Senin, 04 November 2013

tikam samurai - Di pekanbaru (bagian 147-148-149-150-151)

Di Pekanbaru (bagian 147)


Namun kendaraan apapun yang datang itu, apakah militer atau sipil keduanya sama-sama berbahaya bagi mereka. Bila kejadian ini diketahui Belanda maka pembalasan yang mengerikan akan menimpa penduduk Marpuyan.



“Itu power tentara Belanda!” Suman yang anggota fisabilillah, yang datang bersama si Bungsu dari Pekanbaru berkata.



Mereka bergegas menaikkan mayat-mayat itu ke atas jeep. Menggulingkan di bak belakang.

Suara power yang merupakan sejenis truk perang itu makin menakutkan.



“Siapa yang menyetir mobil?” tanya si Bungsu. Kedua temannya yang dari Pekanbaru menggeleng.

“Maarif…kau saja…!” Pemilik kedai bicara pada salah seorang pejuang dari perhentian Marpuyan yang tadi ikut menikam Belanda.

“Dia biasa membawa truk!” pemilik kedai itu berkata cepat.



Pejuang bawah tanah yang bernama Maarif itu tak banyak cakap. Dia melompat ke balik stir. Kemudian menghidupkan mesin. Si Bungsu dan kedua temannya melompat pula ke bak belakang. Demikian pula pejuang yang satu lagi, yaitu temannya si Maarif.



“Kemana kita?” Maarif berkata sambil menjalankan jeep.

“Arahkan ke Buluh Cina…” tanpa sadar sepenuhnya si Bungsu berkata.



Jeep itu segera membelok ke kiri. Meninggalkan pemilik kedai dan kedua perempuan itu tegak di pinggir jalan.



“Katakan kepada mereka, teman mereka mengejar pejuang….!” Si Bungsu berteriak pada pemilik kedai tersebut. Pemilik kedai hanya sempat mengangguk.



Hanya selang tiga menit, power wagon yang berisi selusin KNIL dan KL sampai pula disana.



“Hmm, sudah sampai kalian di kampung he..?” seorang Leutenant bertanya pada gadis yang baru turun itu. Yang masih saja tegak  di pinggir jalan.



Gadis cantik itu hanya menunduk. Matanya membersitkan kebencian. Dan Leutenant itu nyengir. Pemilik kedai tegak dengan tegang. Sebab semakin lama tentara Belanda ini berhenti di depan kedainya, bisa bocor pembunuhan yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.

Kalau saja ada diantar mereka yang bermata tajam, maka mereka akan melihat bercak-bercak darah pada kerikil di jalanan. Tapi untunglah hal itu tak kejadian. Sehabis nyengir pada gadis cantik yang telah mereka nodai itu, si Leutenant bertanya pada pemilik lepau dengan berteriak:



“He pak tua, mau ke mana Sergeant Rudolf dengan jeepnya itu?”

“Mengejar pejuang yang baru saja lewat di sini…”

“Pejuang yang lewat”

“Ya. Ada tiga orang…!”



Para tentara Belanda di atas power itu saling pandang.



“Godverdome! Ayo kejar…!!”perintah leutenant itu mengguntur. Dan power wagon itu segera meraung-raung ke kiri dan melaju ke arah Buluh Cina.

“Semoga kalian mampus semua…!”gadis cantik yang dinodai Belanda itu menyumpah.



Di atas jeep yang dikemudikan oleh pejuang dari perhentian Marpuyan itu tengah terjadi perundingan.



“Kita cegat mereka di pendakian Pasir Putih…!” kata anggota fisabilillah yang berasal dari Buluh Cina dan bernama Bilal. Pejuang ini adalah teman si Bungsu dari Pekanbaru yang kena tampar KNIL di Simpang Tiga tadi.

“Kita tembak mereka dengan senapan mereka sendiri?” temannya yang bernama Suman bertanya.

“Ya, agar mereka rasakan betapa senjata makan tuan…” jawab Bilal.

“Bagaimana, kita cegat mereka di mana?” Bilal bertanya pada si Bungsu.



Si Bungsu menatap pada mitraliyur 12,7 yang tegak di bak belakang jeep. Melihat pelurunya yang berantai panjang.



“Apakah kalian mempunyai cukup peluru untuk berperang?” si Bungsu balik bertanya. Para pejuang itu saling bertukar pandang.

“Tak begitu banyak…” Bilal menjawab jujur.

“Kalau begitu kita hajar mereka tanpa buang peluru…..” si Bungsu berkata pasti.

“Bagaimana caranya?”



Dan cara mencegat tanpa menghamburkan peluru itu diatur oleh si Bungsu.

Sementara itu, power wagon yang memuat selusin serdadu Belanda itu meraung-raung membelah jalan kecil menuju ke Buluh Cina itu. Tiba-tiba di depan mereka, di tengah pendakian, mereka melihat dua orang sosok tubuh tentara Belanda. Sebab pakaian loreng yang mereka pakai menunjukkan hal itu.

Tubuh itu makin didekati makin nyata berlumuran darah.



“Jahanam! Berhenti. Mereka ternyata telah membunuh serdadu kita….” Leutenant yang memimpin patroli itu menyumpah.



Dia segera mengenali bawahannya itu sebagai serdadu KNIL yang ikut dengan sersan di Jeep tersebut. Kulit mereka yang hitam membuktikan bahwa mereka adalah tentara KNIL.

Power itu segera dihentikan persis di tengah-tengah pendakian di dekat tubuh kedua serdadu KNIL tersebut. Leutenant itu kemudian melompat turun.

“Ayo. Tolong angkat!” serunya.
Empat orang tentara Belanda lainnya berlompatan turun. Kemudian mengangkat tubuh teman mereka itu. Namun begitu mereka menyentuh tubuh yang tertelungkup itu, tiba-tiba saja kedua “mayat” tersebut melonjak.
Yang pertama menjadi korban adalah seorang Kopral. Tubuh yang akan diangkat membalik. Dan sebilah samurai menghajar dadadnya. Kontan dadanya belah. Temannya seorang soldaat tertegun, dan saat itulah dadanya juga ditembus samurai.

Di Pekanbaru (bagian 148)

Dalam waktu hanya beberapa detik, keduanya rubuh dimakan samurai “mayat” yang akan mereka angkat.

“Mayat” yang satu lagi, yang ternyata adalah si Bilal, anggota fisabilillah yang berasal dari Buluh Cina itu juga beraksi.

Dia adalah seorang pesilat aliran Pengian yang tangguh. Begitu dia merasakan tangan menjamah tubuhnya, dia segera menelentang. Dan kakinya menghujam ke atas. Tumitnya mendarat persis di kerampang sergeant yang tadi akan mengangkatnya.

Demikian kuatnya tendangan itu. Hingga tubuh sergaent itu terangkat sehasta dari tempatnya berpijak. Kemudian terguling. Sergeant ini tak sempat menjerit. Hanya wajahnya yang menjadi kelabu tiba-tiba. Gelandutnya pecah dan nyawanya melayang saat itu.

Saat berikutnya, tubuh Bilal ini melentik dengan manis lalu berdiri. Dan tendangannya kemudian menghajar seorang soldaat teman si sergeant yang berniat mengangkat tubuhnya tadi. Tendangan itu agak meleset. Sebab si soldaat sempat mundur selangkah.

Bilal memburu. Dan kali ini dua buah jari tangan kanannya meluncur ke depan seperti kecepatan seekor ular yang marah. Dan soldaat itu tak sempat mengelak lagi. Jurus tusukan dari silat Pangian itu menghujam kedua matanya. Dan seiring dengan pekik kesakitan, kedua matanya terlompat keluar dimakan jari-jari Bilal.



Perkelahian di bahagian si Bilal ini berakhir beberapa detik setelah perkelahian di pihak si Bungsu berakhir. Sebenarnya tak dapat disebut perkelahian. Sebab dalam suatu perkelahian senantiasa ada lawan ada yang melawan. Sedangkan dalam peristiwa di pendakian Pasir Putih ini keempat Belanda itu tak ada yang melawan. Katakanlah, mereka sebenarnya tak punya kesempatan untuk melawan sedikitpun. Kejadian ini tak pernah mereka duga. Terlalu cepat kejadiannya bagi mereka. Mereka semua menyangka yang mati tergolek di pendakian itu adalah serdadu KNIL yang tadi  ikut dengan jeep itu mengantarkan dua perempuan yang telah mereka kerjakan di Perhentian Marpuyan. Tak tahunya di balik pakaian loreng itu ternyata tubuh para ekstremis. Tubuh kaum perusuh dan pemberontak, menurut istilah mereka.



Dan inilah jebatan yang diatur oleh si Bungsu itu. Yaitu jebakan yang tak mempergunakan peluru sebagai pengganti jebakan yang direncanakan oleh Bilal yang akan mencegat Belanda di pendakian ini dengan menghajar mereka memakai senjata 12,7.

Si Bungsu menerangkan rencananya itu sambil membuka pakaian KNIL yang tergolek di bak belakang jeep. Kemudian memakainya. Pejuang-pejuang Indonesia lainnya jadi mengerti. Dan yang berminat ikut bersama si Bungsu untuk pura-pura jadi mayat adalah Bilal.

Dia disebut dengan panggilan Bilal adalah karena sehari-harinya di Buluh Cina tugasnya adalah memang jadi Muazin dan imam di Mesjid. Nama aslinya jarang orang yang tahu. Sebab sejak kecil, sejak pandai mengaji, dia telah jadi muazin dikampungnya. Dan nama Bilal melekat pada dirinya. Dia memang pesilat yang tangguh. Di Buluh Cina ada puluhan muridnya yang menjadi pendekar yang disegani orang. Dan si Bungsu menyetujui pendakian Pasir Putih itu sebagai tempat memasang jebakan. Pendakian itu cukup tinggi. Di bawahnya mereka melalui sebuah sungai dangkal yang melintang di jalan. Dasar sungai itu berpasir sangat putih dan airnya sangat jernih. Di kiri kanannya terdapat tebing yang berhutan dan bersemak lebat.



“Kita turun di sini, dan antarkan jeep ini ke balik pendakian” si Bungsu berkata sambil melompat turun.



Bilal dan kedua pejuang lainnya juga menghambur turun. Jeep itu terus ke puncak pendakian. Kemudian lenyap dari pandangan.

Tak lama kemudian sopirnya muncul. Si Bungsu dengan cepat menyuruh pejuang itu bersembunyi di tebing kiri dan kanan tebing tersebut.



“Engkau menunggu di jeep….” Dia berkata pada Suman. Suman jadi kaget.

“Kenapa harus di sana?”

“Rencana ini belum tentu berhasil seluruhnya. Kalau kami gagal, maka engkau menjadi harapan terakhir untuk menyudahi mereka dengan mitraliyur itu..”

“Tapi,,,”

“Mereka bukan orang bodoh Suman. Mungkin saja kami segera mereka kenali. Nah, kalau hal itu terjadi, maka kami akan jadi korban sia-sia. Kalau mereka mengenali kami dan mereka justru tak berhenti, mereka tentu akan melindas tubuh kami dengan truk itu.

Yang bersembunyi di tebing itu takkan ada artinya. Nah, bila hal ini terhadi. Maka komando kami serahkan padamu. Bila truk itu ternyata sampai ke puncak pendakian itu berarti aku dan Bilal sudah jadi mayat dilindasnya. Engkau sambut mereka dengan mitraliyurmu….”



Suman dan yang lainnya segera jadi mengerti. Tanpa banyak tanya lagi Suman yang sama-sama datang dari Pekanbaru itu segera berlari ke jeep di balik pendakian itu.

Di Pekanbaru (bagian 149)

Namun ternyata Belanda-Belanda itu memakan umpan yang dipasang si Bungsu. Mereka berhenti dan berniat mengangkat “mayat” teman-temannya. Dan di situlah kesalahan mereka. Begitu keempat serdadu Belanda itu selesai dalam waktu yang tak sampai sepuluh hitungan, dari tebing yang berhutan dipinggir truk melompat kedua pejuang lainnya ke atas truk. Dan sebelum para Belanda itu menyadari apa yang terjadi, mereka telah dimakan oleh tikaman pejuang-pejuang itu. Bilal sendiri segera melompat ke atas truk tersebut dan kaki serta tangannya bekerja pula.



Akan halnya si Bungsu segera berhadapan dengan Leutenant yang memimpin patroli itu. Leutenant itu bukan main marahnya mendapatkan kenyataan tersebut.

Dia mencabut pistolnya. Si Bungsu masih membiarkan. Samurainya yang berdarah sudah disisipkan ke dalam sarungnya. Dan kini samurai itu dia pegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya tergantung lemas. Pistol Leutenat itu keluar dari sarungnya. Kemudian terangkat tinggi. Si Bungsu masih membiarkan. Jarak tegak mereka hanya dua depa. Leutenat itu berteriak:



“Godverdoom! Kubunuh kowe monyeeeet!!” dan telunjuknya menarik pelatuk pistol tersebut.



Dan saat itulah si Bungsu bergerak. Tangan kanannya yang tergantung lemas bergerak seperti kilat. Mencabut samurai dan melangkah selangkah ke depan. Kemudian samurainya menyilang dari kiri atas ke kenan bawah. Yang dia babat pertama adalah tangan kanan leutenat yang memegang pistol itu. Sedetik sebelum pistol meledak, tangan leutenant itu putus hingga sikunya. Leutenant itu belum sempat memekik, sabetan samurai yang kedua menyusul pula. Membabat dadanya dari kiri mendatar ke kanan. Dadanya belah persis dipertengahan kantong. Ada beberapa lembar uang dan beberapa lembar foto cabul dalam kedua kantong baju leutenant itu dan semuanya terpotong dua bersama dadanya.

Dan leutenant itu memang tak pernah sempat menjerit diakhir hayatnya ini. Demikian cepatnya samurai si Bungsu.



Akan halnya di atas truk itu, perkelahian lebih banyak menguntungkan pihak pejuang.

Mereka memang pesilat-pesilat yang telah masak seperti halnya Bilal. Maka perkelahian dalam truk dengan jarak dekat itu memang merupakan makanan empuk bagi mereka. Sementara di pihak Belanda yang umumnya hanya mahir mempergunakan bedil panjang, dihadapkan pada situasi yang hampir-hampir bergumul ini jadi kalang kabut.


Maka tak heran beberapa orang lalu berusaha untuk terjun ke bawah agar bisa memanfaatkan bedil di tangan mereka. Dan yang punya kesempatan untuk berbuat itu hanya Kopral yang jadi sopir. Semula dia ingin terjun ke bawah dan naik ke bak belakang ikut dalam perkelahian itu. Tetapi otaknya memang cerdas. Dari pada susah-susah turun, bukankah lebih baik menembak dari sini, pikirnya. Power wagon yang dipergunakan itu adalah truk perang yang terbuka. Di bahagian belakang ada kursi kayu yang dipakukan pada dinding kiri kanannya. Pada kursi kayu yang dicat hitam inilah Belanda itu duduk berbaris. Sopir itu mengambiol stegunnya. Kemudian tegak di tempat duduk. Dan suatu saat stegunnya menyalak. Yang jadi korban adalah pejuang dari Marpuyan yang menyopiri jeep Belanda tersebut. Tengkuk dan kepalanya dimakan empat peluru. Kontan tubuhnya tercampak ke bawah. Kemudian suara stennya berhenti. Dia menanti kesempatan lain untuk bisa menembak. Sebab dalam truk itu tengah terjadi pergumulan. Salah-salah dia bisa membunuh teman sendiri. Kini Bilal tegak membelakanginya tanpa ada penghalang. Stegunnya terangkat.




Saat itu pula perkelahian antara si Bungsu dengan Leutenant itu berakhir. Dia mendengar suara stengun yang tadi menyudahi nyawa pejuang dari Marpuyan yang jadi sopir tadi.
Si Bungsu berbalik. Dan melihat sopir berpangkat itu membidikkan stennya. Dalam waktu yang sangat singkat, perkelahian dengan serdadu Jepang membayang di kepalanya.

Betapa suatu subuh dia dan Datuk Penghulu mencegat truk berisi tentara Jepang setelah kematian istri dan anak Datuk Penghulu. Keadaannya persis seperti sekarang.

Saat itu seorang perwira tengah membidikkan pistolnya dari tempat duduk depan ke arah tengkuk Datuk Penghulu yang berada di depan truk berkelahi dengan tentara Jepang.

Si Bungsu waktu itu berada dibelakang truk. Dan untuk menolong Datuk Penghulu, samurainya dia lemparkan dengan perhitungan yang cermat.

Samurai itu meluncur, menembus kaca pemisah antara ruang belakang dengan ruang depan truk. Kemudian menancap ditengkuk perwira Jepang itu.
Dan kini, di pendakian Pasir Putih menjelang Buluh Cina ini, tindakan itu pula lah yang diambil si Bungsu. Bedanya yang dulu dan yang sekarang adalah dalam soal letak. Dulu lawannya Jepang. Kini Belanda!
Dahulu dia berada di belakang. Kini di depan. Dahulu dia harus melemparkan samurainya dengan tenaga ganda. Sebab harus menembus kaca tebal pemisah ruang belakang dengan ruang depan. Kini hal itu tak perlu. 

Di Pekanbaru (bagian 150)

Sebab Kopral yang memakai sten ini berdiri, dan sebahagian badannya ke atas terbuka pula melewati batas kaca power yang terbuka itu. Samurai si Bungsu meluncur seperti anak panah. Dan menancap di bawah belikat kiri Kopral itu! Namun stennya meledak juga. Hanya yang kena bukanlah Bilal, tapi nyasar entah ke mana. Tubuh kopral itu terjungkal dan mati.

Di bahagian belakang truk itu, ketiga pejuang tersebut telah membunuh dua serdadu Belanda. Berarti dengan yang dibunuh si Bungsu dan Bilal, ditambah dengan sopir power itu, mereka telah berhasil membunuh tujuh orang belanda tanpa sebutir pelurupun.

Dua orang lagi berhasil turun melompat dari truk. Mereka memburu ke depan. Dan di depan truk mereka menemui si Bungsu tanpa senjata.



“Anjing! Mati kowe!” bentak mereka sambil serentak menembak. Nyawa si Bungsu di ujung tanduk. Dia tak bersamurai. Dan itu sama dengan bertelanjang. Satu-satunya harapan baginya adalah gerak “lompat tupai”!!



Dia bergulingan. Namun terlambat! Serentetaan tembakan sten menghajar tubuhnya. Dia jatuh bergulingan ke tanah. Tapi bukan dengan jurus lompat tupai itu. Dia bergulingan karena dihantam peluru!



“Mati kowe!” kedua Belanda itu serentak berseru dan menembak lagi.



Namun tembakannya terdengar kalah keras dengan tembakan yang tiba-tiba datang dari puncak pendakian!

Serentetan tembakan mitraliyur terdengar merobek rimba di Pasir Putih itu. Dan kedua tentara Belanda itu seperti dilanda Badai. Terdongak-dongak. Terpental-pental!

Di puncak pendakian berdiri Suman dengan 12,7 ditangannya! Dengan demikian sepuluh orang Belanda telah mati. Sisanya yang tiga orang tiba-tiba mengangkat tangan.



“Maaf, eh ampun tuan. Kami menyerah” seorang KNIL berkata dalam bahasa Indonesia.



Sementara dua tentara Belanda aslinya lainnya tegak dengan menggigil.

Namun dari puncak pendakian 12,7 si Suman tak memberi keampunan. Mitraliyur menyalak lagi. Dan ketiga Belanda yang menyerah itu terpental-pental. Menjerit dan rubuh.



“Suman!!” Bilal berteriak.
Namun teriakannya percuma. Mitraliyur ditangan Suman menyalak lagi. Menyikat ketiga tubuh tentara Belanda itu. Dia baru berhenti ketika merasa puas. Kemudian mencampakkan 12,7 nya lalu berlari bersama yang lain ke tubuh si Bungsu. Tiga peluru menghajar bahu, lengan dan perutnya. Nafasnya memburu. Darah membasahi tubuhnya.



“Bungsu…” teriak Suman tertahan.



Anak muda itu membuka mata. Merasakan linu dan sakit yang bukan main di tiga bahagian tubuhnya.



“Bagaimana yang lain?” tanyanya perlahan sekali.

“Kami selamat semua Bungsu….” Bilal menjawab.



Si Bungsu menelan ludah. Bibirnya pucat dan retak-retak.



“Kulihat Maarif kena tembak…” Si Bungsu menyanggah keterangan Bilal. Mereka jadi tertunduk.

“Bagaimana dia…?”

“Ya, dia meninggal…” Bilal berkata perlahan.



Si Bungsu menatap keliling. Menatap teman-temanya itu. Dia melihat wajah pejuang-pejuang yang tangguh. Yang rela berkorban untuk Negaranya. Dan tiba-tiba dia jadi terharu. Terharu karena tak bisa membantu mereka lebih banyak.



“Saya bangga, kalian pejuang yang militan. Sayang saya harus pergi jauh….sampai di sini janjian saya…” katanya. Dan air mata meleleh di sudut matanya.



Suman, Bilal dan seorang pejuang dari Marpuyan lainnya, yang bernama Liyas terdiam.



“Mari kita terus ke Buluh Cina….” Bilal berkata sambil mengangkat tubuh si Bungsu. Namun anak muda ini menggeleng.

“Pak…barangkali nyawa saya tak bisa bertahan ke kampung bapak. Jangan potong dulu pembicaraan saya. Kalau saya mati, ambil cincin ini, kirimkanlah ke Bukittinggi. Pada seorang gadis bernama Salma, katakan saya telah mati….hanya dia tempat saya berkabar berita. Tak ada yang lain. Semua keluarga saya telah punah. Dialah yang telah mengobati saya dari sakit, dari resah dan rindu..”



Dia terhenti. Nafasnya memburu. Dan dari mulutnya darah mengalir. Nampaknya dia memang tak lagi bisa tertolong. Ada bahagian dalam dari tubuhnya yang terkena parah. Hingga darah tak saja keluar lewat luka, tapi juga keluar lewat mulut.



“Saya sedih…karena dendam keluarga saya belum saya balaskan….sebelum saya mati!

“Saya rasa Liyas harus pulang ke Marpuyan. Pulang segera dengan jalan kaki. Sampaikan pada penduduk untuk siang ini juga menghilangkan jejak kedua mobil ini. Jangan ada Belanda yang tahu, bahwa kedua kendaraan ini telah kemari. Kalau mereka tahu, maka penduduk Marpuyan dan Buluh Cina akan mereka bunuh semua.
Pulanglah, dan hilangkan jejak mobil ini. Mungkin dihapus dengan menyapu pakai daun kelapa, atau dengan cangkul. Pokoknya tak ada jejak dari Marpuyan sampai kemari.

Di Pekanbaru (bagian 151)

Kalau Belanda datang bertanya ke Marpuyan katakan saja bahwa setelah mereka menurunkan gadis dan ibunya itu, mereka meneruskan perjalanan ke Taratak Buluh. Mungkin terus ke Teluk Kuantan. Katakan saja begitu….dan mayat-mayat yang ada ini, termasuk kendaraannya, menjadi tanggungjawab Suman dan Bilal untuk menghilangkannya..”



Dia terhenti lagi. Ketika akan bicara, dia muntah darah. Dan jatuh terkulai. Dengan terkejut Bilal mendengarkan detak dadanya. Kemudian membuka matanya yang terpejam. Teman-teman menanti dengan tegang.



“Dia masih bernyawa. Kita harus menyelamatkan nyawanya. Sekarang tugas kita bagi. Liyas pulanglah ke Marpuyan. Turutkan petunjuk si Bungsu tadi. Saya akan memakai jeep itu, semua senjata akan saya bawa ke Buluh Cina bersama si Bungsu. Jeep ini akan saya benamkan dalam batang Kampar.

Tugas Suman adalah menghilangkan mayat dan truk ini. Kemudian menyusul saya dengan berjalan kaki ke Buluh Cina. Semua senjata akan kita bagi di Buluh Cina nanti….” Dan tanpa menunggu jawab, Bilal segera saja memangku tubuh anak muda itu ke atas jeep di puncak pendakian.



Kemudian dibantu kedua temannya mereka menaikkan semua bedil yang dibawa Belanda itu ke atas jeep. Mayat Bidin dan Maarif juga, sebab mayat itu harus dikubur baik-baik. Jeep itu segera saja dilarikan oleh Bilal.  Jalannya tak menentu. Dia memang pernah membawa truk dahulu, tapi sekarang karena sudah terlalu lama, maka jalannya melompat-lompat. Mereka menatap jeep itu menghilang di tikungan di antara belantara di jalan kecil itu.



“Kau pulanglah ke Marpuyan Liyas…” Suman berkata.

“Ya, saya akan pergi. Merdekaa!!”

“Merdekaa!!”



Liyas kemudian bergegas kembali ke arah darimana mereka tadi datang. Suman yang tinggal sendirian lalu menaikkan mayat-mayat Belanda itu ke atas power wagon itu.

Kemudian membersihkan bekas-bekas perkelahian di sana. Setelah itu dia menarik nafas panjang. Nah, kini tugasnya adalah membawa power itu sejauh mungkin dari jalan raya. Dia memandang sekeliling. Dia kenal sangat dengan daerah ini. Sebab dia juga adalah penduduk kampung Buluh Cina.

Dahulu sebelum masuknya tentara Jepang, dia setiap pagi mengayuh sepeda dengan keranjang penuh ikan di boncengan belakang. Dia mengenal daerah ini seperti dia mengenal bahagian dari rumahnya. Ketika Jepang masuk, dia bergabung dengan Kapten Nurdin di Pekanbaru. Masuk anggota fisabilillah dan berjuang melawan fasis Jepang. Kemudian kini berganti lawan dengan Belanda.



Dia adalah bekas sopir ketika mula-mula Jepang masuk. Karena itu dengan mudah dia membawa power wagon itu. Dia mendaki terus. Membawa truk loreng-loreng dari Perang Dunia ke II di Pasifik itu ke daerah yang bernama Kelok Petai.

Di sini dia membelokkan truk itu ke dalam semak belukar. Dia tahu daerah ini tanahnya datar. Sebab hanya ditumbuhi oleh Padang Lalang. Truknya dijalankan terus. Tak ada jalan sama sekali. Dia masuk menyeruak semak belukar hutan ilalang setinggi rumah.

Dengan terseok-seok dia meneruskan perjalanannya. Dan setelah setengah jam, akhirnya dia sampai ke sebuah sungai. Sungai ini tak begitu besar. Hanya selebar tiga meter dan dalamnya sekitar dua atau tiga meter pula. Sungai ini merupakan bahagian hilir dari sungai kecil yang melintasi jalan di pendakian Pasir Putih tadi. Dan ke dalam sungai kecil di tengah belantara ilalang inilah dia membuangkan mayat-mayat Belanda itu.



Dia tahu dengan persis, bahwa dari sini sungai tersebut tak lagi akan melintasi jalan raya atau jalan kecil. Sungai ini menuju tengah hutan belantara yang belum pernah dijejak kaki manusia. Dan puluhan kilometer dari tempatnya sekarang sungai ini akan bermuara di Batang Kampar. Yaitu jauh di hilir kampung yang bernama Langgam. Dan dengan demikian, bangkai Belanda ini takkan pernah bertemu dengan manusia. Sebab sebelum mencapai sungai Kampar, mayat ini mungkin telah hancur. Dimakan ikan dan cacing di sepanjang sungai dalam rimba tersebut. Atau kalaupun dia mencapai muara, maka mayat ini akan menjadi santapan buaya-buaya besar yang sarangnya memang di muara sungai ini di Batang Kampar sana. Nah, dengan mengusap peluh, akhirnya mayat-mayat dari jeep dan dua belas mayat dari power itu masuk ke sungai! Kemudian dia meninggalkan truk itu tegak begitu saja di tepi sungai di bawah pohon yang sangat rimbun.



Sepanjang jalan menuju keluar, dia membetulkan kembali letak rumput dan ilalang yang tadi dilindas truk itu. Setibanya di jalan, tugas itu juga dia laksanakan. Nah, kini selesailah bahagian tugasnya.

Dia yakin, Belanda takkan pernah menemukan jejak lenyapnya keenam belas serdadunya ini. Dan dalam sejarah perjuangan menegakkan Kemerdekaan di Riau, Belanda memang dibuat kalang kabut oleh lenyapnya secara misterius serdadu dengan persenjataan mereka itu.
Dan sampai penyerahan kedaulatan secara penuh, misteri itu tetap lenyap tak berbekas.

Suman kini menuju ke arah Buluh Cina. Menjelang menuruni hutan di tepi Batang Kampar, dia tiba di kampung Kutik. Kampung kecil ini adalah persimpangan ke Pangkalan dan ke Buluh Cina. Ke Pangkalan jalan ke kiri dan Buluh Cina ke kanan.

Penghulu kampung itu segera menemuinya ketika melihat dia datang. Dan Suman lalu menceritakan apa yang telah mereka alami.



“Ya. Baru sebentar ini kami melihat Bilal lewat. Nampaknya sangat terburu. Hingga kami tak sempat bertanya…”



2 komentar:

Asrul Armiska mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Asrul Armiska mengatakan...

Berita gembira...Bagi yg penasaran krn belum adanya kelanjutan episode berikutnya (86-87) dst, silahkan kunjungi di sini http://aarmiska.blogspot.com/2015/03/tikam-samurai-22.html
dan tdk lupa juga permohonan izin kpd Admin Blog ini....