Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 568-569

Dalam Neraka Vietnam -bagian 568-569


Dalam Neraka Vietnam -bagian-568
si bungsu

Tentara Vietkong berpakaian preman namun membawa bedil berlaras panjang itu memang tak segera mengetahui siapa yang datang mengendap-ngendap di sisinya. Gelap yang kental membatasi pemandangan. Dia hanya merasakan ‘tepukan ramah’ di tengkuknya. Setelah itu matanya juling. Ada derak kecil. Tengkuknya bukan ditepuk ramah. Melainkan terpelintir karena rambut di kepalanya disentakan dan dagunya dihantam berlawan arah dengan sentakan di rambutnya.
Derak kecil yang terdengar sesaat sebelum matanya juling itu adalah derak tulang tengkuknya, yang patah akibat pelintir dengan teknik yang amat mahir. Tubuhnya melosoh. Si Bungsu menahan tubuh lelaki yang menjawab bisiknya dengan ucapan ‘ceng cong ceng’ yang tak dia pahami itu, agar tak jatuh terlalu keras. Perlahan dia baringkan lelaki itu. Kemudian mengendap ke bawah rumah, menuju posisi lelaki yang tegak di samping kiri rumah di dekat pohon bambu kecil. Lelaki di dekat pohon bambu kecil itu melihat ada yang menunduk di bawah rumah menuju dirinya.
Karena arahnya dari sisi kanan rumah, dia menyangka yang datang adalah temannya sendiri. Ketika orang itu sudah dekat, dia berbisik.
“Hek hok hek….”
Tentu saja dia memakai bahasa Vietnam Utara, yang tak dimengerti oleh si Bungsu. Padahal orang itu bertanya ‘Mengapa meninggalkan posmu?” Si Bungsu mana peduli. Dia terus saja mendekat. Dan pura-pura ingin berbisik. Orang itu memiringkan kepala untuk mendengarkan apa yang akan dibisikkan ‘kawannya’ itu. Namun ketika jarak kepala mereka hanya tinggal sejengkal, tiba-tiba dia terkejut. Orang yang ingin ‘berbisik’ dengannya itu ternyata bukan kawannya. Orang asing yang tak pernah dia kenal. Dia berusaha mengangkat ujung bedilnya.
Namun tangan si Bungsu yang memegang samurai kecil sudah sampai di leher lelaki itu. Samurai kecil itu membenam di bawah jakun tentara Vietkong tersebut sampai ke gagangnya. Lelaki itu sebenarnya ingin berteriak. Namun mulutnya segera dibekap oleh si Bungsu. Suaranya tertahan di tenggorokan. Tubuhnya berkelojotan, dan perlahan dibaringkan si Bungsu di tanah, di balik rumpun bambu. Masih dalam posisi berjongkok menaruh tubuh lelaki yang sudah mati itu, si Bungsu menolehkan kepala karena mendengar suara tangga dinaiki. Dia melihat ke bahagian depan.
Kedua lelaki yang di depan rupanya naik beriringan ke rumah Duc Thio. Si Bungsu segera mengendap-ngendap ke depan. Dia mendengar suara perintah membuka pintu. Namun tak ada sahutan. Orang yang di kepala jenjang itu kembali mengetuk pintu agak keras dan bicara dalam bahasa Vietnam kepada yang berada di dalam rumah. Si Bungsu ikut naik tangga. Lelaki yang berada di anak tangga ketiga menoleh dan merasa jengkel. Dia menyangka yang ikut naik adalah salah seorang temannya yang disuruh menjaga di samping rumah.
“Pim pommm… pommmm?” ujar orang itu sedikit menyergah kepada si Bungsu.
Gelap yang kental menyebabkan dia tak tahu bahwa yang ditanyainya itu bukan temannya. Dia baru merasa kaget ketika orang yang di bawah itu menyentakkan kakinya.
“Heei, ini pekerjaan mancirik namanya…!”
Mungkin itulah serapah yang diucapkannya pada si Bungsu. Namun karena bahasanya tak difahami si Bungsu, maka si Bungsu diam saja. Sambil menyentakkan kaki sehingga lelaki itu tergerajai, tangannya bekerja. Lelaki yang tergerajai dan terlempar ke bawah itu merasa hulu jantungnya amat linu. Dia meringis, dan berkelojotan, dan mati! Dia tak tahu apa benda yang menyebabkan jantungnya demikian linu yang membuat dia tak bisa bernafas. Dia tak tahu, jantungnya sudah ditembus sebuah pisau kecil yang amat tajam, yang ditusukkan oleh lelaki yang menariknya.
Bahkan dia juga tak tahu, bahwa bedil yang tadi dia pegang sudah berpindah ke tangan lelaki yang menariknya dengan sangat kuat lagi kasar, sehingga tubuhnya tergerajai dan jatuh terjelapak ke tanah. Kawannya yang sudah dua kali mengetuk pintu heran mendengar ada yang tergerajai dan jatuh. Dia menoleh ke belakang.
“Cincong cincau cincai…?!” sergahnya.
Tentu saja dia bicara dalam bahasa Vietnam Utara, namun di telinga si Bungsu yang tak mengerti bahasa langit itu, suara yang sampai yang seperti “cincong cincau, cincai” saja. Dalam kegelapan malam si Vietkong tak tahu bahwa bahaya mengancam dirinya. Sebelum pertanyaannya usai, si Bungsu mengulurkan popor bedil kepada tentara yang ada di atas itu. Cuma cara mengulurkannya memang beda. Pangkal bedil itu dia ulurkan dengan amat kuat dan amat cepat, tidak ke tangan si tentara, melainkan ke selangkangannya. Terdengar suara berderuk, Vietkong di depan pintu itu melenguh.
Hantaman pangkal bedil itu teramat sangat kuatnya menghajar selangkangannya. Gelandutnya mungkin pecah. Tentara itu tidak hanya melenguh. Mulutnya kontan berbuih. Kedua tangannya segera bergerak ke selangkangannya, yang sakitnya bukan main. Namun gerakannya terhenti sampai di situ. Tubuhnya yang membungkuk langsung rubuh dan terjungkal ke bawah jenjang. Matanya juling dan lidahnya terjulur. Tentara itu sudah mati sebelum tubuhnya mencapai tanah. Si Bungsu menarik nafas. Dia menaiki tangga.
Mengambil bedil yang tertinggal di depan pintu, kemudian memanggil Han Doi yang masih berbaring pura-pura tidur.
“Kita harus segera berangkat…” ujar si Bungsu sambil melangkah masuk.
Duc Thio dan Thi Binh sudah bangkit pula dari pura-pura tidurnya. Si Bungsu membagikan empat pucuk bedil otomatis yang dia rampas dari keempat Vietkong yang sudah mati di luar. Satu dia sandang sendiri, satu untuk Duc Thio, satu untuk Han Doi dan satu lagi dia berikan pada Thi Binh.
“Mereka Tuan bunuh semua?” tanya Thi Binh saat menerima bedil itu, sambil matanya nanap menatap si Bungsu.
“Kita berangkat?” ujar si Bungsu, setelah mengangguk mengiyakan pertanyaan Thi Binh.
Duc Thio mendahului melangkah ke pintu depan, kemudian Han Doi, Thi Binh dan terakhir si Bungsu. Mereka turun ke halaman.
Kentalnya gelap malam itu menyembunyikan pelarian mereka. Thi Binh masih sempat melihat dua tubuh tentara Vietkong yang terkapar di dekat tangga. Dari depan rumah, melalui jalan raya di tengah kampung, mereka dibawa Duc Thio ke hulu kampung. Kemudian mereka membelok ke kiri memasuki hutan dan mendaki sebuah bukit. Melangkah perlahan dalam gelap yang amat kental. Setelah beberapa jauh masuk ke hutan, Duc Thio menghidupkan senter.
“Tunggu…” ujar si Bungsu setelah beberapa lama mereka menerobos hutan.
Rombongan kecil itu berhenti dan tegak saling ber dekatan.
“Ada apa…?” bisik Han Doi.
Si Bungsu tak menjawab. Dia menunduk dan tangannya meraba tanah lembab di bawah. Kemudian dia mengangkat kepala. Memejamkan mata dan hidungnya seperti mencoba mencium aroma belantara.

Dalam Neraka Vietnam -bagian-569
tikam samurai
“Kalau tak salah, agak jauh di sebelah kiri ada rawa. Kita harus ke sana…” ujarnya si Bungsu sambil berdiri.
Han Doi, Duc Thio dan Thi Binh saling menatap. Mereka takjub pada tebakan orang asing ini. Memang di bahagian kanan mereka ada rawa yang sangat luas, tapi juga sangat berbahaya karena ada pasir apung, ular dan buaya.
“Rawa itu sangat berbahaya. Selain itu, jika kita ke sana, kita akan menempuh jalan memutar untuk sampai ke sekitar bukit batu tempat penyekapan tentara Amerika itu…” ujar Duc Thio, sambil mendahului melangkah ke arah rawa.
“Siang tadi saya melihat jejak anjing yang cukup besar di tengah kampung. Saya yakin itu bukan anjing peliharaan penduduk. Itu pasti anjing pelacak milik tentara Vietnam. Ada berapa ekor anjing pelacak itu?” tanya si Bungsu.
Duc Thio kembali bertukar pandangan dengan Han Doi. Ketajaman penglihatan orang asing ini sehingga dapat membedakan jejak anjing pelacak dengan anjing kampung, sungguh luar biasa.
“Kami hanya pernah melihat empat ekor. Kebetulan anjing itu tiba di desa dengan truk sore hari…” ujar Duc Thio sambil menyeruak belukar untuk tempat lewat.
“Di tanah daratan ini jejak kita akan mudah ditemukan anjing pelacak. Mereka tak berdaya kalau orang yang dia lacak masuk ke air, apalagi masuk ke rawa yang sangat besar. Itulah sebabnya kita harus melewati rawa itu agar tak mudah diburu anjing pelacak…” papar si Bungsu.
Mereka berhenti, karena langkah Duc Thio terhambat oleh sebuah pohon besar yang tumbang. Han Doi mengarahkan cahaya senternya ke bahagian ujung. Cukup jauh. Lalu ke bahagian pangkal. Juga cukup jauh, pohon tumbang itu terlalu besar untuk dinaiki agar bisa melintas ke sebelah.
“Boleh saya yang di depan?” tanya si Bungsu.
Duc Thio mengangguk, sambil menyerahkan senter.
“Barangkali Tuan dan Thi Binh bisa memakai senter itu. Saya sudah terbiasa berjalan dalam belantara…” ujar si Bungsu.
Dia mulai melangkah ke kanan, ke arah ujung kayu tumbang itu. Ketiga orang Vietnam anak beranak itu segera menemukan bukti atas ucapan orang asing di depan mereka ini, bahwa dia sudah ‘terbiasa’ berjalan dalam belantara. Lelaki muda itu, dalam gelap yang amat kental, dengan cepat menemukan lorong dan celah untuk melangkah cepat di antara rimbunan semak belukar. Ketika sampai ke bahagian ujung pohon tumbang itu, di mana tingginya pohon itu tinggal sebatas pinggang, si Bungsu segera meloncat naik.
“Ayo… kita seberangi pohon ini…” ujar si Bungsu sambil mengulurkan tangan pada Han Doi.
Beberapa detik kemudian mereka sudah berada di sebelah pohon besar yang tumbang itu. Si Bungsu berhenti. Menunduk dan mendekapkan telinga kanannya ke tanah. Ketiga orang Vietnam itu menatapnya dengan diam.
“Belum ada tanda-tanda bahwa kita sudah mulai dikejar. Kita harus cepat sampai ke rawa tersebut…” ujar si Bungsu sambil berdiri.
Kembali ketiga Vietnam itu hanya bisa saling menatap. Mereka pernah mendengar cerita, bahwa ada tentara yang ahli mendengarkan kedatangan musuh dengan mendekapkan telinga ke tanah. Tapi kini mereka tidak hanya sekedar mendengar cerita, tapi melihat sendiri buktinya.
“Mari kita terus…” ujar si Bungsu sambil melangkah duluan.
Mereka berjalan dalam jarak sejangkauan tangan. Bagi si Bungsu aroma belantara berikut pepohonannya yang menjulang dan semak belukar adalah tempat yang dirindukannya. Bagi dia, dan juga bagi beberapa perimba, belantara di mana pun tempatnya, memiliki sifat yang hampir sama. Dia hafal akan hal tersebut. Dia seolah-olah “pulang ke rumah”. Dengan nalurinya yang amat tajam dengan mudah dia mencari jalan, kendati malam dipagut gelap yang amat kental. Dia mrenunjukkan ke mana harus melangkah, menghindari semak berduri atau pohon tumbang yang tak mudah dilewati.
“Saya lelah, dapatkah kita istirahat sebentar?” tiba-tiba terdengar suara Thi Binh.
Gadis itu bicara dengan nafas sesak, sementara tangannya menjangkau ke depan, bergantung pada tangan si Bungsu. Si Bungsu menghentikan langkahnya. Tiga orang lainnya juga berhenti. Ternyata nafas mereka juga pada sesak semua. Namun yang paling lelah tentu saja Thi Binh. Gadis itu belum pulih benar dari sakitnya. Si Bungsu duduk berlutut dengan lutut kiri di tanah. Kemudian kembali dia mendekatkan telinga ke bumi. Ada beberapa saat dia berlaku demikian. Kemudian dia mengangkat kepala. Lalu mem bersihkan dedaunan kering, sehingga terlihat tanah dimana mereka berada.
Ke tanah itu si Bungsu kembali mendekapkan telinganya. Sementara ketiga orang Vietnam itu menatap dengan diam. Lalu dia berdiri. Menatap kepada tiga orang temanya itu dengan diam.
“Mereka sudah mulai memburu kita. Saya tak tahu berapa jumlahnya. Namun mereka membawa anjing pelacak. Masih cukup jauh, belum sampai ke pohon besar yang tumbang itu. Kita bisa istirahat sebentar, tapi setelah itu kita harus menambah kecepatan dua kali lipat….”
“Tidak kita terus saja. Saya bisa berjalan…” ujar Thi Binh.
Si Bungsu menatap gadis itu. Jarak mereka hanya setengah depa. Kendati malam amat gelap. Namun dalam jarak yang demikian dekat, mereka bisa saling tatap.
“Kita terus atau istirahat?” tanya si Bungsu pada ayah Thi Binh dan Han Doi.
“Sebaiknya kita terus…” ujar Han Doi.
“Kalau terus, harus ada yang menggendong Thi Binh…” ujar si Bungsu.
Tak ada yang bersuara.

Tidak ada komentar: