Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 545-546

Dalam Neraka Vietnam -bagian 545-546


Dalam Neraka Vietnam -bagian-545
Ami memasang rokok Dunhill-nya. Mengisap dan mengepulkan asapnya dengan nikmat.
“Bila engkau berada di bahagian luar sana, dan ingin masuk ke terowongan rahasia, perhatikan warna merah. Itu adalah tanda pengumpil. Mungkin terlihat hanya sebagai sebuah besi tua, mungkin berbentuk tong sampah, mungkin berbentuk tiang bendera. Benda-benda itu harus engkau putar setengah putaran. Pintu rahasia berada setengah meter dari pengumpil itu. Mungkin di tanah, mungkin di dinding rumah, mungkin di dasar parit besar. Well, semua yang kau perlukan telah kupaparkan…” ujar Ami mengakhiri uraiannya.
Ketika itu pintu terbuka. Le Duan, abang Ami Florence masuk ke ruangan. Di ikut duduk di samping si Bungsu setelah terlebih dahulu menyapa dan menyalami anak muda tersebut dengan ramah. Ami menuangkan secangkir kopi untuk abangnya itu. Kemudian mengoles kan selai ke roti yang sudah dibakar. Memberikannya kepada Le Duan.
“Nampaknya ada sesuatu yang penting…?” tanya Ami pada abangnya.
Le Duan mengunyah roti di mulutnya, menelannya. Kemudian menghirup kopi. Lalu menatap pada si Bungsu, kemudian pada Ami.
“Kita terpaksa merubah rencana. Kita tidak bisa pergi memakai speed boat karet. Komandan kapal USS Alamo sudah lama meninggalkan perairan Natuna dan kini siaga sekitar 200 mill dari Pulau Hainan mengabarkan perairan Teluk Tonkin sudah dipenuhi puluhan kapal perang Vietnam Utara….” papar Le Duan sambil berhenti sejenak, mengu nyah kepingan roti bakar ditangannya.
Usai menghabiskan roti bakar dia menyambung lagi.
“Tiga kapal dan dua speed boat yang dipakai orang-orang Vietnam untuk melarikan diri mereka tangkap. Risiko tertangkap dengan memakai boat adalah sembilan ber banding satu. Karenanya, untuk mencapai USS Alamo kita amat disarankan memakai balon udara. Masalahnya, balon tergantung dari arah hembusan angin. Angin hanya berhembus ke arah laut di siang hari. Malam hari angin berhembus dari darat ke laut. Gravitasi alam menyebabkan hal itu terjadi sejak dunia berkembang….”
Le Duan berhenti lagi, kemudian menatap adiknya.
“Melarikan diri dengan balon di siang hari sama dengan menyerahkan leher ke tiang gantungan. Dengan senang hati tentara Vietnam akan menjadikan kita sasaran tembak meriam-meriam penangkis udara mereka, bukan?” ujar Ami Florence.
Le Duan menghirup sisa kopinya yang terakhir. Dia tak perlu mengomentari ucapan adiknya dengan menggeleng atau mengangguk. Tak seorang pun yang bicara setelah itu. Mereka saling bertatapan dalam diam.
“Saya rasa, menyelinap dalam kegelapan malam dengan speed boat berkecepatan tinggi jauh lebih punya kemung kinan untuk lolos dari pada memakai balon di siang hari…”ujar si Bungsu.
“Tetapi perairan yang akan dilalui penuh kapal-kapal perang yang juga berkecepatan tinggi…” ujar Le Duan.
Mereka kembali saling menatap dengan diam.
“Berapa lama USS Alamo bisa menanti?” tanya si Bungsu.
Kapal-kapal perang Amerika secara bergantian akan bertahan di perairan internasional itu dalam setahun ini…” ujar Ami.
“Jika saat ini risiko melarikan diri amat tinggi, maka alternatif yang tersisa tetap bertahan di terowongan bawah tanah ini, sampai keadaan memungkinkan untuk pergi. Untuk itu, setiap hari kontak tetap dilakukan dengan USS Alamo. Mereka bisa memonitor keadaan laut dengan radar mereka. Minta mereka mengabarkan jika mereka melihat ada kesempatan untuk pergi…” ujar si Bungsu.
Le Duan menatap anak muda di sampingnya itu. Kemudian menatap adiknya. Mereka sama-sama tersenyum.
“Anda benar. Kenapa harus cepat-cepat menghadang maut, kalau di sini masih tersedia makanan untuk dua atau tiga bulan. Siang hari kita tidur, malam hari kita gentayangan di luar. Siapa tahu ada hal-hal lain yang bisa kita perbuat di luar sana. Saya rasa, saya harus menyampaikan saran Anda ke Komandan USS Alamo…” ujar Le Duan sambil menyalami si Bungsu, kemudian bangkit dan keluar dari kamar tersebut.
“Well, kita nampaknya harus mencari catur, agar bisa bertahan dan betah di bawah terowongan ini…” ujar Ami.
Si Bungsu tersenyum. Dia meraih dan memperhatikan peta yang penuh tanda-tanda rahasia yang tadi diberikan Ami.
“Anda akan keluar ke atas sana?” ujar Ami.
“Sesegeranya…” jawab si Bungsu.
Gadis itu tertegun.
“Maksudmu…?”
Si Bungsu menatap gadis itu. Ami Florence menatap si Bungsu, seperti menanti sesuatu yang tidak diharapkannya.
“Engkau harus menjalankan tugasmu, saya harus menjalankan tugas saya, bukan?”
“Engkau akan segera pergi untuk mencari Roxy Roger?”
Si Bungsu mengangguk. Ami Florence merasa sesak nafasnya.
“Tidakkah….” dia tak jadi melanjutkan ucapannya.
Tiba-tiba saja gadis yang terbiasa menghadang maut itu, yang mahir menggunakan senjata dan mampu membunuh tanpa berkedip, kini berubah dan kembali ke fitrahnya sebagai seorang wanita yang membutuhkan kasih sayang dan perlindungan.
“Hei, apa yang salah…?”ujar si Bungsu kaget, tatkala melihat mata gadis cantik itu berkaca-kaca.
Ami Florence menggelengkan kepala. Membuang pandangan ke tempat lain. Dia berusaha untuk tidak menjadi sentimentil. Namun usahanya gagal. Matanya basah.
“Hei…hei…..ada apa…?” ujar si Bungsu lagi, sambil memegang tangan Ami Florence. Gadis itu menggeleng.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-546
si bungsu
“Kapan engkau akan pergi, Bungsu…?” ujarnya sambil mencoba untuk tersenyum.
Namun senyumnya lenyap ketika akan mulai. Dia menunduk. Tak berani menatap pada si Bungsu.
“Hei, ada se….”
Si Bungsu menghentikan ucapannya. Sebagai seorang lelaki yang sudah malang melintang dalam berbagai kemelut hidup, tiba-tiba dia jadi arif. Ucapannya tadi, yang menyatakan bahwa dia akan segera pergi menjadi penyebab gadis ini tiba-tiba menjadi murung. Ditatapnya gadis itu. Lama sekali. Ami semula hanya menunduk. Namun merasa ditatap terus, perlahan dia mengangkat wajah. Menatap si Bungsu dengan mata basah.
“Malam nanti kita coba keluar, oke?” ujar si Bungsu sambil mengenggam tangan Ami Florence.
Wajah gadis itu tiba-tiba berubah ceria. Ajakan ‘keluar’ itu berarti si Bungsu takkan segera pergi. Paling tidak masih ada waktu baginya untuk tetap bersama-sama semalam lagi. Gadis itu tersenyum dan mengangguk. Lalu malamnya, saat si Bungsu menunggu Ami bertukar pakaian di ruangan dimana tadi mereka ngobrol, tiba-tiba pintu terbuka. Sesosok lelaki muncul dari kamar di mana Ami bertukar pakaian tadi. Si Bungsu menatap nanap pada lelaki berambut pendek, berkumis tipis, muda dan tampan yang kini tegak di depannya. Lelaki itu tersenyum padanya.
Kemudian dengan lagak kegenit-genitan dia mendekati si Bungsu. Lalu tanpa ba tanpa bu, lelaki itu memeluknya. Membelai pipinya. Si Bungsu merinding.Kemudian lelaki muda itu berbuat lebih jauh lagi. Tiba-tiba saja dia merengkuh kepala si Bungsu sembari mendekatkan bibir. Si Bungsu berusaha mengelak. Namun lelaki itu nampaknya sudah amat bernafsu, dan… cup! Bibir si Bungsu kena terkam bibir lelaki itu. Semakin keras si Bungsu menolakkan tubuh lelaki itu. Semakin keras pula lelaki tampan berkumis pendek itu memeluk dan melumat bibirnya. Sampai nafasnya sesak. Setelah puas, lelaki itu melepaskan bibirnya dari bibirnya si Bungsu, tapi tidak pelukannya. Kemudian lelaki muda itu cengar-cengir. Menjilat bibirnya sendiri dengan lidahnya yang merah.
“Asyik juga jadi homo, ya?” ujarnya sambil tersenyum.
Si Bungsu tak bisa menahan mukanya untuk tidak menjadi merah.
“Ini muka menjadi merah tentu karena nafsu atau karena malu. Pasti bukan karena marah. Iyakan, ya kan?” ujar lelaki berkumis itu sambil tersenyum dan tangannya malah dengan ramahnya mencubit pipi si Bungsu.
“Ini orang gila…” rutuk si Bungsu.
Lelaki tampan itu tertawa cengengesan. Kemudian melepaskan pelukannya dari pinggang si Bungsu. Kemudian memutar diri, mematut pakaian model komprang berwarna hitam, sebagaimana lazimnya dipakai orang-orang Cina.
“Persis lelaki kan?” tanya lelaki tampan itu.
Si Bungsu memang harus mengakui, pakaian bersahaja dengan kumis tipis dan rambut dipotong sangat pendek itu merupakan penyamaran yang amat sempurna. Kalau saja dia bertemu orang ini di tempat lain, bukan di dalam ruang bawah tanah ini, dia pasti takkan menyangka bahwa lelaki ini sebenarnya adalah Ami Florence. Gadis blasteran Vietnam-Perancis yang cantik itu. Yang agak susah disembunyikan adalah warna matanya yang biru dan alisnya yang lentik. Tapi bentuk fisiknya yang lain tersembunyi secara total di balik penyamaran yang sempurna. Dadanya yang montok pun kelihatan datar. Di bahagian dalam dia memakai baju kaos model T-Shirt, baru di luarnya ditutup dengan baju model Cina berwarna hitam dengan dasar kain kepar.
Untuk menutupi matanya yang biru dan alisnya yang lentik, agar tak menarik perhatian orang-orang secara mencolok, Ami memakai sebuah topi pet berwarna abu-abu. Lidah topi itu ditekankan agak ke bawah, sehingga matanya terlindung di bawah bayang-bayang ujung lidah topi tersebut. Kemudian dia menyisipkan sebuah pistol kecil pada sebuah ban karet yang dikalungkan di betis kirinya.Pistol itu tersembunyi dengan aman dibalik pipa celananya yang lebar.
“Kita keluar sekarang?” tanya Ami setelah puas mematut diri, sambil kembali memeluk pinggang si Bungsu.
“Kita beritahu abangmu…” ujar si Bungsu.
Mereka lalu keluar dari kamar berukuran kecil itu. Setelah dua kali membelok dalam gang kecil di bawah tanah tersebut Ami menekan sebuah tombol. Dinding di depan mereka bergerak perlahan. Mereka masuk, si Bugsu melihat di kamar berukuran dua kali dua meter itu ada seperangkat alat-alat radio. Beberapa buah peti, pistol dan senapan otomatis di dinding. Ada sebuah velbed militer. Le Duan menyapa si Bungsu dengan melambaikan tangan, dibalas si Bungsu dengan senyum. Le Duan tersenyum melihat adiknya dalam pakaian samaran itu.
“Kami akan keluar. Nonton, lalu ke nightclub, dansa dan minum es krim campur sedikit soda…” ujar Ami pada abangnya.
“Bawakan aku hamburger…” ujar Le Duan menimpali guyonan adiknya.
“Masih ada kontak dengan kapal Amerika?” ujar Si Bungsu.
“Kita berhubungan terus setiap tiga jam sekali. Subuh tadi kapal patroli Vietnam menyergap dua kapal ikan yang dipenuhi pengungsi.
Karena posisi mereka jauh sekali di Laut Cina Selatan, kapal Amerika itu tak bisa berbuat apa-apa, tatkala salah satu kapal nelayan yang berisi penuh sesak oleh sekitar dua ratus pengungsi. Lelaki dan perempuan, dari bayi sampai orang-orang tua ditembaki dan tenggelam karena berusaha terus melarikan diri dalam kabut subuh…” tutur Le Duan.
“Mereka mati semua?” tanya si Bungsu dengan dada terasa ngilu membayangkan kanak-kanak dan para wanita mengakhiri hidupnya di laut yang dingin.
“Ya, kapal Vietnam memang mendekati tempat kapal nelayan itu tenggelam. Bukan untuk menolong, melainkan memastikan tak ada sepotongpun papan yang bisa dijadikan tempat bergantung oleh para pelarian tersebut. Setelah menembaki semua yang bergantungan di pecahan kapal, kapal perang Vietnam itu segera berlalu….”
“Darimana kita bisa mendapatkan sebuah kapal nelayan untuk melarikan diri?” tanya si Bungsu.
Le Duan bertukar pandang dengan adiknya. Kemudian menatap kepada si Bungsu. Tiba-tiba saja bulu tengkuk Le Duan dan Ami Florence merinding membayangkan maksud lelaki dari Indonesia ini.
“Maksudmu…”
“Perang adalah antara tentara dengan tentara. Bukan antara tentara dengan rakyat. Hanya iblis yang tega menembaki atau membiarkan para wanita dan anak-anak mati dalam kedinginan laut, menjadi santapan ikan-ikan hiu. Iblis seperti itu harus dilawan dan dihancurkan. Jika tentara di kapal perang Amerika itu tak berminat melakukannya, saya akan melakukannya sebisa saya. Apapun caranya…” desis si Bungsu memotong pertanyaan Ami Florence.
Kedua kakak beradik itu tak bisa berkata sepatahpun. Jika kapal perang Amerika saja, yang lengkap dengan meriam dan torpedo tidak berani menghadang kapal perang Vietkong itu, apa pula yang bisa dilakukan anak muda ini?
“Amerika tak mau dicap melanggar teritorial negara lain. Mereka tak mau terperosok lagi dalam pertempuran dengan Vietnam.
Mereka tak mau menolong hanya karena masalah teritorial dan pertimbangan politik. Jika saya yang terjun ke sana,tak ada masalah teritorial. Kendati saya orang Indonesia, namun saya tak memiliki kartu penduduk. Tak satu pun negara yang dituding mendalangi saya. Dimana saya bisa mendapatkan kapal nelayan itu…?”
Kedua adik beradik itu belum mampu bicara sepatah pun, ketika tiba-tiba si Bungsu teringat speed boat karet yang semula akan dipergunakan kedua adik-beradik ini untuk melarikan diri.
“Kalian punya speed boat karet, bukan?” tanyanya.
“Engkau sungguh-sungguh, sobat?” tanya Le Duan.
“Kita akan jalan-jalan keluar, bukan?” ujar Ami sebelum si Bungsu menjawab pertanyaan abangnya.
“Saya sungguh-sungguh, Le…” jawab si Bungsu tanpa menghiraukan pertanyaan Ami Florence.
“Saya ikut…” ujar Ami.
Le Duan menatap adiknya nanap-nanap.
”Kita ikut berdua…” ujar Le Duan.
“Hei, hei… tunggu dulu! Saya tidak pernah mengajak kalian, bukan? Dan ke laut sana tidak pergi darmawisata…” ujar si Bungsu.

Tidak ada komentar: