Senin, 04 November 2013

tikam samurai - Di pekanbaru (bagian 142-143-144-145-146)

Di Pekanbaru (bagian 142)

Dan malamnya mereka segera mendekati markas di Batu Satu, yaitu markas yang diketahui tempat menawan Tuang. Malangnya tak ada situasi yang memudahkan mereka untuk menyerang. Mereka hanya berkekuatan tujuh orang. Personil memang dibatasi demi gerak cepat. Sementara Belanda yang menjaga dimarkas itu jumlahnya sepuluh orang.

Bulan kelihatan terang. Inilah yang menyulitkan mereka.

Seorang tentara kelihatan memetik gitar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Di depan markas itu terdapat jalan raya menuju Bangkinang. Kemudian sebuah parit. Dan di seberangnya hutan lalang setinggi tegak.

Di sebelah kiri markas ada kebun ubi. Di sebelah kanannya rawa-rawa dan sungai kecil. Kamar tahanan berada di gedung dimana piket sedang duduk. Bukan kamar tahanan khusus. Hanya sebuah kantor yang dipakai sebagai tahanan sementara.



Si Bungsu bersama kapten Nurdin yang memimpin peyerangan itu berada di kebun ubi yang disebelah kanan markas.



“Psst. Lihat yang tengah menunjuk keluar itu…” kapten Nurdin berbisik pada si Bungsu.



Anak muda itu mempertajam penglihatannya. Dia melihat seorang tentara KL sedang menunjuk ke jalan raya. Seorang Belanda bertubuh tinggi perpakaian loreng.



“Kau lihat?” Kapten Nurdin berbisik lagi.

“Ya, ada apa?”

“Tak kau kenali dia?” si Bungsu mencoba memperhatikan tentara Belanda yang jarak antara kebun ubi dengan markas itu ada kira-kira lima puluh meter.



Dia coba mengingat-ingat. Namun tak bisa dia ketahui siapa tentara itu.



“Dia sahabatmu….” Kapten Nurdin berbisik lagi.

“Sahabatku?”

“Ya. Kalian pernah satu penginapan….” Si Bungsu mengerutkan kening. Tiba-tiba dia mengucap istigfhar.

“Ya Tuhan, bukankah dia lelaki Amerika yang isterinya kalian bunuh itu?” si Bungsu bertanya dengan kaget.

“Persis. Ternyata dia bukan ahli sejarah seperti yang diduga orang bukan? Ternyata dia seorang Leutenant Belanda!”

“Benar-benar jahanam…” desis si Bungsu.

“Lalu kemana kamera yang selalu dia pergunakan untuk memotret-motret orang-orang bersalung itu?”

“Itu hanya pura-pura saja. Kamera itu sebenarnya dia pergunakan untuk memotert pertahanan dan kubu-kubu kita…” Kapten Nurdin terhenti bicara. Sebab dari arah jalan sana kedengaran orang berjualan kacang goreng mendekati markas.

“Itu kopral Aman…” bisik Kapten itu. Kopral Aman itu dia suruh menyamar sebagai tukang jual kacang goreng yang diletakkan dalam goni dan dijunjung di kepala.

“Bagaimana kalau mereka tak membeli kacangnya?”

“Mata-mata kita sudah menyelidiki. Tentara Belanda di markas ini sangat suka akan kacang goreng. Setiap malam pasti dia membeli kacang goreng yang lewat. Dan siang tadi penjual kacang goreng yang asli telah disilakan sakit malam ini. Dan kopral itu penggantinya. Hai, dengar, mereka sudah memanggilnya masuk…”



Penjual kacang itu memang tengah memasuki halaman markas.



“Di dalam karung kacangnya ada granat…’ Kapten itu berbisik.



Si Bungsu memperhatikan situasi markas itu. Di depannya ada tiga buah jeep. Suara gitar dan nyanyian tentara Belanda itu masih terus mengalun. Meski bahasanya tak dimengerti namun suaranya cukup merdu.



“Kenapa lambat ledakannya?” Kapten Nurdin bertanya dengan tegang.



Ya, seharusnya begitu Kopral Aman masuk ke markas itu, kopral yang berada di dekat rawa di kiri markas harus meledakkan granat ke belakang markas. Huru-hara dan kekagetan yang ditimbulkan itulah yang akan mereka pergunakan untuk menyerbu masuk.

Beberapa detik berlalu. Taka ada ledakan. Kopral Aman sudah menerima uang pembelian kacangnya. Dan sekarang dia harus pergi dari halaman markas itu. Tak mungkin dia berhenti disana terus menerus.



“Jahanam si Imran! Kenapa granatnya tak meledak? Ada berapa granat yang dia bawa?” dia bertanya pada sersan di sampingnya.

“Ada tiga pak…” sersan itu menjawab dengan kecut.

“Gagal! Jahanam! Gagal kita!” Kapten itu mendesis melihat Kopral Aman sudah mengangkat goni kacangnya gorengnya ke kepala.

“Kacang goreeenggg” suaranya terdengar sayu sambil melangkah menjauhi serdadu-serdadu itu.



Ledakkan yang dinanti untuk menimbulkan kekagetan dan mengalihkan perhatian itu tak juga ada. Tiba-tiba penjual kacang itu berhenti tiga depa dari para serdadu yang membeli kacang tadi. Dia meletakkan goninya di tanah.

Kemudian berjalan kembali mendekati para serdadu itu.



“Maaf, tekong kacang goreng saya tertinggal…” katanya agak keras.



Dua orang serdadu tertawa sambil memberikan tekong kaleng susu kepunyaan tukang kacang itu. Kapten Nurdin dan si Bungsu menyadari bahwa adegan ini terpaksa dilakukan si Kopral untuk menambah waktu lagi bagi Kopral Imran yang granatnya tetap saja tak meletus.

Kopral Aman, membungkuk lagi, memasukkan tekong kacangnya ke goni. Granat Imran tetap tak terdengar. Sementara teman-temannya di kebun ubi, di padang lalang yang di depan markas di seberang jalan menanti dengan tegang.

Dan saat itulah tiba-tiba Kopral Aman yang membungkuk memasukkan kaleng tekong kacangnya berdiri lagi dan berbalik.

Di Pekanbaru (bagian 143)

“Merdekaaa!” dia berteriak dan melemparkan sesuatu dari tangannya ke arah serdadu Belanda yang tengah makan-makan kacang itu!
Pekikan itu mula-mula tentu saja membuat bingung serdadu Belanda itu.
Tapi hanya sebentar, granat yang dilemparkan Kopral itu meledak persis ditengah mereka. Terdengar pekikan dan ledakan yang dahsyat.
“Serbuuuuu!” Kapten Nurdin berteriak sambil melompat dengan pistol di tangan.



Sementara itu korban pertama dari ledakan granat yang dilemparkan Kopral Aman adalah prajurit Belanda yang main gitar itu. Gitar dan sebelah tangannya terlambung ke udara. Dadanya hancur. Dia mati.

Orang kedua yang jadi korban adalah seorang prajurit yang lagi menunduk makan kacang. Kepalanya hancur. Tapi yang lain hanya mengalami luka berat.

Letnan orang Kanada yang menyamar menjadi ahli purbakala itu cepat meraih pistolnya. Meski pahanya luka, tapi tembakannya yang pertama tepat menghantam dada Kopral Aman. Kopral ini setelah melemparkan granat menerjang maju dengan pisau di tangan. Dan dia terpelanting dan terlentang di tanah begitu dihantam peluru!

Saat itulah ke enam pasukan khusus Kapten Nurdin membuat pertahanan mereka kucar kacir. Dalam waktu yang relatif singkat, tembak-menembak jarak dekat ini terjadi.

Si Bungsu melompat masuk. Dia melihat tubuh yang bergelimpangan. Kapten Nurdin mendobrak masuk terus. Tembakan pistolnya menghancurkan kunci pintu dimana Tuang tertahan. Dia membawa Tuang keluar. Orang tua itu kelihatan parah sekali dalam tahanan yang hanya 2 x 24 jam itu.



“Jeep ini siap!” suara Sersan yang menyiapkan Jeep itu terdengar.



Mereka berlompatan ke sana. Si Bungsu tak sempat mempergunakan samurainya. Apa yang harus diperbuat? Pertempuran selesai sebelum dia sempat mecabut samurainya.

Namun dia berhenti ketika mendengar keluhan kecil. Dia menoleh dan melihat tubuh Kopral Aman mengeliat. Cepat dia pangku tubuh itu. Dan saat itu tembakan dari Jeep terdengar. Si Bungsu kaget. Menoleh kearah penjagaan. Dan dia lihat Letnan suami Emylia itu tertelungkup. Pistolnya jatuh.

Kapten Nurdin telah menembaknya sesaat sebelum Letnan itu menembakkan pistolnya pada si Bungsu yang memangku Kopral Aman. Dia bergegas. Dan mereka melompat ke atas Jeep. Jumlah mereka lengkap tujuh orang. Dan kini delapan dengan Tuang. Jeep itu batuk-batuk sebentar.

Dia starter lagi dengan mempertemukan kawatnya. Dan Hidup! Jeep itu seperti melompat. Keluar dari halaman markas. Dari jauh terdengar suara deru mobil datang.
“Ke kanan!” Kapten Nurdin berteriak.
Mobil itu berbelok ke kanan. Lampu truk militer kelihatan datang dari arah kiri. Jeep mereka rasanya ada yang tak beres. Berjalan lambat.
Sersan Kadir melompat turun.
“Kadir! Naik cepat!” Kapten Nurdin berteriak.
“Saya akan menghalangi mereka pak. Teruslah bapak!” Dia berkata sambil berlari lagi ke halaman markas. Tak ada kesempatan bagi Kapten Nurdin untuk berlalai-lalai. Dia menyuruh Jeep itu terus.
Sementara Sersan Kadir segera menaiki Jeep yang telah dikempeskan itu. Dia merenggutkan kabel kontak. Melekatkannya diluar dengan ketenangan yang mengagumkan. Lalu menghidupkan mesin dan meletakkan Jeep itu persis di tengah jalan yang akan dilewati truk Belanda yang  baru datang itu. Tapi ketika akan lurus Belanda menembaknya. Kadir mati di Jeep itu. Jeep mereka melaju menuju ke arah Sail. Yaitu suatu daerah di luar kota yang masih berada di bawah kekuasaan tentara Belanda.

Pak Tuang pemilik penginapan itu dirawat di Kampung Sail tersebut. Tubuhnya cukup parah dipermak Belanda.
“Tolong kabarkan pada keluarga saya di kampung, bahwa saya masih hidup….” Pemilik penginapan itu berkata esoknya. Sebab berita dia tertangkap oleh Belanda sudah sampai ke kampungnya. Yaitu ke Buluh Cina melalui penjual-penjual ikan yang datang ke Pekanbaru setiap pagi dengan sepeda.
“Ya. Saya akan menugaskan seorang untuk menyampaikan hal itu ke kampung bapak..” Kapten Nurdin berkata perlahan.
“Hati-hati. Di Simpang Tiga Belanda memperketat penjagaannya. Mereka tahu bahwa pejuang-pejuang kini banyak yang menyelusup ke kota. Dan pejuang-pejuang itu umumnya datang dari arah Taratak Buluh….” Tuang memberi penjelasan yang berhasil dia monitor dari markas Belanda ketika jadi tahanan itu.

“Terimakasih….” Jawab Kapten Nurdin.

Dan sore itu, tiga orang pejuang yang berasal dari barisan Fisabilillah berangkat ke Buluh Cina dengan sepeda. Sebenarnya hanya ada dua orang anggota Fisabilillah. Yang satu lagi adalah si Bungsu.
Dia ikut ke Buluh Cina karena kapal yang dia nanti-nantikan untuk berangkat ke Singapura atau Jepang itu tak kunjung datang. Beberapa orang malah mengatakan, untuk ke Singapura mungkin lebih baik lewat sungai Kampar. Dari sana banyak penyelundup-penyelundup membawa getah ke Singapura.
Mereka memakai tongkang atau sampan-sampan besar menghiliri sungai Kampar. Kemudian lewat di pulau-pulau yang ada di Laut Cina Selatan, terus menyelundup ke Singapura atau Malaya. Si Bungsu sebenarnya kurang tertarik untuk ikut dengan para penyelundup itu. Sebab, tujuan utamanya bukan ke Singapura. Melainkan Jepang.

Di Pekanbaru (bagian 144)

Namun karena di Pekanbaru tak ada pekerjaan yang akan dia lakukan, dia memutuskan untuk ikut ke Buluh Cina. Apa lagi kampung itu adalah kampungnya Kapten Nurdin. Hanya saja Kapten itu tak ikut bersama-sama mereka.
“Pergilah, di sana ada sungai atau danau dimana engkau dapat menenangkan dirimu. Memancing atau berenang…..” Kapten itu membujuk si Bungsu untuk ikut serta bersama kedua anak buahnya.
Dan si Bungsu memang memilih untuk ikut serta. Mereka berangkat pukul dua. Kalau tak ada aral melintang, mereka akan sampai di kampung itu sekitar jam enam. Sepanjang jalan dalam kota, kelihatan pasukan Belanda berjaga dengan ketat.

Mereka mengayuh sepeda keluar kota dengan tenang. Di Kampung Simpang Tiga, dimana terletak sebuah lapangan udara kecil, penjagaan Belanda nampak makin banyak.
Belanda nampaknya mempergunakan kampung kecil ini sebagai basis perbatasan antara kota yang mereka kuasai dengan kantong-kantong perjuangan yang dikuasai tentara Indonesia.
Mereka disuruh berhenti di persimpangan menuju ke Taratak Buluh. Satu-satu disuruh masuk ke sebuah kamar kecil dimana dua orang tentara KNIL mengadakan pemeriksaan dengan ketat.
Mula-mula yang masuk adalah si Bungsu. Dia berniat membawa samurainya. Namun Korip temannya menggeleng perlahan. Si Bungsu menangkap isarat itu. Dia segera ingat, kalau Belanda mengetahui bahwa dia membawa samurai, maka itu akan membahayakannya. Bukankah Belanda sudah mengetahui, bahwa teman-teman mereka dibunuh oleh seorang anak muda yang membawa samurai kemana-mana?

Dengan pikiran demikian, si Bungsu masuk ke kamar penjagaan itu tanpa membawa apa-apa. Samurainya tetap dia tinggalkan dengan mengikatkannya ke batang sepeda yang dia bawa. Sepeda itu dia sandarkan di pohon kelapa di depan rumah penjagaan itu.
Dengan tenang dia masuk ke dalam.
“Buka pakaian….” Seorang sersan KNIL memerintah. Si Bungsu agak tertegun.

Orang yang memerintahkannya ini kulitnya sama dengan dirinya. Meski kulit KNIL itu lebih hitam, tapi dia yakin bahwa tentara Belanda itu pastilah orang Indonesia juga.
Perlahan dia membuka bajunya. Sersan itu memberi isyarat pada prajurit yang satu lagi. Prajurit itu memeriksa isi kantong baju si Bungsu. Mengeluarkan sebuah kartu keterangan diri. Kemudian sehelai saputangan.

“Mau kemana?” sergeant itu bertanya dalam aksen Melayu tinggi yang fasih.
“Ke Buluh Cina tuan…”
“Mengapa ke sana..?”
“Pulang ke kampung tuan…” dia menjawab mengikuti petunjuk Kapten Nurdin pagi tadi.
“Apa kerjamu di kampung?”
“Memotong getah tuan…”

Sergeant KNIL itu memegang tangan si Bungsu. Si Bungsu tetap tenang. KNIL itu melihat betapa pada pangkal jari-jari tangan anak muda itu kelihatan benjolan yang mengeras. Dan dia jadi yakin bahwa anak muda ini memang seorang penakik getah. Sebab benjolan yang mengeras di telapak tangannya itu membuktikan bahwa dia memang selalu memegang benda keras.

Tanda demikian itu tak terdapat pada pedagang ikan yang tiap pagi mengayuh sepeda atau pada pejuang yang hanya memegang bedil.

“Di mana tinggal di Buluh Cina….” KNIL itu menatap wajah si Bungsu. Seperti mencari sesuatu di wajahnya itu. Si Bungsu hanya diam. Dan akhirnya sersan KNIL itu menyuruhnya kembali berpakaian. Dan menyuruhnya keluar.

Si Bungsu mengambil sepedanya. Berdiri dengan memegang sepeda itu di jalan raya. Menanti kedua temannya yang masuk ke dalam. Dia menarik nafas-nafas lega. Telapak tangannya ada benjolan mengeras adalah karena tiap hari dia melatih dirinya dengan samurai. Tapi siapa nyana, bekas tangannya itu justru bisa menyelamatkan dirinya saat ini.
Tiba-tiba dia kaget mendengar bentakan dari dalam kamar pemeriksaan. Dan tak lama kemudian disusul dengan suara tamparan. Dia mulai mempelajari situasi. Kalau terjadi apa-apa, andainya kedua temannya itu diketahui bahwa mereka adalah pejuang maka dia akan susah untuk melarikan diri.

Sebab sekitarnya ada kira-kira dua belas tentara Belanda yang menjaga dengan bedil terhunus. Mereka memang seperti tak acuh saja. Tapi kalau kedua temannya itu tertangkap, maka dia tentu akan ditangkap pula. Dan kalau dia berusaha melarikan diri, maka tentara Belanda yang diluar ini pasti siap untuk merajamnya dengan semburan peluru.
Dia menanti dengan tegang.

Tak lama kemudian, kelihatan kedua temannya itu keluar dengan mulut dan hidung berdarah. Mereka mengambil sepedanya. Lalu mengangguk pada si Bungsu. Dan ketiga orang ini, di bawah tertawaan tentara Belanda yang ada di luar mengayuh sepeda mereka ke arah Teratak Buluh.

Di Pekanbaru (bagian 145)



“Jahanam. Belanda hitam yang benar-benar jahanam” Bilal yang kena tampar itu menyumpah-nyumpah sambil menghapus darah dari hidungnya.
“Nanti suatu saat, dia akan menerima balasan. Akan kuhancurkan kepala mereka dengan bedilku…” Suman yang mulutnya berdarah juga menyumpah.
“Kenapa kalian sampai kena tampar…?” si Bungsu bertanya sambil mengayuh sepedanya.
“Kami tak menyanggupi untuk mencarikan mereka perempuan” Suman menjawab.
“Belanda jahanam. Awaslah kau….!” Sambung Suman.

Dan mereka terus mengayuh sepeda melewati jalan berpasir dan berkerikil kecil dari Simpang Tiga itu menuju perhentian Marpuyan. Di perhentian Marpuyan yang merupakan sebuah kampung kecil dimana jalan  bersimpang ke Buluh Cina, mereka minum di sebuah kedai kecil.
“Masih jauh dari sini Buluh Cina itu?” si Bungsu  bertanya begitu selesai meminum air kelapanya yang terasa sejuk dan nikmat.
“Dari sini delapan belas kilometer. Kita akan sampai di desa Kutik. Dari sana menurun, kalau air  Batang Kampar banjir, dari sana kita bisa naik sampan ke Buluh Cina. Kalau tidak, kita bisa naik sepeda atau jalan kaki….”

“Apakah patroli Belanda tak sampai kemari?”
“Terkadang juga sampai. Meski ini daerah Republik, tapi mereka selalu datang kemari memburu pejuang…”
“Tiap hari mereka lewat?”
“Tidak menentu…” pemilik kedai yang sejak tadi hanya mendengarkan, kini ikut bicara.
“Sudah tiga hari ini mereka selalu datang. Mereka mensinyalir di dekat Bancah Litubat di sana, di sebuah rumah, bersembunyi dua orang pejuang yang telah membakar pos penjagaan mereka di Simpang Tiga dua minggu yang lalu…”
“Ada yang mereka tangkap dari kampung ini?”
“Lelaki tidak”
“Apa maksud bapak dengan ucapan lelaki tidak?”

“Mereka memang tak menangkap seorang lelakipun. Tetapi sebagai gantinya, mereka menangkap seorang gadis dan ibunya. Alasannya sederhana saja. Mereka ingin meminta keterangan. Dan keterangan itu menurut mereka diketahui oleh kedua anak beranak itu. Sebab mereka tinggal dekat rumah yang dicurigai itu..”
“Apa latar belakang yang sebenarnya?” si Bungsu bertanya meskipun dia sudah bisa menduga.
“Latar belakangnya hanya satu. Gadis itu cantik. Itu alasan penangkapannya. Dan ketika dia ditangkap bersama ibunya, tak seorang pun yang bisa membela. Dia tak punya ayah. Sementara kaum lelaki di kampung ini tak berdaya. Daripada ditangkap dan disiksa Nevis lebih baik diam saja…”

“Bila mereka menangkapnya?”
“Sudah dua hari”
“Tak ada yang mengetahui dimana mereka ditahan?”

Pertanyaan si Bungsu belum terjawab, ketika dari kejauhan terdengar bunyi mobil. Semua mereka menoleh. Dari arah Simpang Tiga kelihatan debu mengepul. Dan dari derunya diketahui bahwa kendaraan yang mendekat itu adalah sebuah Jeep.
Mata si Bungsu yang amat tajam mengetahui diatas Jeep itu ada enam manusia. Dua perempuan, empat tentara. Rasa bencinya pada penjajah yang melaknati kaum wanita Indonesia itu tiba-tiba berkobar didadanya.
Sebenarnya seperti yang pernah dikatakan di Bukittinggi dahulu, yaitu ketika menolak penghargaan dari para pejuang itu, dia tak punya sangkut paut dengan perjuangan kemerdekaan.

Kinipun sebenarnya dia tak berniat untuk jadi pejuang. Atau tak pula bertindak sok pejuang. Yang muncul dalam hatinya adalah kebencian pada orang yang menjajah negerinya. Yang menyakiti kaum lelaki, kanak-kanak. Dan menodai kaum wanitanya.

Rasa benci inilah yang membakar dadanya. Bukan niat untuk jadi pahlawan atau pejuang. Dan saat ini, setelah menyaksikan betapa tadi kedua temannya ditampari hingga mulut dan hidung mereka berdarah, kemudian mendengar cerita pemilik kedai ini tentang anak gadis yang tertangkap tanpa sebab itu, kebenciannya jadi menyala.

Dan segara saja sebuah rencana muncul di kepalanya. Dan dia berniat melaksanakan rencana itu, empat orang. Hmmm, jumlah mereka hanya empat orang, pikirnya.
Jeep itu makin mendekat. Dan seperti sudah diatur ketika tiba di dekat kedai dimana mereka minum air kelapa muda itu, jeep tersebut berhenti.

Si Bungsu dan kedua temannya segera mengenali dua diantara tentara KNIL itu adalah yang memeriksa mereka tadi. Dua orang lagi adalah serdadu KL. Belanda Asli. Jeep ini nampaknya memang jeep patroli.
Sebab di bahagian belakangnya, tegak sebuah mitraliyur ukuran 12,7 dengan moncong menghadap ke depan. Kedua serdadu KNIL itu melompat turun. Dengan sikap seperti ada peperangan dia mengacungkan bedilnya ke arah pondok. Dengan matanya yang merah kedua mereka menatap isi pondok. Kemudian menyapu keadaan di sekitarnya dengan tatapan menyelidik.

Di Pekanbaru (bagian 146)

Dua orang tentara Belanda asli yang tadi masih duduk di bahagian depan lalu menyusul turun. Salah seorang tentara KNIL memerintahkan kedua perempuan yang ada di atas jeep itu untuk turun.

Dengan kepala menunduk karena malu, yang gadis lalu turun. Si Bungsu melihat betapa mata gadis itu basah. Demikian pula ibunya yang tua. Dan setiap lelaki yang ada di pondok itu dapat menduga bahwa gadis itu telah dinodai Belanda.

“Turun di sini, dan awas kalau lain kali tidak memberikan keterangan yang benar…..” KNIL itu berkata dengan suara yang dibesar-besarkan.

Semua yang ada di pondok hanya menatap dengan diam. Tak seorang pun yang bicara.

Tentara Belanda yang tadi memegang stir, dan berpangkat Sergeant melangkah mendekati kedai. Masuk dan berdiri dekat si Bungsu.
“Apakah kalian ada mendengar para ekstremis lewat di sini?” dia bertanya dengan suara yang dibuat agak ramah.
“Ada….!” Salah seorang diantara yang hadir dalam kedai itu menjawab pasti.

Isi kedai itu hanya tujuh orang. Tiga diantaranya adalah si Bungsu dan teman-temannya. Yang satu pemilik kedai. Dua lagi adalah penduduk. Dan kedua penduduk ini memang benar-benar pejuang bawah tanah. Hanya saja tak seorangpun mengetahui bahwa mereka pejuang. Termasuk pemilik kedai itu!

Kini terdengar bahwa ada orang yang menjawab bahwa ada ekstremis atau pemberontak Indonesia lewat dekat situ, kedua pejuang ini jadi tegang. Semua mereka menatap pada orang yang menjawab pertanyaan serdadu KL itu.
Dan orang yang menjawab itu adalah si Bungsu!
Semua mereka jadi heran, sebab anak muda ini tak pernah mereka kenal sebelumnya. Dan kedua teman si Bungsu, anggota-anggota fisabilillah itu juga merasa kaget mendengar jawaban si Bungsu.

“Bila mereka lewat, dan apakah anda kenal di mana markasnya?” tentara Belanda itu mendesak.
“Ya saya kenal semuanya. Mereka ini justru tengah menyusun suatu rencana penyerangan ke Simpang Tiga. Mereka..” si Bungsu berhenti bicara.

Matanya memandang kepada para lelaki yang ada dalam lepau itu. Yang juga tengah menatapnya dengan mata tak berkedip.
Si Bungsu tegak.

“Ikut saya, saya akan sampaikan di mana mereka…” katanya sambil melangkah keluar.

Sergeant itu segera jadi maklum, bahwa lelaki ini pastilah tak mau laporannya didengar oleh orang dalam kedai tersebut. Karenanya dia lalu menurut.
Si Bungsu berhenti, kemudian menoleh pada kedua temannya tadi. Memberi isyarat dengan mata, lalu berkata:

“Hei, mari kita tunjukkan saja tempat pejuang-pejuang itu!”

Kedua temannya anggota fisabilillah itu jadi maklum. Dan kedua mereka memberi isyarat pula pada dua orang pejuang dari Marpuyan itu dengan isyarat mata.
Sergeant itu menuruti langkah si Bungsu dari belakang. Namun gerakan si Bungsu berikutnya tak terikutkan oleh tentara Belanda itu. Sambil tetap berjalan perlahan, si Bungsu menghunus samurainya. Dan begitu ia berbalik, samurainya membabat perut tentara KL itu. Tentara itu mengeluh. Perutnya belah dua.

Keluhannya terdengar oleh ketiga temannya yang lain. Mereka menoleh, dan melihat temannya rubuh dengan perut berlumuran darah. Ketiganya mengangkat bedil. Namun saat itu pula ketiga pejuang yang lain menghambur. Ketiga bedil tentara Belanda itu tak dapat meletus. Sebab tiba-tiba saja  tiga pisau telah menancap dipunggung mereka,.
Bedil mereka terlepas dan berusaha untuk memegang punggung yang tertikam dan sakitnya bukan main itu.

Namun beberapa tikaman lagi, ketiga Belanda itu matilah sudah. Kejadian itu teramat cepatnya. Sejak jeep berloreng-loreng itu berhenti, sampai dengan matinya keempat Belanda itu, tak sampai dua menit! Bahkan kedua perempuan yang mereka turunkan itu, masih belum meninggalkan jeep tersebut. Dan kini kini mereka tertegun. Belanda itu sudah mati. Tapi apa yang akan diperbuat selanjutnya?

Mereka jadi pucat sendiri. Pemilik kedai wajahnya pucat bukan main. Mereka memang benci pada Belanda. Tapi ketakutan setelah pembunuhan ini juga besar. Mereka takut pada pembalasan Belanda!

“Naikkan mereka ke atas jeep……” si Bungsu berkata sambil memandang ke arah Simpang Tiga.

Dari jauh kelihatan debu mengepul. Yang datang itu pastilah sebuah mobil. Hanya tak diketahui apakah kendaraan itu kendaraan militer atau kendaraan sipil.

Tidak ada komentar: