Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 573-574

Dalam Neraka Vietnam -bagian 573-574


Dalam Neraka Vietnam -bagian- 573
makmur hendrik

“Oke, tempat ini aman. Kau naik ke atas…” ujar si Bungsu.
Sebelum Thi Binh faham benar apa yang dimaksud si Bungsu, dia merasa pinggulnya ditekan oleh kedua tangan lelaki dari Indonesia itu. Detik berikutnya tubuhnya sudah terangkat dan didudukkan di dahan rendah itu.
“Hei….!” protesnya.
“Diam di sini bersama abang dan ayah mu…” bisik si Bungsu, sambil memberi isyarat pada Duc Thio dan Han Doi agar mendekat.
“Naik ke dahan itu. Pohon ini aman, tak ada ular atau binatang berbisa lainnya. Tunggu saya di sini….”
Sebelum kedua lelaki itu naik ke dahan, si Bungsu sudah melangkah. Dia kembali mengikuti jejak darimana mereka tadi datang. Tak lama kemudian, sekitar lima puluh meter dari pohon yang mereka naiki, mereka mendengar pekikan dan rentetan tembakan dari tentara Vietnam yang disambar buaya itu.
Si Bungsu tak berapa jauh dari sana. Setelah tentara yang memburu mereka balik kanan, dia kembali ke tempat kawan-kawannya. Dalam perjalanan menuju pohon di mana kawan-kawannya menunggu, dia mendengar desir dan kecipak air. Dia hafal, kecipak air itu muncul akibat buaya melahap mangsanya.
Dia bergegas. Mereka harus menjauhi tempat ini, sejauh yang bisa mereka lakukan. Sebab, buaya-buaya yang lain dari berbagai penjuru rawa kini sedang menuju ke daerah penjagalan tentara Vietnam itu. Mereka datang karena terangsang oleh bau darah yang membanjir di dalam rawa, yang tumpah dari tubuh beberapa manusia yang kini tengah dilahap buaya-buaya tersebut.
“Naiklah ke dahan yang lebih tinggi…” ujarnya kepada Thi Binh dan Han Doi, sesampainya dia di pohon di mana teman-temanya itu menanti.
Dia sendiri ikut naik dan duduk berjuntai di dahan sekitar dua meter di atas air. Akan halnya Thi Binh, begitu si Bungsu duduk, dia segera meninggalkan cabang dimana dia berada. Dia duduk di belakang si Bungsu, kemudian memeluk pinggang anak muda itu dari belakang.
Tak berapa menit kemudian, rawa itu sudah agak terang karena pagi sudah datang. Si Bungsu memberi isyarat kepada Duc Thio dan Han Doi. Dia menunjuk ke bawah, dimana tadi mereka berdiri.
Air di bawah dahan dimana mereka kini berada mereka lihat bergerak. Dari gerigi yang muncul di permukaan air, mereka segera tahu, bahwa gerak air itu disebabkan buaya besar yang tengah menuju ke arah dimana malam tadi mereka datang.
Si Bungsu kembali memberi isyarat dengan telunjuk ke arah kanan dari pohon tempat mereka berada. Dengan terkejut Han Doi dan Duc Thio melihat betapa ada sekitar lima sampai tujuh ekor buaya sedang meluncur ke arah yang sama.
“Ya Tuhan. Rawa ini ternyata memang sarang buaya…” ujar Han Doi.
“Bagaimana kita meninggalkan tempat ini?” bisik Thi Binh dari belakang.
“Kita tunggu berapa saat lagi. Mereka pasti memperebutkan bangkai tentara Vietnam yang terjebak tadi. Perebutan itu juga akan menyebabkan dua sampai empat ekor buaya itu akan mati berkelahi sesamanya. Mereka akan menyantap bangkai teman mereka sendiri. Itulah saatnya kita meninggalkan tempat ini. Dan dalam cuaca yang agak terang, kita bisa lebih bebas mencari jalan yang aman dalam rawa maut ini…” ujar si Bungsu.
Bisikannya yang cukup keras itu tak hanya di dengar Thi Binh di belakangnya, tetapi juga didengar Han Doi dan Duc Thio. Mereka masih nanap melihat buaya-buaya yang meluncur cepat ke arah hilir sana.
Tak lama kemudian, ketika tak ada lagi gerakan air di permukaan rawa, dan ketika rawa itu sudah cukup terang oleh terobosan cahaya matahari, si Bungsu memperhatikan rawa tersebut dari utara ke barat, dari selatan ke timur.
Semua mereka terpana melihat rawa dahsyat itu. Sesayup-sayup mata memandang kemana pun tatapan diarahkan, yang terlihat hanyalah air merah ke hitam-hitaman di antara belantara yang tegak mematung. Di permukaan air rawa, di sela-sela belukar maupun pohon-pohon raksasa yang tegak menjulang, mengapung kabut tipis.
Kabut itu seolah-olah ingin menutupi misteri yang tersembunyi di bawah permukaan air merah kehitam-hitaman tersebut. Air merah kehitam-hitaman itu nyaris tak bergerak, tak beriak sedikitpun.
Air gelap itu baru beriak jika ada daun atau buah kayu yang jatuh. Setelah riak-riak bundar akibat sesuatu yang jatuh ke air itu, yang makin lama makin besar dan kemudian lenyap, air rawa itu akan kembali rata. Diam seolah-olah membeku, seperti lantai batu marmer berwarna gelap dan dingin.
“Sampai kapan kita di sini?” tiba-tiba Thi Binh bertanya lagi.
Si Bungsu menoleh ke belakang. Kepada Thi Binh yang duduk dan masih saja memeluk tubuhnya. Gadis itu menatap padanya dari jarak hanya sekitar sejengkal.
“Kalau lapar…” ujar si Bungsu.
Thi Binh menatap lelaki Indonesia itu beberapa jenak. Kemudian mengangguk.
“Saya lapar sekali…” desah Thi Binh sambil menyandarkan wajahnya ke bahu si Bungsu.
Duc Thio segera membuka tas kerunjut kain yang dia sandang. Dari dalamnya dia mengeluarkan ayam yang biasanya digantung di atas tungku. Ayam itu setelah dipotong direbus, kemudian diberi bumbu, lalu dikeringkan di atas tungku.
Duc Thio menyayat daging ayam itu dengan pisau yang dia bawa. Kemudian menyerahkan sayatan terbesar kepada Thi Binh. Sayatan kedua diserahkannya kepada si Bungsu. Lalu kepada Han Doi. Kemudian dia menyayatnya untuk dirinya sendiri. Sisanya dia masukkan kembali ke dalam tas kain, bercampur dengan dua potong pakaiannya dan pakaian Thi Binh.
“Engkau tinggal di sini bersama ayahmu. Kami akan pergi mencari sesuatu untuk dijadikan sampan…” ujar si Bungsu kepada Thi Binh.
Gadis remaja itu menatap si Bungsu sambil mengunyah dendeng ayamnya, kemudian mengangguk. Kemudian melepaskan pelukan tangan kirinya dari pinggang si Bungsu.
“Tetap sajalah di sini. Pergunakan senapan ini jika ada bahaya. Saya akan pergi bersama Han Doi…” ujar si Bungsu kepada Duc Thio.
Dengan berbekal dua buah parang milik Duc Thio dan Han Doi, kemudian masing-masing sebuah bedil, si Bungsu dan Han Doi turun dari kayu tersebut. Di dalam air setinggi dada, mereka bergerak perlahan ke arah utara, yaitu ke arah pinggir rawa. Namun si Bungsu mengambil jalan memutar, yang berlawanan arah dengan tempat buaya-buaya memangsa tentara Vietkong itu.
“Engkau pernah bertempur di rawa seperti ini, Han Doi?” tanya si Bungsu, tatkala mereka berenang, karena rawa yang mereka lewati airnya sudah sangat dalam.
“Tidak. Dahulu saya hanya bertugas di desa-desa sekitar Da Nang. Hanya dua tahun bertugas sebagai tentara saya direkrut untuk menjadi mata-mata oleh Ame…” suara Han Doi tersekat di tenggorokan, setelah dia menoleh ke belakang karena mendengar ada suara aneh di belakangnya.
Matanya mendelik. Dia lupa di tangannya ada bedil. Si Bungsu yang kemudian ikut menoleh ke belakang, segera membekap mulut Han Doi kuat-kuat. Bekapan itu menyebabkan pekik orang Vietnam itu tertahan di tenggorokan.
“Jangan bersuara, jangan bergerak…” bisik si Bungsu dengan suara hampir menggigil.
Semula, tatkala berjarak sekitar dua puluh depa dari tepi rawa, mereka terhalang oleh sebuah batang kayu panjang, yang nampaknya sudah lama mati dan terendam di rawa tersebut.
Sambil tetap bercerita mereka melewati batang kayu yang mungkin besarnya sebesar paha lelaki dewasa, dan panjangnya sekitar belasan depa itu, dengan cara menyelam dan muncul di sebelahnya.
Ternyata, kayu itu adalah seekor ular raksasa yang bahagian kepalanya melilit ke sebuah kayu besar. Mungkin ketika mereka menyelam di bawah tubuh ular itu, si ular merasa terusik, dan menggeliat bangun!
Ular raksasa itulah yang pertama tertatap oleh Han Doi saat menolehkan kepala ke belakang. Ujung ‘kayu’ itu seperti segi tiga pipih, yang lebarnya tak kurang sedepa. Dari mulutnya yang pipih lancip itu tiap sebentar menjulur lidahnya yang bercabang.
Si Bungsu masih tetap membekap mulut Han Doi, dan tubuh mereka tetap mengapung diam mematung di permukaan air rawa. Menatap dengan jantung menggigil pada monster raksasa penunggu rawa dahsyat itu.

Dalam Neraka Vietnam -bagian-574

Setelah menggeliat,raksasa itu meluncur ke arah tengah rawa. Mereka masih tak mampu bergerak dari tempatnya, kendati bahagian ekor monster menakutkan itu sudah lama lenyap ke dalam kabut di bahagian tengah rawa.
“Kita harus segera bergerak…” ujar si Bungsu tanpa dapat menyembunyikan suaranya yang menggigil.
“Iy… iya…” ujar Han Doi yang tak mampu menahan kencingnya untuk tak terpancar sesaat setelah melihat raksasa dahsyat itu tadi.
Mereka bergerak cepat ke tepi rawa.
“Mencari apa kita kemari…” tanya Han Doi setelah mengikuti si Bungsi berputar-putar beberapa saat di dalam hutan di pinggir rawa tersebut.
“Mencari kayu itu…” ujar si Bungsu sambil menunjuk batang kayu kuning keputih-putihan sebesar dua kali pelukan manusia dewasa.
“Kayu ini besar daya apungnya di air. Bisa kita jadikan rakit untuk menerobos rawa ini ke hulunya,” ujar si Bungsu tatkala mereka mulai menebang kayu besar tersebut.
Han Doi merasa takjub pada pengetahuan lelaki Indonesia ini tengah rimba belantara dan jenis kayu yang tumbuh di dalamnya. Sebab, ketika menebang kayu besar itu parangnya seperti memakan kayu gabus. Dalam waktu yang tak begitu lama, dan tanpa harus membuang tenaga banyak, kayu itu segera tumbang arah ke danau.
“Potong-potong sepanjang tiga depa, sebatang kayu ini bisa dapat tiga potong. Saya akan mencari sesuatu…” ujar si Bungsu sambil meninggalkan Han Doi.
“Hei, jangan tinggalkan saya. Nanti monster di rawa itu datang lagi kemari…” ujar Han Doi.
“Kalau dia datang, suruh tunggu saya sebentar…” ujar si Bungsu sambil menyelinap ke dalam hutan.
Han Doi menggerutu panjang pendek, sembari tiap sebentar menoleh ke arah rawa, di mana tadi dia baru saja melihat monster yang teramat dahsyat. Setelah kayu itu terpotong menjadi tiga bahagian, Han Doi mencari rotan dan mengapitnya dengan kayu sebesar-besar betis. Si Bungsu tiba dengan memikul nangka hutan, pisang dan empat buah durian.
“Hei dari kebun mana kau panen buah-buahan itu?” ujar Han Doi berseloroh.
“Kau makanlah, saya akan merampungkan rakitmu ini…” ujar si Bungsu.
Dia mendekati rumpun bambu kuning yang tumbuh tak jauh dari tepi rawa. Memotongnya belasan batang. Kem udian dengan cepat mengikatnya menjadi lantai di bahagian atas rakit tersebut. Han Doi terkesima ketika melihat betapa bagusnya rakit itu kini.
“Mari kita apungkan ke air…” ujar si Bungsu.
Dengan mudah mereka berdua memikul rakit itu ke air. Ketika diletakkan di air, rakit itu mengapung dengan bagusnya.
“Ayo ambil buah-buahan tadi, kita jemput Thi Binh dan ayahnya…” ujar si Bungsu sambil membersihkan tiga batang bambu, masing-masing sepanjang sepuluh depa, untuk galah menjalankan rakit tersebut.
Mereka naik ke rakit itu. Kemudian perlahan si Bungsu yang tegak di bahagian depan rakit menancapkan bambu panjang itu ke dasar rawa. Dengan menekan bambu tersebut si Bungsu berjalan sepanjang pinggir rakit tiga meter itu ke belakang.
Rakit itu segera meluncur di atas air.
Si Bungsu kemudian mencabut bambu itu, lalu berjalan ke depan. Menancapkan kembali, dan menekannya sambil berjalan ke belakang. Dengan cara demikian rakit itu meluncur cepat ke depan.
Hanya sekitar lima belas menit bergalah, mereka sampai ke pohon yang dimana Thi Binh dan ayahnya menunggu. Kedua anak beranak itu tercengang melihat rakit berlantai bambu kuning, yang terlihat amat elok tersebut.
“Kita akan memulai perjalanan ke selatan. Kita akan bergantian bergalah. Saya duluan. Namun yang lain harus memperhatikan dengan seksama setiap dahan dan cabang yang menggantung, serta setiap pohon atau dahan yang mengapung di air. Dalam rawa angker ini, benda-benda itu bisa saja bukan cabang, dahan atau pohon melainkan ular, buaya atau makhluk berbahaya lainnya, yang mungkin belum pernah kita temui…” ujar si Bungsu tatkala Thi Binh dan Duc Thio sudah berada di rakit tersebut.
Ketika si Bungsu bergalah, dan rakit itu bergerak maju di antara pepohonan rakasa, Thi Binh melahap durian dan nangka hutan yang amat harum dan nikmat rasanya itu. Setelah beberapa saat bergalah, dan melihat Thi Binh masih saja memakan buah-buahan itu dengan nikmat, si Bungsu tiba-tiba ikut merasa amat lapar. Dia menyerahkan galah kepada Han Doi.
“Hindari lewat di bawah cabang-cabang kayu, hindari menerobos belukar. Hindari kayu-kayu besar yang mengapung. Hindari kabut yang terlalu tebal. Tetaplah pertahankan posisi ke arah matahari terbenam,” ujar si Bungsu pada Han Doi, saat dia akan duduk bersila di bahagian belakang rakit berhadap-hadapan dengan Thi Binh.
Si Bungsu segera ikut melahap durian yang isinya sebesar-besar lengannya itu. Dalam sebuah ruang hanya ada seulas atau sebuah isi durian. Bijinya tak sampai sebesar jempol tangan. Isi durian itu liat seperti ketan. Rasanya nikmat luar biasa.
“Di Indonesia ada buah seperti ini?” tanya Thi Binh ketika melihat betapa si Bungsu melahap buah yang kulitnya berduri itu seperti orang kalap.
Si Bungsu hanya mengangguk setelah menelan ulas ke empat, kemudian sendawa. Kemudian menatap ke depan. Han Doi yang tegak di sisi kanan rakit sedang menancapkan galahnya.
Dari bahagian galah yang tersisa di bahagian atas, si Bungsu tahu rakit mereka kini berada di tempat yang tak begitu dalam airnya. Paling-paling hanya sebatas paha. Sekitar lima depa di bahagian kiri mereka ada belukar lebat yang memanjang ke depan.
Di depan, sekitar sepuluh depa dari rakit mereka, terdapat kumpulan kabut tebal. Han Doi tengah menggalah rakit menuju arah kabut tersebut. si Bungsu mencuci tangannya ke air rawa. Matanya nanap menatap kabut tebal yang mengapung di atas pepohonan di permukaan rawa di depan sana.
Thi Binh yang sejak tadi menatap si Bungsu melihat sikap aneh lelaki Indonesia tersebut. Kening lelaki itu berkerinyit. matanya disipitkan seolah-olah ingin menembus ketebalan kabut di depan sana, yang makin lama makin didekati rakit.
“Ada apa?” tanya Thi Binh perlahan.
Si Bungsu menggeleng. Namun tatapan matanya yang tajam tetap diarahkan ke depan. Sesaat dia mengalihkan tatapannya ke kiri. Kemudian ke kanan, kemudian ke kabut tebal itu. Dia berdiri.
“Berpegang erat-erat ke bambu lantai rakit…” ujarnya perlahan pada Thi Binh. Kemudian kepada Han Doi yang sedang bergalah dia berbisik.
“Han Doi… Hentikan rakit….”

Tidak ada komentar: