Senin, 04 November 2013

tikam samurai - Di pekanbaru (bagian 137-138-139-140-141)

Di Pekanbaru (bagian 137)


Dan dia sendiri pura-pura kaget terpekik kecil sambil menutup dadanya yang telanjang dengan tangan.

“Oh, sory! Sory…!” tentara Belanda tersebut kaget dan buru-buru mundur. Tapi pintu tetap terbuka.
“Maaf, kami sedang mencari seorang lelaki Inlander yang memakai samurai atau sejenis pedang yang amat tajam. Dia telah membunuh tujuh orang tentara Belanda siang tadi di pasar. Apakah nona melihatnya disekitar daerah ini….?” Kapten yang membuka pintu tadi berkata dari luar.


Perempuan Amerika itu tanpa memakai baju berjalan menuju pintu. Kemudian dia tegak dengan menyembunyikan sekerat tubuhnya dibalik pintu dan menjulurkan bahagian leher ke atas dicelah pintu yang terbuka.
“Saya tidak melihat apa-apa. Suami saya sedang demam. Apakah lelaki itu amat berbahaya?” Perempuan itu bicara dalam bahasa Inggris. Kapten itu, dan tiga orang bawahannnya menelan ludah melihat tubuh perempuan Amerika yang montok itu. Yang tersebeng-sebeng dari celah pintu yang terbuka sedikit. Perempuan itu hanya memakai celana Jean panjang tanpa baju.


“Ya. Ya madam, dia berbahaya. Hati-hatilah, kata orang dia sangat cepat dengan pedang samurainya. Seperti setan saja. Nah, maaf, kami harus pergi. Semoga suami madam cepat sembuh…..” Dan dengan memberi salut, Kapten itu itu turun kembali ke bawah. Sementara perempuan itu masih tegak dipintu.
Di bawah, masih terdengar pembicaraan tentara Belanda itu dengan beberapa lelaki. Kemudian terdengar deru modil menjauh.
Dan sepi!
Mereka pasti berusaha menangkapnya. Kalau Belanda sudah mengetahui, bahwa orang yang membunuh serdadunya mempergunakan samurai tentu mereka sudah mendapat informasi pula, bahwa pembunuh itu melarikan diri ke arah pelabuhan.


Dan si Bungsu memang terpaksa berdiam saja dalam kamarnya seperti yang diucapkan perempuan berat bernama Emylia itu. Dia tak habis pikir terhadap perempuan yang satu ini. Kecantikan yang luar biasa, dengan titel Profesor pula, benar-benar mengagumkan.
Dan pikirannya melayang lagi pada Salma yang dia tinggalkan di Bukittinggi. Dia menatap jari manisnya. Cincin itu terpasang disana. Cincin bermata berlian. Sedang mengapa gadis itu? Apakah sudah kawin?
“Hmm, cincin yang bagus…..” si Bungsu kaget mendengar ucapan itu. Dan yang berkata tak lain daripada Emylia. Perempuan ini muncul dengan dua bungkus nasi ditangannya. Dan kehadirannya yang perlahan itu ternyata tak diketahui oleh si Bungsu.
“Jangan kget kalau saya bisa menebak, bahwa cincin itu pastilah tanda mata dari seorang gadis yang cantik. Hanya saya tak tahu, apakah gadis itu di Payakumbuh atau Bukittinggi….” Emylia berkata sambil meletakkan nasi diatas sebuah piring. Kemudian mengambil dua buah gelas. Mengisinya dengan air the dari ceret kecil diatas meja disudut kamar.


“Engkau lebih mirip tukang tenung….” Si Bungsu berkata jengkel tapi mau tak mau dia mengagumi ketepatan terkaan perempuan asing ini. Emylia tertawa renyai.
“Tukang tenung sama dengan tukang sihir bukan? Hmm, saya juga termasuk yang mempercayai ilmu itu. Karena dia bersangkut paut dengan alam bawah sadar kita. Tenung atau sihir bukan semacam pekerjaan ajaib. Dia hanya pekerjaan pemusatan konsentrasi yang menyerang sendi-sendi bawah sadar orang lain. Tapi saya bukan tukang tenung. Tidak pula tukang sihir, saya hanya menduga-duga. Kalau bukan pemberian seorang yang amat berkesan secara mendalam, tentu engkau takkan melihat cincin itu demikian terharunya”.
Si Bungsu jadi merah mukanya karena malu.


“Dan kalau seorang lelaki merenung sebuah cincin, pastilah yang memberinya seorang perempuan. Dan kalau saya boleh menerka lebih lanjut maka gadis yang memberi cincin itu pastilah bernama Salma…”
Sampai disini si Bungsu benar-benar tak dapat menahan rasa kagetnya. Bahkan kagetnya bercampur dengan perasaan ngeri. Perempuan ini benar-benar Jihin pikirnya.
“Jangan menatap saya dengan mata membelalak begitu Bungsu. Kenapa harus heran kalau saya mengetahui nama gadismu itu? Saya tak menenungnya. Saya ketahui nama itu dari mulutmu sendiri. Nah kini mari kita makan dulu….”


Tapi mana bisa si Bungsu makan. Kapan dia mengatakan nama Salma pada perempuan ini. Tak pernah. Bahkan berhadapan muka baru hari ini. Emylia tak mempedulikan sikap si Bungsu yang terlongo seperti anak-anak melihat sirkus.
Dia membuka nasi bungkusnya. Nasi putih dengan sambal lado dan gulai ikan Patin. Sejenis ikan yang amat enak dikawasan sungai Siak.

Dan dia mulai menyuap.
“Makanlah. Oh ya, ingin tahu bila engaku mengatakan nama Salma padaku? Nama itu berulang-ulang kau sebut dalam tidurmu.”
Muka si Bungsu benar-benar merah padam. Bicara perempuan ini ceplas-ceplos saja. Tak berpematang dan tak berbandrol mulutnya, mana bisa dia menghadapi wanita demikian.

Dia beranjak dari tempat duduknya. Pergi ke jendela. Mengintai dari balik gordyn ke bawah.

Di Pekanbaru (bagian 138)

“Dekat pohon beringin, ada dua orang lelaki pura-pura memancing. Tapi mereka adalah anggota Nevis. Mata-mata Belanda. Mana ada orang memancing didekat akar beringin bukan? Di sana banyak orang mandi. Mereka mata-mata yang konyol….” Emylia bicara sambil tetap menyuap nasinya. Si Bungsu menatap ke arah beringin yang disebutkannya. Dan di bawah pohon itu memang dia lihat kedua pemancing itu.

Sebenarnya bisa saja orang memancing dimanapun. Tapi selain tempat itu ramai oleh orang mandi, hingga mustahil ada ikan yang kesana, sikap kedua orang itu juga membuat si Bungsu hampir ketawa.
Kedua orang itu secara bergantian setiap sebentar menoleh ke pintu penginapan. Sama sekali mereka tak menyadari, bahwa mereka dimata-matai pula dari atas!

Si Bungsu meninggalkan jendela itu. Kembali ke meja makan. Mata Emylia sudah berair, mukanya merah padam. Hidungnya juga berair.
“Pedasy. Pedasy betul…” katanya menghapus air mata. Namun dia melanjutkan juga menghabiskan nasinya. Selera makan si Bungsu timbul melihat cara makan perempuan ini. Apalagi melihat gulai ikan patin yang kini tinggal tulang belulangnya saja. Dia membuka bungkus nasinya yang masih panas. Mencuci tangan. Dan mulai menyuap. Di depannya Emylia menghembus-hembuskan nafasnya tiap sebentar karena kepedasan.

“He Salemo meleleh…nanti masuk mulut..” si Bungsu berkata. Emylia tak mengerti apa yang dikatakan salemo, tapi karena mata si Bungsu menatap pada hidungnya, dia segera bisa menebak bahwa salemo itu pastilah air yang mengalir dari hidungnya. Mau tak mau si Bungsu juga ikut tertawa, sikap perempuan cantik ini terasa lawak dihatinya.

Dalam waktu tak begitu lama, si Bungsu selesai makan. Sementara Emylia menyuap gula pasir untuk menghilangkan pedas yang menyengat mulutnya. Si Bungsu kini berfikir, bagaimana cara sebaiknya agar perempuan ini mau beranjak dari biliknya. Dan Emylia memang membuktikan bahwa dia adalah seorang ahli ilmu jiwa yang tangguh. Dengan senyum tetap dibibirnya perempuan Amerika yang cantik ini lalu berkata:


“Sebelum anda usir saya keluar, lebih baik saya permisi dulu bukan? Tapi ingat setiap saat tentara Belanda akan datang kemari. Jika itu terjadi jangan malu-malu untuk meminta bantuan. Betapapun di dunia ini kita tak bisa hidup sendiri. Kita saling membutuhkan bantuan orang lain. Itu namanya hidup bermasyarakat. Nah, istirahatlah….”
Berkata begini perempuan itu mengambil bungkus nasi yang telah kosong itu. Kemudian keluar dari kamar, si Bungsu menarik nafas lega. Lalu mempelajari kamar itu baik-baik. Kalau sergapan Belanda datang dia harus bisa menyelamatkan diri sendiri. Tak menggantungkannya pada perempuan asing itu.

Dia meneliti jendela. Kalau dia keluar dari jendela ini maka dia akan tiba di jalan didepan penginapan. Dari sana rasanya tak mungkin menyelamatkan diri.
Belanda tentu meninggalkan pengawal di depan penginapan untuk menjaga setiap kemungkinan. Dia kemudian menoleh ke loteng. Tak ada bahagian yang bisa dibuka. Loteng penginapan itu terbuat dari papan yang dipakukan memanjang.
Maka tak ada jalan lain. Kalau datang lagi tentara Belanda menyergapnya jalan satu-satunya hanyalah melawan sampai mati. Tapi kemungkinan lain tetap ada. Yaitu pindah dari penginapan ini. Dengan adanya dua orang mata-mata Belanda di luar sana, yang pura-pura memancing itu, berarti Belanda telah menduga bahwa dia menginap disini. Kini bagaimana keluar dari sini tanpa tak diketahui kedua orang mata-mata jahanam itu?

Dia raba lehernya. Berbalut dengan perban. Si Bungsu akhirnya memutuskan untuk istirahat sebentar. Dia harus mengumpulkan kekuatan dulu, Dia sudah bertekad untuk keluar dari penginapan ini. Dengan kesimpulan begitu dia lalu kembali membaringkan diri di atas tempat tidur dan meletakkan samurainya disampingnya. Dan matanya mulai memberat. Dia mendengar suara kaki melangkah dijenjang penginapan. Ada orang naik ke atas. Suara langkah itu sangat perlahan, tapi bagi telinganya yang sangat terlatih, suara itu amat jelas. Dia lihat pintunya didorong perlahan. Dia memegang samurai. Pintunya terbuka sedikit. Dia pura-pura tidur. Tapi bukan pura-pura, matanya memang sangat berat. Dia berusaha bangkit, tak bisa!
Kenapa tidak bisa? Dia buka matanya. Terbuka sedikit. Tapi tubuhnya terasa letih sekali. Di pintu sebuah kepala muncul. Dan dia segera mengenali wajah itu. Wajah salah seorang dari mata-mata yang tadi memancing di bawah sana.

Lelaki itu menatapnya. Kemudian masuk ke bilik. Ditangannya sebuah pisau. Si Bungsu berusaha mencabut samurai tapi tak bisa. Benar-benar tak bisa! Lelaki itu mengangkat pisaunya. Dan si Bungsu merasa betapa tangan kirinya disayat oleh pisau itu. Darah mengucur keluar.
Tapi lelaki itu tak meneruskan niatnya. Dia kemudian keluar dari kamar itu. Si Bungsu diantara rasa rasa kantuk dan lelahnya amat sangat, hanya bisa menatap. Kenapa mata-mata Belanda itu tak mau membunuh?
Tapi dia segera ingat sesuatu, Racun! Bukankah dia telah terluka dilehernya dengan pisau beracun. Dan meski dia tak ditikam langsung di jantungnya dia juga akan segera mati karena racun itu. Jahanam, benar-benar jahanam.

Di Pekanbaru (bagian 139)

Atau barangkali dia memang tak dibunuh dengan sesuatu kesengajaan. Yaitu agar dia tetap hidup sampai Belanda datang menangkapnya? Racun itu hanya sekadar untuk melumpuhkannya saja. Dia melihat tangan kirinya yang luka. Darah mengalir membasahi alas kasur. Rasa lelahnya dia tekan. Kantuknya lenyap melihat luka dan karena berang dihatinya.

Dia bangkit. Meski dengan perasaan tak stabil dia berjalan ke pintu. Dan saat itu dia lihat lelaki tadi memasuki kamar Emylia.
Perempuan itu tengah berbaring tak berbaju ketika kedua lelaki yang pura-pura memancing itu masuk. Perempuan itu kaget.
“Mau apa kalian masuk…..?” bentaknya sambilbangkit tanpa mempedulikan dadanya yang telanjang. Namun kedua lelaki pribumi itu menatapnya dengan jijik.
“Mata-mata jahanam!” kedua lelaki itu mendesis. Dan sebelum Emylia sempat berbuat apa-apa yang seorang menghujamkan pisau ditangannya ke dada perempuan tersebut.
Perempuan itu tersentak. Terhenyak ke kasus. Lelaki itu mencabut pisaunya. Darah menyembur. Dan kedua lelaki itu cepat mengindar ketika diluar sana terdengar suara deru mobil berhenti di depan hotel. Ketika mereka keluar dari bilik, mereka berpapasan dengan si Bungsu. Si Bungsu masih sempat melihat Emylia terbaring dengan darah membasahi dada.

“Jahanam. Mata-mata jahanam!” si Bungsu berteriak sambil mencabut samurainya. Tapi kedua lelaki itu telah jauh di gang penginapan tersebut. Di bawah suara derap sepatu terdengar memasuki penginapan.
“Ikut kami kalau kau mau selamat!” salah seorang diantara lelaki itu berkata pada si bungsu. Anak muda itu mendengar suara derap sepatu di bawah jadi sadar bahwa Belanda datang untuk menangkapnya. Sesaat dia menoleh pada Emylia. Perempuan itu juga kebetulan tengah menatap padanya. Dia tak sampai hati membiarkan begitu saja perempuan yang telah membantunya itu.
Dan melangkah masuk. Membungkuk dekat tubuh Emylia.
“Larilah… Bungsu…. Belanda datang untuk menangkapmu. Aku…. Aku menyukaimu…Bungsu!” dan matanya terpejam. Dan dia mati…!
“Jahanam! Kubunuh mereka!” si Bungsu memaki. Dan dia mendengar suara langkah sepatu mulai menaiki jenjang menuju ke tingkat atas dimana dia berada. Dengan cepat dia lari keluar. Di ujung gang, mata-mata tadi masih tegak, nampaknya dia menghalangi jalan si Bungsu untuk keluar.

Si Bungsu bergegas menoleh ke jendela depan. Di bawah ada selusin Belanda siap menanti dengan bedil terhunus. Akhirnya dia berlari ke arah mata-mata itu. Betapapun jua, mata-mata itu lebih mudah membunuhnya. Dan dengan membunuh mata-mata Belanda keparat itu dia bisa meloloskan diri lewat gang kecil ke belakang!.
Ketika lewat didekat tangga bawah, seorang serdadu Belanda telah muncul kepalanya. Tangga naik itu hanya untuk ukuran seorang. Sambil berlari si Bungsu menghunus samurai, dan membacokkannya ke leher serdadu itu.
Tengkuk serdadu itu hampir putus. Dan tubuhnya melosoh turun. Menimpa dan membawa jatuh empat teman-temanya yang berada dihadapannya.

Setelah itu si Bungsu meneruskan larinya ke arah mata-mata itu.
“Ikut kami…!” mata-mata itu berkata sambil bergegas turun lewat pintu kecil itu. Si Bungsu memang tak mempunyai pilihan lain. Jalan kecil ini memang satu-satunya jalan untuk keluar. Dia menuruni anak tangga dan tiba disebuah gang kecil yang terletak di belakang beberapa buah bangunan.
Kedua mata-mata tadi lari menyelinap-nyelinap. Dan si Bungsu memburunya terus. Tapi dia merasa heran juga. Kenapa kedua mata-mata Belanda ini justru menjauh dari para Belanda yang mengepung penginapan itu?
Beberapa kali lagi mereka membelok diantara gang. Masuk ke kebun, lari terus. Masuk ke bawah kolong rumah. Lari terus. Masuk lagi. Nerbelok lagi. Dan tiba-tiba kedua mata-mata itu lenyap. Si Bungsu tertegak kehilangan arah.

Azan magrib terdengar sayup-sayup. Dia melangkah ke depan. Dan tiba-tiba dia dengar seseorang memanggil perlahan. Dia menoleh. Mata-mata tadi! Mata-mata itu memberi isyarat untuk masuk ke sebuah rumah. Si Bungsu ragu sejenak.
Tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk ikut. Dia melangkah memasuki sebuah rumah tua. Di dalamnya tak ada apa-apa. Di ujung sana mata-mata tadi kelihatan menuju keluar. Dia mengikuti terus. Ada beberapa buah gang lagi.
Dan tiba-tiba saja berada dalam sebuah rungan yang diterangi oleh lampu-lampu lilin yang antik. Dan didalam ruangan itu ada sekitar sembilan lelaki.

Mereka semua tegak begitu si Bungsu masuk. Dan si Bungsu segera saja mengenali lelaki yang tegak paling depan.
Dia adalah pejuang yang melukai lehernya di pasar Tengah siang tadi! Lelaki itu menyongsongnya. Mengulurkan tangan dan mereka bersalaman.
“Selamat datang di kota kami Bungsu. Maafkan kekhilafan saya siang tadi. Hmm, lukanya sudah diperban…” lelaki itu berkata dengan hangat.

Di Pekanbaru (bagian 140)

“Kenalkan ini teman-teman saya. Ini Letnan Badu. Pemimpin front Simpang Tiga. Ini sersan Yunus….” Lelaki itu memperkenalkan semua yang hadir.
“Dan ini kpral Aman dan prajurit Asir. Mereka yang mengawasi engkau di penginapan ditepi sungai Siak itu….” Si Bungsu tertegun mendengar penjelasan ini. Kedua lelaki itu adalah mata-mata yang dia duga dan juga diduga Emylia sebagai mata-mata Nevis.
Kedua lelaki itu tersenyum ketika menyambut uluran tangan si Bungsu.
“Oh ya, tentang diri saya. Nama saya Nurdin. Saya pemimpin front Pekanbaru ini…” lelaki itu memperkenalkan dirinya. Si Bungsu segara terlibat dalam pembicaraan dengan pejuang-pejuang di Kota Pekanbaru itu.

Pejuang-pejuang itu ternyata juga sudah mendengar cerita tentang diri si Bungsu jauh sebelum si Bungsu sampai di Pekanbaru.
“Siang tadi, waktu dikedai kopi itu saya memang curiga pada saudara. Soalnya saya pernah kecolongan sebulan yang lalu. Yaitu ketika Jepang masih berkuasa. Saya mengenal hampir tiap orang di kota ini.
Saudara tak saya kenal, dan saya selalu curiga terhadap semua orang baru. Sebab Belanda biasanya mengirim orang-orang baru untuk jadi mata-matanya. Sebab semua mata-mata Nevis di kota ini kami kenali dengan baik…..” Nurdin yang berpangkat Kapten itu menjelaskan tentang pertemuan mereka di kedai kopi siang tadi.

“Ya, tapi saya hampir saja mati kena pisau beracun Saudara…” si Bungsu menyela. Dan semua mereka tertawa. Kapten itu menceritakan kembali pada semua teman-temannya tentang peristiwa mula pertama dia didekati si Bungsu. Kemudian dia bentak untuk tak meletakkan tongkatnya di atas meja. Sampai pada dia melempar si Bungsu dengan dua buah pisau. Kemudian dia menyergap si Bungsu dan mengancam lehernya dengan pisau. Lalu pada peristiwa bagaimana si Bungsu melepaskan dirinya dari sergapan itu dan menghabisi Belanda-Belanda itu.
Mereka bercerita dengan asik.

“Tapi ada yang saya ingin tahu. Yaitu perempuan Amerika yang di penginapan itu….” Si Bungsu akhirnya tak dapat untuk tak menanyakan hal itu pada Kapten Nurdin.
“Oh ya. Saya yang memerintahkan untuk membunuhnya….”
“Kenapa harus dibunuh? Bukankah dia orang Amerika? Dan bukankah dia ahli sejarah yang akan menyelidiki kerajaan Siak Sri Indrapura?”
Kapten itu menarik nafas dalam.
“Demikian yang tertulis di paspornya. Tapi kami sudah mendapatkan informasi jelas. Kedua orang itu sebenarnya orang Kanada dan mempergunakan paspor palsu.

Mereka adalah bangsa Belanda yang kebetulan lahir di Kanada. Mereka memang profesor pubakala. Tapi mereka telah melakukan kegiatan mata-mata mulai dari Jakarta, Bandung, Medan dan kini di Kota ini. Perempuan cantik itu memang meta-mata yang sempurna. Di kota ini saja tak kurang dari sepuluh perwira Jepang yang masuk perangkapnya.
Dia menjebak para perwira itu ketempat tidur. Kalau cara itu tak dapat menaklukan perwira itu untuk membukakan rahasia militer Jepang di kota ini, mereka mempergunakan sistim racun. Rahasia yang diperoleh lalu dikirim dengan radio ke Singapura.

Dan sepuluh hari yang lalu, dua orang letnan kita juga masuk kedalam perangkapnya. Kedua letnan itu akhirnya dibunuh di Tanjung Rhu. Kami sudah berbulan-bulan dibuat pusing oleh bocornya rahasia-rahasia militer. Tak taunya, dia lah biangnya.
Telah tiga kali kami mengikuti dia dan berhasil memergoki dia memasuki markas rahasia Belanda yang dari luar seperti rumah biasa. Setiap dia masuk ke rumah itu, sehari kemudian pasti ada pengebrekan dan korban pihak kita berjatuhan.
Akhirnya kami berhasil mencuri paspornya dan dikirim salinannya ke Jakarta. Dari sana didapat jawaban, bahwa perempuan ini adalah seorang mata-mata yang berbahaya. Demikian juga suaminya”.


Si Bungsu hampir-hampir tak percaya akan pendengarannya. Tapi ketika Kapten itu menunjukkan bukti-bukti berupa radiogram dari markas pejuang, maka dia jadi yakin. Hanya yang jadi tanda tanya baginya adalah, kenapa Emylia menyelamatkan nyawanya dari luka beracun itu? Dan kenapa perempuan itu juga menyelamatkan dirinya dari tangkapan Belanda ketika Belanda menggedor kamar hotel?

Bukankah perempuan itu tegak ke pintu tanpa baju, mengatakan bahwa yang berbaring itu adalah suaminya yang sakit?
“Saya melihat saudara ragu dengan penjelasan saya…” Kapten Nurdin berkata.
“Tidak. Saya tak meragukannya. Tapi yang saya ragukan adalah beberapa soal…” dan si Bungsu menceritakan soal bagaimana perempuan Kanada itu mengobati lukanya. Kemudian menyelamatkan dari tangkapan Belanda.
Kapten Nurdin tak menjawab segera. Tapi dia baru menjelaskan hal itu ketika mereka hanya tinggal berdua saja.
“Ada beberapa hal yang saya ketahui tentang perempuan itu Bungsu. Pertama, dia memang perempuan yang “lapar”. Dia memang membutuhkan lelaki dalam hidupnya. Tak cukup suaminya saja. Mana tahu, dia barangkali membutuhkan dirimu dan ada hal lain, yang saya rasa amat penting. Perempuan betapapun mata-matanya dia, tapi bisa saja jatuh hati bukan? Nah, bukanlah hal yang mustahil kalau dia jatuh hati padamu…”

Kapten itu bukannya sekadar bergurau dengan berkata demikian. Dia yakin bahwa wanita dimanapun instingnya sama. Dan bukan hal yang mustahil pula kalau banyak wanita yang jatuh hati pada pemuda ini.

Si Bungsu menunduk. Dia sebenarnya tak menyenangi wanita itu. Artinya ada beberapa masalah yang tak dia sukai. Namun wanita itu telah menolong nyawanya. Apapun alasan pertolongan itu, dia tetap merasa berhutang budi.

Dan tiba-tiba dia teringat saat terakhir pertemuannya dengan cantik itu. Betapa dari pembaringannya, disaat maut hampir menjemput, dengan suara perlahan sekali, dia masih bicara! “Larilah Bungsu…. Belanda datang untuk menangkapmu… Aku mencintaimu…” Itulah kata-katanya yang terakhir.

Dia termenung. Disaat terakhirnya, perempuan itu memberitahu bahwa Belanda datang untuk menangkapnya. Kalau dia mata-mata, maka dia telah mengkhianati tugasnya. Memberitahukan kepada musuh yang akan ditangkap, bahwa tentara datang untuk menangkapnya. Ya, cinta dimanapun sama. Bisa berbuat hal-hal yang tak mungkin bisa terfikirkan oleh manusia lain. Tak terjangkau oleh akal.


Di Pekanbaru (bagian 141)

Si Bungsu sudah seminggu bersama-sama para pejuang di Pekanbaru itu ketika suatu hari mereka mendapat kabar bahwa penginapan di mana si Bungsu tinggal dahulu dibakar oleh Belanda. Pemilik penginapan itu, seorang pejuang bawah tanah bernama Tuang dari kampung Buluh Cina. Yaitu sebuah kampung ditepi sungai Kampar dua puluh kilometer dari Kota Pekanbaru, ditangkap oleh Belanda.



“Dia seorang pejuang?” si Bungsu kaget.

“Ya. Dia termasuk salah seorang mata-mata dan dermawan yang menyumbangkan hartanya untuk pejuang-pejuang kemerdekaan…” Kapten Nurdin menjawab dengan nada sedih.

“Dimana dia tahan….?” Kapten itu bertanya pada mata-mata yang menyampaikan laporan pembakaran tersebut.

“Tak diketahui dengan pasti. Yang jelas, mereka dibawa ke kantor polisi militer di Batu Satu….”



Kapten Nurdin yang membawahi front Pekanbaru itu lalu membuka peta lusuh yang ada dalam lemari. Dan malam itu diadakan rapat staf lengkap . Mereka mempelajari kemungkinan untuk membebaskan Tuang.

Ada dua markas Belanda yang dianggap mungkin tempat menawan pemilik penginapan itu. Dan diputuskan untuk menyerang secara serentak kedua markas itu untuk membebaskannya.

Tuang mempunyai arti yang amat penting dalam perjuangan bawah tanah di Kota ini. Seperti dikatakan Kapten Nurdin, dia tak hanya seorang mata-mata andalan, tapi juga seorang donatur perjuangan.



“Saya boleh ikut?” si Bungsu menawarkan diri. Kapten Nurdin menatapnya.

“Itu akan merupakan kehormatan bagi kami Bungsu. Kami memang ingin mengajakmu. Tapi kami segan mengatakannya…..”



Si Bungsu tersenyum. Dan malam itu mereka menyusun rencana matang-matang.



“Kalau dapat membebaskannya, apa kendaraan yang akan kita pergunakan untuk melarikan diri?” si Bungsu yang ikut dalam perencanaan itu bertanya.

“Ada sebuah truk tua…”

“Kecepatannya bagaimana?”

“Bisa dikejar oleh orang berlari”

“Hanya itu kendaraan yang ada pada kita”

“Siapa yang bisa menjalankan kendaraan?”



Dua orang sersan mengacungkan tangannya.



“Menurut hemat saya, lebih baik kita ambil kendaraan Belanda saja. Di depan markas mereka pasti ada ada kendaraan…”

“Tapi bagaimana dengan kunci kontaknya? Kita tentu tak mungkin menggeledah kantong Belanda itu satu-persatu untuk mencari kunci. Waktu sangat pendek”.

“Itulah gunanya orang yang biasa mempergunakan kendaraan. Saya tak tahu bagaimana caranya tapi ketika pak Tuang itu sudah keluar, kendaraan hendaknya sudah siap untuk melarikan”.



Keterangan si Bungsu membuat Kapten Nurdin menatap pada kedua sersan yang mengaku bisa menjalankan mobil tadi.



“Ya, saya bisa mengusahakannya…” yang seorang berkata.

“Tapi saya terpaksa tak ikut penyergapan. Sementara teman-teman menyerang, saya akan menyiapkan kendaraan. Satu-satunya jalan adalah dengan mencabut kabel di kunci kontak. Kemudian menyambungkannya lagi di luar” katanya lagi.

“Baik, kau kutugaskan untuk itu. Nah, ada yang lain? Kapten Nurdin berkata lagi.

“Ada” Jawab si Bungsu. “kalau ada lebih dari satu kendaraan di sana, yang lain harus dikempeskan bannya..”, dan malam itu diputuskan pula bahwa penyergapan hanya akan dilakukan pada satu markas saja. Yaitu markas yang diketahui dengan pasti di mana Tuang ditawan. Untuk itu, siang esoknya, mata-mata disebar lagi untuk mengetahuinya.

Tidak ada komentar: