Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 709-710

Dalam Neraka Vietnam -bagian 709-710


Dalam Neraka Vietnam-bagian-709
api unggunSi Bungsu memperlihatkan kepada Smith dua buah batu yang besar hampir sebesar jempol jari kaki.
“Untuk apa itu?”
“Pengganti senapan….”
Smith sudah hampir mengatakan orang di depannya itu gila. Namun ketika tiba-tiba dia teringat selama dua hari ini si Bungsu ‘menangkap’ ikan hanya dengan lemparan batu, dia mengurungkan niatnya mengatakan si Bungsu gila.
“Anda juga bisa menangkap rusa dengan batu?”
“Saya tak yakin, tapi tak ada salahnya dicoba bukan?”
“Pantat kurap! Cobalah, saya ingin melihat…” rutuk Smith.
Si Bungsu mengangkat kepalanya perlahan. Smith ikut-ikutan mengangkat kepala. Di hadapan mereka kesepuluh ekor rusa itu kelihatan memamah rumput dengan lahap. Untung arah angin tidak datang dari arah mereka berada maupun dari arah air terjun. Kalau itu yang terjadi, rusa-rusa yang penciumannya amat tajam itu pasti sudah pada melarikan diri, karena mencium bau manusia, bau yang tak lazim bagi mereka.
Tiba-tiba si Bungsu bangkit. Rusa-rusa itu terkejut dan menoleh. Binatang itu tertegak. Mungkin merasa aneh melihat makhluk yang tak pernah mereka lihat seumur hidup. Namun hanya dua atau tiga detik mereka tertegun. Dengan lengking pendek rusa jantan yang paling besar sebagai peringatan adanya bahaya, semua rusa itu tiba-tiba melompat cepat melarikan diri. Namun salah seekor, yang nampaknya masih berusia sekitar dua tahun, tiba-tiba terdongak. Lalu jatuh. Lenyap dalam palunan rumput tebal tersebut. Rusa yang lain dalam waktu singkat berhasil melintasi padang rumput luas itu. Kemudian lenyap ke dalam belantara lebat di belakang sana.
Si Bungsu, diikuti Smith memeriksa dan mendapati rusa itu sudah mati. Tengkoraknya, sedikit di bawah telinga, kelihatan remuk. Bahagian itulah yang dihantam oleh lemparan si Bungsu. Smith mendecak dan menggelengkan kepala. Sukar baginya memahami bagaimana si Bungsu yang selalu dia maki dengan kata-kata ‘pantat kurap’ atau ‘induk sipilis’ ini bisa memiliki kemahiran seperti itu. Menangkap ikan dan rusa hanya dengan lemparan batu. Rusa itu kemudian mereka seret ke dekat air terjun. Cowie dan Jock Graham ternganga mendengar cerita bagaimana si Bungsu “menembak” rusa tersebut.
“Hati-hati dengan orang ini. Dia bukan manusia. Dia dukun. Mana ada manusia yang bisa menangkap ikan dan rusa hanya dengan lemparan batu. Pantat kurap dan induk sipilis ini dukun yang berbahaya…” rutuk Smith panjang pendek sambil menguliti rusa itu bersama Jock Graham dengan bayonet.
Si Bungsu hanya tersenyum mendengar dendang dan rutuk Tim Smith. Saat Jock dan Smith mengerjakan rusa itu, Cowie beranjak ke tepi hutan. Mengumpulkan kayu-kayu kering sebanyak mungkin untuk membuaut api unggun guna memanggang rusa tersebut. Sore itu mereka pesta pora menikmati panggang daging rusa. Kepada ketiga tentara Amerika itu si Bungsu menunjukkan jenis daun kayu yang dia jadikan sebagai pengganti garam saat membakar ikan kemarin. Dia juga menunjukkan pada mereka jenis-jenis daun dan lumut, yang bisa diramu secara sederhana untuk obat malaria. Dengan takaran yang berbeda, bahagian tumbuhan itu bisa pula diramu menjadi obat luka yang manjur.
Ketika malam turun, dan kebetulan bulan sabit muncul di langit yang bersih, mereka membuat api unggun di tepi sungai itu sambil berbaring di pasir yang putih bersih. Tempat itu demikian tenang. Berada di tempat amat tenang dengan suara desah air terjun itu, orang sudah mengalami atau paling tidak melihat puing neraka perang Vietnam, takkan percaya bahwa ada tempat seperti itu di Vietnam. Negeri yang selama belasan tahun dicabik-cabik oleh perang yang kekejamannya tiada tara.
Kekejaman perang Vietnam tercatat dalam sejarah peperangan mana pun yang pernah dikenal umat manusia di permukaan bumi ini. Kekejaman balatentara Jepang saat perang Pacific jadi tidak berati dibanding kekejaman perang Vietnam. Tempat mereka berada sekarang seolah-olah berada di negeri lain, yang jauh sekali dari negeri yang bernama Vietnam.
“Kenapa engkau tak ikut dengan heli tempur yang menjemput Kolonel MacMahon?” tiba-tiba saja Cowie mengajukan pertanyaan pada si Bungsu, saat mereka berbaring di dekat api unggun di pasir putih di tepi sungai tersebut.
Pertanyaan yang sejak awal sudah mengusik perasaan Cowie. Si Bungsu tak segera menjawab. Sambil menelentang dia menatap bulan sabit di langit yang bersih. Jock Graham dan Smith merobah posisi tidurnya. Jika sebelumnya mereka menelentang kini pada memiringkan tubuh menghadap ke arah si Bungsu. Mereka memang ingin tahu, kenapa lelaki Indonesia itu bertemu dengan MacMahon di tempat kolonel itu disekap. Dan kenapa dia tak ikut pergi atau tak ikut dibawa bersama helikopter tersebut.
“Ada puluhan tentara Vietnam saat itu…” ujar si Bungsu perlahan.
“Mengepung heli tersebut?” ujar Cowie.
“Ya. Sekaligus menembakinya….”
“Engkau bersama MacMahon saat itu?”
“Persisnya tidak. Setelah MacMahon dan beberapa tentara Amerika lainnya saya bebaskan dari tempat penyekapan, kami membagi kelompok menjadi tiga bahagian.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-710
Dua kelompok kemudian bergabung setelah kami membumi hanguskan kamp tentara Vietnam. Saya memilih tinggal di belakang, menahan dua regu Vietnam yang memburu kami. Ketika saya berhasil menahan para pengejar dan tiba di tempat penjemputan, saya lihat keadaan amat kritis. Kalau heli itu tidak berangkat segera, mereka semua akan terbunuh. Saya yang masih berada belasan meter dari heli itu, mencoba mengalihkan serangan tentara Vietnam dari heli dengan menembaki tentara Vietnam tersebut.
Heli itu, berikut MacMahon dan beberapa tentara Amerika berhasil lolos. Dan saya tertangkap. Itulah sebabnya kita bertemu…” ujar si Bungsu menuturkan secara sederhana kenapa dia kini berada di antara ke tiga tawanan Amerika itu. “Engkau pernah belajar taktik perang, kawan…?” tanya Cowie. Si Bungsu tersenyum. “Saya hanya belajar membunuh dan menyelamatkan diri dari orang yang ingin membunuh saya, Cowie…” ujar si Bungsu. Sepi setelah itu. Tak ada yang berkata, bahkan tak seorang pun di antara ke empat orang itu yang bergerak. Masing-masing tenggelam dalam fikiran mereka sendiri. “Sudah berapa banyak orang yang kau bunuh, kawan?” tiba-tiba Smith yang induk carut itu bertanya perlahan. Si Bungsu menarik nafas. Cowie tersenyum mendengar si kepala hampir botak yang induk carut itu memanggil si Bungsu dengan sebutan ‘kawan’. Padahal biasanya dia memanggil dengan ‘pantat kurap’ atau induk sipilis.
Dia merasa senang, sikap dan ketangguhan si Bungsu ternyata berhasil menundukkan perilaku anak buahnya yang isi kepalanya ibarat tong segala carut itu. “Berapa orang yang sudah kau bunuh dalam peperangan di Vietnam ini, Smith…?” si Bungsu balik bertanya, dengan suara yang juga perlahan. Smith menelentangkan tubuhnya. Menatap awan tipis yang bergerak perlahan melewati bulan sabit di atas sana. Terdengar dia menarik nafas panjang dan berat, seperti keluhan. “Barangkali delapan sampai dua belas orang…” jawab Tim Smith perlahan, sembari membayangkan beberapa perang di mana dia menembak mati tentara Vietnam. “Sudah berapa orang yang kau bunuh, Bungsu?” kembali Smith bertanya karena si Bungsu masih berdiam diri. “Saya rasa takkan kurang seratus orang, Smith…” jawab si Bungsu dengan suara seperti menggigil. Jawaban itu tak hanya membuat Smith dan Jock Graham yang terkejut.
Melainkan juga Letnan PL Cowie. Ketiga orang itu duduk dan menatap ke arah si Bungsu yang tengah memandangi langit dan bulan sabit. Mereka tak merasa perlu bertanya apakah si Bungsu bergurau dengan jawabannya itu. Mereka yakin, jawaban itu adalah jawaban yang penuh kejujuran. Mereka juga tak menangkap sedikit pun nada bangga dalam ucapan lelaki itu. Cowie malah seperti mendengar suara lelaki itu seperti sebuah tangisan. “Oh my God…!” desis Cowie dan Smith hampir bersamaan. Si Bungsu ikut duduk.
Kemudian memeluk kedua lututnya. “Ya, jumlah orang yang kubunuh demikian banyak, kawan. Sehingga aku tak lagi bisa menghitung. Akhirnya aku sendiri tak tahu, apakah aku membunuh benar-benar dengan alasan membela diri, atau membunuh sudah merupakan candu bagiku. Itulah sebabnya keempat tentara Vietnam yang menggiringku dari lobang penyekapan dan ke dua orang yang menjaga di pondok dekat lobang kita disekap, dan beberapa lagi di hutan yang memburu kita, tak seorang pun yang mati.
Mereka hanya sekedar kubuat lumpuh…” tutur si Bungsu perlahan sambil matanya menatap kosong ke lidah api yang menjilat kayu unggun, sekitar dua meter dari tempat mereka duduk. “Engkau membunuh musuhmu dengan senjata api?” Yang bertanya ini adalah Jock Graham, yang tak tahan untuk tidak mengetahui lebih banyak tentang orang Indonesia yang berhasil mengeluarkan mereka dari lobang jahanam tahanan Vietnam itu. “Sebagian besar tidak….” “Dengan tangan?” “Dengan samurai….” “Samurai…?” tanya Jock Graham dengan perasaan heran. Cowie dan Smith juga kembali menatap pada si Bungsu dengan perasaan semakin heran. “Ya, Jock. Barangkali saya adalah satu dari sedikit sekali orang yang amat mahir menggunakan samurai. Bahkan dibanding dengan orang-orang Jepang yang paling mahir sekali pun. Baik samurai panjang, maupun samurai-samurai kecil yang dilemparkan dari jarak belasan meter…” ujar si Bungsu sambil melemparkan segenggam pasir ke air sungai yang mengalir perlahan. Ketiga tentara Amerika itu terdiam.
Mereka percaya pada semua yang diucapkan orang Indonesia ini. Kendati mereka tak tahu bagaimana orang ini mempergunakan samurai itu. Mereka hanya membayangkan beberapa film samurai Jepang yang pernah mereka tonton. Misalnya film Zato Ichi, yang pernah cukup laris di Amerika sebelum mereka terjun ke perang Vietnam. “Engkau punya isteri dan anak…?” Pertanyaan ini Cowie yang mengajukan.
Si Bungsu menggeleng. “Saya punya isteri dan dua anak. Wanita keduanya. Yang besar sekarang sudah berumur tiga belas tahun. Yang kecil enam tahun. Mereka tinggal di Chicago…” ujar Cowie perlahan. “Saya juga punya isteri, dulu, ketika empat tahun yang lalu saya cuti dan pulang ke Illionis, isteri saya ternyata berselingkuh dengan teman sekantornya. Dia bekerja di sebuah biro perjalanan. Saya sudah tiga hari di rumah, ketika saya datang ke sebuah hotel untuk mengantar titipan salah seorang teman yang tak cuti karena mendapat hukuman. Saat itulah saya melihat isteri saya datang dengan seorang lelaki, kemudian masuk ke sebuah kamar yang sudah mereka pesan. Buat sesaat saya tertegun. Kemudian pintu kamar mereka saya tendang hingga jebol. Mereka, yang sama-sama sudah telanjang bulat dan sedang bergumul di karpet, menatap saya seperti melihat setan…” Yang bercerita ini adalah Tim Smith.
Dia berhenti sejenak dengan nafas sesak. Cerita itu tentu saja baru bagi si Bungsu dan Jock Graham. Jock Graham memang baru mengenal Smith setelah dijebloskan bersama si Bungsu di lobang yang sudah dihuni duluan oleh Cowie dan Smith. Mereka berlainan pasukan. Namun bagi Cowie, cerita Smith itu memang sudah dia dengar langsung dari anak buahnya itu. Lalu terdengar Smith menyambung ceritanya. “Sialnya ada peraturan, bahwa tentara yang pulang cuti tidak dibolehkan membawa senjata. Kalau saja saya membawa senjata, keduanya pasti sudah tak ada lagi sekarang….”

Tidak ada komentar: