Senin, 04 November 2013

tikam samurai - Di Jepang ( Bagian 171-172-173-174-175-176)

Di Jepang (bagian 171)

Si Bungsu lalu memesan kedua jenis makanan tersebut. Sukiaki yang dia pesan adalah makanan yang terdiri dari daging, sayur dan kacang yang direbus. Sementara Tempura yang dipesan Hannako adalah makanan yang terdiri dari goreng udang, ayam, ikan yang dicampur tepung terigu dan sayuran. Sukiaki terutama dimakan orang dimusim dingin seperti sekarang. Si Bungsu teringat pada gadis yang malam tadi di hotelnya di Asakusa. Kemana gadis itu kini? Malam tadi dia tak sempat menanyai dan menolong gadis itu lebih lanjut. Dia buru-buru menyelamatkan diri. Gadis itu kini tentulah diinterogasi oleh Polisi Militer tentara Amerika. Menanyakan siapa yang telah membunuh kedua serdadu Amerika itu.

“Sumimasen, anata wa Indonesia-jin desu” (Maaf, apakah anda orang Indonesia) tiba-tiba dia dikejutkan oleh pertanyaan gadis itu.
“Hai….watashi wa Indonesia-jin desu” (Ya, saya orang Indonesia) jawabnya.
“Sudah berapa lama di Jepang?”
“Baru tiga bulan”
“Di sini tinggal sendiri?”
“Ya..”

Dan pembicaraan mereka terputus takala makanan yang mereka pesan diletakkan di atas meja. Mereka makan dengan lahap. Selesai makan, si Bungsu membayar makanan tersebut. Dan mereka lalu keluar dari kedai kecil itu.

“Anata no uchi wa doko ni arimasu ka” (Rumah anda dimana?) tanyanya pada Hannako.

Gadis itu menunduk lemah.

“Saya tak punya rumah. Tak punya orang tua….” Jawabnya lirih.
“Jangan sedih. Mari kita pergi….” Si Bungsu cepat memutuskan kesedihan gadis itu.
“Saya belum tahu nama anda, nama saya Hannako” gadis itu berkata sambil bergegas mengikuti langkahnya.
“Hannako, hmm itu artinya Bunga dalam bahasa Jepang bukan?”
“Hai. Tapi siapa nama anda?”
“Bungsu…”
“Bungsu…?”
“Hai..”
“Apakah itu nama bunga atau benda lain?”
“Tidak. Saya anak yang paling kecil dalam keluarga saya. Dan anak yang paling kecil di kampung saya disebut Bungsu”

Mereka berjalan menyelusuri jalan raya tanpa tujuan. Menjelang tengah hari, mereka berhenti di taman Korakuen. Korakuen adalah sebuah taman di tengah kota. Pohon-pohon dan bunga-bunga sudah gundul. Mereka duduk di kursi kayu. Sedikit cahaya matahari di musim gugur ini membuat suasana cukup hangat. Puluhan lelaki dan perempuan kelihatan duduk atau berjalan di taman itu. Ada yang duduk membaca. Ada yang merajut sambil makan roti goreng. Sambil duduk, Hannako menceritakan betapa dia melarikan diri dari Kawabata. Yaitu salah seorang anggota Jakuza di daerah Shinjuku. Suatu daerah di pinggir barat Tokyo. Dia teringat ke dalam perlakuan yang tak senonoh takkala dia berusaha mencari makanan bagi adiknya. Kawabata yang baik itu membawanya ke rumahnya. Tapi di rumah itu yang dia terima bukan makanan. Melainkan obat bius yang membuat dia tertidur.
Dan begitu dia sadar dari bius, dia mendapati dirinya sudah tak suci lagi. Peristiwa itu berulang terus. Sementara usahanya untuk mengetahui dimana adiknya berada tak pernah berhasil.

Dia tak diperkenankan untuk keluar. Dan di sanalah dia, di rumah Kawabata, di daerah Shinjuku terkurung selama dua bulan. Dia dijadikan pemuas nafsu lelaki jahanam itu. Dan malam tadi dia berhasil melarikan diri takkala di rumah itu diadakan pesta semalam suntuk. Dikala isi rumah sedang mabuk kepayang, ada yang bergumul dengan perempuan-perempuan dalam kamar, Hannako mempergunakan kesempatan itu untuk kabur.
Tak dinyana dia bertemu lagi dengan teman-teman Kawabata di dalam terowongan di daerah Yotsuya pagi tadi.

“Untung saya tidur dekat Bungsu-san (Kak Bungsu) malam tadi…” kata gadis itu perlahan.

Dan matanya memandang pada “tongkat” ditangan si Bungsu. Dari tongkat itu, matanya menatap pada wajah anak muda tersebut.

“Bungsu-san sangat mahir mempergunakan samurai. Dimana Bungsu-san belajar? Apakah di Indonesia juga ada orang belajar samurai seperti di Jepang ini?”

Si Bungsu hanya tersenyum. Dia sudah akan bercerita ketika dari jauh dia lihat seseorang bersama dua kanak-kanak lelaki.

“Tunggu sebentar di sini…” katanya sambil berdiri dari duduk. “Kenjiii….Kenji-san…!

Himbaunya. Lelaki yang dia panggil itu menoleh.

Di Jepang (bagian 172)


“Bungsu-san…” balasnya. Dan mereka saling berlarian melintas padang rumput. Kemudian saling peluk.
“Bungsu-san, Bungsu-san saya telah temukan adik lelaki saya. Ini dia…” Kenji dengan terharu memperkenalkan kanak-kanak itu pada Bungsu.

Kanak-kanak itu membungkuk memberi hormat padanya. Si Bungsu jadi terharu.

“Syukurlah kalian telah berkumpul. Bagaimana dengan adikmu yang besar?”

Kenji menarik nafas berat. Wajahnya amat berduka.

“Saya tak tahu bagaimana nasibnya Bungsu-san. Barangkali dia telah jadi korban keganasan lelaki. Negeri ini telah berobah jadi neraka. Dahulu penduduk Jepang adalah orang-orang yang sopan santun. Tapi selama kita disini kau lihat sendiri, semua berobah jadi serigala… adik perempuanku itu…”

Suaranya terputus ketika dari belakang si Bungsu dia lihat seorang gadis tegak dari bangku yang tadi juga diduduki si Bungsu. Gadis itu berjalan dengan terkejut ke arah mereka.

“Hanako….Hanako…” suara Kenji mengambang.

Si Bungsu menoleh. Dan dia melihat Hannako yang dia tolong itu berjalan mendekati mereka.

“Ani…”(abang…) himbau gadis itu.
“Imoto…” (adik….) himbau Kenji.

Dan tiba-tiba mereka saling peluk. Mereka berpelukan bertiga beradik. Saling peluk dalam tangis yang penuh haru. Tanpa dapat ditahan, si Bungsu merasa matanya basah. Merasa pipinya basah. Merasa hatinya basa.

“Bungsu-san….inilah adik saya yang tua, Hanako…” Kenji berkata diantara air matanya yang mengalir turun.
“Bungsu-san…inilah abang saya, dan ini adik-adik yang saya ceritakan tadi….” Hannako juga berkata.

Dan baik Kenji maupun Hannako saling heran. Kenji merasa heran, sebab kenapa adiknya ini bisa kenal dengan Bungsu. Sebaliknya Hannako juga heran, kenapa abangnya kenal pula dengan si Bungsu? Si Bungsu benar-benar tak bisa bersuara. Dia seperti berkumpul lagi dengan kakak dan keluarganya. Dia dapat merasakan kebahagian Kenji dan Hannako.
Karenanya dia hanya mengangguk berkali-kali. Menghapus airmatanya yang mengalir dipipi.

“Aku telah mengenal abangmu, Hanako. Kami telah berkenalan sejak di kapal. Dan aku telah mengenal adikmu, Kenji. Kami berkenalan malam tadi. Di terowongan di daerah Yotsuya…”

Mereka lalu mencari tempat duduk di taman itu. Dan Hannako lalu menceritakan pada Kenji bagaimana nasibnya di rumah Kawabata. Dan bagaimana dia dibela si Bungsu pagi tadi.
Kenji tiba-tiba berlutut di depan si Bungsu. Dia bersujud di tanah seperti halnya kaum Yudoka memberi hormat. Di antara air mata dan isaknya yang tertahan, terdengar suaranya bergetar mengucapkan terimakasih.

“Domo arigato gozaimu Bungsu-san. Domo arigato gozaimasu…”

Si Bungsu jadi kaget melihat sikap Kenji ini. Dia cepat-cepat memegang bahu Kenji. Kemudian membawanya berdiri.
“Saya gembira kalian berkumpul Kenji. Saya gembira. Bersyukurlah pada Tuhan…” dia berkata penuh haru.

Di Jepang (bagian 173)

Kenji adalah seorang pemuda Jepang di kapal Ichi Maru yang ditompangi si Bungsu dari Singapura ke Tokyo. Kapal itu adalah kapal Jepang. Tapi orang Jepang yang bekerja disana hanya empat orang. Tiga orang terdiri dari Nahkoda, Mualim I, kepala Bahagian Mesin. Sedangkan Kenji adalah Stirman II dibawah Mualim II. Selain mereka berempat, awak kapal yang lain terdiri dari orang Inggris, Amerika dan Cina. Kapal Jepang itu dicarter oleh Perusahaan Inggris untuk mengangkut barang-barang dari Inggris ke Jepang melalui Singapura setelah berakhirnya perang Dunia II. Di kapal itulah mereka berkenalan. Kenji tahu bahwa tentara Jepang menjajah Indonesia.

“Tentara yang menjajah negerimu Bungsu-san. Bukan bangsa Jepang. Bangsa kami bukan bangsa Agresor. Saya berani bertaruh, semua penduduk Sipil Jepang tak setuju dengan ekspansi tentara Jepang ke negeri-negeri Asia. Tapi penduduk sipil tak punya daya apa-apa bila bedil dan mesiu telah berbunyi…”

Demikian Kenji pernah ngomong disuatu saat di kapal pada si Bungsu. dia termasuk pemuda-pemuda Jepang yang secara diam-diam menentang penjajahan yang dilakukan pihak militer.
Si Bungsu hanya menarik nafas panjang. Kenji adalah perwira muda di kapal itu yang usianya tak jauh beda dengan si Bungsu. Barangkali mereka sebaya. Perkenalan mereka bermula ketika si Bungsu mencari kamar di kapal itu. Karena kapal itu bukan kapal penumpang, melainkan kapal barang maka para penumpang biasanya menempati dek atau kalau akan menyewa kamar, mereka menyewa kamar para awak kapal. Si Bungsu menempati sebuah kamar. Dan kamar itu adalah kamar Kenji. Dia menyewa kamar tersebut pada Kenji. Sudah lazim bagi awak kapal menyewakan kamarnya kepada para penumpang untuk sekedar penambah uang rokok.

Persahabatan mereka terjalin secara perlahan tapi akrab. Dari si Bungsu Kenji banyak mengenal Indonesia. Selain cerita tentang Indonesia, dia juga belajar bahasa Indonesia dari si Bungsu.

“Kapal kami sudah dua kali berlabuh di Priok dan sekali di Surabaya. Saya sulit turun ke darat karena tak mengerti bahasa Indonesia” kata Kenji.

Dia giat belajar selama pelayaran. Dan sebagai “tukarannya” Kenji mengajarkan pula bahasa Jepang pada si Bungsu. Ternyata kedua mereka maju dengan pesat dalam pelajaran masing-masing.

“Untuk apa kau datang ke Jepang?” suatu saat ketika kapal mereka akan merapat di pelabuhan Tokyo, Kenji bertanya.

Si Bungsu menatap Kenji sesaat. Kemudian melemparkan pandangannya ke pulau Honshu yang kelihatan sayup-sayup di balik kabut. Pulau Honshu adalah pulau terbesar di antara kepulauan di negara Jepang. Di pulau Honshu terletak kota-kota besar Jepang seperti Tokyo, Kyoto, Nagoya dan Osaka. Pandangannya seperti menembus kabut. Wajahnya datar seperti danau tak beriak sedikitpun. Ada api yang marak di dadanya. Ada teluk dendam yang alangkah dalamnya dan alangkah berpiuhnya direlung hatinya. Namun semuanya tak berbekas keluar. Dan Kenji seperti dapat merasakan semuanya. Seperti mengetahui ada sesuatu yang bergelora dan berbuih di hati sahabatnya ini. Dia merasakannya, meski tak tahu dengan pasti.

“Tak usah kau katakan Bungsu-san. Saya hanya mendoakan, agar apa yang kau cari, kau temui. Dan saya berdoa agar engkau bisa kembali ke negerimu dengan selamat dan dengan perasaan yang tenteram….” Kenji akhirnya berkata.
“Terimakasih. Kenji-san…” katanya perlahan. Dan apa maksud kedatangannya ke Jepang ini, semenjak pertanyaan pertama itu, tak lagi pernah diungkit oleh Kenji.

Namun kini, setelah dia bertemu dengan adiknya Hannako, setelah dia ketahui bahwa adiknya diselamatkan oleh si Bungsu dengan samurai, Kenji kembali ingin mengetahui apa maksud kedatangan anak muda ini.
Mereka kini tinggal serumah, Kenji dengan ketiga adiknya, dan si Bungsu. Kenji mempunyai uang yang cukup banyak dari penghasilan menjadi Stirman di kapal Ichi Maru selama 5 tahun. Dengan uang itu, dia membeli sebuah rumah di jalan Uchibori. Rumah dengan taman di belakangnya.

Rumah itu tak begitu besar, namun untuk mereka rumah itu sudah lebih dari cukup. Di bahagian depan ada dua pohon Sakura yang kini tengah gundul. Dan untuk kamar si Bungsu, Hannako memilihkan kamar depan yang bagus.
Namun si Bungsu meminta kamar yang di belakang. Soal kamar ini sempat membuat Hannako jadi merajuk. Soalnya dia telah memilihkan dua kamar terbaik untuk kedua pemuda itu. Kamar pertama untuk abangnya Kenji. Berada di bahagian kanan jika mula masuk ke rumah tersebut.

Kamar kedua yang dia siapkan secara baik dan indah adalah kamar yang sebelah kiri. Berhadapan dengan kamar abangnya. Dan kamar itu dia atur khusus untuk si Bungsu.


Begitu si Bungsu menolak kamar itu dan justru meminta kamar yang di belakang, Hannako berlinang matanya. Si Bungsu jadi kaget. Kenji hanya bisa angkat bahu melihat perangai adiknya itu.



“Sumimasen Hanako-san, saya tak bermaksud melukai hatimu. Saya memilih kamar di belakang hanya karena ingin dekat dengan taman. Saya ingin keluar masuk ke taman tanpa mengganggu kalian”

Untunglah kejadian itu tak berlarut-larut. Hanako akhirnya memindahkan peralatan di kamar depan itu ke kamar yang diminta si Bungsu.

“Dozo okamainaku Hanako-san” (Jangan terlalu bersusah payah Hanako) katanya takkala melihat betapa Hanako sibuk menyiapkan kamarnya.

Hannako hanya tersenyum. Dan si Bungsu harus mengakui bahwa Hannako adalah salah satu diantara gadis Jepang yang cantik. Dia teringat pada gadis Jepang sombong yang ditanyanya tak mau menjawab di daerah Ginza dahulu. Yang kemudian bertemu dengannya di penginapan Asakusa dibawa oleh tentara Amerika. Yang telah melibatkan dirinya dalam perkelahian dengan letnan tersebut. Kemana gadis itu? Pikirnya. Apakah gadis itu selamat atau tidak? Dia memang tak mengetahui apa yang terjadi setelah itu. 

Di Jepang (bagian 174)

Gadis itu seorang mahasiswi, malam itu diangkut ke pusat bala tentara Amerika di jalan Hibiya di pusat kota. Dia diinterogasi. Siapa yang telah membunuh kedua tentara Amerika itu. Gadis itu membayangkan kedua tentara Amerika. Gadis itu membayangkan lagi wajah anak muda tersebut. Mula pertama dia masuk ke hotel itu dia segera ingat anak muda itu adalah anak muda yang bertanya padanya di daerah Ginza dua hari sebelumnya. Dan dia ingat betul, bahwa dia merasa benci pada anak muda asing itu. Anak muda itu pastilah orang Philipina atau Indonesia. Dan kedua bangsa itu dia benci karena perang dengan kedua bangsa itu telah memisahkan dia dengan ayahnya.

“Kau kenal siapa lelaki yang membunuh Letnan itu?” Polisi Militer Amerika itu bertanya kembali. Gadis itu mengangguk.
“Siapa dia?”
“Dia membunuhnya dengan samurai” gadis itu berkata pasti.
“Ya, kami tahu itu. Melihat luka tangan dan perut serta leher yang robek itu, pastilah karena samurai. Hanya siapa lelaki itu?”

Gadis itu membayangkan lagi wajah anak muda tersebut. Seorang anak muda yang gagah sebenarnya. Dan dia masih ingat betapa disaat terakhir dia akan diperkosa letnan itu, pintu terbuka. Anak muda itu tegak dengan kaki terpentang di pintu.

“Tolonglah saya…” katanya.

Anak muda itu menatap penuh kebencian pada tentara Amerika itu. Dan dia dapat melihat bahwa dibalik sikapnya yang diam dan lemah lembut itu, tersimpan api yang amat berbahaya. Dan bahaya itu segera menampakkan diri takkala letnan itu menerkamnya. Kaki anak muda itu terangkat, dan letnan itu meluk. Lalu terjadilah hal yang diluar dugaanya.
Ketika letnan itu mengangkat pistol, anak muda itu bergerak amat cepat. Tahu-tahu tubuh letnan itu telah cabik-cabik dimakan samurai! Dimakan samurai! Bayangkan, adakah lelaki asing yang mahir mempergunakan samurai?

“Katakan siapa lelaki itu!” Polisi Militer Amerika itu kembali bertanya.
“Dia seorang Jepang bertubuh gemuk dan pendek..” gadis itu akhirnya memberitahukan ciri-ciri orang yang membunuh letnan tersebut.
“Pendek dan gemuk?” ulang Polisi Militer itu.
“Ya..”

Polisi Militer itu mencatat dengan steno keterangan tersebut.

“Rambutnya?”

Gadis itu membayangkan rambut anak muda yang telah menolongnya. Lebat, hitam, berobak dan agak gondrong.

“Rambutnya digunting pendek..’ katanya.
“Digunting pendek?”
“Ya, pendek sekali, seperti sikat sepatu…” katanya pasti.

Dan Polisi Militer itu menulis lagi dalam proses verbalnya. Menulis dengan penuh bayangan keyakinan bahwa yang membantai kedua serdadu Amerika itu adalah seorang lelaki Jepang dengan tubuh gemuk, pendek, buncit, bermata sipit, berambut pendek seperti jamaknya kaum samurai yang berwajah bengis di negeri ini.

“Kau kenal siapa dia?”

Gadis itu menggeleng. Kali ini dia memang tak berdusta seperti keterangannya terdahulu. Dia memang tak kenal sedikitpun dengan pemuda yang menolongnya itu. Dan dia dia menyesal kenapa tak mengenal sebelumnya. Kemana dia sekarang? Pikirnya sambil membayangkan orang asing bersamurai itu.

“Waktu nona masuk, ada seorang anak muda asing di kamar itu. Nah, waktu kejadian ini dimana dia?”

Gadis itu berdebar. Dia khawatir kalau-kalau anak muda itu tertangkap karena keterangannya.

“Saya tak tahu di mana dia. Tapi menurut hemat saya dia melarikan diri begitu mendengar tembakan…”
“Ya. Ya. Cocok dengan keterangan pemilik penginapan. Anak muda itu pasti telah melarikan diri karena takut..”

Dan pemeriksaan terhadap gadis itu berakhir. Dia dilepas. Dan gadis itu kembali menjalani tempat di mana dia pernah bertemu dengan anak muda itu. Dia berharap bisa bertemu untuk mengucapkan terimakasih. Untuk mengucapkan maaf karena tak mengacuhkan pertanyaannya ketika di Ginza Dori itu. Namun mencari seorang lelaki di antara jutaan manusia di kota Tokyo bukanlah suatu pekerjaan enteng. Dia sia-sia mencarinya.

Di Jepang (bagian 175)


Di salah satu rumah di Uchibori Dori, di malam yang sepi, seseorang kelihatan duduk di batu layah di taman belakang. Musim gugur di bulan-bulan Kugatsu, Jugatsu dan Juichigatsu (september, oktober dan nopember) telah berlalu. Kini negeri Jepang memasuki musim dingin di bulan Junigatsu (Desember)
Salju sudah menyelimuti bumi. Musim dingin bersalju ini akan berakhir pada bulan Februari. Makin lama udara makin dingin menusuk. Semua orang menggenakan pakaian tebal yang terbuat dari bulu atau wool. Atau memakai kimono yang berlapis. Bagi pendatang baru ke negeri ini, musim gugur dan musim dingin adalah musim yang paling menyiksa. Udara dingin benar-benar mencucuk ke tulang sum-sum. Namun tidak demikian halnya dengan si Bungsu.

Kelaparan, pembantaian, udara dingin dan maut…ah dia telah melewatinyai semua.
Pembantaian mana yang tidak dia alami  selama di kampungnya? Bukankah tubuhnya penuh rajahan bekas dibantai Saburo ketika dia coba melarikan diri dari kampungnya sesaat setelah keluarganya dibantai perwira itu? Bukankah jari jemarinya, dan tubuhnya juga dicencang oleh Kempetai di dalam terowongan rahasia di bawah Bukittinggi ketika dia ditangkap bersama seorang pejuang bawah tanah di kota itu? Kelaparan dan udara dingin mana pula yang tak dia rasakan ketika bertarak di Gunung Sago dahulu. 
Memang tak ada salju disana. Tapi dinginnya udara bila musim hujan atau malam hari, lebih parah dari pada selusin musim salju. Apalagi keadaannya waktu itu dalam sakit parah. Dan saat itu bukankah dia juga harus mempertahankan hidupnya dari dicabik-cabik binatang buas yang berkuasa mutlak di gunung yang tak pernah dijamah manusia itu? Ternyata dia turun dari gunung itu dalam keadaan hidup. Justru itulah musim dingin di Jepang ini tak ada pengaruh terhadap dirinya.

Selain dirinya telah terlatih hidup dalam kesulitan yang paling parah sekalipun, dia juga menguasai ilmu pernafasan Silat Tuo yang diajarkan ayahnya dahulu. Dia memang tak mengerti silat, tapi cara pernafasannya dia kuasai setelah berlatih sendiri di Gunung Sago.
Dia berlatih dengan mengingat-ingat petunjuk ayahnya dahulu. 
Berkat keras hati, dia ternyata berhasil. 
Dan ilmu pernafasan itu ternyata sangat membantu dalam cuaca dingin begini. Orang Jepang juga memiliki ilmu pernafasan yang bagus dalam ilmu beladirinya. Ilmu pernafasan itu bernama San Chin. Tapi ilmu pernafasan beladiri Jepang ini tak sebaik ilmu pernafasan Silek Tuo yang diturunkan ayahnya. Ilmu pernafasan San Chin hanyalah mengatur pernafasan agar tak cepat lelah. 
Agar kekuatan bisa disimpan dan digunakan secara efisien. Sementara ilmu pernafasan Silek Tuo, selain berfungsi sama dengan San Chin, juga berfungsi untuk mempercepat aliran darah. Mempercepat aliran darah berarti membangkitkan daya bakar dalam tubuh. Membangkitkan daya bakar dalam tubuh berarti suatu pemanasan dari dalam. Dengan mengatur pernafasan mengikuti petunjuk Silek Tuo, tubuhnya bisa bertahan tetap panas dalam dingin dipenuhi salju itu!

Dan kini di musim dingin bersalju ini, di malam yang sepi, dia duduk diam mematung di atas batu layah di belakang rumah. Duduk dengan dada telanjang. Memejamkan mata. Membusungkan dada. Menghirup nafas panjang sekali. Lagi dan lagi. Sampai dadanya menggelembung dipenuhi udara. Kemudian dia keluarkan sedikit demi sedikit. Dia tahan separoh. Dia tarik lagi penuh-penuh. Demikian dia lakukan dengan teratur dan dengan tekun. Dan tubuhnya berpeluh. Tubuh atasnya yang telanjang berpeluh dalam siraman gerimis salju. Dan perlahan kelihatan asap tipis mengepul dari tubuhnya. Asap tipis yang berasal dari salju yang menguap begitu menyentuh tubuhnya yang berpeluh.
Benar-benar latihan pernafasan yang amat sempurna. Tanpa dia sadari, ada dua pasang mata yang diam-diam memperhatikan latihannya di tengah malam buta itu.

Yang pertama adalah mata Kenji. Pemuda ini makin hari makin ingin tahu, untuk apa si Bungsu datang ke negerinya. Dia merasa ada seseorang yang dicari anak muda itu. Seseorang yang ingin dia temui untuk bunuh. Dia melihat dendam yang alangkah dahsyatnya terpendam di balik matanya yang tenang dan sayu.
Anak muda ini datang untuk membalas dendam. Dan pastilah dendam terhadap seorang tentara Jepang yang telah mencelakai keluarganya. Demikian pikiran Kenji terhadap sahabatnya ini.

Dia sudah merasa bersaudara dengan orang Indonesia yang satu ini. Dan dia merasa kagum akan ketahanan tubuh dan latihan khas yang dilakukan anak muda itu. Diam-diam dia memperhatikan terus latihan si Bungsu dari kamarnya. Orang kedua yang memperhatikannya adalah Hannako. Adik Kenji. Gadis ini berhutang budi pada pertolongan yang diberikan si Bungsu. Dan tanpa dapat dia cegah, diam-diam dia harus tunduk pada takdir, bahwa dia mencintai pemuda asing ini. Sikapnya yang pendiam, sikapnya yang jujur, rendah hati dan lemah lembut membuat hati Hannako benar-benar terpaut. 
Namun dia adalah gadis Jepang yang umumnya amat pemalu. Amat menjunjung rasa kesopanan. Gadis-gadis Jepang tak begitu saja mau menunjukkan rasa sayang pada lelaki. Dan keadaan dirinya yang tak lagi suci menyebabkan gadis ini “tahu diri”. Dia tahu setiap lelaki menginginkan kesucian calon isterinya. Dan Hannako akhirnya hanya bisa menghapus air mata jika teringat betapa dirinya telah ternoda berkali-kali oleh jahanam Kawabata anggota Jakuza terkutuk itu.

Di Jepang (bagian 176)

Kawabata, lelaki jahanam anggota Jakuza itu ternyata memang tak pernah melupakan Hannako. Gadis cantik itu sangat merangsang birahinya. Dan sejak gadis itu melarikan diri dari rumahnya, dia telah menyebar beberapa anak buahnya untuk mencari jejak gadis tersebut. Dan bagi Jakuza tak sulit mencari jejak seseorang di seluruh Jepang. Negeri ini berada dalam cengkraman mereka. Mereka mempunyai jaringan di seluruh kota dan desa. Organisasi mereka benar-benar hebat. 
Mengalahkan organisasi Kepolisian Jepang.
Itulah sebabnya dalam waktu yang tak begitu lama jejak Hannako segera diketahui. Mereka mengetahui bahwa Hannako tinggal bersama abangnya. Bekas awak kapal Ichi Maru. Tinggal di sebuah rumah di jalan Uchibori. 
Dan mereka lalu mematai-matai rumah itu.
Siang itu si Bungsu sedang duduk di beranda depan ketika dari seberang sana dia dengar suara-suara bentakan. Berkali-kali dan berulang-ulang. Suara itu sudah beberapa hari ini dia dengar dan berasal dari sebuah gedung besar. Dia melihat banyak orang berdatangan. Umumnya anak-anak muda. Tapi selain anak muda juga orang-orang tua.

“Hanako-san, asoko ni nani ga arimasu ka” (dik Hanako, disana ada apa?) tanyanya pada Hannako sambil menunjuk ke rumah besar di seberang sana.

Hannako menoleh ke arah yang ditunjuk si Bungsu. Ke gedung besar jauh di seberang sana.

“Itu gedung Budokan…”
“Budokan?”
“Ya”
“Tempat apa itu?”
“Di sana tempat orang-orang berlatih Judo. Bang Kenji dahulu juga berlatih Judo disana”
“Dia belajar Judo disana?”
“Ya. Dia malah sudah menjadi Sensei dengan tingkat Dan III sebelum berangkat jadi pelaut”
“Apa itu tingkat Dan III?”
“Pemegang Dan adalah Pemegang Sabuk Hitam. Dimulai dari Dan I setelah naik dari sabuk coklat”

Si Bungsu manggut-manggut.

“Abang juga seorang Karateka tingkat Dan  II, pergilah kesana, abang sedang latihan disana”

Hannako berkata.
“Dia disana?”

“Ya, begitu katanya tadi”



Si Bungsu jadi tertarik. Dia sudah melihat betapa para serdadu Jepang di Minangkabau dahulu berkelahi dengan tangguh dengan mengandalkan Karate atau Judo. Dia sangat mengaguminya. Karenanya dia ingin melihat tempat latihan itu.

Dia pernah dengar nama Budokan. Yaitu pusat latihan Judo dan Karate di Tokyo. Kiranya inilah gedungnya.



“Akan ke sana?” Hanako bertanya.



Si Bungsu mengangguk.

“Akan saya suruh Naruito mengantarkan. Oto-san antarkan Bungsu-san ke Budokan…”



Naruito muncul. Tersenyum pada si Bungsu. Si Bungsu membalas senyum adik Kenji yang paling kecil ini. Kemudian mereka berangkat. Melangkah di halaman rumah mereka yang terbuat dari batu bulat-bulat tipis. Kemudian menusuri jalan Uchibori. Lalu berbelok ke kanan. Melalui jalan selebar dua meter menuju ke gedung Budokan itu. Jalan yang terbuat dari semen.



“Budokan ini semacam gedung serba guna….” Naruito bercerita, ”disini sering diadakan pertandingan Judo, Karate atau pementasan besar lainnya. Ruang latihan Karate ada di samping kanan. Ruang latihan Judo di sudut kiri. Nah, kita akan ke ruang utama…”

“Kenapa harus ke sana. Bukankah kita melihat Kenji?’

“Ya, Kenji-san pasti ada di ruang utama. Kini ada ujian kenaikan tingkat bagi pemegang Sabuk Hitam…”



Si Bungsu jadi sangat tertarik. Mereka memasuki gedung itu dari arah Selatan. Yaitu dari pintu utamanya. Dan disaat mereka masuk, disaat itu pula nama Kenji dipanggil. Di ruang tengah kelihatan ada sekitar enam puluh Karateka pemegang Sabuk Hitam. Duduk berjejer dengan diam. Di seberang mereka kelihatan benda-benda tersusun.



“Abang akan ujian memecah benda-benda keras…” Naruito bicara perlahan.



Kenji nampak tegak di tengah. Membungkuk ke arah Utara, di mana di sana ada seorang lelaki gemuk duduk di lantai Tatami dengan bendera Jepang besar di latar belakangnya.

Terdengar aba-aba. Dan Kenji menuju ke susunan batu genteng setinggi pinggang.


Bungsu menatap dengan tegang. Kenji melakukan konsentrasi, dan memukul genteng itu perlahan sekali, lalu mengangkat tangannya. Ada tiga kali hal itu dia lakukan, seperti memukul tapi hanya meletakkan tangannya saja. Kemudian dia mengangkat tangannya kembali ke sisi pinggang. Dan seiring dengan teriakan yang mengguntur pukulannya meluncur keras ke bawah. Terdengar suara berderam. Dan genteng setinggi pinggang itu ambruk semua!

Tidak ada komentar: