Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 541-542

 

Dalam Neraka Vietnam -bagian 541-542



Dalam Neraka Vietnam -bagian-541
Begitu dia tiba di luar, pintu kamar itu tertutup kembali. Ada celah kecil di bahagian atas kamar. Nampaknya berfungsi sebagai sirkulasi udara. Ketika Ami mulai membuka beberapa kantong parasut, si Bungsu memperhatikan peta di dinding. Dia segera tahu peta itu adalah peta untuk kepentingan militer. Ada tiga peta di dinding. Peta Vietnam Utara yang digabung dengan Selatan, peta Kota Da Nang dan peta Kota Saigon.
Pada dua kota terakhir terlihat tanda-tanda di mana markas tentara Amerika sebelum diusir tentara Utara.
“Well, malam ini kita tidur di sini dulu. Kita harus menunggu jawaban dari salah satu kapal perang Amerika yang berada di sekitar Kepuluan Natuna….” ujar Ami.
Ucapan gadis itu mengejutkan si Bungsu yang tengah memelototi peta di dinding. Dia mengalihkan tatapannya dari gadis itu ke lantai.
Di lantai sudah terbentang kasur tipis tentara yang dialas dengan terpal. Ada juga selimut pembagian tentara, dan bantal karet yang untuk menggelembungkannya harus ditiup dulu lewat sebuah pentin di sudutnya.
“Anda tidak keberatan kita tidur berdekatan di sini, bukan?” ujar Ami.
Si Bungsu tiba-tiba merasa kampungan sekali mendengar pertanyaan gadis itu. Biasanya prialah yang harus bertanya seperti itu kepada wanita. Dia menatap Ami Florence, tapi tadis itu dengan cuek tengah bersalin pakaian, memasang baju tidur yang nampaknya dia bawa di dalam ranselnya. Si Bungsu terpaksa kembali menatap ke peta di dinding.
“Kita akan tidur bertiga besama Le Duan di sini, bukan?” ujarnya.
Usai mengucapkan kata-kata itu dia menyumpahi dirinya sendiri.
“Tidak. Dia tidur di kamar radio. Tapi jangan khawatir, saya tidak akan memperkosamu….” ujar Ami.
Tumbung, eh tumbuang! Gadis ini benar-benar tumbuang, rutuk si Bungsu di dalam hati. Dia meletakkan ranselnya. Kemudian membuka sepatu. Matanya memang sudah sangat mengantuk. Ketika dia akan berbaring, satu-satunya tempat berbaring di kamar kecil itu hanya ada di sebelah tubuh Ami. Gadis itu sudah duluan bergolek dan menutupi badannya dengan selimut tentara yang bergaris-garis seperti belang zebra. Akhirnya dia memang harus bergolek di sisi gadis itu, sembari ikut-ikutan menyuruk ke bawah selimut.
“Tidak takut kuperkosa?” bisik gadis itu.
“Tumbuang, kalera!” rutuk si Bungsu dalam hati.
“Hei… Upik, hati-hati kalau ngomong. Saya ini durian, engkau mentimun. Cabik-cabik dirimu nanti. Jangan terlalu banyak siginyang…” ujarnya dengan suara mendesis.
Ami Florence mengerutkan kening mendengar ucapan yang tak dimengertinya itu. Dia memiringkan tubuh menghadap pada si Bungsu. Tapi lelaki itu ternyata tidur miring membelakangi dirinya. Sekali rengkuh, tubuh si Bungsu dibuatnya tertelentang.
“Hei, mengapa ini. Kau….”
Ucapannya belum selesai, tangan gadis itu kembali merengkuhnya. Dan rengkuhan ini membuat tubuh si Bungsu hampir terpelintir.
Agar tidak terpelintir, dia terpaksa menurutkan rengkuhan itu. Tubuhnya kini menghadap pada Ami. Dan tiba-tiba dia mendapatkan hidung dan wajahnya hanya sejengkal dari hidung dan wajah gadis itu. Dia menarik kepalanya agak ke belakang, agar kepala mereka agak berjarak. Namun tangan gadis itu mencekal rambutnya, menariknya dengan agak kuat, sehingga hidung mereka beradu.
“Kau seperti anak perawan saja. Bicara yang jelas, apa maksud kata-katamu tadi?” ujar Ami dengan geram, sementara tangannya masih mencekal rambut si Bungsu.
Kalau ada yang membuat si Bungsu marah, bukan karena cekalan tangan gadis itu di rambutnya. Melainkan kata-kata ‘kau seperti anak perawan saja’ itu. Oo, mengkalnya hati si Bungsu. Tangannya segera menjambak pula rambut Ami. Menariknya kepala gadis itu sehingga hidung mereka hampir berlantak.
“Sekali lagi kau ucapkan kata-kata ‘seperti anak perawan’ itu, ku patahkan lehermu, Upik….” desisnya dengan mata melotot.
Ami bukannya takut, dia balas memelototkan matanya. Kemudian tersenyum. Kemudian kepala si Bungsu diraihnya. Dan sebelum pemuda itu sadar apa yang akan terjadi, ya ampuuun… bibir gadis itu sudah melumat bibirnya. Lama pula!
“Oke, oke! Sekarang katakan padaku, apa arti kata-katamu tadi. Engkau durian aku mentimun, dan diriku akan cabik-cabik, dan agar aku jangan banyak siginyang. Apa artinya itu?”
Si Bungsu tak segera menjawab. Ada beberapa saat dia pergunakan waktu untuk menormalkan degup darahnya yang mengencang ketika gadis itu melumat bibirnya tadi.
“Katakan, apa artinya ucapanmu tadi, please…” ujar Ami sambil menyurukkan wajahnya ke dada si Bungsu, dan tangannya memeluk tubuh lelaki itu dengan erat. Persis seperti anak kucing kedinginan, yang menyurukkan tubuh ke bawah perut induknya.
Si Bungsu menarik nafas. Dia arif, kedegilan gadis ini merupakan pelarian dari hidupnya yang keras. Sekuat-kuatnya manusia bertahan menjalani kehidupan dengan tegar, pasti ada ketika dimana dia seolah-olah terpuruk ke lobang tanpa dasar. Pada saat-saat seperti itu, orang membutuhkan tempat pelarian. Memerlukan teman yang bisa diajak bicara.
Bahkan tidak hanya tempat pelarian dan teman yang mendengar dan didengar, melainkan juga tempat berlindung! Orang pandai dan ulet bisa mengatasi persoalan pelik dalam kerja dan tugasnya. Namun ketika persoalan pelik itu justru datang dari dalam, bukan ancaman dari luar, orang sering merasa gamang. Perlahan didekapnya tubuh Ami Florence, dibelainya rambut gadis itu yang menebarkan aroma harum yang lembut. Kemudian dia paparkan apa arti ucapannya tadi. Arti kiasan yang sering dipakai di kampungnya, berkaitan dengan hubungan lelaki dan perempuan.
Gadis itu mengangkat wajah, menatap pada sibungsu, tatkala usai menceritakan arti kata-katanya itu.
“Apakah di kampungmu wanita selalu berada dalam posisi seperti itu? Lemah dan harus dikasihani?” tanyanya perlahan.
“Dalam teori tidak. Tapi dalam kenyataan, ya….”
“Apa contohnya?”
“Kampungku itu secara kultur disebut Minangkabau. Di Minang, dalam teori, wanitalah yang memegang kekuasaan. Baik dalam hal harta pusaka maupun dalam membentuk garis keturunan. Suku anak harus menurut suku ibu. Namun dalam praktek, wanita tetap saja menggantungkan hidupnya pada lelaki. Di manapun kondisi seperti itu berlaku. Bagaimana mungkin menerapkan persamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan secara riil….”
“Wanita selalu dalam posisi terjajah?” potong Ami.
“Kadang-kadang ya. Namun sebenarnya mereka di lindungi, kaum lelaki punya kewajiban membuatkan rumah bagi istri dan anak anaknya….”

Dalam Neraka Vietnam -bagian- 542
makmur hendrik
Ami kembali menyurukkan wajahnya ke dada si Bungsu. Lama mereka saling berdiam diri. Tangan Ami mempermainkan anak rambut di tengkuk si Bungsu.
“Bungsu….?”
Si Bungsu tak menjawab
“Engkau punya istri di kampungmu?”
Si Bungsu masih tak menjawab.
“Dia tentulah wanita cantik yang sangat beruntung….”
Si Bungsu tak berkomentar sepatah kata pun
“Berapa orang anakmu?”
Si Bungsu memejamkan mata. Tetap tak menjawab. Lama mereka sama sama berdiam diri.
“Bungsu…?”
“Ya…?”
”Maafkan kalau pertanyaanku….”
“Tak ada yang harus dimaafkan, karena tidak ada yang harus dijawab….”
“Maksudmu….?”
“Aku tidak punya anak…”
“Oh maafkan aku…”
“Aku juga belum pernah menikah….”
Gadis itu mengangkat wajahnya yang tadi disurukkan ke dada si Bungsu. Menatap wajah pemuda yang hanya berjarak setengah jengkal dari wajahnya. Lama diperhatikannya wajah pemuda tersebut. Kemudian dia kembali menjadi anak kucing yang kedinginan, menyurukkan wajahnya ke dada si Bungsu. Sebagai seorang ahli ilmu jiwa, Ami segera bisa mengetahui bahwa lelaki yang dipeluknya dan yang memeluknya ini tidak berbohong sedikit pun. Lebih dari itu, dari sinar matanya Ami juga mengetahui bahwa lelaki ini seorang yang sering dikecewakan wanita. Bekasnya amat dalam menggurat pada sinar mata dan air mukanya.
“Maafkan pertanyaanku tadi…”
“Tidak apa-apa, jangan difikirkan….”
“Bungsu…?”
“Ya…”
“Kau ke Vietnam ini disebabkan merasa hidup tak ada guna, karena dikecewakan seorang gadis?”
Si Bungsu ingin menampar gadis itu. Namun itu tak dia lakukan, karena apa yang dikatakan gadis ini 85,5 persen benar. Yang 14,5 persen lagi karena dia benar-benar ingin membantu Alfonso Rogers. Karenanya dia tetap berdiam diri.
“Siapa pun gadis yang tega meninggalkan dirimu, orangnya sungguh keterlaluan…” bisiknya dari dalam dekapan si Bungsu.
Si Bungsu masih berdiam diri.
“Sudah berapa lama engkau meninggalkan kampungmu?”
“Tiga tahun…”
“Selama itu engkau di Amerika?”
“Ya…”
Sepi setelah itu.
Si Bungsu menarik nafas, dia senang kalau gadis ini tak ngomong lagi. Apalagi omongannya terus-terusan menyucuk puncak kadanya. Dia sudah mulai memejamkan mata. Tetapi…
“Bungsu…?”
”Hmmmmm…”
“Kalau sudah tiga tahun engkau meninggalkan kampungmu, berarti gadis yang meninggalkan dirimu itu kini ada di Amerika, bukan?”
Si Bungsu merasa sakit perutnya, sakit jantungnya. Tapi tiba-tiba saja dia ingin tahu, sampai dimana hebatnya gadis ini bisa ‘menebak’ apa yang sudah terjadi pada dirinya. Dia lalu memutuskan berada pada posisi sebagai penyerang.
“Ami…?”
“Ya…?”
“Di negeriku cewek seperti engkau punya gelar yang cukup hebat dan menarik….”
“Gelar apa itu?”
Upik asteb dan Upik asngom….”
“Gelar apa pula itu, sehingga disebut sebagai cukup hebat dan cukup menarik?”
“Di Minang, Upik itu panggilan untuk seorang gadis secara umum. Butet kalau di Tapanuli, geulis kalau di Jawa Barat, nona kalau bahasa Indonesianya. Asteb itu singkatan dari katakan ‘asal tebak’, sementara asngom singkatan dari kata-kata ‘asal ngomong’…. Aduh!…duh. aduh mak, Ampuun….!”
Dia tak bisa menyelesaikan penjelasannya. Dia terpekik-pekik. Antara sakit dan geli, soalnya Ami Florence yang merasa diolok-olok dengan gemas mencubit dadanya.
“Masih mau mengolok-ngolok?” ancam Ami sambil segera menempelkan mulutnya yang ternganga, dengan gigi siap menerkam ke dada si Bungsu.
“Tidak, tidak mak ooii! Ampunlah aku. Sebelas dengan kepala….!” ujarnya dengan bulu tengkuk merinding.
Ami justru menjadi heran dengan kata-kata ‘sebelas dengan kepala’ itu.
“Sebelas dengan kepala, kalimat aneh apa pula itu? Kenapa tidak sembilan, tujuh atau dua puluh lima?” ujarnya.
Meski bulu romanya merinding, karena mulut dan gigi gadis itu menempel terus di dadanya, seperti perangko nempel di amplop, si Bungsu mau tak mau terpaksa tertawa juga mendengar pertanyaan gadis tersebut. Entah kenapa, tiba-tiba saja dalam berbicara dengan gadis ini dia banyak mengeluarkan kata-kata yang berasal dari rumpun bahasa kampungnya. Yang tentu saja tak dimengerti oleh Ami Florence, dan sekaligus mengusik keingintahuan gadis itu.
“Oke, kuceritakan. Tapi mulut dan gigi drakulamu itu jangan ditempelkan terus ke dad…. Addow…!!
Dia terpekik lagi. Ami rupanya jadi jengkel giginya disebut gigi drakula. Dia lalu menggigit dada si Bungsu, yang menyebabkan pemuda itu terpekik.
“Sebut lagi gigiku gigi drakula….!” ujar Ami, sembari mengangkat kepala dan menyeringaikan giginya yang putih di hadapan wajah si Bungsu. Tak cukup hanya sampai menyeringaikan gigi saja, gadis itu tiba-tiba mempergunakan giginya untuk menyambar bibir si Bungsu, dan menggigitnya dengan gemas. Bibir si Bungsu terkalayak, menjadi dower seperti bibir Mick Jager, penyanyi rock yang berbini cantik amat itu.
“Amfun…amfuuun…!” ujarnya.
“Ayo katakan apa arti sebelas dengan kepala itu….” perintah Ami.
‘Huu… alamaaak….!” keluh si Bungsu tatkala Ami melepaskan gigi dari bibirnya. Kemudian menyurukkan lagi kepalanya ke dada si Bungsu. Persis anak kucing kedinginan.
“Bungsu….?”
“Apa lagi, eh…ya….?”
Si Bungsu cepat-cepat meralat suaranya yang semula bernada jengkel menjadi dilembut-lembutkan.
“Ceritakan soal sebelas kepala itu….”
Usai menarik nafas panjang, si Bungsu lalu menuturkan apa artinya kata-kata tersebut. Bahwa orang biasanya minta ampun dengan merapatkan kedua telapak tangan yang berjari sepuluh, kemudian menundukkan kepala. Jari yang sepuluh dengan sebuah kepala, menjadi sebelas.
“Ami….”
“Ya… Aku mengantuk….”
“Kita tidur, ya…?” ujar si Bungsu gembira.
“Jadi, selama tiga tahun engkau berada di Amerika?” tanya gadis itu.
“Tapi sudah mengantuk….” ujar si Bungsu.
“Soal gadis yang mengecewakanmu itu belum selesai….”
“Biarlah, kuanggap selesai saja….”
“Bagiku belum….”

Tidak ada komentar: