beberapa saat yang lalu mereka sudah mendengar langkah keempat tentara Vietnam itu mendekat.
Barangkali hanya tinggal dua atau tiga langkah lagi, mereka pasti muncul di terowongan besar di mana mereka menanti, dan mereka yakin ke empat tentara itu bisa mereka habisi.
Namun tiba-tiba saja langkah yang mendekat itu berhenti. Kemudian terdengar keluhan-keluhan pendek susul menyusul, diiringi suara bergedebuk seperti suara benda keras jatuh. Lalu sepi.
Detik demi detik berlalu dalam kesunyian yang amat mencekam. Mereka sampai berkeringat menanti dengan kekhawatiran orang Indonesia itu sudah dihabisi. Si Kolonel memberanikan diri mengintai dengan mengacungkan bedil ke arah mulut terowongan kecil. Dan dia ternganga. Perlahan dia menurunkan bedil, kemudian dengan menenteng bedil itu dia keluar dari tempat persembunyiannya, melangkah ke arah pintu terowongan kecil itu.

Dalam Neraka Vietnam -bagian-605
Kelima anak buahnya yang sedang menempel ketat ke dinding, menatap heran pada si kolonel. Mereka ikut kaget ketika si kolonel melangkah ke arah suara serdadu Vietnam yang mereka dengar tadi. Karena tak ada suara tembakan apapun, mereka ikut-ikutan keluar dari persembunyian masing-masing. Melangkah ke arah mulut terowongan, dan seperti si kolonel, tiba-tiba mereka pun dibuat hampir tak mempercayai apa yang mereka lihat.
Di depan mereka empat serdadu Vietnam terlihat pada bergelimpangan. Saat itu si Bungsu tengah mencabuti samurai kecilnya yang terakhir, yang tertancap di tenggorokan salah seorang tentara Vietnam itu. Kini ke-17 orang Amerika tersebut sudah berkumpul di dekat si Bungsu. Lelaki Indonesia itu tengah menyisipkan samurai-samurai kecil ke sabuk karet tipis di balik lengan bajunya, setelah dia menghapus darah yang lekat di samurai itu ke pakaian tentara Vietnam yang dia bunuh.
“Ninja…” desis seorang letnan pasukan SEAL sambil nanap menatap si Bungsu.
Semua menatap padanya, kemudian pada si Bungsu. Sembari menutupkan lengan bajunya, sehingga semua samurai kecil di balik lengan baju itu lenyap dari penglihatan, si Bungsu menatap ke arah letnan tersebut.
“Saya memang belajar dari seorang Jepang. Namun di Jepang sana yang mahir mempergunakan samurai kecil-kecil seperti ini tidak hanya Ninja. Siapapun bisa melakukannya, asal mau berlatih keras…” ujar si Bungsu perlahan.
Kendati semua tentara Amerika itu berasal dari pasukan elit, namun mereka tak dapat menyembunyikan perasaan heran bercampur takjub mereka pada kehebatan lelaki dari Indonesia tersebut dalam menghabisi keempat tentara Vietnam itu. Dengan takjub mereka memperhatikan luka kecil di tubuh ke empat tentara Vietnam itu. Semua luka terdapat di tempat yang mematikan. Di antara alis mata, tenggorokan dan di jantung.
Yang membuat mereka takjub bukan bekas luka itu, tetapi orang yang menyebabkan luka tersebut. Membidik tempat-tempat yang demikian mematikan bukanlah hal yang mudah. Dan menghujamkan pisau kecil dari jarak beberapa belas meter, dalam waktu yang amat cepat secara beruntun, sehingga tak satu bedilpun sempat meletus dari empat tentara itu, benar-benar suatu kemahiran yang sulit dicerna akal.
Sebahagian besar di antara mereka adalah ahli bela diri yang amat terlatih. Ahli pertempuran yang mahir mempergunakan senjata api maupun pisau komando. Namun, untuk membunuh empat tentara Vietnam sekaligus dengan pisau dalam waktu hanya hitungan detik, belum pernah mereka khayalkan. Karenanya, tidaklah berlebihan kalau mereka kini pada menatap pada orang Indonesia itu dengan kagum.
“Kita harus segera meninggalkan tempat ini. Komandan mereka akan curiga jika keempat tentara yang mati ini tak muncul-muncul di barak di bawah sana. Lagipula, pagi nampaknya sebentar lagi akan turun…” ujar si Bungsu setelah melihat jam tangannya.
“Baik, Tuan yang mengenal jalan ini, karena baru saja masuk kemari. Tuan yang memimpin kami keluar dari tempat penyekapan ini…” ujar Kolonel MacMahon pada si Bungsu.
Si Bungsu tak merasa perlu lagi berbasa-basi. Usai para tentara itu melucuti senjata, peluru dan bayonet milik ke empat tentara Vietnam yang mati tersebut, dia segera berjalan di depan, menuruni terowongan yang menurun tajam ke bawah sana. Mereka juga tak perlu menyembunyikan keempat mayat tentara Vietnam tersebut. Takkan ada yang harus disembunyikan lagi.
Begitu tentara Vietnam naik kemari, mereka akan segera tahu bahwa semua tawanan sudah kabur. Helena yang tak bisa berjalan dipangku oleh seorang sersan. Begitu juga tentara yang sakit, segera dipapah bersama. Mereka bergerak cepat menuruni terowongan terjal dan berliku itu. Tentara yang berasal dari anggota SEAL, pasukan khusus Angkatan Laut itu, segera menempatkan diri di belakang si Bungsu.
Mereka bertugas memperhatikan jalan, mengawasi tanda-tanda adanya ranjau. Mereka memang sangat ahli dan paham dalam hal itu. Kini, kendati si Bungsu berada di depan, mata mereka yang tajam meneliti setiap inci lantai terowongan yang akan dilewati. Beberapa saat menjelang sampai ke mulut terowongan yang menghubungkan mereka dengan dunia luar, si Bungsu menyuruh rombongan itu berhenti.

Tidak ada komentar: