Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 634-635

Dalam Neraka Vietnam -bagian 634-635


Dalam Neraka Vietnam -bagian-634
"si bungsu"
Namun saat itu pula ada sosok muncul dari balik kayu besar sekitar empat depa dari mereka. Sosok itu tak lain dari si Bungsu. Dia muncul mendadak sambil menembak dua tentara di dekat mayat tersebut. Kedua orang itu terkejut namun tak sempat berbuat apapun. Yang jongkok dan akan membalikkan tubuh temannya itu kena hajar kepalanya oleh peluru dari bedil rampasan si Bungsu. Sementara yang tiarap sekitar dua depa dari mayat itu, kena hajar persis di jidatnya.
Sebab, begitu dia melihat ada sosok yang muncul dari balik pohon, dia mengangkat kepala dan siap menarik pelatuk bedilnya. Bedilnya memang meletus, namun pelurunya melenceng. Sebab jidatnya ditembus peluru! Sesudah itu sepi. Hutan itu dicekam kesepian yang menakutkan. Namun hanya sesaat. Setelah itu beberapa tentara menghambur serentak ke arah pohon besar dimana si Bungsu berlindung. Mereka maju sambil berteriak seperti orang histeris, sembari bedilnya memuntahkan peluru.
Dalam jarak sekitar lima sampai sepuluh depa, semua mereka berhenti mendadak. Ada yang berlindung di balik pohon, ada yang tiarap di tanah, ada yang jongkok dengan bedil diangkat setinggi dagu, siap ditembakkan. Pohon di mana tadi si Bungsu muncul terkelupas diterkam peluru di berbagai tempat setinggi lelaki dewasa. Si komandan juga sudah berada di antara anak buahnya. Dia memberi isyarat. Lima orang segera menyiram sisi kiri dan kanan pohon besar itu dengan tembakan gencar.
Semut pun tak bisa selamat jika dia berada di sisi kiri atau kanan pohon itu sampai jarak satu atau dua meter. Demikian rapat tembakan tersebut. Bersamaan dengan payung tembakan itu, empat orang diperintahkan si komandan untuk membuat lingkaran, dari kiri dan kanan, mendekati pohon besar tersebut. Namun tak seorang pun di sana. Tembakan dihentikan secara mendadak. Mereka saling menatap. Si komandan masih jongkok di balik pohon perdu rindang setinggi setengah meter.
Dia menatap anak buahnya yang berada dalam jarak tiga atau empat meter di sekitarnya. Dari anak buahnya dia menatap ke pohon-pohon besar disekitarnya. Ke dahan-dahan dan dedaunan yang rimbun di atas mereka. Tak ada sesuatu yang bergerak. Bahkan angin pun seperti berhenti bertiup. Si Komandan memberi isyarat dengan gerak tangan, agar anak buahnya bergerak ke berbagai arah dalam jarak sekitar dua puluh lima meter untuk mencari orang yang mereka buru.
“Orang itu masih berada di sekitar ini…” ujarnya melalui isyarat tangan.
Anak buahnya segera maju dengan menunduk-nunduk, menatap dengan seksama setiap pohon dan setiap semak-semak. Si komandan bersama dua pencari jejak yang juga penembak mahir, tetap berada di tempatnya. Siaga dengan bedil, siap memuntahkan peluru. Antara dia dengan kedua penembak mahir di sebelah kanannya, hanya dibatas jarak tiga meter.
Kedua orang itu berada di balik dua pohon besar yang tumbuh sangat rapat. Seorang tentara yang berada di bahagian kiri, sekitar sepuluh meter di depan si komandan, tiba-tiba terkejut karena ada yang bergerak di balik semak dua depa di depannya. Dia, dan dua temannya di kiri kanannya, segera menghamburkan peluru ke arah semak tersebut.
Sepi!
Mereka kembali menghujani semak itu dengan peluru sambil berlari mendekat. Saat sampai di semak itu mereka tertegak diam. Di balik semak itu, tergeletak sosok bersimbah darah, tanpa nyawa. Anak rusa! Tubuh anak rusa itu seolah-olah tak ada yang tidak ditembus peluru. Salah seorang di antara mereka surut, dan menoleh ke arah si komandan. Lalu memberi isyarat dengan tangan, bahwa yang berada di balik semak itu hanya seekor anak rusa. Namun tangan si tentara belum turun setelah memberi isyarat, tubuhnya tiba-tiba mengejang, matanya mendelik. Teman-temannya menatap dengan kaget, juga si komandan.
Lalu, tubuh tentara itu rubuh tertelungkup. Padahal tak ada suara tembakan satu pun! Dua tentara lagi, yang berada di dekat tentara yang rubuh itu, segera menjatuhkan diri, tiarap. Yang seorang, yang berada di kanan mayat yang terhantar itu, menatap dengan heran bercampur takut ke arah temannya yang tiba-tiba saja rubuh tanpa sebab tersebut. Matanya membesar, tatkala melihat ada benda kecil menancap di leher temannya yang rubuh itu.
Dia merayap dengan cepat mendekati mayat tersebut. Menatap dengan nanap benda kecil yang menancap itu. Lalu mencabutnya. Benda itu ternyata sebuah samurai dalam ukuran tak lebih dari sepanjang jari, namun runcing dan kedua sisinya tajam bukan main. Panjang samurai kecil itu sekitar sejengkal. Gagangnya terbuat dari sejenis gading. Samurai itu menancap sampai sebatas gagangnya. Dengan masih dalam posisi tiarap, dia mengangkat bahagian dadanya dari tanah untuk menoleh ke arah si komandan.
Komandan tentara Vietnam yang berada dalam jarak sekitar lima belas depa dari tentara yang memegang samurai kecil itu, dapat melihat si tentara di antara sela-sela pohon besar antara dia dengan si prajurit. Si prajurit mengangkat samurai kecil itu, memperlihatkannya pada si komandan. Si komandan mengerenyitkan kening­nya. Dari kejauhan dia menatap senjata kecil itu na­nap-nanap. Si komandan segera mengetahui benda yang membunuh anak buahnya itu ternyata sebuah miniatur samurai.
Sebagai seorang yang juga lahir dari puak Cina, si komandan tahu bahwa senjata itu merupakan senjata rahasia kelompok penjahat atau pesilat Cina atau Jepang. Dia mengenal hal itu tidak hanya dari cerita-cerita. Tapi pernah melihat demonstrasi kemahiran mempergunakan senjata sejenis itu, yang oleh orang Cina disebut sebagai ‘piaw’ atau senjata rahasia. Piaw biasanya berbentuk pisau kecil, bukan miniatur samurai sebagaimana tadi diperlihatkan padanya.
Dia mulai merasa curiga terhadap orang yang sejak tadi mereka buru, dan kini balik ‘memburu’ mereka. Hampir bisa diyakini, orang yang mempergunakan senjata dalam bentuk samurai kecil itu bukanlah orang Amerika. Juga bukan orang Eropah manapun. Dia mulai menduga-duga. Orang itu pasti dibayar oleh Amerika untuk mencari dan membebaskan sandera. Jika Amerika menyerahkan tugas seperti itu kepadanya, maka orang itu tentulah bukan sembarangan orang. Tapi, siapa dia?
Dia mencoba mencari kemungkinan di antara orang-orang Jepang, Cina dan Vietnam, atau orang Kamboja. Sebab, sepanjang yang dia ketahui, hanya orang-orang dari puak itulah yang memiliki kepandaian menerobos belantara dan sekaligus mahir mempergunakan senjata rahasia. Di Jepang mereka mengenal kelompok Jakuza. Kelompok penjahat yang amat ditakuti. Juga mereka mengenal kelompok Ninja. Kedua kelompok inilah yang biasanya amat mahir mem pergunakan senjata rahasia.
Ninja! Apakah benar orang yang mereka buru ini adalah anggota Ninja? Benar atau tidak, yang jelas kini mereka sudah saling memburu, tanpa ada kepastian siapa memburu siapa. Si komandan menatap keliling. Kemudian bersiul kecil memberi isyarat kepada anak buahnya agar siap-siap untuk melakukan gerakan mendadak. Tugas mereka semula, yaitu memburu tawanan yang melarikan diri, ternyata tersendat di sini. Mereka harus melayani satu atau mungkin paling banyak tiga orang.
Kini orang itu tengah mengendap entah di pohon yang mana, entah di semak mana. Tapi yang pasti, orang itu masih berada di sekitar mereka. Orang itu pasti belum pergi dari sekitar sini. Nalurinya sebagai prajurit yang sudah kenyang berperang dalam rimba membisikkan hal itu. Kini harus dia akui, orang yang mereka buru itu posisinya jauh lebih beruntung dari mereka. Orang itu tahu di mana posisi mereka, sedangkan dia dan pasukannya tak tahu di mana orang itu menyurukkan tubuhnya.

Dalam Neraka Vietnam -bagian-635
makmur hendrik
Si komandan berfikir, sudah sampai di mana tawanan, yang di antaranya ada para wanita itu, kini berada. Dia yakin, para pelarian itu pasti belum jauh benar. Untuk keluar dari belantara ini diperlukan pesawat udara. Dan pesawat udara yang bisa menjemput pelarian hanyalah helikopter. Sebab, di hutan perawan yang luas ini tak ada lapangan dimana pesawat terbang bisa mendarat. Helikopter yang menjemput tawanan tak perlu mendarat.
Pilotnya cukup menahan pesawatnya di atas pucuk belantara. Kemudian menurunkan tangga dari tali. Orang bisa naik melalui tangga itu. Itulah satu-satunya cara untuk melarikan diri. Tetapi, dia tak khawatir para pelarian itu akan dijemput helikopter. Helikopter mana pula yang berani melintasi wilayah Vietnam ini, yang setiap saat udaranya dijaga oleh pesawat tempur? Dengan fikiran demikian, dia lalu memutuskan untuk segera menyergap orang yang telah membunuh beberapa anggota pasukannya itu.
Cuma, putusan untuk menyergap orang yang sudah menyebar maut di tengah pasukannya itu dihadang oleh sebuah pertanyaan. Berapa sebenarnya jumlah orang yang kini mereka buru, atau yang tengah “memburu” mereka? Namun pertanyaan itupun tak memerlukan jawaban. Yang pasti orang itu merupakan ancaman yang serius. Kini, dia harus membuat jebakan, agar orang itu bisa dihabisi. Untuk menghabisi orang tersebut, dia mengandalkan pencari jejak yang berada di dekatnya.
“Sersan, engkau bersamaku dan sebahagian pasukan akan pura-pura melanjutkan pemburuan terhadap tawanan yang lari. Sementara Lok Ma dan dua tentara yang lain tetap di sini,menjaga bahagian belakang kami, sekaligus memasang jebakan terhadap orang yang kini sedang mengintai kita…” bisik si komandan kepada dua pencari jejak di sampingnya.
Sersan bernama Lok Ma itu segera merayap ke bahagian kanan, ke arah seorang kopral yang berlindung di balik sebuah pohon besar.
Dia membisikkan rencana yang dipaparkan si komandan. Kemudian dia memberi isyarat pada seorang prajurit yang berada sekitar sepuluh depa dari tempatnya. Si Prajurit mengangguk, memahami isyarat yang disampaikan padanya. Si sersan lalu memberi isyarat kepada koman dannya. Setelah itu dia merayap ke suatu tempat yang dijadikan sebagai tempat pengintaian.
Si kapten lalu memberi isyarat kepada seluruh anak buahnya. Mereka kemudian bergerak meninggalkan lokasi tersebut, kecuali Sersan Lok Ma dan dua tentara lainnya, yang ditugaskan tinggal untuk menjebak orang yang sudah membunuh beberapa dari mereka, yang sampai saat ini tak mereka ketahui bentuk dan kesatuannya itu. Belasan tentara Vietnam itu bergerak cepat dari balik pohon yang satu ke balik pohon yang lain. Mereka menuju danau besar yang memang menjadi tujuan tentara Amerika tersebut. Baik yang dahuluan bersama Duc Thio, termasuk para wanita, maupun yang kemudian bersama MacMahon dan terakhir diikuti Duval, Thi Binh dan Roxy.
Sersan Lok Ma menatap dengan perasaan heran kepada prajurit yang tadi memperlihatkan kepada si komandan samurai kecil yang dia cabut dari leher teman mereka yang mati itu. Tentara itu masih tetap tiarap, tak bergerak sedikit pun. Yang membuat dia heran, wajah si tentara membenam ke dedaunan kering di bawah tubuhnya.
Lok Ma segera menyimpulkan bahwa tentara itu sudah mati. Dia segera teringat, sesaat setelah memperlihatkan samurai kecil itu kepada si komandan, prajurit itu segera tiarap. Namun gerakannya tidak seperti biasa. Tubuhnya jatuh ke tanah seperti tanpa tenaga sedikit pun. Lok Ma merasa tak perlu datang memeriksa. Dia yakin tentara itu juga mati dihantam senjata rahasia. Senjata rahasia itu bisa saja berbentuk samurai kecil seperti yang dia perlihatkan kepada si komandan, bisa saja dalam bentuk yang lain.
Lok Ma juga tahu, orang yang ahli mempergunakan senjata tajam bisa saja memiliki lebih dari satu bentuk senjata rahasia. Dugaan Lok Ma bahwa tentara yang ‘tiarap’ itu sudah mati memang benar. Si Bungsu yang berada sekitar sepuluh depa dari tempat si tentara yang sedang memperlihatkan samurai kecilnya itu, segera memanfaatkan peluang tersebut. Dia menunggu si tentara selesai memperlihatkan samurai itu. Saat tentara itu menggerakkan badan akan menurunkan bahagian atas tubuhnya untuk tiarap, tangan kanannya bergerak.

Tidak ada komentar: