Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 666-667

Dalam Neraka Vietnam-bagian 666-667


Dalam Neraka Vietnam-bagian-666
tangan terikat Dia jawara saat masih menjadi mahasiswa akademi militer Vietnam Utara. Kalau kini ada orang yang demikian besar mulut sanggup mengalahkan kapten itu, sungguh akan menjadi mimpi buruk yang takkan pernah dilupakan oleh si penantang. Jika dia menyatakan mampu mengalahkan si kapten dengan tangan dan kaki terikat, peristiwa ini tak hanya akan menjadi sekedar mimpi buruk, tetapi suatu tindakan bunuh diri. Atau apakah orang ini sengaja ingin bunuh diri karena tak tahan menderita selama di tahanan, dan lebih tak tahan lagi menghadapi siksaan di hari-hari berikutnya?
Jika itu yang dia inginkan, maka keinginannya itu pasti bisa dia dapat dalam waktu takkan kurang dari lima menit. Cara dia membuat si kapten menjadi lahar amarah, memang jalan tersingkat menuju kematian. Kapten Bunh Dhuang yang amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun, tak ingin membuang waktu sedikit pun. Sebenarnya, jika dapat dia ingin lelaki yang kini dalam posisi terikat kedua tangannya itu dia telan dengan rambut-rambutnya sekalian. Demikian marah dan bencinya dia pada lelaki tersebut. Usahanya untuk membunuh lelaki tersebut sebenarnya sudah dia lakukan dengan dua tendangan ketika si lelaki terikat dengan kepala ke bawah.
Tendangan pertama menghajar dadanya, yang menyebabkan lelaki itu muntah darah. Dia ingin saat itu lelaki yang sudah mengobrak-abrik markas mereka itu tidak hanya sekedar muntah darah. Dia berharap yang dimuntahkannya adalah jantung, hati dan parunya sekaligus! Mampus sekalian. Karena tendangan pertama ke dada hanya menyebabkan muntah darah, dia menendang lagi untuk kali kedua, dengan sepenuh kekuatan dan keahlian menendang yang dia miliki. Dengan tendangan kedua itu dia berharap otak lelaki tersebut berhamburan.
Dia ingat pada suatu hari yang amat kritis, di mana dia berserobok dengan seekor harimau yang akan menerkamnya. Dia tendang kepala harimau besar itu sekuat tenaga dan secepat kemampuannya. Akibatnya harimau itu mati dengan mulut, hidung dan telinga bersemburan darah. Itu bukan mengada-ngada. Kapten Bunh Dhuang memang memiliki keahlian beladiri yang nyaris tak ada tandingannya dalam pasukan Vietnam. Kini dia berhadapan kembali dengan lelaki yang hanya koma setelah dia tendang dua kali tempo hari.
Mereka tegak berhadapan. Dia lihat lelaki itu tegak menyamping padanya. He… he… dia coba-coba memasang kuda-kuda, pikir si kapten yang merasa geli melihat usaha lelaki kurus itu. Mata­nya menatap kepada para perwira dan prajurit yang berada dalam ruangan berukuran sekitar 7 x 7 meter persegi itu. Tiba-tiba saja timbul niatnya untuk memberikan tontonan yang menarik, sekaligus mendemonstrasikan kemahiran beladirinya. Dia akan malu juga kalau orang ini mati, sementara tangan dan kakinya terikat. Dia pasti akan dicemooh memukuli orang yang dalam keadaan terikat.
“Buka ikatannya…” ujar si kapten kepada Lok Ma.
“Jangan, engkau takkan mampu menyentuh ujung bajuku sedikit pun, kalau ikatan ini dibuka, kapten…” potong si Bungsu sebelum Lok Ma sempat berdiri.
Ucapan si Bungsu itu, yang jelas-jelas mempermalukan dan sekaligus menganggap dirinya remeh, membuat amarah si kapten benar-benar sampai di batas. Tanpa membuang waktu lagi dia mengirimkan sebuah pukulan lurus ke telinga lelaki yang sejak tadi menyombong terus itu. Si Bungsu tetap tegak dengan posisi agak menyamping. Pukulan yang lurus mengarah ke wajahnya itu dia biarkan mendekat. Dan dalam jarak yang sudah diperhitungkan, dia mengibaskan kayu yang melintang tempat kedua tangannya terikat. Terdengar suara berdetak.
Kapten Bunh Dhuang meringis. Kepalan tangannya yang memukul, persis di buku-buku jari, kena kibasan sudut kayu sebesar lengan yang tersandang di bahu lelaki tersebut. Ketika dia lihat dua buku jarinya, yaitu buku jari tengah dan buku jari telunjuk, kelihatan terkelupas dan darah meleleh dari sana! Orang-orang pada terbelalak diam. Si kapten kembali melancarkan dua pukulan beruntun yang amat cepat. Namun hanya dengan merobah posisi kakinya sedikit, kedua pukulan itu lagi-lagi dikibas dan kena hantam, oleh kayu yang melintang di bahu si Bungsu!
Kini kedua buku tangan si kapten terkelupas dan berdarah. Kapten itu menggeram. Tetapi kekuatannya memang luar biasa. Kendati buku-buku kedua tangannya sudah terkelupas dan berlumuran darah, dengan pekik penuh marah dia kembali melakukan serangan cepat dan berkali-kali. Kaki si Bungsu seperti mencengkam tanah. Bergeser sedikit ke kiri dan ke kanan. Sementara kayu sebesar lengan, yang panjangnya sekitar sedepa, yang melintang di bahunya dengan efektif sekali dia pergunakan untuk menangkis.
Tidak hanya menangkis, bahkan balik menyerang kedua kepalan si kapten yang datang seperti baling-baling ke arah wajah, kepala dan bahunya. Kayu itu seperti bermata dan bernyawa, yang bisa memapas setiap pukulan si kapten. Belasan kali Kapten Bunh Dhuang menyerang dengan bentakan-bentakan keras, dan belasan kali pula serangannya tidak hanya tak satu pun pukulannya yang berhasil “menyentuh ujung baju” si Bungsu, malahan kedua tangannya yang memukul tetap saja kena sabet kayu di bahu lelaki itu. Sampai suatu ketika, terdengar suaranya demikian keras.
Orang tak tahu apakah suaranya masih bentakan atau pekikan. Jika pekik, orang juga tak tahu persis apakah pekik marah sembari melancarkan serangan dengan jurus maut, atau pekik itu karena kesakitan.
Bentuk pekik keras Bhun Dhuang baru menjadi jelas tatkala dia terlompat mundur beberapa langkah. Orang-orang pada merinding melihat kedua kepalan tangan si kapten, yang besarnya nyaris sebesar buah kelapa kuning, benar-benar berlumur darah. Tidak hanya itu, bulu tengkuk mereka merinding melihat kedua pergelangan tangan kapten tersebut terkulai. Pada masing-masing pergelangannya kelihatan sebuah bengkak merah kebiru-biruan sebesar telur bebek. Yang membuat mereka hampir tak bisa mempercayai penglihatan mereka adalah posisi lelaki dari Indonesia yang kedua tangannya terikat itu.









Dalam Neraka Vietnam-bagian-666
Diserang demikian dahsyat dari segala penjuru, tubuhnya ternyata tak pernah bergeser dari tempat berdirinya semula, di dekat kursi yang remuk kena tendang si kapten. Bekas jejak kakinya di lantai tanah memperlihatkan bahwa dia hanya menggeser tegak di radius setengah meter.
Sekeras apapun si kapten berusaha mendesaknya, paling-paling dia hanya menggeser kaki kanan ke samping, kemudian meliukkan atau memiringkan badan sebagai jurus mengelak yang amat tangguh. Begitu pukulan si kapten hampir menerpa wajahnya, kayu sebesar lengan yang di bahunya memapas pukulan itu dengan keras. Setiap tangkisan atau papasan ujung kanan atau ujung kiri kayu itu, hampir bisa dipastikan selalu menghantam dua tempat secara persis. Jika tidak buku-buku jari yang terkepal, pastilah pergelangan tangannya.
Pekik keras terakhir ternyata disebabkan rasa sakit yang luar biasa, tatkala si Bungsu menghantam secara keras dan telak kedua pergelangan tangan si kapten. Menyebabkan persendian kedua pergelangan tangan itu retak dan lepas!
Hanya sesaat kapten Bunh Dhuang yang tubuhnya seperti gorilla itu tertegun. Saat berikutnya dia menyerang. Barangkali semula dia merasa tak perlu memakai kaki, dengan kedua kepala tangannya yang seperti martil itu, menurut dia, dia bisa meremukkan wajah dan rusuk lelaki dari Indonesia ini.
Namun ternyata selain memang tidak bisa menyentuh tubuh lelaki tersebut sedikit pun, kedua tangannya justru dibuat lumpuh. Kini, kendati terlambat, dia menyerang dengan tendangan yang amat terlatih dan dengan kekuatan penuh. Namun orang yang dia hadapi benar-benar tidaklah takabur ketika mengatakan bahwa kapten itu “takkan pernah mampu menyentuh ujung bajunya sekalipun”. Kini ucapannya yang semula terdengar takabur itu dibuktikan orang itu. Ketika kaki kanan si kapten baru saja terangkat beberapa jari dari tanah, sebelum digerakkan ke depan dalam bentuk sebuah tendangan yang amat keras, tubuh si Bungsu berputar dua kali.
Tiba-tiba saja ujung kanan kayu tempat t­ngannya diikat, menempel di tenggorokan si kapten. Kapten itu dengan terkejut membatalkan tendangannya. Dia menelan ludah dengan susah payah. Ujung kayu itu tidak disodokkan, hanya ditempelkan begitu saja persis ke jakunnya. Dia tidak tahu bagaimana orang ini bergerak dengan cepat dan menempelkan ujung kayu itu ke lehernya tanpa dapat dia ketahui sedikit pun! Ada beberapa saat mereka saling menatap. Kemudian si Bungsu memutar tegak, dan ujung kayu itu lepas dari leher di bawah dagu si kapten.
Dia membelakang bulat kepada si kapten. Dan kapten itu tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Sebuah tendangan menyamping dia arahkan ke tengkuk lelaki yang membelakanginya itu. Semua orang seperti terhenti bernafas. Namun hanya selisih sekian detik si Bungsu memiringkan tegak dan kakinya bergeser mendekat si kapten. Tendangan maut itu lewat hanya dalam ukuran sejari dari hidung si Bungsu. Namun karena tubuhnya sudah mendekat ke arah si kapten, ketika tendangannya ditarik kaki kapten itu tersangkut di bahu si Bungsu.
Pada saat yang sama, ketika sebelah kaki si kapten tersangkut di bahu kanan si Bungsu ujung kayunya menohok persis di bawah hidung si kapten. Ujung kayu itu tertempel di bibirnya. Tiap kepalanya mencoba miring ujung kayu itu tak pernah lepas. Lengket seolah-olah ada lem di sana. Si kapten tak bisa menggerakkan kepalanya terlalu jauh, karena sebelah kakinya masih tertahan di bahu si Bungsu. Dia hanya berdiri dengan kaki kiri. Terjingkat-jingkat seperti orang bodoh. Lalu detik berikutnya, si Bungsu melepaskan tekanan ujung kayu itu dari bawah hidung si kapten.
Pada detik yang hampir bersamaan dia membungkuk. Kaki kanan kapten itu terbebas. Namun dalam gerakan yang amat cepat, ujung kiri-kanan kayu di bahu si Bungsu secara bergantian ‘menetak’ dengan cepat beberapa tempat di tubuh si kapten. Mula-mula menusuk persis ke hulu hati di dadanya. Kemudian dia berputar, ujung kayu itu menetak pelipis kanan. Lalu dia berputar lagi, ganti kini ujung yang satu lagi menetak tengkuk. Sekali putar lagi, ujung yang satu menetak pelipis kiri. Lalu si Bungsu menggeser kakinya dengan amat cepat. Kini dia tegak dengan kaki dan tubuh lurus dua depa di hadapan si kapten.
Semua orang, termasuk si kapten dan semua perwira yang menyaksikan peristiwa itu, dibuat tak bergerak sedikit pun. Semua orang tahu, sebuah tusukan ujung kayu ke hulu hati dan tiga tetakan ke pelipis kiri dan kanan serta ke tengkuk si kapten, jika dilakukan dengan kekuatan penuh, tidak hanya ditempelkan sedikit seperti yang terjadi, pasti sudah mencabut nyawa si kapten. Semua mereka tahu itu. Orang ini ternyata melakukan demonstrasi beladiri yang luar biasa hebatnya.
Si Bungsu tegak dengan diam, dengan sikap yag amat tenang. Tak ada ekspresi kelelahan mau pun kesommbongan sedikitpun. Gerakannya yang demikian cepat sejak menangkis pukulan si kapten sampai gerakan terakhir, seperti tak meninggalkan bekas lelah sedikit pun pada dirinya. Sementara si kapten tegak dengan nafas memburu. Mereka berdua saling menatap. Akhirnya overste yang menjadi komandan di pasukan itulah yang memecahkan kesunyian dengan bertepuk tangan. Diikuti para perwira, kemudian oleh semua tentara Vietnam yang ada di rumah besar itu.
Mereka benar-benar belum pernah menyaksikan pertarungan dengan ketangguhan individu demikian hebat. Si kapten, untuk pertama kali dalam hidupnya, merasa benar-benar merasa ditaklukkan. Pada tusukan pertama saja, tatkala ujung kayu itu ditusukkan ke hulu jantungnya, lelaki itu sudah bisa membunuhnya. Ujung kayu itu tidak hanya menyentuh sebuah titik kematian di tubuh si kapten, tetapi empat titik dalam jarak waktu yang hanya hitungan detik.

Tidak ada komentar: