Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 578-579

Dalam Neraka Vietnam -bagian 578-579


getah pohonDalam Neraka Vietnam -bagian-578
“Seperti obat yang diberikan pada Thi Binh?”tanya Han Doi sambil menancapkan galah didasar rawa.
“Ya,tapi jauh lebih manjur…”ujar si Bungsu.
“Anda mempelajarinya di Indonesia?”tanya Duc Thio.
“Mula-mula ya.Namun dalam bentuk yang amat sederhana.Pengetahuan yang paling berharga tentang flora yang amat manjur dibuat obat saya pelajari ketika saya di Jepang dan Amerika…”
“Di Jepang dan Amerika?”tanya Duc Thio.
“Ya..”
“Dari para dokter?”
“Tidak,dari seorang Jepang yang bernama Zato Ichi dan Indian bernama Yoshua.Ilmu tentang tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat untuk obat-obatan ini sudah sulit di temukan.Orang-orang yang punya ilmu meramunya lebih sulit lagi di temukan…”tutur si Bungsu.
Dia lalu menuturkan tentang Kina,yang rasa getahnya amat pahit,yang tidak hanya bermanfaat menyembuhkan demam tetapi juga malaria.Obat yang berasal dari tetumbuhan di Indonesia itu kini sudah dikenal di seluruh dunia.
“Bukankah tadi anda bilang,pohon tadi tak anda temukan di Indonesia?”kembali Duc Thio bertanya.
“Ya….”
“Apakah tumbuhan itu Anda temukan di Jepang dan Amerika?”
“Juga tidaak…”
“Lalu,dimana kayu seperti itu pernah anda temui?”tanya duc Thio lagi.
“Tidak pernah,baru di rawa ini…”
“Baru dirawa ini?”
“ya..”
“Apakah anda yakin kayu tadi memang punya manfaat untuk menyembuhkan segala penyakit,termasuk luka?”
“Ya…”
“Bagaimana anda mengetahuinya,padahal baru kali ini anda melihat pohon itu..?”si Bungsu menarik napas,Dia duduk bersila di rakit.
“Itulah yang saya maksud ilmu mengenal tumbuhan dan pohon yang bermanfaat untuk obat-obatan.Ada beberapa orang yang ahli untuk mengenal bentuk bentuk tetumbuhan dan pepohonan yang berkhasiat itu.Pertama dari baunya,bau pohon yang berkhasiat itu tidak berbau oleh hidung orang awam. kalaupun mereka mencium bau dari pepohanan itu tapi tak tahu arti bau itu untuk obat-obatan.Mungkin mereka tahu pohon itu untuk obat tapi dengan apa diramu dan apa bahan peramunya..”papar si Bungsu.
“Maaf.Anda baru pertama kali menemukan pohon itu.katakan lah anda tahu pohon itu berkhasiat buat obat,dan andfa juga tahu meramunya.Namun bagaimana anda tahu bahwa obat yang anda ramu itu ‘jauh lebih baik’ untuk berbagai bentuk penyakit,di banding obat yang anda berikan pada Thi Binh?”ujar Duc Thio.
Duc Thio sama sekali tidak meragukan kemampuan si Bungsu dalam mengetahui pohon yang berkhasiat untuk obat dan cara untuk meramunya dia yakin benar anak muda ini mahir.Namun,karena si Bungsu mengatakan baru pertama kali menemukan pohon itu dia memang ingin sekali mengetahui,apa ukuran jauh lebih manjur sebagaimana diucapkan si Bungsu.
Si Bungsu juga tahu,tak ada maksud Duc Thio meragukan apa yangh dia jelaskan.Dia tahu,orang Vietnam ini bertanya karena didorong rasa ingibn tahunya yang luar biasa.
“Pertama saya tak bisa menjelaskan apa yang menyebabkan saya begitu yakin.Barangkali karena naluri yang kuat tentang belantara dan penghuninya.Saya pernah hidup tanpa bekal di belantara lebat selama lebih dari dua tahun dalam keadaan luka parah.secara alami hewan-hewan mengajarkan kepada saya.melalui apa yang mereka lakukan dan saya perhatikan,tentang bagaimana harus bertahan di belantara yang ganas.Baik bertahan dari sergapan musuh yang lebih besar dan ganas,maupun bertahan hidup dari luka-luka yang mereka alami dalam perkelahian.Sejak itu hutan itu sudah menjadi rumah saya.Di hutan saya seperti mengenal setiap lekuk-likunya.Mengenai jaminan khasiat pohon yang baru pertama kali saya lihat itu,juga berdasarkan naluri…”
Si Bungsu kemudian mengambil parang yang terletak dekat Thi Binh.Sebelum ketiga orang Vietnam itu memperhatikannya dengan seksama itu paham apa yang akan dioa lakukan dengan parang yang amat tajam itu,dengan cepat si Bungsu menyayatkan parang itu kebetisnya!
Duc Thio dan Han Doi terkejut.Thi Binh terpekik.Darah mengalir dengan deras dari luka yang menganga yang panjangnya sekitar sepuluh senti di betis si Bungsu.Si Bungsu meletakkan parang dan meraih ramuan obat yang dia taruh diatas daun yang berada di belakangnya.
Di ambilnya secubit daun dan lumut kayu yang sudah dicampur dengan getah pohon tersebut.Dia masukkan kedalam luka yang menganga.kemudian diratakannya sampai menutupi semua bahagian yang luka.
Tidak hanya ketiga orang vietnam itu saja,si Bungsu sendiri tercengang oleh akibat yang ditimbulkan oleh ramuan tersebut.Darah yang semula mengalir deras tiba-tiba berhenti.Dan yang lebih dahsyat lagi,ramuan tersebut seperti tersedot kedalam dagingnya.Kemudian luka yang menganga sekitar dua inchi itu perlahan menutup.Hanya dalam hitungan beberapa menit betis si Bungsu kembali bertaut.Di bekas luka itu hanya garis putih memanjang.
“Ya Tuhan,….Ya Tuhan!khasiat obat itu ternyata sepuluh kali lebih dahsyat dari dugaan ku semula…”ujar si Bungsu sambil menolehkan mata ke arah pohon yang dia ambil daun,lumut dan getahnya.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-579
Namun, mereka sudah terlalu jauh bergerak. Pohon itu sudah lenyap di balik ribuan pohon-pohon lain jauh di belakang sana. Ketiga orang Vietnam itu ternganga. Kalau saja mereka hanya mendengar orang bercerita tentang khasiat ramuan itu, mereka pasti akan menganggapnya sebagai bualan kosong belaka. Namun, bagaimana mereka bisa tak percaya, kalau kini mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri?
Ya, jika si Bungsu saja yang mengenal amat banyak pohon yang berkhasiat tinggi sudah terkejut melihat demikian cepat reaksi penyembuhan ramuan dari pohon tersebut, tentu saja ketiga orang Vietnam itu jauh lebih terkejut lagi. Si Bungsu menatap keliling. Ke pohon-pohon yang memenuhi rawa tersebut. ke airnya yang hitam kemerah-merahan.
“Hutan di rawa ini sangat kaya dengan bahan obat-obatan. Mungkin suatu hari kelak, orang yang mendirikan pabrik obat akan mencari bahan bakunya kemari…” ujar si Bungsu perlahan.
Si Bungsu terkejut ketika merasa air membasahi kakinya. Ketika dia menoleh, dia lihat Thi Binh menyauk air dari rawa dengan tangannya, kemudian membasuhkan darah di betis si Bungsu, yang tadi mengalir dari luka yang menganga itu.
“Hei, terimakasih…” ujar si Bungsu sambil memegang tangan Thi Binh.
Kemudian dia mencelupkan kakinya ke rawa. Mem bersihkan sisa darah yang masih melekat di sana. Ketika malam hampir turun, si Bungsu memetik dedaunan beberapa kayu yang tumbuh seperti semak di rawa tersebut. Kemudian membawa rakit ke tepi.
Dia memilih tempat untuk beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang, sekitar sepuluh depa dari tepi rawa. Ketiga orang Vietnam itu tak perlu bertanya apakah tempat itu aman atau tidak. Mereka yakin, nyawa mereka berada di bawah perlindungan lelaki asing yang luar biasa ini.
“Kita istirahat di sini menjelang subuh datang…” ujar si Bungsu.
Di bawah pohon rindang itu tanahnya datar dan bersih. Tak ada semak atau rumput yang tumbuh. Bersama Han Doi, dia meneteng rakit yang terbuat dari kayu gabus itu ke bawah pohon tersebut.
“Lebih nyaman tidur di atas lantai bambu ini daripada di atas dedaunan kayu…” ujar si Bungsu.
Duc Thio dan Thi Binh ternganga heran melihat betapa ringannya rakit besar itu ditentang hilir mudik. Ukuran rakit itu memang cukup luas untuk tempat tidur bagi lima atau enam orang dewasa. Si Bungsu kemudian berjalan ke tepi rawa, membawa dedaunan yang tadi dia petik. Daun-daun itu dia remas, kemudian mencampurnya dengan sedikit lumpur yang dia ambil dari rawa. Kemudian dia kembali ke bawah pohon.
Dedaunan yang sudah diremas dengan sedikit lumpur itu dia tebarkan dua depa di sekeliling rakit. Kemudian dia menatap pada agas dan nyamuk yang semula bertebaran di bawah pohon itu. Hanya beberapa detik setelah ‘ramuan’ itu dia sebar, sebagian dari agas dan nyamuk itu berjatuhan menggelepar-gelepar mati. Sebagian besar lainnya pada berhamburan terbang menjauh.
“Mujarab obat nyamuk tradisional ini kan?” ujar si Bungsu sambil tersenyum.
Duc Thio dan Han Doi tak bisa berbuat lain, kecuali kagum. Mereka tak mengerti, kenapa nyamuk-nyamuk itu pada meregang nyawa. Padahal ramuan yang ditebar lelaki dari Indonesia ini baunya tidak seperti berbagai obat nyamuk yang mereka kenal. Ramuan basah yang disebar si Bungsu justru berbau agak harum.
Tapi bukan soal harum atau tak harumnya itu yang membuat mereka kagum. Yang membuat mereka tak habis pikir adalah bagaimana lelaki asing ini demikian hafalnya pada bentuk-bentuk semak dan pepohonan yang memiliki khasiat untuk obat atau racun.
“Han Doi, kumpulkan dahan dan ranting kayu kering. Buat api unggun agar kita bisa memasak sesuatu untuk makan malam ini…” ujar si Bungsu.
Dia meraih salah satu galah bambu yang panjangya sekitar sepuluh depa itu. Kemudian berjalan ke rawa. Namun sebelum mencapai bibir rawa dia berhenti. Menoleh kepada Thi Binh, yang duduk di rakit dan juga sedang menatap ke arahnya. Sambil meruncingkan bahagian ujung bambu itu dia bertanya.
“Hei, adik kecil, engkau suka makan ikan bakar?”
Thi Binh yang tak mengerti kemana arah pembicaraan itu hanya mengangguk. Si Bungsu melambaikan tangan. Menyuruh Thi Binh datang padanya. Gadis itu segera bangkit dan berjalan mendekati si Bungsu. Sementara ayahnya dan Han Doi sedang mengumpulkan dahan-dahan dan ranting kering, sebagaimana tadi diminta si Bungsu. Mereka menyusun dahan kering itu antara rakit dengan pohon besar yang rindang tersebut.
“Engkau pernah menombak ikan?” tanya si Bungsu yang baru selesai meruncingkan ujung galah bambu kepada Thi Binh yang sudah tegak di dekatnya.
Thi Binh menggeleng.
“Pernah makan ikan bakar?”
Thi Binh mengangguk.
“Suka?”
Thi Binh mengangguk, bibirnya tersenyum.
“Dari sungai di belakang rumah…” jawah gadis itu.
“Berapa besar sungai itu?”
“Cukup besar….”
“Dalam?”
“Tidak begitu dalam. Batu-batu besar banyak di sungai tersebut. Sungai itu baru dalam airnya jika musim hujan….
“Berapa besar ikan pernah didapat orang di sana?”
“Sebesar paha….”
“Paha orang dewasa..

Tidak ada komentar: