Senin, 04 November 2013

tikam samurai - Di Jepang ( Bagian 165-166-167-168-169-170)

Di Jepang (bagian 165)

Tokyo, Kyoto dan Nagasaki atau kota manapun di Jepang saat ini, keadaannya sama saja. Dimana-mana tentara Amerika kelihatan mondar-mandir. Dimana-mana orang kelihatan dicekam rasa takut dan penuh ketergesaan.

Dan dimana-mana kelaparan dan kekacauan ekonomi merajalela. Itulah Jepang ditahun 50-an. Jepang yang ditaklukan sekutu dengan 2 bom atom di Nagasaki dan Hirosima.

Dan kini bulan November. Musim gugur sudah mendekati masa akhirnya. Desember salju akan turun. Dalam musim gugur begini, semua orang kelihatan bergegas kemana-mana.

Daun-daun pada berguguran meski angin tak bertiup. Pohon-pohon kini pada gundul. Dahan dan ranting kelihatan seperti akar tercabut yang diletakkan terbalik menggapai langit.

Angin kencang yang bertiup seperti mengiris daging terasa dalam cuaca begini. Orang lebih baik tetap tinggal di rumah. Berlindung di bawah selimut. Jalan-jalan kelihatan sepi. Tokyo yang besar dan berpenduduk ramai itu juga sepi dalam cuaca musim gugur begini.



Di bahagian utara, masih dalam lingkungan kota Tokyo, ada sebuah taman yang terbengkalai. Namanya Asakusa. Rencananya taman itu akan dibuat besar dan indah. Tapi kekalahan dalam perang membuat rencana taman itu tak jadi dikerjakan.

Di sudut taman yang belum rampung itu berdiri sebuah bangunan tua tapi bersih. Bangunan itu semula adalah rumah penginapan bagi pekerja-pekerja yang akan membangun taman tersebut.

Karena tamannya tak jadi, maka rumah itu kini dijadikan penginapan. Namanya diambil dari nama daerah dan taman dimana dia berada. Yaitu penginapan Asakusa.

Diluar, penginapan itu kelihatan sepi. Tamu-tamu tak seorangpun yang kelihatan di ruang depan. Pemilik penginapan sudah mulai bersiap-siap untuk mematikan lampu dan siap untuk tidur, ketika di depan penginapan itu terdengar suara mobil berhenti.



Kemudian disusul suara tawa dan pekik menghimbau. Setelah itu suara derap sepatu dan suara cekikikan perempuan. Pemilik penginapan itu segera bersinar wajahnya. Suara seperti itu pastilah pertanda uang masuk. Dia segera mendorong TO. Yaitu pintu yang bisa didorong ke kiri dan ke kanan yang terbuat dari kertas berbingkai kayu. Dan tiga orang serdadu Amerika dengan seragamnya yang mentereng segera saja masuk ke ruang tamu. Bersama mereka terlihat tiga orang perempuan Jepang.



“Konbanwa…!” yang berpangkat Letnan memberi ucapan “Selamat malam” dalam bahasa Jepang beraksen kasar.

“Konbawa…!” jawab pemilik penginapan sambil berkali-kali membungkuk memberi hormat.

“Kami butuh tiga kamar….” Tentara Amerika itu berkata. Dan kembali pemilik penginapan Asakusa itu mengangguk-angguk.
Dia mengantar dua tentara ke dua buah kamar yang kebetulan kosong. Dan si Letnan dia antarkan ke kamar yang dekat taman. Pemilik kediaman itu mengetuk pintu.



“Gomenkudasai….” Katanya keras menyuruh membuka pintu.



Ketika pintu tak juga kunjung dibuka dari dalam, dia langsung mendorong pintu TO tersebut hingga terbuka. Di dalamnya, seorang lelaki muda menggeliat di bawah selimut.



“Maaf, keluar dahulu sebentar. Kamar ini akan dipakai…”



Lelaki muda itu tak memprotes. Sebab sejak tiga bulan tinggal di penginapan ini, kejadian seperti ini sudah sering terjadi. Kamarnya dipakai sementara untuk berbuat mesum oleh tentara amerika. Kemudian jika selesai, dia masuk lagi. Yaitu setelah tentara Amerika itu keluar. Menjijikkan memang. Tapi begitulah cara hidup yang aman di Jepang saat itu. Persetan segala kejadian. Berani melawan? Hmm, bisa ditangkap dengan tuduhan melawan tentara Amerika. Buat saat ini, melawan tentara Amerika berkelahi misalnya, jauh lebih berbahaya daripada membunuh dua atau tiga orang Jepang. Kalau membunuh dua atau tiga orang Jepang masih ada jalur hukum yang ditempuh. Kepengadilan, pengusutan dll. Tapi melawan tentara Amerika bisa ditembak di tempat. Tak peduli salah atau benar.


Sadar akan hal inilah makanya anak muda itu lalu bangkit. Kemudian memakai pakaian seadanya. Lalu melangkah keluar kamar. Di pintu langkahnya tiba-tiba berhenti. Menatap pada gadis yang tegak dengan mata sembab bekas menangis di samping tentara Amerika.
Gadis itu amat cantik. Berambut hitam berhidung mancung dan bermata gemerlap.  Tapi bukan kecantikannya itu yang membuat langkahnya terhenti. Gadis itu pernah dia lihat dua hari yang lalu. Tapi ingatannya hanya sampai di sana. Gadis itu telah ditarik oleh Letnan ke dalam. Dan pintu TO itu ditutupkan oleh pemilik penginapan. 

Di Jepang (bagian 166)

Di dalam kamar, lelaki muda itu mendengar gadis tadi. Suara bergumul seperti orang berlarian di dalam kamar tersebut.
Dia mengumpulkan ingatannya lagi. Bukankah gadis itu yang dia temui dua hari yang lalu di jalan Ginza? Saat itu dia akan pergi ke Shibuya mencari temannya sekapal dulu.

Dia bingung harus naik apa. Ada kereta api, tapi dia tak tahu pasti apakah kereta itu akan ke Shibuya. Tengah dia kebingungan begitu, dia melihat seorang gadis lewat mengapit buku. Bergegas dia mendekati gadis itu dan membungkuk hormat.



“Sumimasen, kono densha wa Shibuya e ikimasu ka” (Numpang tanya, apakah kereta listrik ini pergi ke Shibuya). Tanyanya dalam bahasa Jepang yang terasa kaku.



Gadis itu menoleh. Dan selintas saja dia melihat betapa cantiknya gadis Jepang tersebut. Berumur paling banyak baru delapan belas. Berambut hitam panjang. Berhidung mancung dan bermata gemerlap dengan tubuh yang indah. Tapi gadis itu segara saja melotot lalu meneruskan perjalanannya tanpa menjawab sepatahpun. Dia jadi malu. Dan kini, bukankah gadis itu yang ada dalam kamar bersama tentara Amerika itu?

Hmm, gadis cantik yang sombong. Ternyata jadi gula-gula tentara Amerika. Dia menarik nafas panjang. Duduk bersandar di kursi di lorong di depan kamarnya itu sambil berkelumun kain sarung.



Dari kamar-kamar yang lain dia dengar suara tawa cekikikan perempuan. Tapi dari kamarnya yang dia tinggalkan tadi, dia mendengar suara orang bergumul. Suara rintihan perempuan. Suara caci maki tentara Amerika itu. Suara kain robek.



“Oh jangan. Jangan….jangan!” suara gadis itu terdengar menghiba-hiba.



Dan tiba-tiba pula, lelaki yang duduk berkelumun kain sarung di luar itu, yang tak lain dari si Bungsu jadi tertegak! Gadis itu jelas tak menyukai perlakukan tentara Amerika tersebut. Dia mendengar betapa sejak tadi sebenarnya gadis itu lebih banyak meronta, menghindar dari perbuataan buas serdadu itu. Ketika dia dengar gadis itu kembali bermohon menghiba-hiba, si Bungsu segera teringat pada kakaknya yang diperkosa Saburo Matsuyama. Dan tanpa dapat dia tahan, tiba-tiba pintu TO itu dia renggutkan dengan kasar. Letnan Amerika itu terhenti. Si Bungsu melihat gadis itu terduduk lemah dengan pakaian yang compang camping di sudut ruangan. Sementara Letnan itu dengan tubuh yang hampir telanjang berusaha menyeretnya kembali ke atas kasur. Tentara Amerika itu mendelik padanya.



“Get Out!!” Letnan itu berteriak berang.



Namun si Bungsu dengan mata  yang menatap dingin, tetap tegak mengangkang di pintu. Menatap dengan wajah penuh benci pada tentara Amerika tersebut.



“Keluar, syetan!!” tentara Amerika itu kembali menghardik.

“Lebih baik anda yang keluar. Gadis ini tidak mau diperlakukan demikian. Cari saja perempuan yang lain….” Suara si Bungsu terdengar datar.



Dengan suatu geraman seperti macan kelaparan, letnan bertubuh besar itu menerkam si Bungsu. Rasa berkuasa sebagai tentara yang menang perang membuat tentara ini menganggap semua orang bisa dia makan. Namun terkamannya terhenti separoh jalan. Si Bungsu menanti terkaman itu dengan suatu tendangan telak. Kakinya mendarat di kerampang letnan yang hanya bercelana kotok kecil itu. Terdengar dia mengeluh. Matanya mendelik. Kemudian dengan sempoyongan sambil memaki panjang pendek, dia berjalan keunggukan pakaiannya. Dan tiba-tiba dia membalik dengan pistol ditangan.

Namun nasib tentara ini bernasib malang. Anak muda yang dia hadapi itu ternyata seorang yang sangat peka terhadap perkosaan. Di hatinya telah tergores luka dan dendam yang luar biasa akibat perkosaan yang dilakukan pada kakaknya bertahun-tahun yang lalu di Situjuh Ladang Laweh.



Dan saat ini, naluri dendamnya itulah yang bicara. Begitu dia melihat letnan itu  mengacungkan pistol ke arahnya, tanpa membuang waktu tubuhnya berguling di lantai. Lompat tupai! Gerakan yang tersohor ini dia pergunakan sesaat sebelum pistol itu menyalak.

Letusan itu mengejutkan semua isi penginapan. Dan letusan itu menerkam pintu TO pada bingkainya. Pintu tercampak.

Letnan itu berputar mengarahkan pistolnya pada lelaki yang kini berada di kanannya. Namun yang dia hadapi adalah seorang anak muda yang telah lolos dari ribuan maut yang pernah mengancam. Anak muda yang dia hadapi sebenarnya adalah sisa-sisa kebuasan perang dan kebuasan rimba raya yang jauh lebih dahsyat.

Kini anak  muda itu tegak di sisinya dengan sebuah tongkat di tangan kiri!. Dan begitu dia berniat menarik pelatuk pistolnya, saat itu pula tangan anak muda itu bergerak. Segaris cahaya putih yang sulit untuk diikuti kecepatannya, berkelebat.

Di Jepang (bagian 167)

Dan saat berikutnya adalah rasa perih yang sangat pada tangan si Letnan. Dan letnan itu terpekik takkala mengetahui bahwa tangannya yang berpistol itu telah putus sampai ke bahu!



Dia meraung. Tapi hanya sebentar sekali. Sebab begitu raungannya keluar, begitu tubuhnya belah jadi dua! Darah menyembur-nyembur. Dan sesaat, anak muda itu tegak dengan wajah dingin, tak berekspresi sedikitpun! Di luar terdengar derap sepatu berlarian. Seseorang muncul di pintu dengan bedil di tangan. Dia adalah sersan yang tadi datang bersama letnan yang mati itu. Matanya terbeliak melihat darah dan tubuh yang pontong di lantai. Lalu tangannya yang berbedil stengun tersebut. Tapi hanya sampai disana gerakannya. Sebab setelah itu gerakan anak muda dari Gunung Sago itu terlalu cepat untuk bisa diamati. Tubuh sersan itu melosoh ke lantai dengan dada dan perut belah. Mati dia! Dan setelah itu yang terdengar adalah hiruk pikuk. Si Bungsu sadar bahwa maut mengancamnya. Dia menyambar bungkusan kecil miliknya di sudut ruangan. Kemudian melompat ke belakang. Dan lenyap pada gelapnya malam. Di penginapan suasana jadi sangat heboh. Sebab peluit dan sirena mobil tentara terdengar meraung-raung. Penginapan itu dikepung dalam waktu singkat. Tak seorangpun boleh keluar. Bahkan semutpun akan diketahui bila keluar dari penginapan itu. Demikian rapat dan telitinya tentara Amerika mengepung penginapan itu dalam rangka mencari pembunuh kedua serdadunya.


Namun saat itu, si Bungsu telah berada jauh sekali dari sana. Dia hapal jalan-jalan memintas dari penginapan ke berbagai arah. Sebab dia sudah tiga bulan menginap di sana. Dia tak berani naik taksi. Sebab ornag akan mengetahui kemana dia pergi. Dia segera ingat, di daerah Ocha Nomizu dan Yotsuya ada terowongan bawah tanah. Terowongan ini pada awalnya adalah untuk riol air. Tapi dibuat sedemikian besarnya sehingga sebuah truk bisa masuk. Dan terowongan itu bersimpang siur di bawah tanah. Terbuat dari beton. Sementara di atasnya ada jalan raya, jalan kereta api atau bangunan. Dan di zaman perang Asia Pasifik, dimana Jepang menerjunkan diri, malah bergabung dengan fasis Hitler di Eropah, terowongan bawah tanah itu ditingkatkan menjadi lobang perlindungan.



Yaitu menjaga kemungkinan sewaktu-waktu Tokyo diserbu tentara Sekutu. Terowongan itu bisa memuat ratusan ribu penduduk. Tapi ternyata terowongan itu tak pernah imanfaatkan. Artinya tak pernah dimanfaatkan untuk perlindungan peperangan. Sebab tentara Sekutu tak pernah menyerbu Tokyo. Mereka hanya menjatuhkan 2 buah Bom Atom, di Hirosima dan Nagasaki. Dan itu sudah cukup melumpuhkan seluruh Jepang. Sebab kedua kota ini adalah kota utama menghimpun kekuatan militer Jepang. Di kedua kota inilah terutama Hirosima seluruh persenjataan balatentara Jepang dibuat. Kota ini adalah kota industri senjata. Dan begitu Bom meluluhkannya, maka lumpuhlah kekuatan Balatentara Jepang. Kini tentara Amerika memang datang ke Tokyo. Tapi penduduk Tokyo tak perlu lagi bersembunyi ke dalam terowongan. Sebab tentara Amerika datang sebagai penguasa baru. Dan rakyat Jepang juga tak seorangpun yang mengangkat bedil melawan Amerika. Mereka menanti sebagai orang dikalahkan. Si bungsu berniat ke terowongan itu.



Tiga bulan di Tokyo sejak kedatangannya dari Singapura, dia telah mengenal cukup banyak tentang kota ini. Dia tahu, di dalam terowongan itu kini berkumpul anak-anak dan orang-orang gembel. Berkumpul para perempuan lacur. Ya disanalah tempat yang aman bagi gembel dan pelacur murahan. Jumlah mereka ratusan orang. Dimusim- musim tertentu jumlahnya bisa mencapai ribuan. Tentara Amerika atau lelaki Jepang yang berhasrat tak usah payah-payah mecari hotel. Cukup masuk ke terowongan itu dan berbuat disana. Gembel-gembel serta anak-anak terlantar yang ayahnya mati dalam peperangan juga aman disini. Apalagi di musim gugur seperti sekarang. Terowongan ini pasti penuh sesak. Orang mencari perlindungan dari udara dingin yang menyakitkan ke dalam terowongan tersebut.



Di dalam terowongan itu, udara panas. Dia sudah masuk ke terowongan itu tiga kali. Dia ikut teman sekapalnya bernama Kenji.

Temannya ini ketika sampai di Tokyo mendapatkan kedua orang tuanya tak ada lagi. Menurut tetangga, ayahnya meninggal karena TBC, ibunya meninggal ditabrak Jeep tentara Amerika. Dan adik-adiknya yang berjumlah dua orang lenyap tak tentu rimbanya. Orang menyuruh Kenji untuk mencari adik-adiknya ke terowongan bawah tanah itu. Dan ke sanalah mereka pergi. Namun adik-adik Kenji tak pernah bersua. Mereka menjalani semua terowongan itu dari pagi hingga sore. Mendatangi kampung-kampung miskin di tepi kota Tokyo. Namun adik-adik Kenji tetap tak pernah bersua. Dari Kenjilah si Bungsu banyak mengenal kota ini. Dan dari Kenji pulalah, sahabat sekapalnya itu dia belajar bahasa Jepang.

Di Jepang (bagian 168)



Si Bungsu dengan langkah pasti menuju ke terowongan itu. Kemana dia menuju, ke terowongan di daerah Ocha Nomizu atau terowongan di daerah Yotsuya kah?

Ocha Nomizu terlalu dekat ke daerah Asakusa. Kalau ada razia tentu Ocha Nomizu akan digeledah pertama kali. Lebih baik ke terowongan di daerah Yotsuya saja, pikirnya.

Dia melangkah dalam udara dingin sambil menjinjing bungkusan kecilnya. Bungkusan itulah penyambung nyawanya. Di sana ada perhiasan dan uang bekal yang dia bawa dari Bukittinggi. Yaitu perhiasan yang mereka peroleh bersama Mei-mei dari ruang bawah tanah rumah pelacuran tempat Mei-mei disekap di Payakumbuh.



Dia menyelusuri rel kereta api menuju ke daerah Yotsuya. Angin dingin bulan November terasa menampar dan mengiris kulitnya. Dingin dan pedih. Di Ocha Nomizu dia ditegur seorang perempuan. Tegur sapa itu diiringi tawa cekikikan halus. Dia segera mengetahui bahwa perempuan-perempuan itu adalah perempuan-perempuan malam yang mungkin mencari uang untuk menghidupi keluarganya dalam saat sulit seperti ini. Dia berjalan terus. Tak lama kemudian dia sampai di daerah Yotsuya. Dia berjalan menuruni sebuah tebing kecil. Dan di bawahnya ada pintu terowongan. Sambil berlari kecil, dia masuki terowongan itu. Membelok ke kiri, terus ke kanan, dan dia mendapati tubuh manusia bergelimpangan di sepanjang pinggir terowongan. Tidur dengan menyelimuti segenap pakaian yang ada. Terowongan itu terang. Sebab pemerintah kota memberinya lampu listrik. Kini meski terowongan itu tak berguna lagi, namun pemerintah kota tetap memberikan penerangan lampu. Sebab pihak pemerintah kota nampaknya memaklumi, bahwa banyak warga kotanya yang melarat melindungkan diri dalam terowongan itu.



Dalam keadaan parah begini, dengan tetap menghidupkan lampu dalam terowongan, sekurang-kurangnya pemerintah kota telah membantu meringankan beban warganya.

Si Bungsu berjalan mencari tempat yang baik untuk merebahkan diri. Dia berjalan terus. Membelok ke kiri, ke kanan. Dia melihat perempuan-perempuan tidur berpagutan dengan lelaki. Dia melihat kanak-kanak juga berpagutan dengan ibunya. Melihat anak-anak miskin tidur dengan kain compang-camping.



Dia jadi waspada. Siapa ini? Pencuri? Pencuri bukan merupakan hal yang mustahil. Kanak-kanak, orang dewasa, lelaki atau perempuan, bisa saja jadi pencuri. Dan mereka tak pula dapat disalahkan. Keadaan memaksa mereka jadi begitu.


Siapa pencuri yang menginginkan pekerjaan jadi pencuri? Tak seorangpun. Mana pula ada orang yang ingin diburu rasa takut berkepanjangan. Mana ada orang yang mau menyambung nyawa hanya untuk sesuap nasi.


Tapi keadaan memaksa demikian. Daripada bertarung dengan rasa lapar, lebih baik bertarung dengan manusia. Orang yang naik itu membaringkan tubuhnya pula. Kemudian terdengar isakannya perlahan. Menangis. Dan dari isaknya si Bungsu tahu bahwa orang itu adalah seorang perempuan.





Namun tak lama isaknya lenyap. Dan suara nafasnya terdengar perlahan. Tertidur. Perempuan itu tertidur. Kelelahan membuat dia tertidur. Dan tidur adalah kenikmatan yang paling indah dalam segala penderitaan. Dalam tidur buat sejenak orang dapat melupakan penderitaan dan sengsaranya. Dalam tidur buat sejenak orang melupakan rasa laparnya.


Bukankah lupa meski agak sejenak terhadanh penderitaan, kemalaratan dan kesengsaraan sudah merupakan suatu “kemewahan”? dan si Bungsu juga tertidur. Mereka tertidur saling membelakang.





Suara pertengkaran membangunkannya dari tidur. Perlahan dia bangkit. Dan tak jauh dari tempatnya berbaring dia lihat empat lelaki Jepang tengah membentak-bentak. Memeriksa tas kain seorang lelaki. Kemudian mengambil jam tangan dari dalam tas itu. Demikian terus, keempat lelaki Jepang itu memeriksa orang-orang yang duduk atau berbaring dalam terowongan itu.





“Jakuza…” katanya perlahan.





Jakuza adalah nama suatu sindikat penjahat Jepang. Yang beroperasi mulai dari tingkat paling bawah. Seperti halnya mengkoordinir tukang copet, meminta belasting seperti yang dilakukan sekarang, sampai pada mengkoordinir kejahatan tingkat atas.


Mengatur pelacuran. Mengatur perampokan, pembunuhan. Penderitaan rakyat Jepang saat itu selain oleh perang, ditambah lagi oleh kelompok yang menangguk di air keruh ini.

Di Jepang (bagian 169)

Alat negara sendiri kewalahan menghadapi kelompok Jakuza ini. Sebab mereka mempunyai kaki tangan yang amat banyak. Dan mempunyai kekuatan besar. Mereka umumnya beroperasi dengan senjata samurai. Dan dikalangan pejabat sendiri, mereka mempunyai beking.





Si Bungsu mengetahui hal itu dari temannya Kenji. Dan itulah kenapa sebabnya ketika para Jakuza itu sampai pada dirinya, dia menyerahkan uang dikantongnya. Ada beberapa ratus Yen. Itu diserahkannya semua.


Keempat anggota Jakuza itu menatap padanya agak lama.





“Anata wa Tai-jin desu” (Anda orang Muangthai) salah seorang bertanya.


“Watashi wa Indonesia-jin desu…” Saya orang Indonesia) jawabnya perlahan.


“Ooo… Anata wa Indonesia-jin desu….”(ooo, orang Indonesia he?)


“Hai..” (ya) jawabnya perlahan.





Dan keempat Jepang itu tak peduli. Di negeri mereka ini kini cukup banyak suku bangsa berdatangan. Ada orang Muangthai, Malaya, Philipina, Indonesia dan orang-orang Korea. Bagi mereka tak ada soal. Selama orang itu tak mendatangkan kesulitan bagi organisasi mereka, silahkan tinggal di Jepang.


Tapi sekali orang itu salah jalan, artinya berbuat tak baik menurut ukuran kelompok Jakuza, maka mereka tidak hanya sekedar diburu, tapi juga dibunuh.





“Anohito wa dare desu ka” (siapa ini) tanya anggota Jakuza itu sambil menunjuk tubuh yang berbaring disisi si Bungsu.





Dan untuk pertama kalinya si Bungsu menyadari bahwa tubuh ini datang ketika dia telah berbaring. Dan sejak saat itu, dia tak mengetahui dan tak peduli padanya. Mereka tidur saling membelakang.


Kinipun tubuh itu tidur membelakang padanya dengan kepala tertutup kain.





“Saya tidak tahu…”





Kembali keempat lelaki itu menatapnya.





“Anata wa Nippon-go o hanasukoto ga dekimasu ka” (apakah anda bisa bicara dalam bahasa Jepang?) tanya lelaki yang nampaknya menjadi pemimpin diantara yang berempat itu.


“Hai,  bisa sedikit” jawabnya.


“Nah bangunkan dia, dia harus bayar pajak” lelaki itu berkata sambil menunjuk pada tubuh yang tidur itu.


“Maaf, saya tak mengenalnya. Dia datang ketika saya sedang tidur..”


“Bangunkan dia!” suara Jepang itu memerintah.

Si Bungsu tak mau cari perkara. Dia sudah berniat menbangunkan orang itu ketika tubuh tersebut bergerak dan bangkit duduk. Dan mereka semua, termasuk si Bungsu jadi tertegun. Orang itu ternyata seorang gadis. Dia pastilah gadis yang cantik sekali. Sebab meski dalam keadaan pakaian yang tak menentu dan rambut kusut masai, keadaannya masi tetap memikat.





“Hannako…” Jepang yang bertindak jadi pimpinan itu berkata keheranan.





Gadis itu menatap dengan dingin.





“Apakah kalian masih belum puas?” tiba-tiba gadis itu berkata.


“Hannako, kenapa kau pergi dari rumah Kawabata?”





Gadis itu memandang muak pada keempat lelaki tersebut.





“Ayo kau ikut kami. Kalau kau tak senang di rumah Kawabata, kau boleh tinggal di rumahku…” lelaki yang bertindak sebagai pimpinan diantara yang berempat itu berkata lagi.





Gadis itu terkejut. Namun dia tak diberi kesempatan. Tangannya ditarik dengan kuat. Dan saat berikutnya dia sudah dipangku oleh yang bertubuh besar itu keluar terowongan.





“Hmm, kau main gila dengan Hannako he…?” Jepang yang bertubuh pendek berkata. Dan sebelum si Bungsu menyadari apa yang dimaksud si pendek itu, mukanya kena tampar tiga kali.





Dan ketiga Jepang itu menyusul pimpinannya yang memangku Hannako. Si Bungsu mendengar gadis itu berteriak dan menangis sambil memukuli punggung Jepang besar itu.


Namun perlawanan gadis itu tak ada artinya dibanding dengan Jepang yang memangkunya. Dalam waktu dekat, mereka telah sampai diluar terowongan. Mereka tidak mengambil jalan ke rel kereta api. Tapi mengambil jalan ke belakang.


Penghuni terowongan yang ratusan orang jumlahnya itu hanya menatap dengan diam. Mereka tak mau ikut campur. Sebab masalah mereka saja tak bisa mereka atasi. Apalagi harus berhadapan dengan komplotan Jakuza. Oi mak, minta ampunlah!





Keempat lelaki Jepang itu mulai melangkahi padang semak menuju jalan raya. Namun mereka segera terhenti ketika terdengar seseorang memanggil dari arah belakang.


Mereka menoleh. Dan jadi terheran-heran ketika melihat bahwa yang memanggil itu adalah si “Indonesia” tadi.





“Lepaskan gadis itu….” Suara si “Indonesia” yang tak lain daripada si Bungsu itu terdengar dingin.

Di Jepang (bagian 170)

Keempat lelaki itu saling pandang. Kemudian tertawa meringis. Yang memangku tubuh Hannako itu memberi isyarat. Sementara dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan. Ketiga anggota Jakuza itu lalu mengelilingi si Bungsu.





“Hmm, kamu mau Hannako ya? Orang jajahan mau makan orang Jepang ha!?” yang pendek yang tadi menampar si Bungsu berkata.





Dan ketiga mereka lalu menyiapkan suatu hajaran buat si “Indonesia” ini. Sementara itu yang tinggi besar tadi sudah berjalan agak sepuluh langkah dari tempat dimana si Bungsu tadi menahan mereka. Dia sudah akan melangkahi parit kecil ketika kembali terdengar suara menahannya dari belakang. Dia berhenti dan menoleh. Dan kali ini dia jadi kaget. Yang menahannya ternyata si “Indonesia” itu lagi.


Dia tak melihat seorangpun diantara ketiga temannya tadi. Kemana mereka? Dia coba melihat kebelakang. Dan jauh di sana, dengan terkejut dia lihat ada tiga sosok tubuh terhantar di tanah tak bergerak!


Terdengar serapah dari mulutnya.


Dia lalu menjatuhkan tubuh Hannako. Gadis itu jatuh tertelungkup.





“Jahanam, berani waang melawan orang Jepang!” lelaki besar itu berkata sambil maju.





Dan sebuah tendangan khas Karate dilayangkannya ke tubuh si Bungsu. Namun anak muda ini telah awas. Sarung samurainya bergerak sambil menghindar dari tendangan itu. Tendangan si besar menerpa tempat kosong. Dan tiba-tiba kepalanya kena hantam sarung samurai. Suaranya berdetak dalam cuaca dingin dipagi hari itu. Bukan main marahnya Jepang itu. Dia berputar dan kembali menyerang dengan pukulan-pukulan Karate. Sebenarnya dia bukan lawan si Bungsu dalam hal begini. Anak muda ini tak sedikitpun mengetahui ilmu beladiri itu. Tapi dia memang tak berusaha melawan serangan maut itu.


Dia hanya menghindar sebelum serangan itu tiba. Dan berkali-kali sarung samurainya dihantamkan ke kepala Jepang itu. Suatu saat Jepang itu kelihatan kehabisan rasa sabarnya. Tahu-tahu di tangannya kini terpegang samurai pendek.





“Kubunuh kau!” desisnya sambil menyerang dengan kecepatan kilat dengan samurainya yang tersohor itu. Jakuza adalah kelompok bandit yang mahir dengan samurai.





Tapi kali ini, Jepang itu ketemu lawan yang tak pernah dia mimpikan untuk bertemu. Begitu dia mengayunkan samurainya, saat itu pula sebaris cahaya putih menyilang dada, perut dan lehernya. Amat cepat, amat luar biasa. Amat tak pernah terbayangkan. Dan Jepang itu rubuh dengan perut, dada dan leher robek menyemburkan darah. Mati! Dan hanya sepersepuluh detik setik setelah itu, si Bungsu telah menyarungkan kembali samurainya. Ini adalah kali kedua dia mempergunakan samurainya sejak datang di Tokyo tiga bulan yang lalu. Malam tadi yang pertama ketika dia membunuh tiga tentara Amerika di penginapan Asakusa.


Angin bertiup perlahan. Dia menatap gadis itu. Dan gadis yang bernama Hannako itu juga menatapnya.





“Arigato. Arigato. Domo arigato gozaimasu…” (Terimakasih… Terimakasih banyak) gadis itu berkata di antara air matanya yang mengalir turun.


“Nakanaide kudasai…” (Jangan menangis…) katanya perlahan membujuk gadis itu.





Tapi gadis itu makin menangis. Dia memegang tangannya. Kemudian membawanya masuk kembali ke terowongan darimana mereka tadi datang.





“Tenang, jangan menangis. Engkau telah selamat dari mereka…”


“Terimakasih. Anda telah menyelamatkan nyawa saya. Mereka sangat kejam. Mereka bukan manusia…..mereka…”


“Tenanglah…”





Dan gadis itu menangis di pundaknya dalam terowongan itu. Lama gadis itu menangis. Sampai akhirnya dia tenang. Dan si Bungsu teringat, bahwa mereka belum makan apa-apa sejak pagi. Dia membawa gadis itu keluar terowongan. Ke arah yang berlawanan dari yang ditempuh keempat Jakuza tadi.





“Mereka akan mencari orang yang membunuh temannya….” Gadis itu berkata perlahan ketika mereka duduk dalam sebuah warung kecil di pinggir jalan.


“Mereka takkan menyangka saya yang membunuhnya. Mereka pasti menduga ada perkelahian sesama orang Jepang…” si Bungsu berkata tenang.





Hannako menatapnya.





“Mari kita makan. Nani ni nasaimasu ka” (mau pesan apa?) tanyanya. Gadis itu menatapnya.


“Anda fasih berbahasa Jepang…”


“Tidak, saya belajar sedikit dari seorang teman. Nah, saya pesan Sukiaki, anda pesan apa?”


“Watashi wa Tempura desu” (Saya pesan Tempura) jawab gadis itu dengan senyum di bibirnya.







Tidak ada komentar: