Senin, 04 November 2013

tikam samurai - Di pekanbaru (bagian 157-158-159-160-161-162-163-164)

Di Pekanbaru (bagian 157)


Bilal membalik dan baru saja akan balas bicara ketika tiba-tiba ibu anak tersebut memekik dan menghambur ke arah anaknya.



“Biarkan dia, jangan dekati…..!” Bilal coba mengingatkan perempuan itu. Namun perempuan itu mana mau anaknya terancam bahaya. Sambil memekik dia terus memburu kopral itu.

“Jangan dekati ke sanaaa!!” Bilal berteriak lagi sementara tangannya tetap mengunci leher leutenant itu.



Tapi perempuan itu tak peduli. Dia memegang tangan anaknya. Dan kini dia saling tarik dengan kopral KNIL itu.



“Lepaskan anakku! Lepaskan anakkuuu!!” pekiknya sambil menolong-nolong.

“Anjing pigi kowe! Pigi kowe sana!!” kopral itu membentak.



Dan suatu saat, kakinya terangkat. Sepatu larasnya yang berpaku menerjang perempuan tersebut. Perempuan itu tercampak. Dadanya kena hantam. Dia muntah darah. Dan tergolek diam di tanah!

Keadaan kembali tegang. Empat serdadu Belanda yang lain tetap saja tak bisa berbuat apa-apa. Sebab mereka melihat betapa ujung pisau Bilal tetap saja menancap di dada komandan mereka.



“Ayola lepaskan Leutenant!!” kopral KNIL itu membentak lagi.



Namun Bilal segera dapat menguasai kekagetannya.



“Kau perintahkan semuanya melemparkan bedil letnant!” Dia mendesis dipangkal telinga leutenant itu.



Dan ketika letnan itu masih berdiam diri, dia menekankan lagi ujung pisaunya.



“Perintahkan mereka melemparkan senjatanya!!”.



Namun tiba-tiba saja tanpa disengaja sedikitpun, mungkin karena gugup, senjata ditangan kopral yang mengancam gadis kecil itu meledak. Dan bencana tak dapat dihindarkan. Kepala gadis itu rengkah dan dia mati tanpa memekik sedikitpun. Semua jadi kaget. Semua seperti dipakukan ke tanah. Bilal lah yang pertama mengadakan reaksi.



“Anjiiing! Kubunuh kalian!! Kubunuuuuuuh!” dan dia memang membuktikan ucapannya.



Dia memang tak main-main. Dia memang sia dengan segala kemungkinan. Dia memang kental hatinya. Kental darah pejuangnya. Dia menekankan pisaunya hingga membenam seluruh ke dada leutenant itu. Seluruhnya terbenam. Leutenant itu memekik dan meronta-ronta mengelak dari renggutan maut. Namun pisau beracun itu sebenarnya sudah sejak tadi beraksi di tubuhnya. Pisau itu begitu ditekankan begitu menghujam ke jantungnya. Dan dengan mata mendelik, dia tercampak di tanah. Kembali semua orang jadi tertegun. Kaget dan ngeri. Tentara-tentara Belanda yang lima orang itu juga ternganga. Tertegak kaget. Tertegak ngeri.



Namun hanya sebentar. Dan setelah itu mautpun menyeringai serta merenggut nyawa di sekitar pasar itu. Yang pertama beraksi adalah sergeant. Bedil di tangannya menyalak. Yang dia tuju adalah Bilal. Tapi pesilat itu sudah lebih dahulu arif. Dia cepat bergulingan di tanah. Dia terhindar dari terkaman maut. Tapi orang yang berada di belakangnya, yaitu seorang lelaki petani justru jadi korban. Lelaki itu terpekik dan terpental lalu roboh dan mati.

Dan setelah itu tak lagi diketahui siapa-siapa yang terkena tembak. Sebab letusan telah membahana. Si Bungsu hanya bisa bergerak menurut firasatnya saja. Tubuhnya bergulingan, dan begitu tegak, samurainya bekerja. Kopral yang menembak mati gadis kecil itu jadi korban pertama mata samurainya. Tangan kopral yang memegang bedil itu putus hingga lengan dekat bahu.



Kemudian samurai si Bungsu berkelabat lagi. Dan kaki Belanda itu putus. Cukup sekian. Si Bungsu membiarkan Belanda itu memekik-mekik tanpa tangan kanan dan tanpa kaki kiri!

Sebuah desingan dan rasa panas menyambar pelipisnya. Dia menjatuhkan diri. Bergulingan kekanan menurut arah peluru tadi datang. Kemudian sambil bangkit, samurainya bekerja.

Sergeant yang tadi menembak, terkena makan mata samurainya. Perut sergeant itu belah. Dan tubuhnya menggelepar-gelepar lalu diam. Lalu mati! Dan suasana tiba-tiba juga diam! Si Bungsu menyisipkan samurainya. Memandang keliling. Keenam serdadu Belanda itu telah tergeletak. Lima diantaranya mati! Dua orang mati di tangan si Bungsu. Yang lain disudahi oleh Bilal dan enam orang lelaki yang menyerang memakai pisau, parang dan golok!

Tiba-tiba semua mata memandang pada tubuh kopral KNIL yang masih tergolek dan meraung-raung itu. Mereka beranjak dari tempat masing-masing. Mendekati tubuh kopral itu. Membuat lingkaran mengitarinya.



Dan tiba-tiba seorang lelaki menyeruak. Dia masuk ke tengah memangku mayat gadis kecil yang tadi ditembak si Kopral. Dia adalah ayah gadis itu. Semua pada diam menatapnya. Dia tidak anggota fisabilillah. Dia hanya seorang petani biasa. Tapi tadi dia telah ikut menghujamkan pisaunya ke dada dua orang Belanda. Dan kini dia tegak dengan kaki terkangkang memangku mayat anaknya. Menatap pada tentara Belanda yang telah membunuh putrinya itu. KNIL itu tiba-tiba terdiam pula dari raung kesakitannya. Dia menatap dengan mata terbuka lebar pada lelaki yang memangku gadis kecil itu. Dia segera mengenali gadis berambut hitam lebat itu. Gadis yang dia bunuh tadi.



“Mengapa kau bunuh dia?” lelaki itu bertanya.



Suaranya perlahan. Aneh. Pertanyaan yang jujur dari seorang lelaki jujur dan bodoh. Lelaki kampung yang tak tahu menahu dengan peperangan atau politik.
“Mengapa kau bunuh anakku, padahal dia tak pernah menyakitimu? Kami tak pernah menyakiti kalian. Kenapa kau bunuh anakku, kau sakiti istriku?”
Suara lelaki itu terdengar serak. Dia tatap tentara KNIL itu tepat-tepat. Dan KNIL itu tiba-tiba seperti kehilangan seluruh rasa sakit di lengan dan di kakinya yang putus.


Di Pekanbaru (bagian 158)

Dia merasa heran, merasa takjub dan sekaligus juga merasa luluh atas pertanyaan yang lugu dan polos itu. Dan isteri lelaki itu, yang tadi kena tendang berdiri di samping suaminya. Menangis melihat mayat anaknya. Dan tiba-tiba lelaki itu melangkah lewat di sisi KNIL itu, melangkah terus memangku anaknya.



“Ampunkan saya…ampunkan saya pak…” KNIL itu bermohon.

Sementara air mata penyesalan mengalir di pipinya. Namun lelaki itu seperti tak mendengar ucapannya. Dia melangkah terus bersama istrinya. Membawa mayat anaknya.



“Ampunkan saya…” KNIL itu bermohon. Dia benar-benar merasa amat berdosa.



Dan dia merasa tersiksa atas perlakuan lelaki pribumi yang tak mau membalas sakit hatinya. Kenapa lelaki itu hanya bertanya, kemudian pergi? Kenapa dia tak menikamnya saja?

Dan akhirnya KNIL itu menangis terisak-isak.



“Bunuhlah saya… bunuhlah saya. Saya tak layak untuk diampuni. Bunuhlah saya…bunuhlah saya….!” Dia bermohon pada penduduk yang mengitarinya.



Namun semua penduduk hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Kemudian satu demi satu mengurusi mayat teman-temannya yang mati kena tembakan tadi. Yang perempuan menangisi suaminya yang mati. Demikian pula kanak-kanak menangisi mayat ayahnya atau ibunya.

Dalam perkelahian yang singkat itu, selain kelima tentara Belanda yang mati itu, ternyata ada enam penduduk yang meninggal. Empat orang lelaki dewasa, seorang perempuan dan seorang anak-anak. Kemudian satu demi satu mayat-mayat itu mereka angkut ke rumah masing-masing. Dan kini di lapangan bekas Pasar Jumat itu hanya ada enam tubuh tentara Belanda. Lima diantaranya sudah jadi mayat, yang satu lagi menatap ke sekitarnya dengan perasaan tak menentu. Dia adalah tentara KNIL yang menembak anak ibu yang tangan dan kakinya dibabat si Bungsu. Dia menoleh keliling. Dan matanya berpapasan dengan tatapan mata si Bungsu. Dia menatap pada samurai di tangan anak muda itu.



“Tolonglah saya. Bunuhlah saya. Jangan biarkan saya menderita seperti ini…” mohonnya.
Si Bungsu menatapnya dengan tenang. Dia teringat pada nasib seorang Datuk penyamun yang nasibnya juga sama dengan KNIL ini. Yaitu ketika Datuk itu bersama temannya datang ke Penginapan kecil di Aur Tajungkang untuk membalas dendam padanya. Kemudian menista Mei-mei. Datuk itu dia babat kedua tangan dan kedua kakinya. Kemudian dia tinggalkan berguling mengerang dan memohon-mohon untuk dibunuh di lantai penginapan dan demikian pulalah yang dialami KNIL ini. Dia lebih suka mati daripada menanggung malu tak bertangan dan tak berkaki. Si Bungsu sebenarnya memang ingin membunuh KNIL jahanam ini. Tapi dia ingin memberi pelajaran atas pembunuhan yang telah berkali-kali dilakukan si KNIL tersebut.



“Tolong bunuhlah saya…” KNIL itu memohon lagi.

“Bukan urusan saya. Orang kampung ini akan menentukan nasibmu. Engkau datang ke kampung ini membawa bedil, membunuh kanak-kanak. Menembaki perempuan dan lelaki yang tak berdosa. Bukankah penduduk di kampung ini tak pernah menyakiti kalian? Kenapa hari ini kalian datang membunuhi mereka”



KNIL itu tak bisa bicara. Sementara itu, pedagang-pedagang selesai mengumpulkan jualan yang tertambat di tepian batang Kampar itu. Lalu tanpa bicara ba atau bu, mereka segera membuka tambatan sampan.



“Harap jangan terdengar oleh Belanda di Teratak Buluh atas peristiwa yang terjadi di sini. Katakan saja bahwa kalian tak pernah bertemu dengan Belanda di kampung ini…”



Bilal berseru dari tebing kepada pedagang-pedagang itu. Sebab kalau sempat saja peristiwa ini bocor, maka dia sudah bisa meramalkan bahwa akan ke kampung ini seluruh pasukan Belanda untuk membunuhi mereka. Para pedagang itu tak ada yang menyahut.



“Kalau ternyata peristiwa ini bocor, maka ingatlah, kami akan mencegat kalian bila hilir ke Langgam. Dan kita akan bermusuhan sepanjang zaman….!” Bilal berseru lagi.



Sumpahnya ini membuat bulu tengkuk pedagang-pedagang yang akan berkayuh itu pada merinding. Kalau penduduk kampung ini memang bermusuhan dengan mereka sepanjang zaman itu berarti sepanjang zaman pula mereka tak dapat melayari sungai ini! Dan itu berarti mereka kehabisan mata pencaharian pula. Sebab satu-satunya tempat berjualan yang menghasilkan uang adalah ke Teratak Buluh. Dan bila dagangan di sana habis, mereka bisa jalan darat membeli dagangan baru ke Pekanbaru.



“Percayalah Bilal, dari kami takkan pernah terbuka rahasia ini. Kami bangga pada kalian, yang telah berani melawan dan membunuhi penjajah…” Pimpinan dari pedagang-pedagang itu berseru pula.



Dan mereka lalu berkayuh ke hulu satu demi satu. Ada dua belas sampan dan tongkang pedagang itu. Bergerak seperti siput merangkak pada arus sungai Kampar ke arah hulu.
Bilal menatap sampan itu bergerak. Setelah jauh, dia membalik. Menghadap pada kopral KNIL yang masih terbaring itu. 

Di Pekanbaru (bagian 159)

Sementara penduduk kampung yang lain, atas petunjuk Suman mengangkati mayat-mayat Belanda yang lain ke arah perkampungan.
Bilal melangkah mendekati KNIL itu.
“Kami takkan membunuhmu. Kematian merupakan hal yang terlalu enak bagimu. Tapi engkau akan tetap mati kehabisan darah”
Bilal mencabut pisau yang tadi dia tikamkan ke dada leutenant. Melemparkan hingga tertancap disisi tubuh KNBIL itu.
“Engkau boleh pilih, mati secara perlahan di sini atau bunuh diri dengan pisau itu…”
Dan Bilal memberi isyarat pada si Bungsu untuk meninggalkan tempat tersebut! Bungsu melangkah mengikuti Bilal ke arah mayat-mayat Belanda tadi diangkuti. Namun beberapa langkah mereka berjalan, KNIL tadi terdengar mengeluh. Mereka menoleh, dan melihat betapa pisau yang diberikan Bilal tadi telah menancap di dadanya. KNIL itu ternyata lebih suka bunuh diri daripada tetap dibiarkan terguling tak berdaya di sana. Dia lebih suka mempercepat kematiannya daripada harus menunggu maut merangkak secara perlahan menyakiti nyawa dan jasadnya.



“Dia memilih jalan singkat….” Bilal berkata.



Bungsu hanya menatap. Bilal menyuruh dua orang penduduk untuk mengangkat mayat KNIL itu.



“Bersihkan bekas-bekas darah di tanah! Dan Asir…kau biasa membawa motor tempel. Bawa motor tempel Belanda itu ke Danau Baru. Tenggelamkan disana…”



Orang-orang yang disuruh itu melaksanakan tugas mereka. Dan Bilal membawa si Bungsu ke arah mayat-mayat Belanda itu diangkuti. Mayat-mayat itu teranyata diangkuti ke belakang kampung. Ke hutan belantara yang masih perawan.



Kaum lelaki berkumpul di sana. Menanti Bilal dan si Bungsu. Semua mereka menoleh pada Bilal dan si Bungsu yang baru muncul. Menatap dengan diam. Guruh tiba-tiba menderam di angkasa. Bilal berhenti, demikian pula si Bungsu. Para lelaki melirik ke samurai yang terpegang di tangan kanan si Bungsu.

Dari cerita yang pernah mereka dengar, anak muda ini mahir dan amat cepat dengan samurai Jepang itu. Tapi di pasar Jumat tadi, beberapa orang sempat melihatnya. Itupun secara tak pasti. Sebab hampir semua mereka terlibat dalam perkelahian yang hanya sebentar.

Hanya saja, dari mayat-mayat yang mereka bawa ini, ada dua orang tentara Belanda yang belah perut dan dadanya. Dan itu pasti termakan samurai. Jadi dengan kopral yang putus kaki dan tangan kanannya itu, ada tiga serdadu Belanda yang dibabat samurai tersebut.

Hanya itu sebagai bukti bagi penduduk bahwa anak muda ini memang cepat dengan samurainya. Hanya sayangnya tak seorangpun yang sempat melihat dengan pasti bagaimana caranya dia memainkan senjata maut itu.

Kini mereka tegak membisu. Bilal yang merupakan seorang pemuka di kampung itu akhirnya bersuara.



“Asir saya suruh membawa motor tempel Belanda itu ke Danau Baru. Menenggelamkan di sana. Saya rasa kalaupun ada pencaharian oleh pihak Belanda kemari mereka takkan menemukan jejak sedikitpun”



Dia berhenti. Para lelaki itu tak ada yang bersuara. Bilal menyambung:



“Kini kita kuburkan mayat-mayat Belanda ini. Kuburkan bersama pakaian mereka. Senjata simpan di rumah Suman. Kita kuburkan mereka lebih ke hutan sana. Lewati paya-paya tersebut agar jejak kita tak mudah ditemukan. Kubur yang dalam, agar mayat mereka tak digali harimau…!”



Masih tanpa suara, kaum lelaki itu mulai mengangkati mayat keenam serdadu Belanda tersebut. Guruh kembali menderam rusuh di kaki langit. Mengirimkan suasana seram ke hati mereka.

Satu demi satu mulai menyeruak rimba menuju paya-paya.



“Biar saya di depan membuka jalan….” Si Bungsu berkata sambil mendahului rombongan pemangku mayat tersebut.

Di depan dia menghunus samurainya. Ketika dia akan menebas semak untuk membuka jalan, dia terhenti mendengar seruan Bilal.



“Jangan ditebas!”

“Tapi ini menyulitkan pejalan yang memangku mayat..”

“Ya, tapi tebasan itu juga akan memudahkan Belanda masuk untuk mencari jejak mayat teman-temannya”



Si Bungsu menjadi mengerti duduk soalnya. Dia mengagumi ketajaman firasat Bilal. Oleh karena itu dia memasukkan kembali samurainya. Kemudian dengan mempergunakan samurai bersarung itu dia menguakkan semak-semak untuk membuat jalan bagi temannya yang di belakang.
Mereka berjalan dengan diam.
Yang terdengar hanyalah geseran tubuh dengan dedaunan. Mereka melalui rimba yang lebat. Tak lama kemudian, mereka tiba ke tepi rawa dan bancah yang tadi disebutkan Bilal.
Si Bungsu menekankan samurainya ke dalam air. Menduga dalam bancah ini. Ujung samurainya menekan tanah dasar air. Cukup keras. Kemudian dia mulai melangkah masuk air. Yang lain menuruti.

Di Pekanbaru (bagian 160)




“Kita ke seberang sana…?” tanyanya sambil menoleh pada Bilal yang berada di tengah barisan itu.



Bilal mengangguk. Bungsu menepi memberi jalan kepada orang yang di belakangnya. Lelaki itu lewat dengan mayat leutenant Belanda di bahunya. Berturut-turut lewat lelaki yang lain.

Namun tiba-tiba si Bungsu merasa dirinya jadi tegang.

Matanya menyipit. Inderanya yang sudah terlatih di rimba Gunung Sago tiba-tiba mengisyaratkan bahwa ada bahaya mengancam. Samurainya dengan cepat berpindah ke tangan kiri. Sementara tangan kanannya menggantung melemas.

Beberapa lelaki lagi lewat di hadapannya. Dia menatap dengan tegang. Bahaya yang tercium oleh firasatnya itu makin mendekat. Lelaki yang paling depan telah naik kembali ke tanah di seberang bancah sana. Jaraknya dengan si Bungsu ada sekitar dua depa.

Si Bungsu kenal benar dengan isyarat yang dia tangkap ini. Amat kenal. Hanya kini dia memastikan di mana sumber bahaya itu. Sedetik dia memejamkan mata, inderanya yang terlatih, yang melebihi ketajaman indera binatang buas manapun, segera mengetahui bahaya itu.



Tiba-tiba dia memekik seperti pekikan raja hutan. Pekikannya yang dahsyat itu diikuti oleh terangkatnya tubuhnya dari tempatnya tegak. Dirinya yang tadi tegak dalam rendaman air sebatas paha, tiba-tiba melambung dalam suatu lompat tupai yang terkenal itu.

Tubuhnya mengapung segera dari permukaan air bancah. Melambung ke arah depan dimana lelaki yang memangku mayat leutenant itu tegak.

Tidak hanya lelaki dengan mayat leutenant itu saja yang tertegak diam. Semua anggota rombongan pengubur mayat itu, termasuk Bilal yang berjumlah empat belas orang pada tertegak kaget, dan seperti dipakukan ke tanah begitu mendengar pekik si Bungsu tadi.

Dan kini dengan pandangan tak berkedip, mereka melihat tubuh si Bungsu turun di depan sekali. Persis di sisi Soli yang memangku mayat Leutenant itu.



Tangan kanan si Bungsu dengan kuat mendorong tubuh Soli. Karena di bahunya ada beban, Soli tak bisa menguasai keseimbangan, tubuhnya segera saja terdorong ke samping. Tak hanya sekedar terdorong, tapi terjatuh duduk.

Belum habis kaget Soli dan semua teman-temannya melihat tindakan si Bungsu, tiba-tiba saja dari hadapan tempat Soli tegak tadi, melesat suatu bayangan dengan suara menggeram hebat.

Bayangan itu justru menerpa tempat Soli tegak tadi bersama mayat leutenant tersebut di bahunya. Kini di tempat itu yang tegak bukan lagi Soli, tapi si Bungsu. Si Bungsu tak berani menerima terkaman itu. Yang menerkamannya tak lain daripada seekor harimau besar!

Dia melambung dengan lompat tupai ke kanan! Dan harimau itu menerpa tempat kosong! Semua lelaki yang segera melihat harimau itu pada tegak melongo. Hanya Bilal yang mengucap istigfar. Yang lain tanpa dapat dicegah pada menggigil. Mereka rata-rata memang pesilat. Tapi tak semua pesilat berani menghadapi harimau. Apa lagi di siang bolong dan di dalam rimba raya!



Mayat-mayat yang tadi mereka panggul. Pada berjatuhan tanpa mereka sadari. Dan mereka pada tegak menggigil!



“tetaplah diam di tempat kalian!” si Bungsu berteriak memperingati ketika dia lihat ada seorang dua yang ingin ambil langkah seribu.



Semua pada tertegak. Si Bungsu memperingatkan hal itu untuk menghindarkan korban. Sebab dia telah hidup dalam belantara Gunung Sago. Telah berkelahi dengan harimau-harimau di gunung Sago tersebut untuk mempertahankan hidupnya.

Dan dia jadi sangat kenal pada sifat harimau-harimau. Mereka akan memburu orang yang membelakanginya. Yang lari terbirit-birit! Hariumau justru jadi segan dan agak gentar pada orang yang tegak diam dan menatapnya!

Dan kini harimau yang besarnya bukan main itu mengeram. Beberapa lelaki ada yang terkencing. Si Bungsu dengan langkah ringan memutar tegak.
Dan kini dia persis di hadapan harimau itu. Harimau itu mengais-ngaiskan kakinya ke tanah. Meninggalkan jejak kukuk yang dalam pada tanah keras tersebut. Dan tiba-tiba tubuhnya merendah. Matanya nyalang menatap si Bungsu tak berkedip. Si Bungsu tegak dengan tenang. Dan kedua kakinya terpentang lebar. Dia balas menatap harimau itu dengan pandangan tak berkedip. Mereka sama-sama mengukur. Dan tiba-tiba tanpa memberitahu, tanpa bersuara sedesahpun, tubuh harimau itu melesat dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata. Menghambur ke arah si Bungsu.




Demikian cepatnya sergapan itu, sehingga hampir-hampir tak terikutkan oleh mata lelaki-lelaki yang ada di sana.  Yang dapat melihat dengan jelas gerakan itu hanyalah Bilal yang telah masak ilmu silatnya. Dia melihat betapa harimau itu tidak menerkam, tapi dalam lompatannya dia menampar ke arah si Bungsu. Dan hanya Bilal pulalah yang dapat sedikit melihat betapa dengan kecepatan yang sulit dimengerti, tangan kanan si Bungsu tiba-tiba telah memegang samurainya. Dan samurainya itu membabat ke arah harimau yang menerkamnya itu. Hanya itu yang terlihat. 

Di Pekanbaru (bagian 161)

Bilal tak tahu apakah antara kedua lawan itu ada yang kena atau tidak. Tapi dia dan semua lelaki yang tertegak diam itu melihat betapa kini kedua mereka saling berhadapan kembali!
Harimau itu tegak mencekam tanah empat depa di belakang si Bungsu. Tegak tanpa cedera apapun. Sebaliknya si Bungsu juga tegak dengan posisi seperti tadi. Dengan tubuh tegak lurus dan dengan kaki yang terpentang lebar. Bedanya kini samurainya kembali telah tersisip dalam sarangnya di tangan kiri. Sementara tangan kananya tergantung lemas!

Dia juga tegak tanpa luka segorespun! Semua mereka menghela nafas. Ini adalah pertarungan yang belum pernah mereka saksikan seumur hidup. Belum pernah dan mungkin tak pernah terjadi untuk kedua kalinya!



Mereka memang banyak mendengar, bahwa pesilat-pesilat tangguh biasanya memutus kaji dengan bertarung melawan harimau. Dan mereka juga tahu, bahwa diantara pesilat-pesilat yang tangguh itu, Bilal konon adalah salah seorang yang telah lulus dari perkelahian seperti ini. Entah benar entah tidak, tapi sudah menjadi rahasia umum, sudah menjadi buah bibir, bahwa Bilal telah lulus dari ujian dengan “Niniek” belang. Mereka tak mengetahui dengan pasti karena tak melihatnya. Dan sebaliknya Bilal pun tak pernah membantah atau mengiyakan desas-desus itu. Yang jelas dia memang seorang pesilat tangguh yang telah masak! Dan kini. Manusia melawan harimau! Bila ada kesempatan seperti itu? Maka meski dengan celana basah karena kencing, mereka berusaha juga untuk tetap tegak. Berusaha agar mata mereka terbuka lebar menyaksikan perkelahian itu. Menyaksikan dengan tubuh terguncang-guncang karena menggigil ngeri!



Tiba-tiba mereka menyaksikan sesuatu yang aneh. Di belakang sana, harimau itu kembali mencengkamkan kaki depannya ke tanah. Matanya menatap marah pada si Bungsu yang membelakanginya. Membelakang! Bayangkan, ada manusia yang berani membelakanginya! Bukankah itu suatu penghinaan! Harimau itu benar-benar berang!

Dia tak mau dihina demikain. Apalagi di hadapan tatapan sekian banyak manusia. Dan dia berniat kali ini untuk mengoyak tubuh manusia sombong yang membelakanginya ini!

Akan halnya si Bungsu, kelihatan memejamkan matanya. Kemudian perlahan merendahkan tubuh. Lalu duduk bersila di tanah! Duduk dengan mata tetap terpejam! Inilah yang membuat heran dan terkejut lelaki-lelaki dari Buluh Cina itu. Termasuk Bilal!



Tak seorangpun yang tahu, bahwa jika dia telah berbuat demikian itu berarti di sekitarnya nada maut yang siap merengut nyawa setiap makhluk yang mendekati tubuhnya yang diam terpejam itu! Tak seorangpun yang mengetahui itu. Bahkan Bilal yang pesilat tangguh itu tak pula bisa menangkap secara penuh. Dia hanya bisa menerka-nerka. Bahwa anak muda itu sebenarnya barangkali sedang memusatkan inderanya. Sedang menghimpun segala makrifat. Tapi itu hanya dugaannya saja. Dia tetap saja cemas melihat hal itu.



Dan tiba-tiba, tanpa suara sedesahpun seperti tadi, bahkan kini seperti tak ada angin terkuat sedikitpun oleh tubuhnya yang besar dan dahsyat itu, harimau tersebut melesat dengan kecepatan hampir-hampir tiga kali kecepatan loncatannya yang pertama tadi. Meloncat dengan mulut yang diarahkan untuk menerkam tepat-tepat ke tengkuk si Bungsu!

Bilal tak melihat gerakkan sedikitpun dari pihak si Bungsu. Dan saat berikutnya, terlalu cepat buat diikuti mata siapapun. Terlalu cepat! Hanya bayangan yang tak jelas!

Mereka hanya melihat betapa kelebatan bayangan yang cepat itu akhirnya berhenti dalam bancah dari mana si Bungsu tadi melambung ke luar. Harimau itu tertegak dengan keempat kakinya di bancah itu. Separuh tubuhnya bahagian bawah terendam dalam bancah. Dan dibawahnya terhimpit si Bungsu. Yang kelihatan keluar mencuat dari bawah perut harimau itu hanyalah tangannya!



Tangan anak muda itu menggelepar dan buih aiar menggelembung ke atas! Gelembung air merah! Merah darah! Tangan si Bungsu sekali lagi kelihatan menggelepar. Harimau itu meraung panjang. Mengejutkan dan membuat isi rimba di darat kampung Buluh Cina itu berteperasan lari. Menyurukkan diri ke tempat yang paling jauh. Raungan raja hutan itu benar-benar dahsyat. Bilal sendiri seperti dicopoti tulang belulangnya.



“Ya Allah, Bungsu….” ucapan perlahan terdengar keluar dari bibirnya yang pucat.



Demikian hebatnya terjangan harimau itu tadi. Sehingga mementalkan tubuh si Bungsu dan dirinya ke bancah ini. Lontaran yang jauhnya enam depa dari tempat si Bungsu duduk bersila memejamkan mata tadi! Semua lelaki dari kampung kecil itu tegak dengan wajah pucat dan mulut ternganga. Harimau besar itu menoleh keliling. Dan tiba-tiba tubuhnya miring. Dan rubuh ke dalam air bancah yang telah menjadi merah disekitarnya! Tangan si Bungsu yang dirinya berada dalam air di bawah perut harimau itu sekali lagi seperti akan memegang sesuatu di udara. Meregang-regang. Kemudian tenggelam ke dalam air. Terlihat gelembung-gelembung air. Dan tiba-tiba kepalanya muncul! Dia menarik nafas terbatuk-batuk.

Di Pekanbaru (bagian 162)


“Bungsuuu!!” 
Bilal berteriak dan memburu, si Bungsu terbatuk-batuk lagi. 
Kemudian memuntahkan air bancah yang terminum olehnya.
Dia dibantu tegak oleh Bilal. 
Sementara lelaki-lelaki yang lain masih tertegak diam, takjub dan terpana. 
Untuk menegakkan si Bungsu, Bilal terpaksa mendorong harimau itu ke pinggir.

Harimau itu ternyata mati! Samurai si Bungsu menancap persis dijantungnya! Tembus hingga ke punggung. Dan tiba-tiba belantara itu seperti akan robek oleh pekik dan sorak gembira lelaki-lelaki dari Buluh Cina tersebut. Mereka melupakan celananya yang basah karena kencing. Bahkan dua orang diantaranya melupakan kentut dan berak yang memenuhi celana mereka takkala harimau itu meraung dengan menghimpit tubuh si Bungsu!

Mereka berlarian mengelilingi anak muda itu.

Si Bungsu membuka bajunya yang basah. Dan tiba-tiba semua lelaki dari Buluh Cina itu tertegun. Mereka menatap punggung, dada dan perut si Bungsu. Tubuh anak muda itu seperti habis sembuh dari suatu penjagalan. Bekas luka lebih dari selusin simpang siur pada tubuhnya itu. Mereka saling pandang sesamanya. Kemudian menatap pada si Bungsu. Dan si Bungsu segera mengetahui bahwa perut bekas luka yang malang melintang di tubuhnya menarik perhatian lelaki-lelaki itu. Dia memeras bajunya yang basah kuat-kuat untuk mengeringkan air bancah tadi.



“Kita kuburkan Belanda-Belanda ini? Katanya sambil menoleh pada Bilal. Bilal yang tegak didekatnya tersenyumdan mengangguk.



Mereka lalu kembali mengangkati mayat-mayat Belanda yang tadi berjatuhan di dalam bancah. Kemudian kembali naik ke daratan menerobos hutan di seberang bancah itu. Menggali lobang besar di tanah. Kemudian memasukkan keenam mayat Belanda itu sekaligus ke satu lobang. Lalu menimbunnya.



“Nah, kini kita kembali ke kampung. Kita bawa bangkai harimau ini. Saya rasa ini adalah harimau yang menangkapi kambing kita. Dan mungkin juga yang menangkap dan memakan Tuar, Karim dan Bodu dahulu….” Bilal berkata.



Dan para lelaki itu lalu mengikat kaki-kaki harimau tersebut. Dan sebuah kayu besar betis ditebang. Lalu dimasukkan di antara keempat kaki raja hutan itu. Dan dengan kayu itu, bangkai harimau besar tersebut dipikul oleh enam orang lelaki menuju ke kampung.

Di kampung mereka berpapasan dengan penduduk yang tadi disuruh Bilal menguburkan jenazah orang-orang yang meninggal dalam pertempuran di Pasar Jumat itu.

Dan penduduk segera saja jadi gempar takkala melihat mereka membawa bangkai raja hutan itu. Raja hutan itu segera diletakkan di pekarangan mesjid di tengah kampung.

Berita bahwa ada harimau mati dan bangkainya di halaman mesjid, segera saja menjalar ke seluruh rumah penduduk. Penduduk yang tadinya setelah penguburan pada naik ke rumah masing-masing, takut keluar disebabkan peristiwa dengan tentara Belanda itu, kini segera berdatangan.



Dalam waktu tak sampai lima belas menit, semua penduduk kampung yang sekitar seribu orang itu telah berkumpul di halaman mesjid. Mereka ternganga melihat bangkai harimau yang hampir sebesar kerbau itu. Kemudian lelaki-lelaki yang tadi pergi bersama si Bungsu dan Bilal, menyaksikan perkelahian itu pada bercerita pada orang di sebelahnya. Mereka menceritakan jalan perkelahian yang belum pernah terjadi itu.

Dan bahkan ada yang menyatakan bahwa merekalah yang pertama melihat harimau itu.



“Saya lihat kepalanya di antara semak” kata lelaki yang ketika perkelahian itu terjadi, terpancar kencingnya dalam celananya.



Empat lima orang penduduk merapatkan tegaknya.



“Lalu bagaimana? Waang lari?”


“Jangan menghina ya! Buruk-buruk begini saya pesilat. Begitu kepalanya saya lihat, saya berkata: Maaf Inyiak, kami akan liwat” Lelaki itu berhenti dan menatap pada penduduk yang mendengarkan ceritanya. Penduduk itu pada ternganga.





Sementara Bilal dan si Bungsu dan beberapa pemuka kampung lainnya kelihatan bicara serius di teras mesjid.





“Kemudian “ lelaki itu myambung lagi


”Saya lihat harimau itu ragu. Saya menyuruh teman-teman semuanya berhenti. Saya letakkan mayat Belanda ditanah. Saya maju dua langkah…” lelaki itu membuat gerakan seperti meletakkan sesuatu di tanah, kemudian maju dua langkah. Penduduk mengikuti dengan tak berkedip.


“Kemudian saya baca ayat Kursi. Dan saya berkata: menghindarlah Inyiak, cucumu akan lewat..”


“Waang maju mendekati harimau ini  Pudin?” seorang lelaki tua yang tahu benar Pudin ini penakut bertanya memutuskan cerita lelaki itu. Lelaki itu mendelik, membusungkan dada.


“Ya. Tentu saja saya mendekati dan minta lewat. Bukankah begitu tata tertib dalam rimba? Saya tahu bagaimana caranya bersikap dalam rimba…”


“Lalu apa kata harimau itu?”

Di Pekanbaru (bagian 163)


“Katanya,??? 
eh, mana pula dia bisa berkata. 
Tapi dia mendengus. Saya membuka langkah empat. Kalau dia menyerang saya sudah siap. Eh tahu-tahu harimau itu menyerang si Bungsu. Mungkin dia melihat tak ada “pintu” masuk dari pertahanan yang saya buat seperti ini…” dia menirukan langkah empat yang pernah dia pelajari sambil lalu dahulu.





Tiba-tiba dia terhenti. Karena ketika dia menoleh ternyata tak seorang pun diantara penduduk yang tegak mengelilinginya. Semua penduduk kini telah berkumpul di keliling Bilal di depan teras mesjid. Pudin si pembual itu tak jadi ber-akting. Dia juga membuat langkah empat menuju kerumunan orang ramai itu.





Di teras mesjid Bilal angkat bicara.


Saudara-saudara, pertama kami minta maaf atas jatuhnya korban kanak-kanak, perempuan dan beberapa orang penduduk kampung kita ini dalam perkelahian dengan Belanda tadi. Ada sembilan orang yang meninggal, suatu jumlah yang banyak.


Tapi itulah resiko perjuangan. Kami berterimakasih atas kerelaan saudara-saudara terhadap korban yang jatuh itu. Semoga Tuhan memberikan iman yang teguh bagi keluarga yang kematian familinya hari ini. Belanda barangkali akan mencari teman-teman mereka tadi kemari. Mungkin akan ada lagi korban yang jatuh. Meskipun kedatangannya kemari sangat tipis, mengingat jaraknya kampung ini yang terpencil dan jauh dari Pekanbaru, namun tak ada salahnya kita waspada. Kita akan menempatkan setiap hari dua orang pengintai. Yang satu di bahagian hulu sana. Yaitu untuk menjaga kalau-kalau Belanda datang lewat sungai dari Teratak Buluh seperti pagi tadi. Yang seorang lagi akan menjaga di kampung Kutik. Yaitu untuk mengawasi kalau-kalau patroli Belanda datang lewat darat. Hanya dua jalur itu yang akan ditempuh Belanda untuk datang ke Kampung ini.


Penjagaan akan bergilir tiap hari. Kalau kelihatan mereka datang, yang bertugas harus memukul tontong sebagai isyarat, penduduk harus segera meninggalkan kampung. Ada kesempatan satu jam untuk menyelamatkan diri. Bersembunyilah ke hutan. Jangan takut dengan harimau. Sebab mereka juga akan lari begitu melihat kita datang ramai-ramai.


Bersembunyilah yang jauh, agar tak tertangkap. Tentang keselamatan kampung ini, rumah dan harta benda, jangan khawatir. Kami para anggota fisabilillah akan menjaganya. Kalau Belanda masuk kemari, mereka akan kami sambut dengan peperangan. Kaum lelaki akan membantu kami. Untuk sampai ke kampung ini mereka harus naik sampan atau motor boat. Kami akan berusaha menenggelamkan mereka sebelum turun dari sampannya.





Untuk mengatur penyergapan itu nanti semua lelaki yang mau menyumbangkan bhaktinya untuk kampung ini, silakan masuk mesjid. Yang bersedia silahkan menunjuk,


Bilal tak usah menanti terlalu lama. Sebab begitu dia selesai ngomong, semua lelaki pada mengacungkan tangannya ke atas.


Si Bungsu melihat betapa tidak hanya pemuda-pemuda yang mengacungkan tangannya ke atas. Tetapi juga kanak-kanak dan lelaki-lelaki tua. Bahkan ada enam orang perempuan!





“Maaf kami bukan menolak yang tua-tua dan kanak-kanak. Tidak pula menganggap enteng akan kemampuan perempuan, tapi buat sementara kita belum lagi akan berperang”





Bilal berkata atas berusaha ikut berpartisipasinya yang tua, kanak-kanak dan kaum perempuan. Dia mencari cara yang baik untuk menolak mereka.





“Pada akhirnya bila pertempuran  terjadi, tidak hanya kami, melainkan seluruh kita, seluruh yang bernafas akan mempertahankan negeri ini dengan darah dan nyawa.


Tapi itu belum sekarang. Sekarang hanya dibutuhkan beberapa belas orang lelaki yang dewasa saja. Kaum perempuan kami harapkan bersama anak-anak dan adik-adiknya di persembunyian.


Bapak yang tua-tua kami harapkan tak tersinggung. Berikanlah kesempatan pada kami yang muda-muda untuk melindungi bapak”





Cara Bilal ini amat kena. Tak seorangpun yang membantah. Bilal segera saja menghimbau pada lelaki dewasa yang jumlahnya sekitar seratus orang. Memberi beberapa petunjuk. Kemudian dia sadar, bahwa ada sesuatu yang terlupa. Untuk itu dia lalu bicara lagi pada penduduk yang kini perhatiannya beralih pada bangkai harimau itu.





“Oh ya, Kami baru saja kembali dari rimba sana. Dan kami dicegat harimau besar ini. Kami telah menyaksikan suatu perkelahian yang dahsyat antara harimau itu dengan saudara Bungsu”





Bilal tahu menceritakan secara lengkap bagaimana perkelahian terjadi. Semua penduduk pada mendecah-decah. Kemudian beberapa orang lelaki pada mengguliti harimau tersebut. Perutnya dengan hati-hati dibelah dengan pisau tajam. 
Pekerjaan itu memakan waktu cukup lama. Hari telah senja. Mereka berhenti untuk sembahyang magrib. Selesai sembahyang mereka melanjutkan pekerjaannya. Beberapa lelaki telah berangkat ke pos pengintaian seperti yang dikatakan si Bilal. Tapi dalam mesjid itu seperti pasar malam. Mereka datang ke sana dengan memakai suluh. 

Di Pekanbaru (bagian 164)


Dua buah lampu petromaks milik mesjid dibawa keluar. Cahayanya menerangi halaman mesjid tersebut.


Tiba-tiba terdengar seruan. Orang berbondong-bondong mendekati harimau tengah dibelah itu.


Para perempuan berteriak kaget. Demikian pula lelaki. Dari dalam perut harimau itu, mereka mengeluarkan beberapa buah gelang dan cincin emas. Ada cincin berbatu akik besar.





“Gelang Sumi! Ya, ini gelang Sumi!!” terdengar teriakan-teriakan. Orang makin banyak berkerumun.


“Nudin!Nudin! ini gelang istrimu!!” suara teriakan yang kacau balau timpa betimpa. Seorang lelaki dengan kumis jarang menyeruak.





Dan dia tertegun tegak takkala melihat gelang emas yang baru diambil dari perut harimau besar itu. Kemudian terdengar dia memekik. Ditangannya terpegang pisau. Dan sebelum orang sempat mencegahnya pisau itu sudah merajah bangkai harimau tersebut. Dan ketika orang-orang sadar bahwa kulit harimau itu harus diselamatkan, maka kesadaran itu sudah terlambat.


Nudin sudah merajah harimau itu dengan caci maki sambil menikamkan pisaunya berulang kali. Dan akhirnya dia tertegak terperangah. Orang-orang yang melihatnya juga pada terperangah.


Bangkai harimau itu seperti dicencang.





“Kenapa dia? Si Bungsu berbisik perlahan pada Bilal yang tegak disisinya.


“Lima bulan yang lalu, dia kehilanganistri. Waktu itu dia pergi menjual ikan ke Pekanbaru. Sepeninggalnya istrinya pergi menakik getah. Ketika dia kembali sore hari, istrinya tak divrumah. Mereka baru saja tiga bulan menikah.


Ketika magrib datang, istrinya belum juga muncul, dia mulai mencari ke tetangga. Tapi para tetangga mengatakan bahwa tak melihat istrinya sejak pagi. Dia jadi curiga. Bukankah pagi tadi istrinya berkata akan pergi menakik getah?


Bersama penduduk dia menyusul istrinya ke kebun getah mereka di hilir kampung sana. Dengan membawa suluh daun kelapa, mereka meneliti kebun tersebut.


Dan dekat sepohon karet yang dikelilingi semak rimbun, mereka menemukan jejak-jejak. Ada terompa, ada kantong tempat getah segrap. Ada darah dan tanah yang meninggalkan jejak harimau.


Mereka mengikuti jejak tersebut. Sebab bekas tubuh perempuan itu diseret nampak jelas di tanah. Tiga puluh depa dari tempat semula, mereka menemukan pisau penakik getah perempuan itu.


Nampaknya ketika ditangkap harimau, dia belum mati. Bahkan nampaknya berusaha melawan ketika tengkuknya dicengkram taring harimau itu dan menyeretnya pergi. Namun di tempat pisau pemotong karet itu jatuh, di sanalah mungkin ajalnya tiba.


Dan malam itu mereka tidak menemukan apa-apa. Besok dan besoknya lagi mereka mencari terus. Sepekan lamanya pencarian itu berlangsung. Namun mayat istrinya tak pernah dijumpai. Dan ternyata hari ini dia temui gelangnya dalam perut harimau itu…”





Si Bungsu sudah terbiasa hidup dalam kekerasan. Sudah tak lagi mempan akan kesedihan-kesedihan. Sebab hidupnya sendiri adalah rangkaian dari pada kesedihan yang sambung menyambung. Namun mendengar kisah tragis yang menimpa diri lelaki dari Buluh Cina ini, hatinya jadi terharu. Dan ketika dia melihat betapa lelaki itu duduk terhenyak di tanah, memandang dengan wajah pucat dan air mata berlinang. Si Bungsu jadi tak tahan. Dia beranjak dari sana. Berjalan masuk ke mesjid. Di dalam rumah Allah itu dia sembahyang sunat. Kemudian duduk membaca zikir.





Itu adalah hari terakhir si Bungsu di Buluh Cina. Sebab malamnya datang kurir Kapten Nurdin dari Pekanbaru memberitahukan bahwa besok ada kapal menuju Singapura. Dan di Singapura kelak ada orang Indonesia yang mengurus keberangkatan si Bungsu ke Jepang.
Malam itu juga si Bungsu kembali ke Pekanbaru. Meninggalkan Buluh Cina. Dia diantar oleh Bilal dan Badu sampai ke Marpuyan. Disana sudah ditunggu oleh anak buah Kapten Nurdin.


Esoknya sesuai dengan pesan Kapten Nurdin dia berangkat ke Singapura. Kapal yang ditompanginya adalah sebuah kapal kecil yang selalu hilir mudik di sungai Siak membawa para pedagang dan penyelundup.
Di Singapura beberapa pejuang bawah tanah Indonesia yang berada disana sebagai pencari senjata telah menunggu dan memberangkatkan si Bungsu ke Jepang. Dia ditompangkan di sebuah kapal Jepang yang dicarter Inggeris. Kapal itu bernama Ichi Maru.

Dalam perjalanan menuju Jepang, debar jantungnya terasa mengencang. Dia kini tengah menuju sebuah negeri darimana pernah dikirim pasukan fasis yang amat kejam menjajah negerinya. Dia menuju sebuah negeri, darimana pernah dikirim tentara yang telah merobek-robek negeri dan kaum perempuan Indonesia. Membunuh banyak sekali kaum lelaki, kanak-kanak dan orang dewasa, lewat pembantaian dan…kerja paksa sebagai Romusha!

Dia kini menuju sebuah negeri dimana berdiam musuh besarnya. Orang yang pernah membunuh ayah, ibu dan kakanya. Dia kini menuju negeri Saburo Matsuyama!!

Ke Jepang dia datang, disana maut menghadang!







Tidak ada komentar: