Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 539-540

Dalam Neraka Vietnam -bagian 539-540


Dalam Neraka Vietnam -bagian-539
tikamsamurai
“Cara itu sudah kuno dan tak ada hasil. Sudah puluhan, mungkin ratusan kali dilaksanakan oleh tentara Amerika ketika masih berkuasa di sini. Tapi tak seorang pun di antara Vietkong yang disiksa yang dapat menunjukkan dimana tempat tawanan perang itu disekap. Bukannya mereka tak mau buka suara, siapa yang tahan pada siksaan? Tetapi, begitu tempat yang ditunjukkannya dilacak, tempat itu sudah kosong. Bangsa kami sudah kenyang dengan perang melawan Barat. Seratus tahun melawan Perancis, belasan tahun melawan Amerika. Tempat penyekapan tentara Amerika selalu dipindah-pindahkan untuk menghindari sergapan….”
Buat sesaat mereka kembali sama-sama terdiam.
“Maaf, saya mengantuk…” ujar si Bungsu akhirnya, sambil mengangguk hormat pada gadis tersebut. Kemudian berdiri dan berniat masuk ke kamarnya.
Namun dia baru berjalan dua langkah ke arah kamarnya, ketika tiba-tiba dia menghentikan langkah. Tegak diam dengan mata mengecil.
“Ada yang datang….” ujarnya perlahan sembari membalikkan badan dan menatap Ami Florence. Gadis itu juga menatapnya.
“Maksudmu…?”
“Paling tidak ada tiga puluhan tentara di luar sana, kini berada sekitar lima puluh meter dari sini. Mereka akan mendatangi tempatmu ini, Nona….”
“Anda yakin…?”
Ucapannya belum berakhir, ketika abangnya muncul dari lantai bawah. Di bahunya tergantung sebuah handbag, mungkin berisi pakaian dan uang sekedarnya. Di tangannya ada sebuah bedil otomatis dan di pinggangnya tiga granat. Semua alat perang itu buatan Amerika.
“Dragon menelepon, malam ini seregu tentara akan menggeledah bar ini dan akan menangkap kita….” ujar abang Ami.
Ami Florence menatap pada si Bungsu.
“Anda mampu mendengar langkah mereka kendati mereka masih jauh?” tanya gadis itu, nyaris tak percaya.
“Saya tak mendengar apapun….”
“Tetapi…”
“Naluri saya merasakan ada bahaya yang amat besar yang mengancam kita di rumah ini….”
“Bagaimana….”
“Tidak perlu kita bahas sekarang bagaimana saya dapat merasakan datangnya bahaya, Nona. Nampaknya kita harus menyingkir segera…”
Gadis itu menatap si Bungsu dengan tatapan separoh takjub.
“Ya Tuhan, bencana itu ternyata datang lebih cepat….” itulah akhirnya yang bisa diucapkan gadis tersebut sambil bergegas menuju ke kamarnya.
Ketika dia kemudian muncul kembali, pakaiannya sudah bertukar dengan jeans dan kaos serta sebuah pistol. Saat itu serentetan tembakan terdengar di luar, di bahagian depan bar.
“Mereka sudah mulai. Ambil barang Anda, Tuan….” ujar abang Ami Florence kepada si Bungsu.
Si Bungsu bergegas ke kamarnya, memakai sepatu, menyambar ransel. Kemudian bergabung di ruang tengah di lantai atas bar itu. Ami menuju ke dinding di belakang sofa. Di sana ada sebuah lukisan cat minyak, lukisan enam ekor kuda hitam dan seekor kuda putih di bahagian depan, tengah berlari di sungai yang dangkal. Air sungai tersibak tinggi ke kiri dan ke kanan akibat rancahan kaki kuda yang berlari kencang itu. Sebuah lukisan yang indah. Di balik lukisan itu ternyata ada sebuah tombol. Ami menekan tombol tersebut. Sebuah lampu merah sebesar ujung korek api menyala.
Lukisan dikembalikan ke posisi semula. Tombol dengan lampu merah itu tertutup kembali. Di bawah, sebuah ledakan granat membuat pintu bar hancur berkeping. Beberapa detik kemudian belasan tentara Vietnam menghambur masuk sembari memuntahkan peluru dari senapan otomatis merek Kalasinkov buatan Rusia.
“Kita berangkat….” ujar Ami.
Didahului abang Ami Florence, mereka menuruni tangga. Ami di tengah dan si Bungsu paling belakang. Hanya beberapa detik, mereka sudah sampai di lantai bawah. Menjelang sampai di lantai bawah, abang Ami mencabut sebuah paku di dinding. Lantai di depan tangga paling bawah kelihatan bergeser secara otomatis. Ada tangga menuju ruang bawah tanah. Mereka segera turun, dan lantai beton setebal lebih kurang setengah meter dengan ukuran satu meter persegi itu segera merapat kembali hanya dua detik setelah si Bungsu masuk.
Hanya dalam hitungan detik setelah lantai itu merapat, dua tentara Vietnam yang selesai mengobrak-abrik isi bar itu sampai pula di tangga tersebut. Namun mereka tak melihat sesuatu yang ganjil di lantai. Lantai itu terbuat dari ubin yang nampaknya dibuat berpetak-petak besar sebagai kamuflase. Kalaupun orang melihat dengan cermat, takkan kentara bahwa salah satu dari petak-petak yang sama besar itu adalah pintu rahasia yang bisa dibuka dan ditutup. Kini pintu rahasia itu sudah mustahil dibuka, kecuali dengan bom. Sebab alatnya sudah dirusak.
Alat itu adalah paku yang tadi dicabut abang Ami saat akan turun. Seorang kapten, pimpinan peleton yang melakukan penyergapan itu, segera memerintahkan tiga anak buahnya untuk naik ke lantai atas. Ketiga prajurit itu segera menghambur. Sesampai di atas, mereka menembaki kamar, tempat tidur dan sofa tamu.
“Mereka tak ada disini….” lapor salah seorang dari yang naik bertiga tadi.


Dalam Neraka Vietnam -bagian- 540

makmur hendrik


 

Si Kapten diiringi belasan tentara lainnya segera naik. Mereka memeriksa laci-laci, koper, lemari, merobek tilam dan bantal dengan sangkur dalam usaha mencari dokumen. Karena tak ada apapun yang ditemukan, si kapten menatap dinding ruangan atas tersebut. Matanya yang sipit memperhatikan foto lukisan dan asesori lainnya yang bergantungan di dinding. Dia memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan semua yang tergantung itu. Ketika lukisan tujuh ekor kuda di belakang sofa diangkat, kelihatan sebuah tombol kecil berwarna merah.
Tentara yang menurunkan lukisan itu memanggil komandannya. Si komandan dan dua perwira bawahannya segera berkerubung ke sana. Mereka mengerutkan kening, memikirkan tombol apa itu gerangan. Si komandan meraba dinding di sekitar tombol kecil itu, hanya sesaat, tiba-tiba wajahnya berubah pucat.
Bom….!” teriaknya sambil melangkahi sofa untuk lari menghindar.
Namun itulah ucapannya yang terakhir. Sebuah letusan yang amat dahsyat segera terdengar. Gedung berlantai dua yang digunakan selama bertahun-tahun untuk bar itu, berikut sekitar 25-an tentara Vietnam yang ada di dalamnya, hancur lebur menjadi serpihan yang tak dikenal! Ami, abangnya serta si Bungsu, yang berada hanya dua meter di bawah lantai bangunan tersebut, merasakan guncangan yang amat keras. Namun lantai di bawah tanah itu nampaknya memang dirancang khusus untuk perlindungan.
Selain guncangan yang cukup keras, tak ada akibat lain bagi ruang bawah tanah tersebut. Sebuah lampu neon yang dihidupkan dengan aki menerangi ruang di mana mereka kini berada.
“Mereka semua, berapa orang pun jumlahnya di atas sana, sudah menjadi serpihan yang tak bisa dikenali….” ujar Ami perlahan.
Mereka saling bertatapan. Si Bungsu menjadi faham, bahaya yang senantiasa mengancam, membuat rumah ini dilengkapi dengan ruang bawah tanah untuk bersembunyi dan sekaligus bom waktu yang juga tersembunyi di balik dinding atau mungkin di bawah tempat tidur, untuk menghancurkan siapa pun yang berniat mencelakai pemilik rumah ini. Si Bungsu juga yakin banyak rumah-rumah di kota ini, mungkin banyak rumah di seluruh kota-kota Vietnam, yang dipersiapkan oleh pemiliknya dengan bom waktu atau ranjau seperti rumah ini.
Perang ganas yang amat panjang membuat orang harus tetap waspada setiap detik akan munculnya bahaya yang bisa merenggut nyawa mereka.
“Kalian menjadi buronan sekarang. Kemana kalian akan pergi? Seluruh pelosok negeri ini dipenuhi oleh tentara. Dalam waktu singkat foto kalian tentu sudah akan disebarkan….” ujar si Bungsu sambil menatap Ami Florence.
Gadis itu menarik nafas. Menatap pada abangnya. Kemudian menatap pada si Bungsu.
“Kemungkinan buruk seperti ini sudah dikaji akan terjadi. Karenanya, apa yang akan kami perbuat dan kemana kami akan pergi juga sudah diprogram….” ujar Ami perlahan.
“Sebaiknya kita ke ruang kuning….” ujar abang Ami Florence.
“Ya, saya rasa tak ada yang harus kita tunggu di sini. Mari pergi….” ujar Ami sambil menyandang ranselnya.
Abang Ami bernama Le Duan, yang di atas tadi memperkenalkan dirinya kepada si Bungsu, segera melangkah duluan. Ruangan di mana kini mereka berada hanya ruangan kecil ukuran dua kali dua meter. Ada beberapa senter, tali temali, sekop, linggis, bedil, kotak-kotak peluru dan beberapa granat tangan. Le Duan mengambil sebuah senter, kemudian mulai melangkah. Di hadapan mereka ada dinding tanpa pintu. Ada beberapa paku tempat menggantungkan tali temali dan mantel. Le Duan mengambil tali nilon, kemudian menarik pakunya.
Dia berjalan ke sisi dinding yang di kanan. Di dinding itu ada beberapa lobang bekas paku yang sudah dicabut. Le Duan memasukan paku itu ke salah satu lobang tersebut. Tiba-tiba terdengar suara getaran lemah, lalu dinding di depan mereka, dimana tadi Le Duan mencabut paku, bergerak ke kiri. Dalam beberapa detik, pertemuan dua dinding di kanan mereka terlihat menjarak. Lalu dinding itu berhenti setelah bergeser sekitar satu meter. Persis untuk orang lewat. Le Duan menghidupkan senter, lalu melangkah ke ruang di balik kamar di mana kini mereka berada.
Ami menyuruh si Bungsu berjalan duluan. Begitu mereka sampai di kamar sebelah, Ami menekan sebuah tombol di dinding. Pintu rahasia itu kembali tertutup. Suasana tiba-tiba menjadi gelap gulita. Ami menghidupkan senter, sementara abangnya sudah berjalan duluan di depan, menyelusuri lorong sempit bawah tanah itu. Kini Ami berjalan di depan, si Bungsu mengikuti dari belakang. Ada dua tikungan yang mereka lewati, kemudian si Bungsu melihat Le Duan kembali mencabut sebuah paku di dinding. Dinding di kanan mereka terkuak. Ada ruangan di baliknya.
Mereka masuk satu demi satu. Ami menekan sebuah tombol. Ruangan itu tiba-tiba diterangi lampu berkekuatan sepuluh watt. Si Bungsu segera tahu, kamar inilah yang tadi disebut Le Duan sebagai ruang kuning. Ruangan itu berukuran sekitar tiga kali dua meter. Ada meja kecil, ada tumpukan barang-barang militer, ada peta di dinding.
“Saya akan memeriksa radio. Mengirim pesan, sekalian memeriksa speed boat….” ujar Le Duan.
Tanpa menunggu jawaban adiknya, lelaki itu mulai menghidupkan senter saat dia melangkah keluar dari ruang tersebut.

Tidak ada komentar: