Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 588-589-590

Dalam Neraka Vietnam -bagian 588-589-590


Dalam Neraka Vietnam -bagian- 588

ular meluncurkan kepalanya ke depan,Cukup lama dia berbuat seperti itu, kemudian membuka mata dan menatap ke arah puncak pepohonan di rawa.
“Adakah kalian mendengar sesuatu…?”
Han Doi dan Duc Thio mempertajam pendengaran. Kemudian menggeleng.
“Kami tak mendengar apapun…” ujar Han Doi.
“Saya juga…” ujar Duc Thio.
“Juga tidak suara burung malam?” tanya si Bungsu.
Kedua orang itu menatap ke arah rawa. Kemudian menggeleng.
“Itu yang mendatangkan rasa aneh pada diriku. Sejak setengah jam yang lalu, ketika saya masih bicara dengan Thi Binh, tiba – tiba suara burung malam lenyap. Ada sesuatu yang dahsyat, yang membuat mereka takut dan terbang jauh, atau tetap di tempatnya, namun mereka berdiam diri…” ujar si Bungsu.
“Apakah yang di tengah rawa itu tentara Vietnam?” tanya Han Doi.
Si Bungsu mengeleng.
“Tidak ada gerak menusia yang tak bisa kutangkap. Setangguh apapun dia menyelinap. Yang mengintai kita kini bukan manusia. Namun wujudnya aku tak tahu. Tapi yang jelas, dia nampaknya tak menyerang kita karena takut pada nyala api…” dan ucapannya yang terakhir mambuat si Bungsu sadar.
Dia bisa mencoba dengan api? Diambilnya sebuah puntung sebesar lengan, yang apinya menyala dengan marak.
“Siapkan senjata kalian. Saya akan melemparkan obor ini ke rawa sana. Apapun yang bergerak, siram dengan tembakan…” ujar si Bungsu.
Han Doi dan Duc Thio memutar duduk. Dengan bertelekan di lutut kiri, mereka mengarahkan moncong bedil ketengah rawa. Si Bungsu perlahan membangunkan Thi Binh. Dia tak ingin gadis itu terkejut oleh suara tembakan.
“Ssst. Ada bahaya mengancam kita dari rawa sana. Tetaplah berbaring dan diam…” bisik si Bungsu.
Si Bungsu perlahan berdiri. Kemudian memutar tegak menghadap ke rawa. Lalu tiba – tiba dia melemparkan puntung yang menyala di tangannya ke tengah rawa sana. Begitu puntung itu melayang, tiba tiba wujud makhluk yang mengintai mereka itu segera menjadi jelas. Hanya saja, makhluk itu ternyata bukannya di bahagian agak ke tengah rawa, melainkan sudah berada di pinggir, hanya sekitar empat depa dari tempat mereka!
Makhluk itu tak lain dari seekor ular raksasa berwarna hitam. Puntung api yang masih menyala itu dilemparkan justru persis ketika ular raksasa itu sedang akan melakukan serangan ke arah kelompok manusia di bawah pohon tersebut. Bahagian tubuhnya sudah keluar dari air sepanjang lima depa, dan bahagian lehernya sudah melengkung ke belakang seperti busur panah.
Gerak berikutnya dari ular itu adalah meluncurkan kepalanya ke depan, dengan mempergunakan lengkungan tubuhnya sebagai pegas. Saat itulah puntung dilemparkan, dan dengan sangat terkejut Duc Thio dan Han Doi memuntahkan peluru dari bedil mereka. Tembakan yang paling telak adalah yang dimuntahkan dari mulut bedil Han Doi, yang memang bekas tentara.
Belasan peluru bedilnya langsung bersarang di atas tenggorokan ular raksasa itu, yang sedang meluncurkan ke arah mereka dalam keadaan ternganga lebar! Kemudian dengan suara mendesis, kepala ular raksasa itu jatuh sedepa dari tempat mereka. Tubuhnya yang panjang, sekitar dua puluh depa, menggeliat dan menggelepar ketika meregang nyawa. Beberapa pohon sebesar paha berderak patah dihantam libasannya.
Ular itu menggelepar beberapa saat, kemudian mati dengan matanya yang merah bak api mendelik menatap mereka. Thi Binh tak dapat menahan rasa ngeri dan terkejutnya, dia memekik dan memeluk si Bungsu. Si Bungsu menghapus keringat dingin yang tiba-tiba membersit di wajahnya. Duc Thio dan Han Doi terhenyak lemas dan menggigil.
Makhluk yang menyerang mereka ini benar-benar monster raksasa yang amat dahsyat. Kalau saja naluri si Bungsu tidak menangkap isyarat adanya bahaya yang mengancam, sudah bisa dipastikan mereka akan berkubur di dalam perut ular yang mengerikan ini.
“Ular ini betina, yang jantan adalah yang bertanduk yang kita bunuh siang tadi. Ular ini adalah yang bertemu oleh kita saat akan membuat rakit…” ujar si Bungsu pada Han Doi dengan suara terputus-putus.
Han Doi hanya bisa mengangguk. Dia masih dicekam teror dan ketakutan yang dahasyat. Ular betina ini nampaknya ingin membalas dendam atas kematian pasangannya. Bagi makhluk berpenciuman amat tajam ini tidaklah sulit mencium jejak musuh yang dicarinya. Buktinya, dengan mudah dia bisa menemukan tempat para pembunuhnya bermalam.
“Kita berangkat…” ujar si Bungsu.
Dia memutuskan meninggalkan tempat itu karena tak ingin teman-temannya dicekam ketakutan berkepanjangan. Sebab kepala ular itu hanya sedepa dari mereka. Dan matanya masih mendelik, seolah-olah masih hidup. Selain itu, subuh nampaknya sudah turun.
Mereka segera meninggalkan tempat ini. Duc Thio mengumpulkan parang dan bedil. Kemudian bersama Han Doi mengangkat rakit itu ke rawa agak ke utara, menjauhi bangkai ular yang tergeletak di tepian di mana kemarin mereka mendarat.
“Kita berangkat, mari…” bisik si Bungsu kepada Thi Binh.
Namun gadis itu masih menggigil dan menyurukkan wajahnya di dada si Bungsu. Nampaknya tubuhnya menjadi lemas oleh ketakutan dahsyat tersebut, sehingga tak mampu bergerak. Si Bungsu berdiri, menyerahkan parang dan bedil kepada Duc Thio. Kemudian dibopongnya tubuh Thi Binh ke rakit. Han Doi mengumpulkan peta dan galah bambu yang berserakan di dekat api unggun. Kemudian cepat-cepat menyusul ke rakit. Mereka segera mengayuh rakit itu ke tengah dan dengan cepat menyelusup di dalam kabut, menyalip di antara pepohonan raksasa dan akar-akar rawa yang menjulai seperti kelambu dari dahan-dahan.
Tak seorang pun di antara mereka yang bicara. Karena hari masih gelap, yang menggalah rakit di depan adalah si Bungsu. Dengan nalurinya yang tajam dan hafalnya dia pada struktur belantara, dia dengan mudah mencari jalan di antara pepohonan yang dipalun kabut itu.

Dalam Neraka Vietnam -bagian-589
makmur hendrik
Thi Binh tak mau jauh dari pemuda itu. Dia duduk di rakit sambil tangannya memeluk sebelah kaki si Bungsu yang tegak menggalah. Han Doi menggalah di bahagian belakang rakit. Sementara Duc Thio berjaga di tengah rakit, dengan bedil siap memuntahkan peluru. Dengan sikap waspada penuh, mata mereka nyalang menatap ke segala penjuru ke tempat-tempat yang akan dan sedang mereka lewati.
Ketika subuh tiba dan sinar matahari menyinari bahagian-bahagian air rawa yang tak terlindung pepohonan, si Bungsu melihat di sebelah kanan depan ada sebuah pohon berdahan banyak dan sela-sela daun bermunculan buahnya. Dia membelokkan rakit ke arah pohon besar tersebut, yang batangnya mencuat ke permukaan air.
“Kalian kenal pohon itu…?” tanyanya sambil menunjuk ke pohon yang buahnya mirip buah apel.
Han Doi dan Duc Thio memperhatikan pohon itu dengan seksama, kemudian sama-sama menggeleng.
“Saya juga tak mengenalnya. Namun dari daun dan warna pohonnya, buah itu nampaknya bisa dimakan…” ujar si Bungsu.
Ketika rakit itu sampai di bawah pohon, si Bungsu menjuluk setangkai buah berwarna kuning. Tangkai dengan empat buah kayu itu jatuh ke rakit. Si Bungsu mengambilnya sebuah. Kemudian membasuhnya ke air. Menciumnya, lalu menggigit buah tersebut. Tih Binh, Han Doi dan Duc Thio memperhatikan dengan diam. Ada beberapa saat si Bungsu mengunyah, lalu menelan.
“Waw, manis dan gurih…” ujarnya sambil menggigit buah tersebut.
Ganti kini ketiga orang Vietnam itu yang mengambil buah tersebut, membasuhnya ke air, dan memakannya. Dan mereka nampaknya sepakat, bahwa itu memang nikmat. Si Bungsu menjuluk beberapa kali lagi. Setelah terkumpul sekitar tiga puluh buah, dia lalu mengayuh rakitnya kembali.
“Untuk sementara kita harus makan buah-buahan saja. Kita tak bisa lagi memakan daging atau ikan. Terlalu berbahaya menghidupkan api untuk membakarnya. Asap api akan menimbulkan kecurigaan tentara Vietkong,” ujar si Bungsu.
Namun belum berapa jauh mereka menggalah rakit dari pohon yang buahnya lezat tapi tak dikenal namanya itu, si Bungsu tiba-tiba berhenti menggalah. Tidak hanya itu, dia menancapkan galahnya ke dasar rawa, yang kedalaman airnya sekitar lima depa, kemudian menghentikan rakit.
“Ada apa…?” ujar Thi Bingh yang sudah tak lagi memeluk kaki si Bungsu, melainkan sudah duduk di tengah rakit tak jauh dari ayahnya yang tetap siap dengan bedil di tangan.
Duc Thio dan Han Doi menatap pada si Bungsu, kemudian mengamati rawa itu dengan tatapan mereka ke segala penjuru.
“Ada apa?” ujar Han Doi setelah tatapan matanya tak menemukan hal-hal yang mencurigakan di sekitar mereka.
“Jalan ke arah yang kita tuju nampaknya nyaris tertutup,” ujar si Bungsu perlahan.
Ketiga orang Vietnam itu mencoba menatap ke depan, ke arah mata si Bungsu nanap memandang. Namun tak ada sesuatu yang menimbulkan kecurigaan mereka. Di depan air rawa itu tetap diam tak bergerak. Seolah-olah batu mar-mar hitam kemerah-merahan. Diam, dingin dan mencekam.
“Kenapa tertutup?” tanya Han Doi.
“Ada bahaya pada satu-satunya jalur yang harus kita tempuh…” ujar si Bungsu sambil tangannya tetap berpegang pada galah yang tertancap ke dasar rawa dan matanya nanap menatap ke depan.
Ketiga orang Vietnam itu kembali berusaha menatap permukaan air di depan sana, maupun di sekitar rakit mereka. Tapi sungguh tak ada satu hal pun yang patut ditakuti yang mereka lihat. Sekitar tiga puluh depa di depan sana, di antara belukar dan pepohonan berdahan dan berdaun rindang, kabut mengapung rendah di permukaan air.
“Saya tak melihat apapun sebagai tanda-tanda adanya bahaya…” ujar Duc Thio perlahan.
“Saya juga tidak…” ujar Han Doi.
Si Bungsu melemparkan pandangannya sekali lagi ke depan sana. Seolah-olah ingin menembus kabut tebal itu. Kemudian menatap ke bahagian kanan, lalu ke bahagian kiri. Kemudian kembali menatap ke arah kabut tebal yang menggantung rendah itu.
“Di air yang tertutup oleh kabut itu ada belasan, mungkin puluhan ekor buaya. Rawa berkabut di sana nampaknya tempat mereka berkumpul…” ujar si Bungsu.
Baik Duc Thio maupun Han Doi dan Thi Binh segera saja memelototi kabut tebal yang menutup sebahagian besar wilayah rawa sekitar tiga puluh depa di depan mereka. Namun apalah yang akan nampak, kecuali kabut dan pohon yang mencuat di atasnya. Kabut tebal itu memang benar-benar berada di permukaan air, dengan ketebalan sekitar tiga atau empat meter. Di atas kabut itu pohon-pohon besar kelihatan seolah-olah tumbuh.
“Mana peta…” ujarnya pada Han Doi sambil berjongkok.
Thi Binh segera meraih gulungan peta yang ada dalam tas kain ayahnya. Kemudian menyerahkannya pada si Bungsu, yang kemudian membuka dan membentangkannya di atas rakit. Beberapa saat dia mempelajari rawa itu dan daerah sekitarnya yang tertera di peta. Kemudian dia melihat kompas yang ada di jam tangannya. Menekan sebuah tombol, kemudian memperhatikan posisi matahari yang sudah terbit.

Dalam Neraka Vietnam -bagian-590
“Nampaknya kita tidak punya pilihan lain. Memutar ke barat atau utara terlalu jauh. Satu-satunya jalan adalah menembus kabut itu, melewati barisan buaya yang sedang mengapung di sana…” ujarnya perlahan sambil menatap pada Thi Binh, Duc Thio dan Han Doi.
Mereka juga menatap padanya dengan diam. Si Bungsu menarik nafas panjang.
“Baik. Dengarkan, jika saya tak salah hitung, kabut di depan sana merupakan dinding yang tebalnya hanya sekitar dua atau tiga meter. Setelah itu setiap jengkal air rawa yang akan kita lalui adalah sarang buaya. Jumlah buaya di balik kabut itu, seperti yang kukatakan, mungkin belasan, tapi saya punya firasat jumlahnya bisa puluhan. Mudah-mudahan saya salah…” dia berhenti sebentar.
Dimintanya buah mirip jambu atau apel itu kepada Thi Binh. Gadis itu mengambil sebuah, mencucinya terlebih dahulu ke air rawa, kemudian memberikannya kepada si Bungsu. Si Bungsu mengunyahnya perlahan sambil menatap Thi Binh.
“Kau masih ingin ikut?” tanyanya pada gadis itu.
“Saya akan terjun di sini bila kau tinggalkan…” ujar Thi Binh perlahan.
Si Bungsu mengusap kepala gadis itu. Kemudian menatap pada Duc Thio dan Han Doi.
“Kemarin dan malam tadi kita diteror dua monster yang amat menakutkan. Tapi pagi ini kita akan memasuki neraka dalam arti yang sebenarnya. Tetaplah berada di tengah rakit. Bedil takkan ada gunanya. Sekali mereka menghantam rakit habislah kita, hanya ada satu cara untuk selamat. Bila salah satu dari buaya itu mulai menghantam rakit, berusahalah untuk melompat ke dahan kayu terdekat dan memanjat tinggi-tinggi. Kesempatan itu hanya satu di antara seratus ribu, tapi tak ada salahnya untuk mencoba…” Si Bungsu menghentikan penjelasannya.
Dia kembali mengunyah dan menelan buah di tangannya perlahan. Menarik nafas panjang dan menikmati telanan terakhir dari buah di mulutnya.
“Biar saya yang menggalah sendiri…” ujarnya sambil mencabut galah yang dia tancapkan di rawa.
Ketika dia berdiri, dia menatap pada Thi Binh. Gadis itu juga tengah menatap padanya.
“Kemarilah Thi Binh. Duduk di dekatku…” ujarnya.
Thi Binh berdiri. Melangkah perlahan ke arah si Bungsu. Berdiri di depan pemuda itu dengan mata menatap dalam-dalam ke mata si Bungsu.
“Jika… jika aku harus mati, aku hanya rela mati dalam pelukanmu…” bisik gadis itu perlahan.
Si Bungsu memeluk gadis itu erat-erat. Duc Thio tak mampu menahan air mata. Derita panjang dan dahsyat yang dialami anak gadisnya yang masih belia itu membuat hatinya runtuh. Dan kini, ketika anak gadisnya itu jatuh hati pada seorang lelaki asing yang perkasa, dia tak berani berharap banyak. Bahkan untuk berdoa agar anaknya menikah dengan lelaki itu pun dia tak punya keberanian. Dia takut berharap terlalu besar.
“Engkau sudah terlalu banyak menderita, Thi-thi. Kita akan keluar dengan selamat. Engkau akan kembali melihat kota, masuk sekolah, aku berjanji untuk membuktikan ucapanku ini padamu…” bisik si Bungsu.
Lalu mereka berpelukan dalam diam.
“Duduklah, jangan jauh dariku. Aku tak ingin engkau tak berada di dekatku jika terjadi apa-apa…” ujar si Bungsu.
Thi Binh menatap lelaki dari Indonesia itu. Perlahan didekatkannya wajahnya. Kemudian mencium si Bungsu. Lalu perlahan dia duduk di rakit, di samping kaki si Bungsu. Si Bungsu menatap Duc Thio dan Han Doi.
“Baik, kita berangkat…” ujarnya sambil mulai menggalah.
Hanya dalam waktu satu menit, rakit itu segera menyeruak kabut di depan mereka. Udara dingin terasa menyelusup ke dalam sela-sela pakaian, membuat tubuh mereka terasa dingin. Dan tak sampai semenit kemudian, rakit itu tiba-tiba saja sudah menerobos dinding kabut tersebut.
Persis seperti yang dikatakan si Bungsu. Kabut itu hanya merupakan dinding setebal dua atau tiga meter. Setelah itu sebuah hamparan luas air rawa di antara pepohonan besar yang tumbuh amat jarang. Dan di depan mereka… ya Tuhan, ya Tuhan…!
Bukan belasan, mungkin ada puluhan ekor buaya kelihatan mengapung di permukaan air di depan mereka. Anehnya, semua buaya itu seperti berbaris, semua kepalanya menghadap ke matahari terbit. Sesayup-sayup mata memandang, ke utara maupun ke barat, yang nampak adalah kepala dan punggung buaya yang mengapung, diam tak bergerak sedikit pun!
Han Doi dan Duc Thio ternganga dan menggigil melihat pemandangan yang amat dahsyat itu. Thi Binh memeluk paha si Bungsu erat-erat dan menahan gigilannya di sana. Si Bungsu menghentikan rakit hanya sedepa dari buaya terdekat, yang besarnya lebih besar dari pohon kelapa. Mereka berhenti dalam kebisuan yang amat mencekam.
“Jangan bersuara, jangan bergerak…” bisik si Bungsu sambil mulai menarik galahnya.
Dengan sangat hati-hati dia memasukkan galah itu ke air, lalu perlahan menancapkan ke dasar rawa, dan perlahan pula dia menekan ke arah belakang. Rakit itu meluncur amat perlahan. Si Bungsu berusaha agar tak berbuat khilaf, yang bisa membuat arah meluncurnya rakit melenceng mendekati salah seekor buaya yang mengapung diam itu.
Satu saja dari buaya-buaya itu beraksi, maka dunia mereka akan kiamat. Dua hal yang dia jaga, pertama agar rakit itu tak menyentuh salah seekor buaya, kedua bagaimana rakit itu tetap bergerak dari pohon ke pohon. Maksudnya tak lain jika terjadi apa-apa, maka mereka bisa meloncat ke pohon tersebut.
Memilih alur seperti itu sungguh sulit. Jangankan Duc Thio, Han Doi dan Thi Binh, tubuh si Bungsu saja dibasahi keringat dingin. Mereka dicekam rasa tegang dan takut yang luar biasa. Thi Binh yang duduk di rakit, di dekat si Bungsu tegak, memeluk dan mencengkram paha si Bungsu dengan erat. Dia sampai tak berani membuka mata, saking takutnya.
Rakit bergerak amat perlahan. Si Bungsu mencari celah di antara barisan buaya yang berlapis-lapis itu. Jarak antara buaya yang satu dengan yang di bahagian belakang ada sekitar empat atau lima depa. Sementara jarak baris pertama dengan baris kedua dan baris kedua dengan baris ke tiga ada sekitar dua atau tiga meter, begitu seterusnya.

Tidak ada komentar: