Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 562-563

Dalam Neraka Vietnam -bagian 562-563


semua truk-trukDalam Neraka Vietnam -bagian-562-563
“Kita sampai di desa itu….”bisik seorang lelaki pada temannya yang lebih
muda,yang sama-sama turun dari truk dengannya.
Dia berbicara dalam bahasa inggris.Kedua orang itu memakai caping,topi lebar
dari bambu tipis berwarna hitam,yang bahagian depannya menutupi
wajah.Caping seperti itu merupakan topi yang lazim di pakai oleh semua
petani Vietnam.Dengan memakai caping yang menutupi wajah itu,sulit bagi
orang lain mengenali pemakainya.
“Kita menginap dimana?”bisik yang lebih muda,yang tak lain dari si
Bungsu,juga dalam bahasa inggris.
“Ada rumah saudara ku,ayo kita kesana…”ujar yang pertama bicara,sambil
mengangkat bungkusan kain miliknya yang terletak di truk,kemudian
menyandangnya di bahu.
Si Bungsu juga mengangkat buntalan kain kecil miliknya.Dia sudah
diingatkan,untuk membara peralatan seperti pakaian atau benda-benda
pribadi lainnya dengan buntalan kain,sebagai mana lazimnya petani Vietnam.
Membawa ransel,apalagi buatan Amerika,betapun banyak ransel itu di pasar
loak,tetap saja akan menarik perhatian orang.Khususnya mata-mata,yang
berseliweran hampir setiap penjuru kota dan desa.
Desa kecil itu terletak memanjang di pinggir jalan.Dan desa ini adalah tujuan
terakhir dari jalan yang membelah hutan belantara dan perbukitan,yang
jaraknya dari kota Bien Hoa sekitar 150 kilometer.
Ini ujung perjalanan.Mobil datang kemari paling-paling sekali
sebulan.Umumnya kendaraan yang datang hanya truk militer.Sesekali diselingi
truk reot seperti yang baru datang ini.Truk-truk yang datang setelah menginap
sehari dua hari,kembali ke Bien Hoa.
Di tempat truk ini berhentilah semua truk-truk itu memutar haluan kembali
kota Bien Hoa,kota yang terdekat dari desa ini.Bien Hoa terletak 100 kilometer
dari Saigon,dulu ibukota Vietnam selatan yang sejak dikuasai Vietkon sudah di
ganti menjadi Ho Chi Minh.
Jarak 150 kilometer antara Bin Hoa kedesa ini harus mereka tempuh dalam
perjalanan yang memakan waktu dua setengah hari,di jalan yang na’uzubillah
buruknya.Tak ada pemeriksaan apapun,bahkan tak terlihat seorang pun
tentara Vietkong berkeliaran di desa itu.Ini tentu berbeda dengan desa-desa
lainnya di Vietnam yang di penuhi tentara.
Namun si Bungsu sudah mendapat penjelasan panjang lebar tentang desa ini
dari informan yang kini menemaninya,yang harus dia bayar cukup tinggi.Desa
ini,menurut Han Doi,informan yang kini menjadi penunjuk jalannya.memang
tidak dijaga tentara.Dari segi militer,seolah-olah desa ini amat tak berguna
sama sekali.Tak masalah hitungan.Tetapi,sesungguhnya itu adalah semata-
mata kamusflase.
Tentara tetap berkeliaran,hanya saja mereka memakai pakaian dinas.
Kamusflase itu diperlengkap dengan tak adanya pemeriksaan terhadap siapa
saja yang datang kedesa ini.Padahal,setiap apapun yang bergerak didesa
ini,takkan pernah luput dari pengamatan mata-mata tentara,bahkan tentara
reguler,yang hadir di desa itu dalam pakaian sebagaimana jamaknya penduduk
desa.
“Jika masuk kesana,apalagi untuk membebaskan tawanan perang asal
Amerika,sama artinya dengan memasuki kandang singa.Untuk keluar kita tak
mungkin mempergunakan jalan umum.Satu-satunya jalan pintas,yang bisa
mencapai wilayah pantai adalah menerobos rawa yang harus kita
terobos…”papar Han Doi sebelum mereka meninggalkan Bien Hoa.
“Saya rasa lebih ganas tentara Vietkong.Sebaiknya kita menerobos rawa
saja.Berapa hari di perkirakan kita bisa menerobos rawa itu?”tanya si Bungsu.
“Saya tak menerobosnya.Tapi jarak yang harus kita tempuh takkan kurang dari
50 kilometer..”jawab Han Doi.
“Tak ada sungai?”
“Saya tak tahu,mungkin ada…”
“Sedalam apa rawa itu?”
“Pada bahagian tertentu,kapal bisa berlayar disana,saking dalam dan
luasnya.Namun kapal tentu tak bisa bergerak,karena rawa luas dan dalam itu
menyatu dengan belantara perawan.Pada bahagian tertentu,rawa itu
merupakan bentangan belukar yang amat luas,pada sebahagian lagi kayu-kayu
tumbuh sebesar pelukan lelaki dewasa…”
“Saya rasa,rawa itu jalan yang harus kita tempuh….”ujar si Bungsu dengan
nada pasti.
Kini mereka sampai di depan sebuah rumah.Rumah-rumah di desa itu
menggambarkan kondisi kehidupan warganya.Terbuat dari papan dan bertiang
cukup tinggi,hampi semua rumah beratap daun.Di bahagian bawah dua tiga
rumah berkeliaran ternak seperti ayam,babi atau kambing dan kerbau.Si
Bungsu tahu berapa pasang menatap langkah mereka.
Baik dari balik ceah dinding rumah maupun dari balik jendela yang dari luar
kelihatan sepi sekali.Dari depan tangga,Hand Doi memanggil sebuah
nama.Mereka menanti.Han Doi kembali memanggil dengan suara tak begitu
keras.Tak lama kemudian,pintu rumah itu berderit dan terbuka.Sebuah wajah
munjul di pintu.
“Paman Duc saya membawakan rokok dan kopi untuk mu…”ujar Han Doi
sambil mengangkat buntalan kainnya.
Lelaki separoh baya yang di panggil Han Doi paman itu menatap sesaat kepada
si Bungsu.Hanya sesaat,setelah itu dia membukakan pintu lebar-lebar.
“Naiklah….”ujarnya dalam nada parau.
Han Doi mendahului menaiki tangga,disusul si Bungsu. Ketika usai menaiki
enam anak tangga dan berada di rumah,si Bungsu baru dapat melihat bahwa
penduduk kampung ini jauh lebih miskin dari gambaran yang diperlihatkan
kondisi rumah-rumah mereka.
Rumah itu terbagi dua dengan pembatas papan.Ruang depan merangkap
sebagai ruang tamu dan ruang makan.Ruang disebelahnya,yaitu bahagian
belakang,adalah ruangan tidur keluarga,yang diujungnya terdapat dapur.
Ruang depan dimana kini mereka berada hanya dialas dengan tikar rotan yang
sudah compang-camping saking tuanya.Pada dinding yang menjadi pembatas
dengan ruang tidur,tersangkut sebuah caping tua dan beberapa potong baju.
“Kenalkan ini temanku.Namanya Bungsu.Dia berbahasa inggris.Bungsu ini
pamanku,Duc Thio…”ujar Han Doi sambil meletakkan dan membuka buntalan
kainnya.
Si Bungsu membuka caping di kepalanya,kemudian mengulurkan tangan.Duc
Thio,paman Han Doi,yang tadinya menatap sekilas saat akan membukakan
pintu,menyambut uluran tangannya.
“Senang bertemu dengan anda…”ujar lelaki itu,yang kefasihan bahasa inggris
nya membuat si Bungsu terkejut.
Han Doi menyerahkan sebungkus kopi dan tiga slop rokok buatan Amerika,yang
diterima pamannya dengan wajah berseri.Dia mencium rokok tersebut sambil
memejamkan mata.
“Mana Thi Binh?”tanya Han Doi pada pamannya.Duc Thio menatap
ponakannya itu sesaat,wajahnya berubah murung.
“Dia sakit…”ujarnya perlahan.
“Sakit,dimana?”.
Duc Thio melangkah ke ruang sebelah diikuti Han Doi.Dari kamar sebelah si
Bungsu mendengar pembicaraan dua orang itu.
“Kenapa dia ?”tanya Han Doi.
“Sipilis..”
Lama tak terdengar suara.
“Ya Tuhan,badannya panas sekali,kenapa..?”
“Dia di paksa melayani nafsu binatang tentara Vietkong di kamp…”Si Bungsu
mendengar suara paman Ham Doi bergetar.
“Apakah tak ada dokter di kamp itu yang bisa membantunya..?”
“Di kamp itu,tak ada obat yang boleh di pergunakan.Kecuali tentara
Vietkong.Siapa yang sakit,tawanan Amerika atau pun orang Vietnam
Selatan,harus meramu obat sendiri.Jika tak ada obat,silahkan menanti ajal…”
Si Bungsu melangkah perlahan kebatas kamar.Dikamar sebelah itu dia melihat
sesosok tubuh terbaring.
“Maaf,barangkali saya bisa membantu.Boleh…?”ujarnya perlahan.Kedua orang
lelaki di kamar itu menoleh padanya.
“Anda seorang dokter..?”tanya Han Doi heran.
“Tidak.Tapi,untuk penyakit tertentu mungkin aku bisa membantu.Boleh saya
coba?”ujar si Bungsu.
Dari tempat duduknya Han Doi menatap pamannya.Lelaki itu menatap si
Bungsu kemudian dengan penuh harap dia mengangguk.Si Bungsu
mendekat.Melihat seorang gadis amat belia,barangkali baru berusia lima belas
tahun.Wajahnya yang pucat pasi dan bibir nya yang berkudis akibat spilis.tak
mampu menyembunyikan wajahnya yang jelita.
“Nampaknya dia sudah empat hari diserang demam panas dan tak bangkit dari
pembaringan ini…”ujar si Bungsu perlahan,setelah memperhatikan wajah gadis
itu,tanpa menyentuhnya sedikitpun.
“Ya,persis empat hari dengan hari ini…”ujar ayah gadis itu.
Setelah ucapannya itu dia segera sadar dan menjadi heran,sembari menatap si
Bungsu dia berfikir,bagaimana orang ini bisa secara persis mengetahui kondidsi
anaknya,padahal dia bukan dokter?
Han Doi juga tak kurang herannya.Dia menatap pamannya,seperti
pamannya,apakah memang sudah empat hari Thi Binh menderita demam dn
tak bisa bangkit dari pembaringan.Pamannya,yang faham atas tatapan
itu,mengangguk.
“Kita memerlukan air hangat,agak semangkuk…”ujar si Bungsu.
Duc Thio bergegas melangkah kearah tungku di ujung ruangan tersebut.Di sana
memang sedang terjarang sebuah periuk berisi air yang sedang mengepulkan
asap.Lelaki separuh baya itu mengambil sebuah mangkuk dari kayu.Kemudian
mengangkat periuk,lalu menuangkang isinya ke dalam mangkuk tersebut.
Mangkuk berisi air panas itu dia bawa kedepan si Bungsu.
“Ada kain pembersih,sapu tangan misalnya?”tanya si Bungsu.
Duc Thio kembali bergerak kesebuah lemari kayu setinggi satu meter yang
terletak di tepi dinding dekat kepala anaknya.Membukanya,mengambil sebuah
handuk kecil.Lalu memberikannya pada si Bungsu.
Si Bungsu menuangkan serbuk berwarna kuning kehijau-hijauan dari
bungkusan kecil yang dia keluarkan dari dompetnya itu kesendok.Jumlah yang
dia tuangkan hanya sedikit,mungkin secubitan anak-anak.
Lalu dua jari,jari tengah dan telunjuk tangan dia tuangkan ke air di
mangkuk.Kemudian air yang melekat pada jarinya itu dia teteskan ke bubuk
yang disendok.Sekitar empat tetes air air turun membasahi serbuk itu.
Bubuk tersebut kemudian larut dalam air yang beberapa tetes di
sendok.Perlahan,dengan tangan kanannya dia bukakan mulut gadis itu yang
terbaring diserang sipilis.Kemudian air larutan bubuk obatnya di tuangkan
kemulut gadis itu,lalu mulutnya di katupkan lagi.
Si Bungsu kemudian membasahi handuk di tangannya dengan air hangat di
dalam mangkuk.Memerasnya perlahan,kemudian melap wajah gadis itu,yang
sejak tadi di penuhi keringat dingin.
“Jika tuhan mengizinkan,anak bapak akan sembuh dalam seminggu-dua
minggu…”ujar si Bungsu pada Duc Thio.
“Terimakasih…”ujar Duc Thio penuh harap,meski amat ragu.

Tidak ada komentar: