Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 631-632-633

Dalam Neraka Vietnam -bagian 631-632-633


Dalam Neraka Vietnam -bagian-631-632-633
si bungsu
Matanya menyambar ke bahagian kanan, ke kayu-kayu besar yang tegak mematung sejak ratusan tahun yang lalu. Kemudian ke bahagian kiri. Ke arah se gerombolan pinang merah yang rimbun. Beberapa anak buahnya ikut menatap dengan tajam ke arah yang ditatap si komandan.
“Siapa pun orangnya yang menembakkan howitzer itu, yang kini tak kita temukan jejaknya, dia adalah tentara yang luar biasa. Dia pasti salah seorang yang sangat ahli dalam peperangan, ahli mencari dan menghilangkan jejak. Kita tidak tahu di mana dia kini, apakah di depan atau di belakang kita. Dia bisa saja menyerang dengan sangat tiba-tiba. Siapa pun dia, dia adalah lawan yang sangat tangguh. Kita akan bergerak cepat memburu ke tiga orang yang jejaknya bisa dilacak ini. Tapi waspadalah…” ujar si komandan sambil berdiri dari jongkoknya.
Belasan anak buahnya yang mendengar tidak hanya menjadi sangat waspada, namun sekaligus juga dicengkeram ketegangan. Tiba-tiba saja mereka pada menoleh dengan perasaan penuh khawatir ke pohon-pohon besar, ke belukar dan semak-semak di sekitar mereka. Tentara Amerika tangguh yang disebut si komandan itu seolah-olah sudah berada di sana, mengarahkan bedilnya dengan telunjuk di pelatuk, ke arah kepala mereka. Orang itu seolah-olah sudah berada persis di depan atau di belakang mereka.
Si Komandan memberi isyarat kepada dua anak buahnya yang memang ahli melacak jejak. Kedua orang itu segera melangkah duluan. Mereka bergerak cepat. Hanya sesekali membungkukkan badan, melihat ke arah mana jejak kaki yang mereka ikuti itu berbelok. Setelah mengetahui kemana arahnya, mereka segera bergerak dengan cepat. Si komandan dan belasan anak buahnya tinggal mengikuti kedua pencari jejak itu saja.
Kedua pencari jejak itu direkrut dari satu atau paling banyak tiga suku pengunungan di utara Vietnam. Suku-suku di pegunungan itu merupakan suku yang instingnya luar biasa. Mereka selalu diandalkan bila pasukan berusaha meloloskan diri dari kejaran Amerika. Sebaliknya, mereka juga diandalkan untuk mencari jejak dan pertahanan Amerika yang tersembunyi di belantara selama berkecamuknya perang Vietnam yang belasan tahun itu.
Orang-orang pencari jejak ini amat dilindungi dan diistimewakan pula. Tentara Amerika sangat pula mengintai mereka. Mereka merupakan sasaran utama dalam peperangan. Sebab, sudah tak terhitung nyawa tentara Amerika yang melayang akibat kemahiran para pencari jejak ini. Hampir tak ada tempat persembunyian yang tak mereka temukan!
Kedua pencari jejak itu pula yang punya firasat tak sedap, tatkala mereka mulai melangkahkan kaki saat si komandan jongkok dekat jejak ketiga orang yang mereka buru. Mereka tak tahu apa wujud perasaan tak sedap itu secara pasti. Yang jelas mereka merasa ada bahaya mengancam di setiap langkah yang mereka ayunkan. Jika tadi mereka memburu dengan cepat, kini langkah mereka agak tertahan. Tiap sebentar mereka menatap pohon besar di depan dan di samping mereka dengan penuh curiga. Pasukan Vietnam yang melakukan pengejaran itu bergerak dalam formasi ‘V’ terbalik atau bentuk ujung panah. Si pencari jejak di depan sekali dan si komandan di belakang mereka.
Kemudian pasukan yang lain membentuk sayap dikiri kanan dalam jarak yang satu dengan yang lain antara dua sampai lima depa. Mereka bergerak dari pohon ke pohon, dari palunan belukar yang satu ke palunan berikut di depannya.
Tentara yang berada di posisi paling ujung di bahagian kanan menyelusup dari balik pohon besar ke sebuah palunan semak dengan senjata siap ditembakkan. Begitu dia memasuki palunan semak itu tiba-tiba saja sebuah tangan membekap mulutnya dari samping.
Dia terkejut separoh mati, namun itulah kesempatan terakhir baginya untuk merasakan bagaimana terkejut semasa hidup. Sebab setelah itu, tangan orang yang membekap mulutnya, yang tak lain dari si Bungsu, menyentakkan tangannya yang membekap mulut si tentara itu dengan teknik yang amat khusus, yang hanya mampu dilakukan oleh ahli beladiri yang sangat terlatih. Begitu kepalanya diputar dengan teknik khusus itu, terdengar suara yang berderak dari dalam leher tentara Vietnam tersebut.
Matanya mendelik, dan kini benar-benar mati penuh. Tak ada kesempatan si tentara untuk berteriak memberi tahu teman-temannya. Padahal jarak temannya hanya sekitar lima depa didepannya. Apalagi untuk mempergunakan bedil. Padahal, tangan yang membekapnya tidaklah kukuh besar. Hanya gerakannya demikian terlatih dan demikian cepat. Tubuhnya sudah tak bernyawa tatkala dibaringkan si Bungsu perlahan di tanah. Pada saat itu, tentara yang lain bergerak maju.
Si Bungsu menunggu beberapa saat, kemudian dengan gerakan cepat dia bergerak pula dari palunan belukar itu ke balik pohon besar sekitar enam depa di depannya. Orang ke dua di ujung sayap kanan itu menoleh ke kiri, ke kawannya yang berada di bahagian paling ujung sayap tersebut. Dia tak melihat ada gerakan di bahagian ujung itu. Sambil melangkah maju ke arah sebuah pohon besar di depannya, dia bersiul kecil ke arah temannya itu. Tak ada jawaban dan tak ada yang bergerak maju.
Dia masih belum curiga saat tubuhnya mencapai pohon besar tersebut. Dia masih menolehkan kepala ke bahagian kiri, berharap melihat teman yang dia siuli tadi. Ketika tak ada gerakan dari arah kanannya, dia berniat memberi tahu temannya yang lain, yang berada di posisi kirinya. Namun matanya melotot, tatkala menolehkan kepala ke kanan. Seorang lelaki tegak di bawah pohon yang sama dengannya.
Jantungnya hampir copot saking kagetnya. Dia sama sekali tak mendengar suara apa pun saat lelaki itu mendekati tempatnya. Ataukah lelaki ini sudah ada di bawah pohon itu saat dia datang? Kalau ya, kenapa dia tak melihatnya? Tapi apa pedulinya dengan bagaimana cara lelaki itu berada di bawah pohon tersebut. Jarak antara dia dengan lelaki itu hanya sejengkal. Mereka berada rapat di bawah pohon besar yang sama. Dia segera teringat pada ucapan komandannya tadi.
“Siapapun orangnya yang menembakkan howitzer itu, yang kini tak kita temukan jejaknya, dia adalah tentara yang luar biasa. Dia pasti salah seorang yang sangat ahli dalam peperangan, ahli mencari dan menghilangkan jejak. Kita tidak tahu di mana dia kini, apakah dia di depan atau di belakang kita. Dia bisa saja menyerang dengan sangat tiba-tiba. Siapa pun dia, dia adalah lawan yang sangat tangguh. Kita akan bergerak cepat memburu ketiga orang yang jejaknya bisa dilacak ini. Tapi waspadalah….”
Tentara itu yakin inilah orang yang dimaksud si komandan. Ternyata orang itu bukan orang Amerika. Paling tidak bukan bule dan bukan pula Negro, sebagaimana lazimnya tentara Amerika yang selama ini mereka hadapi. Mungkin orang Vietnam dari salah satu suku di selatan. Orang ini juga tidak berseragam tentara. Atau barangkali orang ini orang Kamboja, pikir tentara Vietnam itu. Tapi peduli setan dan darimana asal usulnya, yang jelas inilah orang yang tadi dikatakan ‘amat berbahaya’ tersebut.
Si tentara yang belum habis rasa kagetnya itu segera membuka mulut, dia ingin berteriak memberitahu kawan-kawannya. Namun, sebelum mulutnya terbuka, tangan si Bungsu bergerak. Sebuah pukulan dari kepalan yang digenggam erat, yang ruas jari tengahnya menonjol dari ruas jari-jari yang lain, menghantam leher tentara itu persis di bahagian jakunnya. Terdengar suara berderak lemah, seperti suara kerupuk terinjak.
Tulang rawan jakun-jakun lelaki itu remuk kena hantam ruas jari tengah si Bungsu. Matanya mendelik. Dari mulutnya perlahan meleleh darah, kemudian dari hidungnya. Kemudian dia mati. Namun kendati si tentara tak sempat berteriak, temannya yang berada di balik pohon sekitar enam depa dari tempat itu, melihat senjata si tentara yang kena pukul tersebut jatuh. Tentara itu semula merasa heran. Dia tak jadi bergerak ke depan, melainkan menatap dengan seksama, dengan bedil siap tembak.
Hanya beberapa detik kemudian, tubuh temannya itu melorot dan terkapar di bawah pohon besar tersebut. Si tentara sadar, ada sesuatu yang amat tak beres. Dia mengangkat bedil, kemudian melangkah perlahan mendekati pohon tersebut. Saat itu si Bungsu tiba-tiba muncul dari balik pohon besar itu. Tentara itu ternganga. Si Bungsu tak memberi kesempatan, tangannya bergerak.
Sebuah samurai kecil meluncur dengan kecepatan tak terikutkan oleh mata. Melesak masuk ke mulut tentara yang sedang ternganga itu. Menancap di lehernya bagian dalam, tembus ke tengkuk! Tentara itu harusnya bisa memekik, namun karena di dalam mulutnya ada samurai kecil yang menembus lehernya, suara yang keluar hanya seperti suara kerbau disembelih. Saperti suara air mendidih. Lalu tumbang. Namun saat tumbang tangannya masih di pelatuk bedil, tak sengaja pelatuk bedil itu tertarik. Bedil meletus, pelurunya menembus tanah. Dia rubuh. Lalu mati!
Suara tembakan tunggal dari bedil lelaki itu merobek kesunyian belantara. Si komandan yang berada sekitar lima puluh depa di depan, begitu juga belasan tentara lain, pada terkejut dan secara reflek mencari pohon terdekat untuk berlindung kemudian menjatuhkan diri di tanah.
“Darimana asal tembakan itu?” ujar si komandan pada kedua pancari jejak di sampingnya.
“Dari ujung sayap kanan…” jawab salah seorang pencari jejak yang ditanya.
Si komandan memberi isyarat agar lima anggota pasukannya yang terdekat segera memeriksa ke tempat letusan itu. Kelima mereka segera bergerak cepat dengan merayap ke arah yang ditunjukkan si pencari jejak. Mereka merayap dengan posisi menyebar. Hanya dalam beberapa saat, mereka segera melihat tubuh temannya yang bedilnya meledak itu tertelungkup di tanah. Kedua tangannya terhimpit di bawah tubuhnya, namun masih dalam posisi memegang dan menghimpit bedil yang tadi meletus.
Kelima mereka memeriksa dengan tatapan penuh selidik situasi hutan di sekitar mayat itu terkapar. Setelah yakin tak ada bahaya, komandan regu memerintahkan dua anggotanya untuk memeriksa mayat tersebut. Yang tiga orang tiarap dengan bedil siap tembak dan sikap penuh waspada, berjaga-jaga dari tempat mereka tiarap. Kedua tentara yang merayap itu sampai ke tubuh temannya. Yang seorang segera bangkit berjongkok, kemudian membalikkan tubuh temannya yang mati itu.

Tidak ada komentar: