Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 611-612

Dalam Neraka Vietnam -bagian 611-612

Dalam Neraka Vietnam -bagian- 611
makmur hendrik
Kalau saja si Negro berada di bahagian depan, tubuhnya pasti sudah basah kuyup oleh darah yang menyembur ,seperti air bertekanan kuat yang muncrat dari pipa pecah. Tapi kini, karena dia berada di atas tubuh si Vietnam yang tiarap, yang terkena semburan darah adalah tangannya yang memegang bayonet. Kemudian tubuh Vietnam tersebut terkapar. Sersan Negro itu menghapuskan darah di mata bayonet itu ke baju korbannya. Menyisipkan bayonet itu ke pinggang, kemudian mengambil bedil si Vietnam.
Kemudian dia kembali bersiul menirukan suara burung. Dari isyarat yang dia beri, si letnan menjadi faham bahwa situasi dikuasai si sersan. Letnan tersebut membuat gerakan di tempat persembunyiannya. Begitu dia membuat gerakan, begitu empat senjata dari empat tempat yang berbeda menyalak menyiramkan timah panas ke arah tempat si letnan. Dan kesempatan itu memang ditunggu sersan Negro tersebut.
Kini dia menjadi tahu dimana posisi ke empat tentara Vietnam yang masih tersisa, setelah dua mati di tangan si letnan dan yang seorang mati di tangannya. Dia menuju ke rumpun pinang yang amat rimbun, enam depa di bahagian kanannya. Di sana dia mendapati seorang tentara yang masih berusia belasan tahun sedang menembak ke arah tempat persembunyian si letnan. Vietnam itu sama sekali tak tahu bahwa maut berada dekat sekali di belakangnya.
Dari balik kayu besar di mana kini dia berdiri, sersan tersebut mengirimkan sebuah timah panas, ke kepala tentara Vietnam itu. Peluru menembus topi waja tentara tersebut, tembus ke kepalanya, dan keluar di kening dengan meninggalkan lobang besar yang memuncratkan benaknya. Tentara Vietnam yang sedang menembak dalam posisi berlutut di balik pohon tumbang itu langsung tertelungkup ke pohon tersebut. Nyawanya melayang sebelum kepalanya menyentuh pohon melintang di depannya.
Si sersan mengambil senjata otomatis milik tentara Vietnam itu. Kemudian dia kembali bersiul, yang segera difahami oleh si letnan yang masih bersembunyi di balik belukar. Hanya beberapa detik setelah siulan itu, si letnan menghamburkan tembakan ke arah pohon-pohon di mana tadi dia melihat sumber tembakan itu, lalu dia melambungkan diri, bergulingan ke arah pohon besar yang terletak sekitar lima depa di kanannya.
Kemunculan dirinya segera disambut oleh tembakan gencar tentara Vietnam yang berada di tiga tempat. Dan itulah taktik yang sengaja dibuat si sersan dan letnan tersebut. Ketiga sisa regu pemburu itu tak mengetahui bahwa salah seorang pelarian yang mereka kejar justru sudah menusuk ke garis belakang mereka. Begitu mereka menembak ke arah si letnan, sersan itu segera bergerak cepat. Satu demi satu dia datangi tempat si penembak dari arah belakang, dan dengan mudah menghabisi nyawa mereka.
Sepi!
Letnan dari pasukan Baret Hijau itu muncul dari balik persembunyiannya setelah kembali terdengar suara siulan si sersan. Dia menatap ke arah tujuh mayat tentara Vietnam yang bergelimpangan. Dan ketika sersan Negro itu muncul dari balik sebuah pohon besar, dia menyalaminya. Mereka kemudian bergegas ke arah rombongan yang tadi mereka tinggalkan di belakang.
Dengan senjata rampasan dari tujuh tentara Vietnam itu, jumlah senjata mereka sudah sembilan pucuk. Itu berarti hanya seorang yang tak memiliki senjata. Dan tentu saja yang tak diberi bersenjata adalah Helena, teman seruangan dalam tahanan dengan Roxy. Usahkan untuk memegang senjata, untuk berjalan saja dia tak mampu.
“Mereka nampaknya dibagi dalam regu-regu kecil untuk memburu kita. Kita harus bergerak cepat. Suara tembakan tadi bisa mengundang kedatangan regu-regu pemburu yang lain kemari…” ujar si letnan.
Duc Thio yang bertindak selaku penunjuk jalan segera membawa rombongan itu bergerak menuju ke arah danau yang masih cukup jauh. Dan apa yang dikatakan si letnan nampaknya memang benar. Kendati tempat mereka sudah cukup jauh dari barak tentara Vietnam itu, namun suara tembakan tadi tetap saja terdengar sayup-sayup. Baik oleh tentara Vietnam yang ada di barak, maupun oleh rombongan kolonel MacMahon dan rombongan si Bungsu.
Begitu mendengar tembakan, komandan pasukan Vietnam di barak itu segera memerintahkan suatu pasukan kecil yang terdiri dari dua puluh personil untuk memburu ke arah suara pertempuran tersebut. Kini di barak-barak itu hanya tinggal sekitar sepuluh tentara, termasuk komandannya, seorang kolonel. Tak seorang pun di antara kesepuluh tentara Vietnam yang kini berada di lapangan di tengah lingkaran barak-barak tersebut yang menyadari bahwa hanya belasan meter dari tempat mereka kini berada, mengintip empat pasang mata.
Keempat orang itu adalah si Bungsu, Sersan MacDowell, Thi Binh dan Roxy. Dari tempat mengintip mereka berempat melihat ke dua puluh tentara yang berangkat buru-buru ke arah asal tembakan tersebut. Pasukan itu nampaknya akan melewati tempat dimana Kolonel MacMahon memasang jebakan. Si Bungsu membisikkan pada ketiga anggota rombongannya agar menanti ke dua puluh tentara itu berlalu cukup jauh. Pada saat ke dua puluh pemburu itu terlibat pertempuran dengan pasukan MacMahon, mereka baru bergerak menyerang tentara di barak tersebut.
“Ke arah mana pasukan yang lain perginya?” bisik sersan MacDowell pada si Bungsu, yang merasa khawatir pada nasib teman-temannya yang melarikan diri di bawah pimpinan Duc Thio. Jangan-jangan mereka sudah tewas semua.
“Untuk memburu kita, nampaknya mereka dibagi dalam beberapa regu. Tiap regu menyisir arah yang berbeda….” jawab si Bungsu.
Sementara itu, mata Thi Binh nanap menatap ke lapangan di tengah kumpulan barak di depan sana. Di sana, di lapangan tersebut, di dekat tiang bendera, sekitar sepuluh tentara sedang berdiri dengan senjata siap di tangan masing-masing. Di bahagian depan seorang kolonel terlihat mondar-mandir. Sebentar dia berhenti, tegak dan menatap ke arah bukit-bukit batu, di mana malam tadi dia masih menawan tujuh belas tentara Amerika.
Kemudian dia membalikkan diri, berjalan lagi. Sepuluh langkah berjalan dia berhenti. Menatap ke arah darimana tadi terdengar sayup-sayup suara tembakan. Mata Thi Binh berkilat memancarkan dendam melihat kolonel separoh baya tersebut. Dia teringat, ketika pertama dibawa ke barak-barak ini, dia ditaruh di barak bahagian tengah. Yaitu barak yang dihuni oleh si kolonel.
Tak lama setelah dia dimasukkan ke kamar, di pintu kamar yang dibiarkan terbuka tiba-tiba berdiri si kolonel. Kolonel itu bertubuh besar, kepalanya yang tak bertopi kelihatan botak seperoh bahagian depan. Si kolonel menatapnya dari ujung rambut ke ujung kaki, seolah-olah akan menelannya. Lalu kolonel itu melangkah dua langkah memasuki kamar.

Dalam Neraka Vietnam -bagian-612

 si bungsuDengan kakinya dia tutupkan pintu di belakangnya. Kemudian, dengan mata nyalang menatap tubuh Thi Binh yang ranum, sambil membuka baju dinasnya. Thi Binh yang semula sudah menggigil di tempat tidur, menginsutkan dirinya ke sudut, dan makin ke sudut, sampai tubuhnya menempel ke dinding. Si kolonel yang masih berdiri sekitar dua meter dari pembaringan, membuka sepatu dinasnya, kemudian celananya.
Kini dia tegak dengan celana kolor kecil. Setelah sekali lagi menatap dengan muka yang sudah memerah karena menahan nafsu, kolonel itu mulai mendekati pembaringan. Thi Binh bertekad akan mempertahankan kehormatannya sampai mati. Begitu si kolonel meraba tangannya, dia segera menggigit tangan kolonel tersebut sekuat tenaga. Tidak hanya itu, saat giginya menggigit lengan kolonel itu sekuat daya, kedua tangannya mencakar wajah kolonel tersebut.
Laknatnya, si kolonel tidak hanya membiarkan tangannya digigit terus dan mukanya dicakari, dia malah semakin terangsang oleh gigitan dan cakaran itu. Thi Binh baru melepaskan gigitannya setelah dia merasakan asinnya darah di mulutnya. Darah segar kelihatan meleleh di lengan si kolonel akibat gigitan Thi Binh. Kolonel itu duduk berlutut di pembaringan.
Dia menatap ke lengannya. Darah menetes dari bekas gigitan ke alas tempat tidur. Perlahan diangkatnya lengannya yang berdarah itu ke dekat mulutnya. Gerakannya terhenti sesaat tatkala tertatap pada paha putih Thi Binh yang tersingkap lewat roknya yang tak karuan. Matanya menatap paha putih dan mulus itu dengan jalang. Thi Binh cepat-cepat manarik ujung roknya yang tersingkap, kembali menutup pahanya yang tersimbah separoh.
Kolonel itu tersenyum. Tangannya yang berdarah kembali dia dekatkan ke mulutnya. Lalu perlahan dia menjulurkan lidah. Dengan mata jalang menatap nanap ke dada Thi Binh yang ranum dan berombak akibat nafasnya yang sesak, si kolonel menjilati darah yang menetes tersebut. Kemudian menelannya. Usai menjilati, dia mengulurkan tangan kirinya yang belum kena gigit. Seolah-olah meminta agar tangan kirinya itu juga digigit.
Bulu tengkuk Thi Binh benar-benar merinding. Ketika gadis itu tak bergerak, kolonel itu mengingsutkan dirinya perlahan. Thi Binh memekik histeris dan tangannya kembali mencakar-cakar. Namun karena jaraknya masih agak jauh, cakaran tangannya hanya menerpa angin. Si kolonel menghentikan gerakannya. Dari jarak tak sampai sedepa itu, dia menatap diam Thi Binh yang sedang memekik dan mencakar-cakar angin.
Dia seolah-olah menikmati tidak hanya darah di tangannya yang masih saja menetes, tapi dengan nafsu yang amat aneh dia juga menikmati gadis itu memekik dan gerakan mencakar-cakarnya. Kejadian itu berlangsung beberapa lama, sampai akhirnya Thi Binh kehabisan suara untuk memekik, dan kehabisan tenaga untuk mencakar. Gadis itu tersandar lemas ke dinding.
Kolonel itu kembali menatap ke dada ranum Thi Binh, yang berombak turun naik akibat nafasnya yang sesak. Menjilati paha gadis itu yang putih mulus dan tersimbah, dengan tatapan mata jalangnya. Sadar pahanya ditatap dengan rakus, dengan sisa-sisa tenaganya Thi Binh memperbaiki ujung roknya yang tersingkap, sehingga pahanya kembali tertutup.
Kemudian, ketika mata kolonel itu nanap menatap dadanya yang ranum, gadis itu menutup dadanya dengan kedua belah tangannya. Si kolonel mengingsut tubuhnya ke dekat Thi Binh. Gadis itu tak punya tempat lagi untuk surut. Tubuhnya sudah tersandar rapat ke dinding. Melihat tak ada reaksi, si kolonel perlahan mengulurkan tangannya membelai rambut Thi Binh. Tak ada reaksi perlawanan. Tangan kolonel itu turun ke pipi.
Nafas Thi Binh semakin sesak, namun tetap tak ada perlawanan. Tangan kolonel itu beralih ke tengkuk Thi Binh. Membelainya dengan lembut. Namun ketika tangan itu baru bergeser dari pipi ke tengkuk, rasa takut yang amat sangat tiba-tiba membuat Thi Binh memekik lagi. Mencakar lagi. Menendang-nendang lagi. Lagi, lagi, lagi dan lagi! Namun akhirnya dia sampai ke batas kodratnya sebagai seorang wanita.
Seorang gadis kecil yang jolong besar. Seluruh tenaga dan dayanya terkuras sampai ke titik paling bawah. Itulah mula bencana, dan sekaligus laknat, yang menimpa diri Thi Binh. Lima belas hari berturut-turut dia direndam di kamar jahanam itu. Benar-benar dijadikan budak pemuas nafsu kolonel celaka itu. Di hari kelima belas, ada gadis lain yang berhasil diculik pasukan si kolonel. Kecantikan gadis itu sedang-sedang saja. Tapi bodinya bukan main. Pinggulnya luar biasa bahenol.
Sudah menjadi ketentuan, yang tak boleh dilanggar sedikit pun, bahwa setiap wanita yang didapat yang mencicipinya pertama kali haruslah sang komandan. Siapa lagi kalau bukan kolonel gaek kurapan itu. Begitu pula dengan gadis berpinggul dan berpaha besar itu. Dia segera diserahkan kepada si kolonel.
Thi Binh semula berharap dirinya akan segera tertolong dengan adanya korban baru tersebut. Dia berharap bisa segera dibebaskan dari neraka jahanam itu. Namun nasibnya ternyata sangat malang. Wakil komandan pasukan itu, seorang tentara buncit berpangkat mayor, sudah sejak awal menaruh minat yang amat sangat pada Thi Binh. Semasa gadis itu masih dipakai si kolonel, seringkali si mayor diam-diam mengintip Thi Binh saat mandi di belakang barak.

Tidak ada komentar: