Rabu, 06 November 2013

tikam samurai - Dalam Neraka Vietnam -bagian 690-691



Dalam Neraka Vietnam-bagian-690
gari“Hei, Negro…” ujar salah seorang di antara tentara yang tidak menodongkan bedil, yang bersenjata pistol di pinggang, ke arah Cowie dalam bahasa Inggris.
Cowie menatap dengan diam ke atas.
“Sambut ini…” ujarnya sambil memperlihatkan sebuah gari.
Sebelum habis ucapannya dia sudah melemparkan belenggu terbuka itu, yang disambut oleh Cowie.
“Pasangkan pada kedua tangan orang itu…” ujar tentara tersebut sambil menunjuk pada si Bungsu.
Cowie segera berjalan dalam air kental itu ke arah si Bungsu. Dia faham benar tak ada gunanya memperlambat melaksanakan perintah tentara Vietnam
tersebut, apalagi membantahnya. Cowie, dan siapapun tentara Amerika, yang pernah merasakan tertangkap oleh Vietnam tahu benar bahwa terhadap
tawanan tentara Amerika tentara maupun milisi Vietnam tak memiliki kata iba, kasihan atau bentuk timbang rasa apapun. Mereka dengan segala senang hati
akan menghamburkan peluru dengan sedikit alasan saja. Bahkan dengan alasan yang kadang-kadang tak masuk akal.
Itulah sebabnya ketika tentara Vietnam itu melempar kan gari ke arahnya, Cowie segera menyambutnya. Kemudian ketika diperintah untuk membelenggu si Bungsu, Cowie segera mendekati orang Indonesia itu, untuk melaksanakan perintah yang diberikan kepadanya. Si Bungsu juga faham bahwa tentara Vietnam
tak suka dibantah. Maka ketika Cowie mendekatinya dengan belenggu di tangan, yang diperbuat si Bungsu adalah menjulurkan kedua tangannya ke arah Cowie.
Dia bisa memahami dan bersyukur bahwa Cowie memasangkan pula gari itu dengan baik.
Sebab, jika misalnya belenggu itu tidak terkunci dengan benar, maka kemungkinan yang terjadi setelah diperiksa di atas adalah si Bungsu langsung ditembak.
Atau yang ditembak justru Cowie. Bukannya hal yang mustahil pula bahwa yang ditembak bukan salah seorang di antara mereka, melainkan kedua mereka
sekaligus. Mereka berusaha untuk tidak saling memandang ketika memasang belenggu itu, agar tidak ditafsirkan sebagai memberi isyarat atau apapun yang
bisa diartikan sebagai usaha persiapan melarikan diri.
Usai belenggu dipasangkan, tali nilon sebesar empu jari kaki dilemparkan ke bawah. Tali tersebut adalah tali nilon yang biasanya dipergunakan untuk menarik
mayat dari lobang sekapan itu ke atas.
“Ikat kedua pergelangan tangannya yang dibelenggu itu…” ujar tentara Vietnam yang melemparkan belenggu ke pada Cowie.
Cowie kembali mengambil ujung tali nilon tersebut. Lalu membuat jeratan, sebagaimana beberapa hari yang lalu dia juga membuat jeratan di ujung tali yang
sama, untuk di kalungkan ke leher Sersan Mike Clark yang sudah mati. Jerat itu kemudian dia kalungkan ke tangan si Bungsu yang dibelenggu. Setelah itu tali plastik tersebut dia lilitkan di tengahnya. Ikatan seperti itu mencegah tangan si Bungsu tidak terluka atau terlalu sakit ketika tubuh si Bungsu ditarik ke atas.
“Tarik…!” ujar tentara Vietnam yang berpistol, begitu melihat Cowie selesai mengikat kedua pergelangan tangan si Bungsu.
Tiga orang tentara Vietnam segera menarik dengan kasar tali tersebut. Tarikan kuat dan tiba-tiba itu membuat tubuh si Bungsu terputar dan wajahnya
menghantam dinding lobang. Hal itu terjadi sebelum dia sempat mengantisipasi dengan menekankan kakinya ke dinding. Benturan diikuti tarikan yang
menyebabkan wajahnya tergesek dengan keras ke dinding, mengakibatkan hidung dan kening si Bungsu berdarah. Sesampai tubuhnya di atas dia segera
digelandang menuju ke perkampungan. Sementara dua tentara lainnya segera pula menutup lobang tempat menyekap para tawanan tersebut.

Dalam Neraka Vietnam-bagian-691
Si Bungsu tiba-tiba merasa tubuhnya dijalari rasa hangat yang alangkah nikmatnya. Hal itu disebabkan cahaya matahari yang selama ini tak pernah
menyentuh tubuhnya, kini hal itu langsung dia rasakan. Dia terkejut tatkala sambil melangkah dia melihat ke arah kakinya. Kakinya pucat bukan main. Selain
pucat juga berkerut karena lama didisekap dalam lobang tersebut. Barangkali sudah lebih dua bulan. Selama itu pula tubuhnya terendam. Dia menjadi
semakin faham kenapa banyak tahanan yang mati perlahan dalam lobang sekapan itu.
Untunglah selama dalam penyekapan itu dia tetap menjaga kondisi dengan mengatur pernafasan, kemudian melakukan gerakan-gerakan seperti senam.
Sehingga kendati kaki, pinggang dan tangannya mengkerut karena air, namun reaksi dan gerak bahagian-bahagian tubuhnya tersebut tetap normal. Apalagi
kini tubuhnya mendapat cahaya panas matahari secara langsung. Keningnya berkerut tatkala terpandang pada kedua pergelangan tangannya yang digari.
Lobang gari itu ternyata terlalu besar bagi tangannya yang sudah mengecil.
Bahkan jikapun tangannya dia kepalkan, dia yakin kepalan tangannya itu tetap saja bisa lolos dari lobang gari tersebut. Rasa hiba terhadap dirinya, terhadap
tawanan yang masih disekap dalam lobang, berangsur-angsur berobah menjadi marah. Dengan sedikit menggoyang tangan, gari di tangannya itu meluncur
turun. Gari yang di tangan kanannya saat meluncur ke bawah dia tahan dengan telapak tangan. Digenggamnya erat-erat. Gari yang di tangan kiri terhenti di
punggung buku-buku jarinya yang dia kepalkan. Dia mempelajari situasi di mana dia kini berada.
Jalan yang mereka tempuh ternyata melintasi hutan bambu. Lalu dia mempelajari jumlah tentara Vietnam yang menggiringnya. Hanya ada empat orang. Dua
milisi yang tadi menodongkan bedil ke lobang saat dia akan ditarik, ternyata petugas yang menjaga di pondok dekat lobang penyekapan tersebut. Kini mereka
tetap tinggal di sana. Dua orang tentara, termasuk si komandan yang berpistol, berjalan di depannya. Dua orang lagi di belakang.
Namun hatinya mulai bimbang. Masih tetap cepatkah reaksi tangan dan kakinya? Masih sekuat dulukah pukulan dan tendangannya?
Dia mencoba mengepalkan tengannya kuat-kuat. Kepalan tangannya tetap terasa kuat dan kukuh. Urat-urat darahnya mengencang dan darahnya terasa
berjalan normal. Langkahnya menjadi lambat saat dia terbatuk keras. Dia berjalan lagi, dan tiba-tiba batuk keras dan panjang kembali menyergapnya.
Langkahnya terhenti. Dia sampai terbungkuk dengan tangan menahan dadanya dan terasa sakit akibat batuk tersebut. Dua tentara yang di belakang dengan
bedil tetap ditodongkan, terhenti pada jarak sedepa. Saat itulah gari yang sudah lepas dari pergelangannya dia hantamkan ke tentara terdekat.
Bersamaan dengan itu tangan kirinya menepis sekaligus merenggutkan ujung bedil tentara Vietnam tersebut. Belenggu berwarna putih itu menghantam
bahagian belakang telinga si tentara. Dia rubuh pingsan bersamaan dengan berpindah tangannya bedil yang dia todongkan ke tangan si Bungsu. Tentara yang
seorang lagi belum sempat mengetahui apapun, ketika dadanya dihantam popor bedil yang dihentakkan oleh si Bungsu dari posisi berlutut.
Tentara itu mengeluh, matanya mendelik. Lalu dia jatuh berlutut dan terlentang di jalan. Kejadian itu amat cepat, hanya dalam hitungan detik!
Saking cepatnya peristiwa itu terjadi menyebabkan dua tentara yang berjalan di depan, yang menoleh ke belakang karena mendengar ada keluhan, tak segera
bisa menyadari apa sesungguhnya yang sedang dan telah terjadi. Sesaat mereka hanya tertegun. Mereka tiba-tiba aja melihat tawanan yang mereka giring itu,
yang kini masih dalam posisi berlutut di kaki kirinya, sudah menodongkan ujung bedil kepada mereka.
Dalam gerakan yang amat cepat, orang itu sudah melakukan dua gebrakan yang langsung melumpuhkan dua teman mereka berada di belakang. Padahal
kedua teman mereka itu mengawal dengan telunjuk siaga di pelatuk bedil. Sungguh-sungguh tak pernah mereka bayangkan tawanan yang mereka giring ini
bisa bergerak secepat dan setangguh itu. Kini semuanya terlambat sudah.
“Taruh senjata kalian, di tanah. Letakkan perlahan. Saya sudah membunuh lebih dari seratus tentara, karenanya jangan bunuh diri dengan mencoba
melakukan tindakan bodoh…” ujar si Bungsu perlahan dalam bahasa Inggris.
Kedua tentara itu tak memiliki pilihan lain. Tatapan mata dan kata-kata yang keluar dari bibir tawanan di depan mereka menggambarkan sikap yang amat
profesional. Mereka menuruti perintah si Bungsu, meletakkan senjata di tanah. Dengan tangan kiri di pelatuk bedil, tangan kanan si Bungsu meraih belenggu
yang tergeletak di tanah. Kemudian melemparkannya dengan kuat dan cepat ke arah si komandan. Gari itu menetak kening si komandan, matanya juling.
Tanpa sempat mengeluh, tentara itu rubuh, pingsan! Yang seorang lagi ternganga dan menggigil.
Si Bungsu melangkah ke arahnya, kemudian tangannya bergerak. “Pletak!’ Si Bungsu mendaratkan ruas-ruas jari tengahnya lewat sebuah pukulan melingkar ke
belakang telinga tentara yang tegak seperti kehilangan semangat itu. Pukulan tersebut menotok urat darahnya dan membuat dia rubuh dalam keadaan
pingsan. Si Bungsu menyambar tali nilon sebesar empu jari kaki, yang tadi dipergunakan untuk menarik dirinya dari dalam sekapan.
Dia bergerak cepat, merampas bedil dan sebuah pistol milik ke empat tentara itu. Kemudian kembali ke lobang penyekapan.
Menjelang sampai ke tempat penyekapannya dia masuk ke hutan bambu. Dan mendekati pondok penjagaan dari sisi kanan. Kedua milisi Vietnam itu ternyata
sedang berjudi dengan kartu ceki. Dinding pondok kecil itu hanya dibuat sekitar tujuh puluh lima sentimeter. Dengan demikian, jikapun pengawal duduk, dia
masih bisa melihat langsung ke lobang penyekapan yang terletak sekitar empat meter dari pondok. Selain itu, dengan dinding yang hanya separoh tersebut,
mereka yang dipondok juga bisa mengawasi seluruh penjuru sekitar pondok itu.

Tidak ada komentar: