Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 646-647

Dalam Neraka Vietnam -bagian 646-647


Dalam Neraka Vietnam -bagian-646

si bungsu“Laksamana, apakah isyarat itu dari si Bungsu?” ujar Florence di radio.
“Nampaknya ya, Ami….”
“Pesawat ini akan menjemputnya?”
“Ya….”
“Boleh saya ikut?”
“Jika Anda memang tidak ingin menunggu di kapal….”
“Boleh saya ikut…?” tanya Ami Florence kembali.
“Silahkan…” jawab Laksamana Lee.
“Harap Anda beritahu pilotnya?” ujar Ami Florence, kemudian memberikan radio itu kepada pilot.
“Yes, Sir…” ujar pilot membuka percakapan.
“Bawa Nona itu bersamamu….”
“Yes, Sir!”
“Kalian boleh berangkat sekarang”
“Yes, Sir….”
Pilot itu kemudian menoleh kepada Ami Florence.
“Kami mendapat kehormatan terbang bersama Anda, Mam….”
“Terimakasih, saya juga mendapat kehormatan terbang bersama Anda, Mayor…” sahut Ami.
Heli itu segera mengudara, membelah malam pekat dan dingin, dengan guruh menderam-deram di langit Philipina.
“Kemana tujuan kita?” tanya Ami Florence kepada dokter Angkatan Laut yang menyertai misi itu, beberapa saat setelah pesawat itu terbang di atas lautan.
“Ke sebuah titik di suatu koordinat di Laut Cina Selatan, Mam…” jawab dokter berpangkat kapten itu.
“Pulau atau kapal?”
“Kapal, Mam….”
“Kapal selam?”
“Yes, Mam….”
“Berapa orang yang dijemput.”
“Tiga belas, Mam….”
Ami Florence menarik resleting jaket kulitnya secara penuh ke atas, menutupi leher di bawah dagunya. Mencegah hempasan angin yang menerpa masuk dari celah pintu heli tempur besar itu.
“Apa di antara yang dijemput ada si Bungsu?”
“Kita tidak mendapat konfirmasi satu nama pun, Mam….” jawab pilot.
“Saya harap dia ada di antara yang akan kita jemput. Saya, dan juga semua awak USS Alamo, ingin bertemu dengannya, Mam,” sambung si dokter.
Sebagaimana awak kapal USS Alamo lainnya, dokter itu juga mendapat cerita tentang kehebatan lelaki dari Indonesia bernama si Bungsu itu, yang tersebar dari mulut ke mulut di USS Alamo. Ami Florence ingat coklat yang dia bawa dari hotel. Dia ambil coklat itu dari tasnya, kemudian mengulurkan dua buah kepada pilot dan co-pilot, dengan memukulkan coklat itu ke bahu kedua orang tersebut dari belakang.
“Hai, terimakasih, Mam!” ujar pilot, demikian juga co­-pilot, setelah mengambil coklat tersebut.
Ami kemudian mengambil beberapa bungkus coklat lagi, lalu membagi-bagikannya kepada seluruh yang ada dalam heli tersebut. Semuanya menerima dengan senyum dan ucapan terima kasih. Lalu dalam deru pesawat yang membelah malam pekat itu mereka menikmati coklat pemberian Ami Florence.
Di kapal selam Sea Devil,Thi Binh sadar dari pingsannya. Saat dia membuka mata, hal pertama yang melintas dalam ingatannya adalah si Bungsu.
“Bungsu…” desisnya.
Duc Thio yang memeluk kepala anaknya, menatap anak gadisnya itu dengan mata berlinang. Sebuah firasat yang amat buruk, yang amat tak dia ingini terjadi, menusuk hulu jantung Thi Binh tatkala melihat mata ayahnya yang berkaca-kaca.
“Bungsu…?” desisnya lagi perlahan.
Matanya nanap memandang ayahnya. Duc Thio menunduk, kemudian menggeleng. Air mata mengalir di pipinya yang tua. Thi Binh tiba-tiba merasa ada yang menggenggam tangannya. Dia tahu siapa orangnya, sebelum dia melihat wajah orang yang menggenggam tangannya itu. Dia menolehkan kepala perlahan dan segera menampak wajah Roxy, yang juga bersimbah air mata. Tak mampu bicara sepatah pun.
“Bungsu…?” desisnya.
Roxy menggigit bibir. Memejamkan mata sesaat sembari mempererat genggaman tangannya pada tangan Thi Binh. Han Doi melemparkan tatapannya ke langit-langit kapal selam. Apa yang akan dia berikan jawaban, kalau Thi Binh bertanya padanya tentang si Bungsu? Thi Binh akhirnya berusaha duduk, kendati dadanya yang tertembak terasa amat sakit. Sakit sekali. Namun dia ingin duduk. Dia ingin menatap wajah orang yang di dalam kapal itu. Roxy lah akhirnya yang menolongnya untuk duduk. Dirangkulnya bahu Thi Binh. Kemudian diluruskannya posisi gadis itu perlahan.
Sebelum posisi tubuhnya duduk dengan baik, matanya menyapu semua yang berada dalam kapal selam itu. Tak ditemukannya wajah orang yang dia cari. Semua juga menatap padanya, kemudian pada menunduk. Kolonel MacMahon, Letnan Duval, para wanita yang dibebaskan si Bungsu dari sekapan di goa itu. Mereka dicekam kebisuan yang menyesakkan dada. Dan akhirnya Thi Binh hanya mampu memeluk Roxy. Lalu menumpahkan tangisnya di pelukan gadis Amerika itu.
Kolonel MacMahon yang tersandar dengan bahu dan paha berbalut perban, tiba-tiba merasa menjadi orang tak berguna. Merasa menjadi orang bodoh yang tak tahu berterima kasih.

Dalam Neraka Vietnam -bagian-647
Namun apa yang harus dia perbuat dalam posisi amat kritis seperti yang terjadi dalam pertempuran di padang lalang di ujung senja tadi? Dia memejamkan mata sesaat. Namun cepat-cepat matanya dia buka. Karena bayangan pertempuran di padang lalang itu tiba-tiba seperti menyergap seluruh isi kepalanya.
Bayangan saat dia membopong salah seorang wanita yang terluka kena tembakan. Bedilnya memuntahkan peluru menembak ke arah dua tentara Vietnam yang muncul tiba-tiba dari balik pohon. Dan saat itu dia rasa pedih yang amat sangat menghantam bahunya. Dia tahu dia tertembak. Namun dia tetap berlari mengerahkan sisa tenaganya, dengan tetap memikul tubuh perawat yang terluka, mendekati helikopter. Beberapa langkah lagi, tiba-tiba kakinya tertembak. Dia tersungkur, untunglah seorang tentara di dekat helikopter itu sempat menyangga tubuhnya dan mengambil alih tubuh perawat itu.
Dia masih berusaha memutar tegak dan menembakkan bedilnya. Namun yang terdengar hanya suara ‘klik’ beberapa kali. Dia kehabisan peluru! Lalu saat itu tubuhnya ditarik dengan kuat ke atas heli. Kemudian semuanya berjalan amat cepat. Heli mengapung, lalu suara tembakan. Samar-samar dia melihat sesosok tubuh muncul dari belukar di bahagian selatan. Orang itu menembak dan berlari ke tengah medan tempur. Dari pakaiannya dia segera tahu, orang itu adalah si Bungsu. Orang yang sudah mempertaruhkan nyawanya untuk membebaskan mereka.
Lelaki tangguh dari Indonesia itu dia lihat berlari menyongsong arah peluru sembari menembakan bedilnya ke arah tentara Vietnam yang muncul di berbagai penjuru. Dia tahu, lelaki itu berusaha mengalihkan sasaran tembak dari heli kepada dirinya. Kemudian heli yang mereka naiki mulai mengudara dengan cepat, meloloskan diri dari lobang jarum. MacMahon mendengar pertanyaan pilot yang juga komandan penjemputan mereka, tentang beberapa jumlah peluru yang ada di dua senapan mesin yang ada di heli.
MacMahon mendengar jawaban kedua pemegang senapan mesin itu, bahwa peluru mereka masing-masing hanya tinggal beberapa butir. Pilot nampaknya berada dalam pilihan yang amat rumit, antara turun menjemput si Bungsu dengan risiko 99,99 persen tertembak dan semua mereka terbunuh. Atau meloloskan diri, tapi dengan demikian berarti membiarkan lelaki yang telah menyelamatkan nyawa mereka itu menjadi sasaran tembak tentara Vietnam. MacMahon tak sempat berfikir, dia hanya tahu pilot kemudian memutuskan untuk menyelamatkan nyawa yang lebih banyak. Yaitu nyawa mereka yang ada di heli.
Turun ke tengah kancah pertempuran dengan peluru hanya beberapa butir, memang bukan pilihan yang berakal sehat. Tetapi juga bukanlah berakal sehat membiarkan orang yang sudah menolong mereka demikian banyak tinggal sendiri menghadapi cecaran peluru belasan tentara Vietnam. Lalu dari atas heli yang sudah semakin tinggi. MacMahon melihat si Bungsu kehabisan peluru. Dia mencampakkan bedilnya, kemudian mengangkat tangan ke udara. Lalu tubuh lelaki itu tersentak-sentak beberapa kali.

Tidak ada komentar: