Senin, 04 November 2013

tikam samurai - Di pekanbaru (bagian 152-153-154-155-156)

Di Pekanbaru (bagian 152)


“Kini tugas kita menghilangkan jejak jeep itu…” Suman berkata.

“Kau teruslah ke Buluh Cina, tentang jejak jeep ini serahkan pada kami di sini. Jangan khawatir”



Suman jadi lega. Dia lalu melanjutkan perjalanan ke Buluh Cina. Dari desa Kutik itu dia harus meliwati hutan belantara sejauh dua kilometer. Baru kemudian tiba di kampung Bontu yang terletak di tepi Batang Kampar. Dari kampung ini dia dapat kabar bahwa Bilal sudah diantar menyeberang ke Buluh Cina bersama anak muda yang luka itu. Senjata ditinggalkan di sebuah rumah pejuang anggota fisabilillah di Bontu tersebut. Dan dengan sampan, Suman diantar pula ke kampungnya, ke Buluh Cina. Tugas utama mereka semua, yaitu menyampaikan berita pada keluarga Pak Rajab, bahwa dia selamat, kini bertambah tugas lain. Yaitu lari dari kejaran Belanda dan menyelamatkan nyawa si Bungsu.

Dan sepeninggalnya, penghulu kampung segera mengumpulkan penduduk yang jumlahnya hanya puluhan orang. Kepada mereka dia ceritakan  perjuangan yang telah dilakukan pejuang-pejuang dari Buluh Cina dan Perhentian Marpuyan itu.

Dan dengan semangat perjuangan yang tebal, penduduk ini segera turun tangan. Menghilangkan jejak jeep yang tadi dibawa oleh Bilal. Mereka bekerja sepanjang siang, sore dan malam. Dan menjelang Isya pekerjaan itu selesai. Mereka pulang dengan perasaan tenteram.



Kesibukan tentara Belanda segera saja meningkat karena kehilangan sebuah power wagon dengan enam belas tentaranya itu. Malam itu juga sepasukan tentara yang terdiri sebuah truk penuh dan dua buah jeep bermitraliyur mendatangi Perhentian Marpuyan. Penduduk segera saja diinterogasi. Ditanya apakah mereka melihat jeep dan power wagon itu.

Penduduk Marpuyan yang jumlahnya tak sampai seratus orang itu telah “diatur” oleh pemilik kedai yang juga adalah Imam di kampung itu. Dan semua penduduk dengan suara pasti menjawab bahwa mereka memang melihat jeep dan power wagon itu. Jeep yang pertama setelah menurunkan gadis dan ibunya itu terus ke arah Taratak Buluh. Tak lama kemudian datang power wagon dengan selusin tentara di atasnya.

Power wagon itu juga terus ke arah Teratak Buluh. Tentara Belanda itu meneruskan jalannya ke Teratak Buluh dalam usaha mencari jejak patroli yang tak kembali itu. Namun mereka dibuat kaget. Sebab di Teratak Buluh, tak satupun orang yang pernah melihat kedua kendaraan itu muncul!.



Mereka lalu kembali lagi ke Simpang Tiga. Yaitu ke Pos penjagaan terjauh dari kota Pekanbaru. Mereka hanya berani bergerak malam dengan kekuatan besar. Dan malam itu hanya sampai di sana penyelidikan mereka. Mereka tak berani bergerak di malam hari lebih lanjut. Takut akan serangan para pejuang. Mereka menanti hari siang untuk melanjutkan pencaharian. Dan begitu hari siang, pasukan segera ditambah dari Pekanbaru. Kini dengan enam buah kendaraan yang terdiri dari dua buah jeep bermitraliyur, dua buah kendaraan lapis baja, dan dua buah power wagon yang semuanya berkekuatan empat puluh pasukan berpakaian loreng mulai bergerak meninggalkan Simpang Tiga. Tujuan mereka hanya satu, Perhentian Marpuyan.



Hari masih subuh, ketika kampung kecil itu sudah dikepung oleh tentara Belanda tersebut.

Semua penduduk dikumpulkan di lapangan dekat sebuah sekolah. Anak-anak, lelaki perempuan, tua muda, tak ada yang tersisa satupun. Termasuk di dalamnya Liyas yang kemaren bersama si Bungsu menyikat Belanda di pendakian Pasir Putih itu.

Mereka dikumpulkan di lapangan dengan dikurung oleh panser dan jeep bermitraliyur yang dihadapkan pada mereka. Seorang KNIL segera maju. Kemudian mengajukan pertanyaan.



“Kalau kalian tak menjawab, maka kalian akan ditembak…” KNIL itu menggertak.



Tak ada yang menjawab. Karena kanak-kanak malah mendekat panser dan jeep bersenjata berat. Mereka terheran-heran melihat kendaraan itu.



“He, kowe lihat jeep dan truk lewat di sini?” seorang KNIL bertanya pada seorang anak yang mendekati pansernya. Anak itu melihat dengan heran.
“Kowe lihat jeep lewat sini? Nanti kowe saya kasi bon-bon..” KNIL itu bertanya lagi dengan bujukan sambil mengambil gula-gula dari kantongnya.
Liyas yang pejuang itu hanya melihat dengan tenang dari kejauhan. Dia tak usah khawatir bahwa rahasia akan terbongkar dari mulut anak-anak itu.
Soalnya bukan karena anak-anak itu seorang patriot. Tidak. Tapi sebabnya adalah karena hal lain. 

Di Pekanbaru (bagian 153)

Dan hal lain itu segera terbukti, takkala anak yang ditanya dan disodorkan gula-gula itu menghadap pada teman sebayanya disampingnya tegak dan bertanya.



“Apo nyie bowuok go ang..?”Apa kata monyet ini? Temannya segera menjawab :

“Inyo maagie ang gulo-gulo”(Dia memberi engkau gula-gula)



Anak itu tertawa. Mengambil gula-gula itu.



“Mokasi yo wuok” (makasih nyet)



Kemudian membuka bungkusnya dan memakannya. Lalu pergi dari sana ke arah kumpulan orang banyak, tanpa mengacuhkan pertanyaan KNIL itu. Soalnya anak-anak di kampung itu seperti umumnya anak-anak di kampung lain di seluruh Indonesia, tak pandai berbahasa Indonesia. Bahasa mereka adalah bahasa kampung mereka sendiri. Saat itu belum berapa orang jumlah yang mengecap bangku sekolah. Dan yang tak berapa orang itu, semuanya adalah anak-anak yang berdiam di kota. Bukan di kampung.

KNIL yang gula-gula diambil itu hanya bisa garuk-garuk kepala. Dan dari mereka, serta dari penduduk, tak ada keterangan yang diperdapat. Jawaban tetap seperti kemaren. Yaitu kedua kendaraan itu menuju ke Teratak Buluh.



Tak lama kemudian, dua belas pencari jejak yang disebar kembali melapor pada Mayor yang memimpin operasi pencaharian itu. Kedua belas orangnya melaporkan tak menemukan jejak apapun! Rupanya Liyas dan penduduk Marpuyan telah bekerja dengan sempurna. Jejak kedua kendaraan itu memang berhasil dihapus seperti yang dikatakan si Bungsu. Demikian sempurnanya, sehingga tentara Belanda yang dalam perang Dunia ke II yang baru lalu tugas khususnya adalah mencari jejak kini tak menemukan apa-apa.

Liyas yang menanti kembalinya pencari jejak itu dengan perasaan tenang jadi merasa lega takkala dia lihat kedua belas pencari jejak itu melapor dengan perasaan kecewa.

Akhirnya penduduk dibubarkan dengan ancaman-ancaman. Mayor yang memimpin itu adalah Mayor Antonius. Dalam perang Dunia ke II melawan Jepang di Pasifik dia memimpin Kompi Gerak Cepat bersama sepasukan tentara Amerika di Pulau Guam.



Dan kali ini, firasat Mayor itu mengatakan bahwa jeep dan power yang lenyap misterius itu pastilah melewati jalan kecil menuju Buluh Cina ini kemaren. Tapi dia merasa heran, kenapa pencari jejak yang tangguh itu tak menemukan apa-apa?

Dia memerintahkan untuk menyelusuri jalan kecil itu terus ke pedalaman. Enam kendaraan yang siap perang itu segera merayap mengikuti jalan yang kemaren memang ditempuh si Bungsu dan teman-temannya. Liyas dan pejuang-pejuang lainnya menjadi tegang takkala melihat bahwa Belanda itu meneruskan jalan ke Buluh cina.

“Bagaimana sekarang?” seorang pejuang bertanya pada Liyas.

“Kita hanya bisa berserah diri pada Tuhan…” jawab Liyas.

“Kita bisa ke Buluh Cina lewat Teratak Buluh”

“Tak mungkin lagi. Untuk ke sana dibutuhkan satu jam pakai sepeda. Kemudian dengan sampan enam jam ke buluh Cina. Sedangkan mereka dalam waktu satu jam sudah akan sampai…” Suman berkata perlahan sambil menatap kendaraan itu lenyap di tikungan.

“Bagaimana kalau ketahuan?”

“Ada dua kemungkinan. Pertama semua kita mereka tembak dan Buluh Cina mereka gempur. Kedua mereka kita cegat ketika kembali”.

“Itu berarti bunuh diri. Kita tak punya kekuatan apa-apa. Di sini kita hanya ada sebelas orang dengan empat pucuk senjata api, selebihnya hanya memakai kelewang, parang, pisau dan bambu runcing!”

“Bagaimana putusan kita?”

“Saya berharap mereka tak menemukan apa-apa. Semoga lewat Bancah Limbat hujan turun malam tadi. Dan jejak terhapus sama sekali…..”



Dan memang itulah yang terjadi. Malam tadi hujan meski tak lebat, tapi turun di bahagian hutan lewat rawa yang bernama Bancah Limbat sampai Kutik. Dan semuanya melenyapkan jejak kemaren. Belanda meneliti tiap jengkal yang mereka lewati dalam usahanya mencari jejak patroli yang lenyap itu. Tak lama kemudian mereka berhenti di sebuah sungai kecil yang melintasi jalan. Sungai itu jernih sekali airnya. Jernih dan sejuk dengan pasir putih di dasarnya. Mayor Antonius menyuruh berhenti jeep komandonya. Dia tegak di bangku. Memandang dengan teropong kependakian di seberang sungai dangkal itu. Tak ada apa-apa yang mencurigakan. Dia turun. Mencuci muka disungai kecil yang sejuk itu. Meminum airnya yang juga terasa sejuk. Sementara dia mencuci muka dan minum itu, pasukannya siap di kedua sisi jalan dengan senjata siaga.



“Kita kembali!” perintahnya. Dan semua kendaraan itu, satu persatu berputar di sungai kecil tersebut.



Daerah di bawah pendakian itu memang cukup lebar untuk berputar. Kendaraan berputar disana sambil menambah air untuk kendaraan mereka. Dan putusan Mayor itu termasuk hal yang menyelamatkan penduduk kampung Kutik, Buluh Cina dan Perhentian Marpuyan!.

Di Pekanbaru (bagian 154)

Sebab, kalau saja Mayor itu meneruskan langkahnya agak dua puluh meter lagi ke pertengahan pendakian dari sungai kecil di mana dia mencuci muka dan minum, maka dia pasti akan menemukan jejak pertempuran kemaren yang terkikis oleh hujan, dan tak terlenyapkan oleh penduduk Kutik.

Jejak itu berupa lobang-lobang bekas terkaman peluru 12,7 yang dimuntahkan oleh Suman! Di pertengahan pendakian itu ada lebih dari selusin jejak peluru. Kemaren memang ditimbun baik oleh Suman maupun penduduk Kutik. Tapi hujan yang turun malam tadi membuat timbunanitu melorot ke dalam. Dan jejak itu justru muncul lagi. Tapi untunglah, Tuhan masih melindungi mereka semua!

Dan sebelum petang datang, pasukan Belanda itu cepat-cepat menuju ke markas kembali. Mereka memang tak berani berada di daerah Republik itu di malam hari meski dengan kekuatan persenjataan yang tak tanggung-tanggung.

Mereka hanya berani berpatroli di siang hari. Dan begitu malam akan turun mereka cepat-cepat menarik diri ke markas.

Besoknya pencarian dilanjutkan lagi. Namun jejak yang mereka cari semakin lenyap. Dan akhirnya pencaharian itu dihentikan sama sekali. Sebab setelah itu, Belanda disibukkan oleh peperangan-peperangan dengan tentara Indonesia.



Di Buluh Cina.



Rumah-rumah kampung itu semuanya adalah rumah panggung dengan tiang-tiang tinggi. Kampung itu terletak di seberang sungai Kampar, kalau datang dari arah Pekanbaru. Sungai itu senantiasa menghanyutkan airnya yang berwarna jernih ke hilir.

Hanya ada sekitar seratus rumah di kampung itu. Memanjang di tepian sungai Kampar dari Barat ke Timur. Di bagian tengah kampung ada sebuah mesjid. Di bagian agak ke hulu ada pandam pekuburan kampung.

Kampung dipenuhi oleh rumpun kelapa. Di bawah bayang-bayang daun kelapa ini rumah-rumah penduduk didirikan. Rumah dibuat tinggi dari tanah dengan dua maksud. Pertama menghindarkan banjir dari sungai Kampar yang selalu datang melanda. Kedua menghindarkan diri dari serangan harimau yang sering mengganas di kampung itu.

Mata pencaharian penduduk tak ada yang tetap. Itu bukan berarti di sana banyak sekali mata pencahariannya. Tidak. Sumber kehidupan mereka hanya tiga hal. Satu karet, kedua ikan dan ketiga berladang.



Karet dan ikan merupakan mata pencaharian yang agak tetap. Sementara hasil ladang hanya cukup untuk keperluan anak beranak. Mereka masih menerapkan sistim berladang kaum Nomaden. Hari ini berladang di suatu tempat yang subur. Kalau akan membuka ladang, terlebih dahulu harus menebas hutan belantara. Kemudian dibiarkan kering. Lalu dibakar. Dan setelah itu bekas bakar dibersihkan ala kadarnya.

Kemudian langsung ditanami jagung dan padi. Selama proses ini tak kenal penggunaan cangkul atau alat-alat pertanian lainnya. Untuk menanam padi atau jagung lobang dibuat dengan menghujamkan tugak, yaitu sepotong kayu sebesar lengan yang diruncingkan ujungnya kebawah dan dihentakkan ke tanah. Ke lobang itu benih jagung atau padi dimasukkan.



Dan hanya proses waktu dan alam saja yang mereka tunggu selanjutnya untuk menumbuhkan, membesarkan dan membuat padi dan jagung itu panen. Tapi begitu panen sudah dipetik, maka ladang itu mereka tinggalkan. Tahun depan mereka merambah hutan yang lain pula untuk berladang. Begitu terus.

Ini menyebabkan mereka tak pernah mempunyai ladang yang tetap. Tak pernah berladang di mana tumbuh tanaman keras. Mereka pindah terus dari satu hutan ke hutan lain untuk berladang meski ladang terdahulu tanahnya masih tetap subur untuk beberapa tahun lagi.

Kebun karet mereka umumnya tak terurus. Ditumbuhi semak belukar dan dijalari rotan. Bahagian yang baik hanyalah sedikit di sekitar pohon yang akan ditakik saja. Tak heran kalau kebun karet yang mereka sebut dengan kebun para itu menjadi sarang harimau. Dan tak heran pula banyak penakik-penakik getah itu menjadi mangsa raja hutan tersebut.

Mata pencaharian yang ketiga adalah ikan. Mereka menangkapi ikan di sepanjang batang Kampar atau di dua danau kecil yang terdapat di balik kampung itu.

Karet dan ikan inilah mata pencaharian mereka yang agak memadai. Memadai dalam arti sekedar cukup untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Sebab baik memotong karet maupun menangkap ikan mereka lakukan secara tradisionil.


Bila hujan turun karet tak dapat ditakik, mereka menangkap ikan. Bila air besar dan hujan turun pula, dimana getah dan ikan tak dapat ditangkap, mereka hanya berdiam dirumah.

Demikian kehidupan penduduk di kampung itu musim ke musim. Kampung itu merupakan salah satu dari sekian kampung di sekitarnya yang mempunyai struktur ganda. Maksudnya, dalam hal adat istiadat mereka berkiblat ke Minangkabau. Sebab dari sanalah nenek moyang mereka berasal.




Karenanya di kampung itu dikenal juga dengan sistim Suku dan gelar seperti jamaknya dikenal di Minangkabau. Dan sistim keluarga yang dianut juga sistim ibu sebagaimana jamaknya di Minangkabau. Namun dalam segi pemerintahan, mereka tunduk ke Riau.

Sebagaimana jamaknya di Minangkabau, dikampung ini pemuda-pemudanya juga belajar silat. Silat yang berkembang disini adalah silat aliran Pangian. Yaitu silat yang berasal dari negeri Pangian di Kabupaten 50 Kota dekat Lintau. Silat merupakan kebanggaan tua dan muda.

Di Pekanbaru (bagian 155)


Hari itu adalah hari jumat. Yaitu setiap Jumat dimana pedagang-pedagang bersampan dan berkapal kecil-kecil singgah dalam perjalanan mereka menuju Teratak Buluh di hulu dari Langgam di hilir. Penduduk kampung berdekatan seperti Bontu di seberang agak ke hilir, dan penduduk dari kampung Kutik di seberang agak ke darat sudah berdatangan. Hari sekitar jam sepuluh pagi ketika tiba-tiba dari hulu terlihat orang berlarian.



“Belanda! Tentara Belanda datang!” pekiknya.



Suasana di tengah pasar itu mula-mula terbengong-benging saja. Tapi begitu tembakan pertama terdengar, suasana panik segara menjalar. Penduduk berlarian bertemperasan. Pedagang-pedagang berusaha menyelamatkan jualannya. Mereka berteriak meminta uang pada pembeli yang begitu panik menjalar segera saja angkat kaki. Lupa membayar barang yang telah dia ambil. Namun penduduk yang berlarian itu tak lama kemudian  kembali lagi ke pasar darurat tersebut. Mereka dihalau ke sana oleh tentara Belanda yang rupanya telah mengepung kampung itu dari hulu dan dari hilir. Tentara yang datang tak berapa orang. Hanya enam orang. Tapi enam orang tentara Belanda dengan senjata lengkap memang sudah cukup membuat penduduk jadi terkencing-kencing.



“Ayo kumpul semua!” bentakan terdengar dari mulut seorang Leutenant.



Dan kembali serentetan tembakan dari sten menyalak. Anak-anak pada bertangisan. Perempuan pada terpekik dan mereka digiring ke lapangan kecil dimana tadi seorang pedagang berjual obat. Kaum lelaki dan perempuan segera saja dipisahkan. Ada sekitar tiga puluh orang lelaki yang terjaring. Mereka semua disuruh duduk berjongkok di tanah.



“Periksa!” Leutenant itu memberi perintah.



Dan tiga orang serdadu yang terdiri dari seorang sersan, seorang kopral dan seorang soldaat segera menghampiri para lelaki yang duduk mencangkung itu.



“Bagaimana, kita lawan mereka?” si Bungsu yang terdapat diantara para lelaki itu berbisik pada Bilal yang duduk di sebelahnya.

“Tunggu dulu. Nampaknya mereka bukan mencari kita” Bilal menjawab.



Dan karenanya si Bungsu hanya diam menanti. Hari itu adalah bulan ketiga dia berada di kampung Buluh Cina ini semenjak peristiwa penyergapan di pendakian Pasir putih itu.

Tiga peluru yang menghajar tubuhnya, ternyata tak cukup kuat untuk merenggut nyawanya. Atau katakanlah, bahwa Bilal telah menolong nyawanya dari renggutan maut. Lelaki itu melarikan tubuh si Bungsu yang luka parah ke Buluh Cina. Kemudian di kampung itu si Bungsu ditolong dengan obat-obatan kampung. Lukanya diobat dengan berbagai ramuan. Diantaranya dengan bubuk yang dibuat dari kikisan tempurung kelapa. Pedih dan sakitnya bukan main.



Namun Tuhan masih memanjangkan umurnya. Buktinya dia berangsur sembuh. Sementara itu senjata yang berhasil mereka rampas dari Belanda-Belanda di pendakian Pasir Putih telah dikirim ke Pekanbaru. Kepada anggota-anggota fisabilillah dan tentara Indonesia. Dan di kampung ini hanya ada dua pucuk bedil. Satu pada Bilal, yaitu sebuah sten, kemudian sebuah lagi pada Badu. Yaitu sebuah jungle. Namun kini kedua bedil itu berada di rumah mereka. Dan kini Bilal, Badu dan si Bungsu terperangkap di Pasar Jumat tersebut. Dengan perasaan tegang mereka menanti ketiga serdadu Belanda itu menggeledah mereka. Satu demi satu mereka diperiksa. Diraba pinggang celana dan kantong-kantong mereka.



“Apa yang mereka cari?” si Bungsu berbisik.

“Entahlah…!” jawab Bilal perlahan.

Dan akhirnya penggeledahan itu selesai. Tak seorangpun nampaknya yang dicari oleh tentara Belanda tersebut. Si Bungsu menarik nafas panjang.

Ketiga serdadu yang memeriksa itu berjalan ke tempat Leutenat yang memimpin mereka. Melaporkan hasil pemeriksaan. Namun mata Leutenat itu menatap tepat-tepat pada Bilal. Bilal yang tahu bahwa dia sedang diperhatikan mencoba untuk tak acuh. Mencoba menatap ke bawah. Si Bungsu juga melihat kelainan tatapan mata Leutenant tersebut. Dan tiba-tiba saja Leutenant itu melangkah mendekati mereka.



“Dia kemari…!” si Bungsu berbisik.

“Ya, mau apa dia?” balas Bilal sambil menoleh ke tempat lain acuh tak acuh. Padahal hatinya berdebar keras.

“Apakah bapak dia kenali?” Bungsu bertanya.

“Saya tak tahu….” Jawab Bilal.



Pembicaraan itu terhenti takkala tiba-tiba saja tangan Leutenant itu menjambak rambut Bilal. Menyentakkan ke atas sehingga kepalanya tertengadah. Hampir saja Bilal menghantam kerampang Leutenant itu dengan lutut karena berangnya. Tapi untung dia dapat menahan emosi. Dia sadar, kalau berbuat yang tidak-tidak, banyak penduduk yang akan jadi korban sia-sia. Dia menahan amarahnya sambil mengikuti sentakan pada rambutnya hingga dia berdiri. 

Di Pekanbaru (bagian 156)

Mata Leutenant itu menatap wajahnya dengan teliti.
“Hei, bukankah ini orang yang lewat di Simpang Tiga beberapa bulan yang lalu?” Leutenant itu berseru pada anak buahnya.

Anak buahnya menatap pada si Bilal. Dan si Bilal segera ingat pada saat mereka diperiksa di penjagaan Simpang Tiga. Yaitu ketika dia dengan si Bungsu dan Suman. Disaat dimana dia diludahi oleh seorang tentara KNIL. Lelaki yang lain pada berkuak. Tentara Belanda ini sebenarnya datang ke Buluh Cina bukannya mencari Bilal atau si Bungsu. Peristiwa lenyapnya tentara Belanda dengan sebuah Jeep dan sebuah Power Wagon tiga bulan yang lalu tak ada sangkut pautnya dengan kedatangan mereka kini.

Mereka datang kemari dalam rangka memburu seorang pembunuh. Seorang lelaki pribumi telah membunuh seorang pedagang di teratak Buluh. Pedagang itu orang asli Teratak Buluh yang terletak tiga jam bermotor tempel di hulu Teratak Buluh. Dan Belanda memburunya sampai kemari bukan tanpa alasan. Ada dua alasan kenapa tentara Belanda memburu pembunuh yang menghiliri sungai Kampar itu. Pertama, pedagang yang dibunuh itu adalah mata-mata Belanda. Kedua memang menegakkan hukum dengan baik meski di tanah jajahannya.



Mereka menyangka bahwa pembunuh itu berada di Pasar Jumat ini. Makanya mereka menghentikan motor tempel mereka di hulu. Kemudian dengan jalan kaki mengepung Pasar jumat ini. Tapi Leutenant yang memimpin pemburuan itu ternyata mengenali Bilal. Dan karena dia mengenal Bilal, dia segera ingat kembali akan lenyapnya teman-temannya tiga bulan yang lalu. Yaitu persis setelah lewatnya Bilal dengan kedua temannya di Simpang Tiga!



“Benar, dialah yang kita periksa dulu. Saya ingat benar, dia saya ludahi waktu dalam pos pemeriksaan…”

“Kalau begitu dia punya hubungan dengan lenyapnya teman-teman kita tiga bulan yang lalu. Cari temannya yang lain!” perintah leutenant itu menggelegar.



Si Bungsu kaget mendengar perintah itu. Dia ingin bertindak, namun tindakannya tinggal beberapa detik dari tindakan yang diambil oleh Bilal. Bilal yang pesilat itu, merupakan salah seorang pejuang dari pasukan Fisabilillah, segera menyadari bahwa bahaya yang hebat mengancam mereka bila dia tertangkap. Makanya begitu leutenant itu memerintahkan untuk mencari temannya yang lain, yang tak lain dari si Bungsu dan Suman, Bilal segera bertindak.

Saat leutenant tersebut masih mencekal rambut di kepalanya. Dengan sebuah tendangan yang penuh kebencian, lututnya menghantam perut leutenant itu. Leutenant itu mendelik matanya menahan sakit. Cekalannya pada rambut Bilal lepas. Kedua tangannya segera saja memegang perut yang dimakan lutut pejuang itu. Dan Bilal tak berhenti sampai disana, dia segera mencekik leher leutenant itu dari belakang. Kemudian sebilah pisau yang dia simpan di balik pinggang celananya segera saja keluar dan ditekankannya kuat-kuat ke dada sebelah kiri si Belanda .



“Kubunuh anjing ini kalau kalian bergerak!!” dia berteriak mengancam tentara Belanda yang lain. Yang semuanya masih tertegun kaget.



Seorang sersan mayor coba mengokang bedil. Namun saat berikutnya dia terhenti bersamaan dengan pekik si leutenant. Bilal rupanya memang tak sekedar menggertak.

Begitu dia lihat sersan itu mengokang bedil, pisau beracunnya dia tekankan. Demikian kuatnya, hingga menembus baju loreng si Letnan dan menembus dadanya. Meski pisau itu hanya menembus kira-kira sejari, tapi sakit dan kagetnya leutenant itu bukan alang kepalang. Kejadian tiba-tiba jadi tegang. Semua pada terdiam. Bilal sendiri tak tahu apa lagi yang akan dia perbuat. Dan si Bungsu segera menangkap keraguan ini. Dia bangkit dan melangkah. Namun gerakannya justru melindungi seorang kopral dari tatapan mata Bilal.

Kopral itu menyambar seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun. Dan persis seperti yang diperbuat Bilal, Kopral KNIL ini menodongkan bedilnya persis ke pelipis gadis kecil itu.



“Lepaskan leutenant itu, atau anak ini saya hancurkan benaknya!” kopral itu ganti menggertak.

2 komentar:

Asrul Armiska mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Asrul Armiska mengatakan...

cek lanjutannya disini, http://aarmiska.blogspot.com/2015/03/tikam-samurai-22.html