Senin, 04 November 2013

tikam samurai - Di pekanbaru (bagian 130-131-132-133-134-135-136)

Di Pekanbaru (bagian 130)


Kota Pekan Baru yang disebut-sebut sebagai dagang baru yang ramai disinggahi pedagang dari Minangkabau itu ternyata hanya sebuah kampung yang tak lebih besar dari Payakumbuh.

Malah dalam beberapa hal Payakumbuh lebih bagus. Jalannya sudah diaspal. Sementara Pekanbaru umumnya jalannya masih tanah. Di Payakumbuh sudah banyak rumah-rumah gedung yang bagus. Sementara di Pekan Baru hanya rumah papan.

Yang ramai hanyalah sekitar Pasar Bawah dan dekat Sungai Siak dimana terdapat sebuah pelabuhan kecil. Karena pelabuhan inilah rupanya kota kecil itu jadi ramai.

Orang banyak berdagang ke Kepulauan Riau yang mata uangnya sama dengan mata uang Malaya dan Singapura. Yaitu mata uang dolar. Sebahagian besar dari kampung yang disebut kota itu terdiri dari kebun getah dan rawa-rawa. Dibahagian kehulu pelabuhan ada sebuah mesjid yang indah. Mesjid Raya yang dibangun Sultan Siak Sri Indrapura. Di sekitar mesjid ini kampungnya bolehlah sedikit. Bersih dan teratur.



Tapi jauh dari situ, di dalam hutan-hutan karet yang terurus itu, masih sering orang diterkam harimau. Jauh arah ke barat, ada sebuah lapangan terbang darurat yang dulu dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Lapangan itu tak bernama. Terletak di kampung kecil yang berpenduduk sekitar seratus orang. Kampung itu bernama Simpang Tiga.

Tak ada yang baru di kota itu nampaknya. Tak ada yang bisa dibanggakan. Tapi anehnya, orang-orang dari Luhak nan Tigo, yaitu Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh banyak yang pindah kemari.

Mereka membuat rumah-rumah papan disepanjang pinggir jalan di Pasar Bawah. Pasar itu makin lama makin lebar ke barat. Akhirnya berdiri pula sederetan toko darurat di bahagian atas dari Pasar Bawah di dekat pelabuhan itu.

Orang-orang menyebutnya dengan Pasar Tengah. Disinilah pedagang-pedagang itu membuka toko. Menjual beras, sayur-sayuran dan menukarnya dengan karet.

Karet mereka jual pada kapal-kapal yang berlayar ke Kepulauan Riau untuk kemudian dijual ke Malaya dan Singapura. Kota ini udaranya terasa panas. Apalagi si Bungsu yang baru saja datang dari Bukittinggi.



Perbedaan udara terasa sekali. Namun dia merasa tenteram di kota ini. Disini tak ada orang yang mengenalnya. Dia bebas kemana-mana. Perjalanannya dengan truk dari Payakumbuh dahulu ternyata tak semudah dan secepatnya yang dia bayangkan. Disangkanya bisa dalam dua hari.Ternyata dia baru sampai setelah menelan waktu sepekan!.

Bayangkan, untuk menempuh jarak yang lebih kurang 200 km dari Payakumbuh itu dibutuhkan waktu sepekan! Berkali-kali truk gaek itu patah per. Berkali-kali bannya pecah. Berkali-kali truk itu terpuruk kedalam lobang jalan yang dalamnya sedalam Ngarai Sianok! Bah! Benar-benar perjalanan kalera!.

Dan ketika sampai ke Pekan Baru, semua sayur yang dibawa pedagang sudah jadi bubur. Yang selamat hanyalah beras dan bawang. Lain daripada itu luluh lantak semua.

Dan karena terlambat itu, si Bungsu telah ketinggalan kapal.



“Sudah lama berangkat kapal itu?” tanyanya pada seorang tua di pelabuhan.

“Maksudmu Kapal Suto Maru ke Singapura?” orang tua itu balik bertanya.

“Ya. Suto Maru itu..”

“Baru kemaren. Seharusnya lima hari yang lalu. Tapi karena kerusakan mesin, baru kemaren sore dia berangkat…’ Si Bungsu terterangah.

“Kemaren sore…”

“Ya. Kemaren..”

“Jam berapa?”

“Kalau tidak salah jam lima…”



Si Bungsu mengucap-ngucap kecil dalam hatinya. Kemaren sore jam tiga dia sudah sampai di Simpang Tiga. Celakanya truk tua itu rusak lagi disana. Tali kipasnya putus. Kaburatornya bocor. Dan mereka menanti sampai malam. Baru malam tadi dia masuk kota. Padahal jaraknya antara Simpang Tiga dengan kota ini hanya sembilan kilometer! Memang belum nasibnya untuk bisa berangkat.

Tapi kalaupun dia datang sore kemaren, dia akan susah jua. Sebab dia tak punya paspor. Nah, hari-hari tak ada kapal ini dia pergunakan untuk mengurus paspor. Dengan memberikan uang lebih banyak, paspornya cepat saja keluar.

Dalam keterangan dalam paspor itu disebutkan bahwa dia anak kapal. Dan pemberian paspor saat itu tak bertele-tele. Tak banyak berbelit-belit.



Untuk memudahkan mengetahui bila ada kapal ke Singapura atau ke Jepang yang datang, dia lalu menginap di sebuah penginapan kecil dekat pelabuhan itu.

Penginapan itu dua tingkat. Bangunannya terbuat dari papan. Bahagian atas untuk penginapan. Bahagian bawah rumah makan. Kalau akan mandi cukup menyeberangi jalan kecil di depan penginapan itu maka akan sampailah di Sungai Siak. Mandi mencebur saja di sungai itu.

Sungai itu airnya berwarna merah, airnya bagus untuk memasak atau diminum. Dan mencuci kain tak ada pengaruhnya. Artinya kain tak ikut menjadi merah karena warna air tersebut.

Sebagaimana jamaknya sebuah pelabuhan, kota itu menjadi persinggahan banyak orang. Tempat pertemuan banyak suku bangsa. Di penginapan kecil tempat si Bungsu menginap itu juga menginap berbagai suku.



Di kamar sebelahnya menginap dua orang Tapanuli. Di kamar depannya menginap orang Jawa. Dan bahkan di kamar depan sekali, yaitu kamar besar yang menghadap ke Sungai Siak, menginap dua orang asing. Mungkin orang Amerika. Yang satu lelaki, yang satu perempuan. Mereka kabarnya akan terus ke Kerajaan Siak Sri Indrapura jauh di hilir kota Pekanbaru ini. Mereka akan mengadakan penelitian sejarah.

Keduanya belum begitu berumur. Mungkin sekitar tiga puluh lima umurnya. Tapi yang perempuan bertubuh menggiurkan dan berwajah cantik. Kemana-mana mereka membawa alat pemotret.

Yang orang Tapanuli kabarnya beberapa kali kerja di kapal. Kini mereka tengah menunggu kapal lain untuk melamar pekerjaan. Mereka sudah bosan bekerja di kapal kecil yang ke Kepulauan Riau. Mereka ingin bekerja di kapal besar yang trayeknya ke luar negeri.

Sementara yang orang Jawa kabarnya adalah mantri kebun kelapa sawit. Mereka datang kemari untuk mengadakan penelitian terhadap peremajaan kebun-kebun kelapa sawit. Hanya malangnya tak diketahui kenapa mereka sampai ke Pekanbaru.

Di kota ini yang mereka jumpai hanya kebun karet. Tak sepohonpun kelapa sawit. Kabarnya mereka menanti kapal untuk membawa mereka kehilir. Menurut kabarnya pula di hilir kota ini, yaitu di Okura ada perkebunan kelapa sawit. Kesanalah mereka akan pergi.

Yang tak habis dimengerti oleh si Bungsu adalah, kenapa mereka bisa berangkat dengan meraba-raba begitu. Kalau mereka pegawai negeri, kenapa tak ada petunjuk yang pasti?

Tapi itu urusan mereka, pikirnya.



Sementara penginap-penginap lainnya umumnya orang Minang, pekerjaan mereka berbagai ragam. Siang hari dia lihat ada yang berjalan hilir mudik. Mencari barang yang patut dibeli dengan harga murah. Kemudian dijual dengan harga mahal. Tak peduli apa barangnya.

Ada juga pedagang-pedagang yang menanti kapal untuk berlayar ke Kepulauan Riau. Pedagang-pedagang ini sudah mempunyai bekal yang cukup. Ada yang membawa tembaga, aluminium, ada pula yang membawa kain batik. Kabarnya barang-barang seperti itu amat laris di Kepulauan Riau atau di Malaya.

Sementara ada pula yang malam-malam hari menggelar tikar dihalaman penginapan. Memasang lampu, kemudian meniup salung. Yang satu lagi berdendang. Nah, kegiatan mereka inilah yang banyak menarik peminat. Hampir tiap malam halaman penginapan itu penuh oleh pengunjung yang ingin mendengarkan Saluang tersebut. Sudah tentu semuanya orang Minang.



Mereka pada melemparkan uang ke atas tikar meminta lagu-lagu yang mereka sukai. Malam itu terang bulan. Di bawah kelihatan ramai sekali. Si Bungsu tak ikut turun. Dia hanya melihat dari jendela kamarnya yang kebetulan menghadap ke jalan.

Pada akhir bait-bait pantun selalu terdengar pekik sorak orang. Dan dari jendela si Bungsu melihat orang Amerika itu asik memotret-motret dengan tustelnya. Lampu pijarnya menyala-nyala. Setiap kali habis memotret, dia menukar lampunya yang telah hangus itu dengan yang baru.

Tapi si Bungsu hanya melihat yang lelaki. Sementara perempuannya yang bertubuh menggiurkan dan berwajah cantik itu tak kelihatan.

tikam samurai (bagian 131)

Anak muda ini sudah berniat untuk takkan menjatuhkan tangan kejam kepada orang. Sejak dia meninggalkan rumah Kari Basa di Bukittinggi, dia telah berniat demikian.

Ketika terjadi peristiwa dengan Datuk Hitam di Kedai dekat stasiun kereta api Payakumbuh itupun sebenarnya dia tak berniat untuk mencari huru hara.

Apalagi saat itu dia merasa berada di kampung halamannya. Dia tak sampai hati mencelakakan orang kampungnya sendiri.

Namun ada pendapat orang-orang tua, bahwa bagi seorang pemelihara “orang halus” meskipun dia telah berniat untuk tak lagi berhubungan, akan tetap ada kekuatan lain yang suatu saat memaksanya untuk berhubungan lagi dengan peliharaannya.

Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang yang mempunyai “harimau” untuk menjaga dirinya. Hal-hal seperti ini banyak terjadi di Minangkabau. Demikian pula halnya dengan si Bungsu. Meskipun dia telah berniat untuk tidak terlibat dalam perkelahian, tapi “himbauan” samurai itu mempunyai kekuatan sendiri.

Kekuatan itu terkadang datangnya tanpa dapat dicegah. Jika tidak dikehendaki oleh pemiliknya maka orang lainlah yang menghendaki.

Dalam hal peristiwa Datuk Hitam di Payakumbuh, yang memaksa dia untuk mepergunakan samurai itu justru Datuk itu sendiri. Betapapun susahnya si Bungsu untuk menahan diri agar tak tersinggung, namun Datuk itu seperti “memaksa” agar dia mempergunakan samurainya.

Si Bungsu barangkali takkan marah kalau yang dihina Datuk itu dirinya saja. Tapi begitu Datuk itu memaksa perempuan muda itu untuk melakukan hal-hal yang tidak-tidak, amarahnya segera bangkit. Dan terjadilah peristiwa itu.

Di Pekanbaru ini, sejak mula untuk menghindarkan dirinya terlibat dalam perkelahian, dia sengaja meninggalkan samurainya di penginapan.

Berhari-hari dia berjalan di pelosok kota tanpa samurainya. Namun suatu hari, yaitu di hari ke enam dia berada di kota itu, entah apa sebabnya, tahu-tahu dia mendapatkan dirinya berada ditengah kota dengan samurai itu ditangannya.

Dia benar-benar jadi sadar ketika duduk minum kopi di sebuah lepau cina. Ketika akan duduk, dia meletakkan samurai itu di atas meja.
“Jangan di sini tongkatmu diletakkan sanak, sandarkan saja di bawah….’ Kata orang yang duduk diseberang tempatnya. 

tikam samurai (bagian 132)


Ditatapnya “tongkat” yang melintang diatas meja itu.
“Samurai…” bisik hatinya. Kenapa sampai kubawa hari ini? Pikirnya lagi.
Dia coba mengingat apa sebabnya ketika akan meninggalkan bilik penginapan tadi pagi dia membawa samurai ini.
Tak ada sebab yang luar biasa. Rasanya setelah berpakaian, dia lalu bersisir. Kemudian membetulkan kasur.  Dan di bawah bantal dia terpegang pada samurainya. Tanpa sadar sepenuhnya, dia meletakkan samurai yang biasanya dia simpan di bawah bantal itu ke atas meja.

Selesai membetulkan kasur dan bantal, dia memakai sandal. Lalu sambil melangkah keluar, tangannya mengambil samurai di atas meja itu. Dan lupa untuk menyimpannya lagi ke bawah bantal. Lalu kini samurai itu terletak dia tas meja.



“Ambil tongkatmu itu bung!!” dia dikagetkan oleh suara lelaki itu kembali. Dengan gugup dia mengambil tongkatnya.

“Ya. Maaf, maaf….” Katanya sambil berjalan. Lebih baik dia mencari meja lain saja daripada duduk semeja dengan lelaki itu. Perasaannya mulai tak sedap. Kalau dia duduk saja di sana, mungkin bisa terjadi perkelahian yang tak diingini.



Makanya diambil tempat di sudut ruangan. Memesan segelas kopi es dan sepiring sate Pariaman. Ketika akan memakan sate, matanya melirik lagi kepada lelaki yang tadi mengherdiknya. Lelaki itu kelihatan gelisah. Sebentar-sebentar matanya memandang ke jalan raya.

Si Bungsu menjadi maklum, lelaki itu jadi pemberang karena ada sesuatu yang menyebabkan dirinya gelisah. Ketidak seimbangan pikiran membuat dia mudah tersinggung. Si Bungsu lalu makan satenya. Ketika dia akan meminum kopi esnya, seorang lelaki lain datang ke dekat lelaki yang menghardiknya tadi.

Mereka berbisik. Dan lelaki yang membentak si Bungsu tadi bergegas tekad. Nampaknya dia ingin melangkah ke arah si Bungsu. Namun deru kendaraan bermotor di luar membuat dia menghentikan langkahnyanya. Tapi tak urung dia menoleh dan berkata tajam:



“Mata-mata jahanam! Kau jual negerimu pada Belanda. Mampuslah kau!” dan seiring dengan ucapan ini, tangannya bergerak sangat cepat ke pinggang. Lalu tersenyum. Hanya naluri si Bungsu yang amat tajam itu sajalah yang menyelamatkan dirinya dari celaka.



Firasatnya merasa bahwa ada bahaya yang meluncur ke arahnya bersamaan gerak tangan lelaki itu. Dengan gerak reflek, dia menyambar dan mencabut samurai di atas meja. Dan dua kali samurainya berkelabat dengan amat cepat. Dan dengan sangat tepat sekali samurainya menghantam dua buah pisau kecil yang mengarah pada leher dan jantungnya.

Kedua pisau itu terpental dan menancap di loteng. Si Bungsu kaget. Kaget bukan atas serangan pisaunya, tapi kaget dengan tuduhan bahwa dia mata-mata Belanda. Dia ingin bicara, tapi kedua lelaki itu telah keluar dengan cepat. Namun di luar sudah berhenti mobil tadi. Dan dari atas sebuah Jeep Militer yang dicat loreng-loreng, berhamburan serdadu-serdadu Belanda!

Saat itu adalah hari-hari dimana Jepang telah menyerahkan kekuasaannya di Asia Raya pada belatentara Sekutu. Niat mereka semula untuk melanjutkan terus perjuangan menjadi batal karena perintah dari Tenno Haika, adalah penyerahan total.



Dengan demikian, tidak hanya balatentara Jepang, tetapi juga seluruh Kerajaan Jepang, termasuk Maharaja Tenno Heika, berada di bawah kekuasaan balatentara Sekutu yang di Asia dan Pasifik dipimpin oleh Jenderal Mack Arthur!.

Seluruh balatentara Jepang dilucuti. Para jenderal ditahan dan disiapkan untuk menghadapi Mahkamah Perang. Tenno Heika sendiri, meski tetap berada di istananya, namun secara de jure berada dibawah tawanan sekutu.

Bom atom yang dijatuhkan Amerika di kota Hiroshima dan Nagasaki telah menyebar sebuah bencana dan tragedi Nasional di negara Sakura itu. Ratusan ribu penduduk sipil dan militer mati seketika. Dan ratusan ribu lainnya menderita di rumah sakit. Mati secara perlahan atau menderita cacat seumur hidup. Perang telah meluluhlantakkan penduduk sipil yang tak tahu apa-apa. Perempuan, lelaki, kanak-kanak dan bayi mati jadi korban keganasan mesiu.

Dan Bom Atom yang meluluhkan itu, membuat rasa superior bangsa Jepang jadi merosot ketitik nol. Rasa bangga yang didengungkan selama ini oleh kalangan militer, bahwa Jepang penakluk dunia, tiba-tiba berlutut kehabisan daya dibawah sepatu Sekutu. Dan dengan demikian, dengan terhentinya peperangan Jepang Sekutu itu, terselamatkan pula ratusan ribu naywa lainnya. Nyawa dan harta benda yang terselamatkan itu terutama dipihak Jepang dan dipihak Sekutu.



Sebab, tiga puluh tahun kemudian, menurut analisa para ilmuan, kalau saja bom atom tak dijatuhkan dan memaksa Jepang bertekuk lutut, maka perang masih diperkirakan akan berlangsung selama setahun lagi.

Dan selama setahun itu, menurut perhitungan dipihak Sekutu akan jatuh korban nyawa sebanyak 200 ribu tentara. Dipihak Jepang akan jatuh korban sebanyak 900 ribu tentara. Tapi karena peperangan akan berlangsung di Negara Jepang sendiri, maka penduduk sipil yang akan mati oleh keganasan peluru itu, diperkirakan mencapai 2 juta!

tikam samurai (bagian 133)

Itu baru tentara dan penduduk Jepang. Karena Jepang menguasai negara-negara di Asia Tenggara maka mau tak mau, penduduk di negara-negara itu, termasuk Indonesia juga akan terkena getah peperangan.



Tapi untunglah bom atom menyelesaikannya. Dan korban yang demikian banyak tak perlu berjatuhan lagi. Baik dipihak Jepang maupun dipihak Sekutu. Namun tak berarti penderitaan bangsa Indonesia sudah berakhir. Berhentinya peperangan antara Sekutu dengan Jepang, justru merupakan titik sambung peperangan antara Belanda dengan tentara Indonesia.

Peperangan antara Belanda dan Indonesia itu sudah bermulai ratusan tahun yang lalu. Telah banyak pejuang-pejuang yang gugur. Sebutlah Iman Bonjol, Diponegoro, Pattimura, Teuku Umar, Hasanuddin dan ratusan ribu pejuang yang sempat dituliskan dalam sejarah.

Perang Belanda dan Indonesia terputus dengan kedatangan Jepang yang mengusir Belanda dari Indonesia. Namun Belanda tak pergi jauh-jauh. Karena negara mereka berada dalam Pakta Sekutu, maka mereka lalu mencari kesempatan untuk membonceng kembali ke Indonesia.

Kalah dari Jepang, Belanda mengundurkan diri ke Australia yang merupakan Sekutu bersama Inggris. Begitu Jepang kalah, maka Sekutu membagi-bagi tentara mana yang akan memasuki negara-negara yang pernah dikuasai Jepang.

Tentara Inggris memilih negara Jepang.

Namun Amerika Serikat juga berminat menduduki negara itu. Alasan Amerika negara mereka lebih dekat dengan Jepang daripada Inggris. Dengan demikian mereka bisa mengawasi secara langsung.

Inggris dapat menerima. Karenanya, Amerika lalu menduduki Jepang dan Indonesia diduduki oleh Inggris. Tetapi sesama tentara Sekutu sendiri mempunyai Gentlement Agrement pula. Perjanjian antara mereka menyebutkan bahwa negara-negara yang pernah diduduki oleh salah satu negara Sekutu sebelum kedatangan Jepang, dikembalikan kepada negara tersebut.

Dalam hal ini, sebelum kedatangan Jepang, Indonesia berada dibawah Belanda. Maka tentara Inggris yang datang mengambil alih kekuasaan dari tentara Jepang, diboncengi pula oleh tentara Belanda!.



Inggris punya alasan yang kuat kenapa mengikut sertakan tentara Belanda dalam kedatangan mereka ke Indonesia. Untuk masuk ke indonesia, mereka tak punay pengetahuan sedikitpun. Yang tahu seluk beluk Indonesia, mulai dari A sampai Z adalah Belanda. Sebab mereka telah menguasai negara ini selama ratusan tahun! Jadi sebagai “penunjuk jalan” mereka membawa serta serdadu Belanda tersebut.

Dan dengan sebuah “perjanjian bawah tangan” Inggris kemudian menyerahkan kekuasaan pada Belanda atas seluruh wilayah Indonesia.

Dan Inggris sendiri, kembali ke negara yang pernah mereka kuasai sebelum kedatangan Jepang. Yaitu negara-negara Singapura, Malaya, Kalimantan Utara dan pulau Hongkong.

Saat peristiwa ini, yaitu disaat si Bungsu berada di Pekan Baru, Belanda telah menerima kembali kekuasaan terhadap wilayah-wilayah Indonesia dari Inggris.



Belanda mengirimkan pasukannya yang berasal dari Koningkelyke Leger (KL). Yaitu balatentara Belanda yang berasal langsung dari Kerajaan Belanda. Pasukan-pasukan KL ini kejamnya bukan main.

Dan saat itu, pasukan KL inilah yang mengepung kedai kopi dimana si Bungsu berada.

Lelaki yang tadi melemparnya dengan pisau, dan yang berhasil dia tangkis dengan kecepatan samurainya, tiba-tiba mendapati diri mereka sudah terkepung oleh enam serdadu KL.

Kedua lelaki itu berbalik cepat memasuki kedai. Dan sebelum si Bungsu atau isi kedai itu sadar apa yang terjadi, dengan keyakinan bahwa si Bungsu adalah mata-mata Belanda, lelaki itu menyergap si Bungsu.



Dia memiting anak muda yang memegang “tongkat” itu dengan tangan kiri dari belakang. Sementara tangan kanannya yang memegang pisau ditekankan pada leher si Bungsu.

Keenam serdadu Belanda yang berpakaian loreng itu terhenti dipintu kedai. Mereka siap dengan bedil dan sangkur terhunus. Mereka terhenti karena mendengar suara lelaki berpisau itu berteriak :



“Kalau kalian tidak mundur, saya akan membunuh mata-mata Nevis ini sampai lehernya potong…!” seiring dengan ucapannya itu, dia menekan mata pisaunya makin kuat.



Tubuh si Bungsu menggigil. Dan mata pisau itu menyayat kulit lehernya. Darah mengalir turun. Si Bungsu benar-benar tak berdaya. Dia ingin mengatakan pada kedua lelaki itu., bahwa mereka salah terka. Dia ingin mengatakan bahwa dia tidak mata-mata Belanda. Tapi bagaimana dia akan menerangkan dalam keadaan gawat begini?

Dan dia teringat, situasinya kini persis seperti yang dihadapi oleh Akiyama di Birugo. Atau seperti situasi Sersan Jepang yang dia sergap ketika patroli dekat jenjang gantung Bukittinggi. Dan dia segera saja menyadari, betapa disergap dan diancam dengan senjata tajam dileher memang sangat tak menyedapkan. Dia rasakan itu kini. Dia memang mempunyai samurai di tangan kiri.

tikam samurai (bagian 134)

Tapi bagaimana dia akan menggerakkan tangannya, kalau siatuasinya begini?

Sedikit saja dia bergerak, dia yakin lelaki yang mengancam ini tak segan-segan memotong lehernya dengan pisau yang amat tajam itu! Dia yakin hal itu!

Lelaki yang mengancamnya membawanya menuju pintu. Mereka maju langkah demi langkah. Sementara dipintu kedai yang terbuka lebar, keenam serdadu KL itu tetap saja tegak dengan menodongkan senjata mereka.



“Apakah orang ini memang mata-mata kita? Leutenant yang memimpin penyergapan itu bertanya pada sergeant (sersan) disampingnya dalam bahasa Belanda.

“Saya tak pernah melihat orang ini…” sergeant itu menjawab pula dalam bahasa Belanda.

“Kalau begitu dia bukan anggota Nevis….”  Kata  Leutenant (Letnan) itu.



Nevis adalah sebutan untuk badan mata-mata Belanda. Seperti halnya badan mata-mata Gestapo Jerman terkenal dengan nama SS, mata-mata Amerika FBI untuk dalam negeri, dan CIA untuk urusan Internasional, Inggris terkenal dengan Scotland Yardnya, maka Belanda terkenal dengan Nevisnya!

Anggota-anggota Nevis, sebagaimana jamaknya anggota mata-mata diseluruh dunia, tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda. Tetapi terdiri dari berbagai bangsa. Umunya mereka memakai tenaga pribumi untuk menjadi mata-mata dimana mereka mempunyai kepentingan.

Di Indonesia, tidak sedikit pengkhianat-pengkhianat yang mau dibayar sebagai anggota Nevis. Menjadi mata-mata untuk kepentingan penjajah! Dan sebagai anggota mata-mata inilah si Bungsu kini diduga.

Dan nasibnya memang benar-benar seperti telur diujung tanduk.



“Bagaimana… kita tembak saja mereka?” Sergeant itu bertanya.



Namun Leutenant tersebut tampak ragu-ragu. Namun akhirnya dia melihat dengan kaca mata penjajahannya. Dia tidak mau melepaskan kedua lelaki yang mereka sergap ini. Kedua lelaki itu nampaknya pejuang Indonesia yang amat ditakuti Belanda. Apa salahnya membunuh seorang anggota Nevis bangsa Indonesia? Tak ada ruginya.

Kalau ada pertanyaan dari atasan, katakan saja bahwa mereka terpaksa membunuh ketiga orang itu secara “tak sengaja”. Dan ketiga orang yang mati itu adalah Inlander.



“Biarkan mereka lewat sampai ke jalan raya. Dan begitu mereka melangkahi parit kecil itu, tembak mereka….” Leutenant itu berkata perlahan dalam bahasa Belanda. Pura-pura seperti tak berdaya karena lelaki itu mengancam mata-mata mereka!
Bedil mereka yang terkokang tetap diarahkan pada ketiga lelaki tersebut. Maut benar-benar mengiringi langkah ketiga lelaki ini. Dan si Bungsu anak muda yang ditempa di rimba raya gunung Sago itu, adalah orang pertama yang mencium bahaya maut ini!

Inderanya yang amat tajam terhadap bahaya yang akan menimpa dirinya membuat seluruh tubuhnya menegang. Dia tak mengetahui pembicaraan serdadu KL yang berbahasa Belanda itu.

Namun nalurinya yang tajam, matanya yang terlatih, dapat membaca niat serdadu-serdadu Belanda tersebut. Dia membaca niat dari cahaya mata mereka.

Dia yakin, keenam serdadu itu akan membunuh kedua lelaki ini. Dan membunuh kedua mereka berarti membunuh dirinya yang tercekik dan terancam oleh pisau yang alangkah tajamnya!

Soalnya kini, bagaimana harus mengatakannya pada lelaki yang mengancamnya dan menduga bahwa dia adalah mata-mata Nevis?

Tak ada waktu. Benar-benar tak ada waktu ! Dia kini harus mendahului Belanda-Belanda itu. Harus. Kalau tidak, mereka bertiga akan mati. Dia segera tahu bahwa kedua lelaki yang mengancamnya ini adalah pejuang-pejuang Indonesia.



Dan kini langkah demi langkah mereka mendekati keenam serdadu KL itu untuk menuju keluar. Lelaki yang mengancam si Bungsu, segera pula membuat rencana. Dia akan mengancam mata-mata ini untuk naik ke Jeep yang sedang ditunggui sopir.

Dia akan memaksa untuk membawa Jeep itu keluar kota. Dengan demikian pelarian mereka bisa lebih cepat. Dan kini, mereka berada dua langkah dari pintu dimana serdadu itu tegak dengan diam. Selangkah lagi. Dan kini mereka persis berada sejajar dengan serdadu itu.



Dan saat itulah, dengan mempergunakan kesempatan yang amat kecil, si Bungsu mencoba lewat dari lobang jarum!
Dia berteriak:
“Mereka akan membunuh kita!” seiring pekiknya ini, sikunya dia hantam kerusuk kanan lelaki yang mengancamnya dengan pisau itu.



Hantaman itu membuat kaget lelaki tersebut. Namun dengan cepat pula si Bungsu mencekal tangannya yang berpisau, melemparkannya jauh-jauh. Dan dalam jarak waktu yang hanya dua detik, tangan kanannya menghunus Samurai!

Pada gebrakan pertama, samurainya memakan leher Leutenant yang tegak di depannya. Sabetan kedua memakan perut si Sersan!! Kedua pejuang itu merasa kaget. Serdadu-serdadu itu kaget! Mereka menembak! Namun kedua orang Indonesia itu sudah waspada. Mereka membungkuk dan pisau mereka bekerja.

tikam samurai (bagian 135)

Si Bungsu menyabetkan lagi samurainya. Seorang serdadu lagi mati! Yang mengancamnya tadi menghujamkan pisaunya kepada seorang kopral. Dan empat orang mati. Sebuah letusan bergema lagi. Dan teman yang mengancam itu kena kepalanya pecah dan mati.

Namun si Bungsu berguling di tanah. Samurainya bekerja! Snapp! Snapp! Kedua serdadu KL yang masih hidup mampus dimakan samurainya!



Ada sekitar belasan manusia didekat kedai itu, semua mereka tertegak diam! Kejadian itu amat cepat. Hanya dalam sepuluh hitungan! Alangkah cepatnya!

Tiba-tiba mereka mendengar mesin Jeep dihidupkan. Lelaki yang mengancam si Bungsu itu menoleh, si Bungsu juga. Sopir Jeep yang berpangkat Soldat (Prajurit) itu rupanya merasa tak ada gunanya melawan. Dia memilih melarikan diri.

Dia memasukkan perseneling mobilnya, dan tancap gas! Lari!

Namun lelaki yang tadi mengancam si Bungsu dengan pisaunya, bergerak dengan cepat. Seperti tadi, yaitu seperti dia menyerang si Bungsu dengan dua pisaunya, kali ini tangannya juga bergerak.



Pisau yang berada di tangan kanannya meluncur memburu Jeep yang rodanya mulai berputar. Dan tiba-tiba jeep itu meluncur seperti disentakkan ke depan. Lepas! Tapi tak jauh dari mereka lari. Jeep itu seperti meliuk.

Ke kiri, ke kanan. Dan tiba-tiba berhenti menabrak sebuah kedai! Mereka berlarian ke sana. Dan soldat yang menyopiri Jeep itu mati tertelungkup di stirnya dengan tengkuk tertancap pisau! Lemparan lelaki itu tepat menghantam sasarannya. Diam-diam si Bungsu memuji keahlian lelaki ini memainkan pisaunya.

Lelaki yang tadi melemparkan pisau itu menatap pada si Bungsu.  Si Bungsu juga menatap padanya.



“Maaf, saya salah duga. Terimakasih atas bantuan saudara. Kita akan berjumpa lagi dalam waktu dekat. Selamat berjuang. Merdeka!” Ucapan lelaki itu mengalir cepat dan tegas.



Sehabis ucapannya, sebelum si Bungsu cepat menyahut, lelaki itu menyelinap ke deretan rumah penduduk. Kemudian menghilang. Si Bungsu tahu bahwa setiap detik bahaya bisa mengancam jiwanya kalau dia tetap juga tegak disini.

Karenanya, dia juga mengambil arah lain dari yang ditempuh oleh lelaki tadi. Dia juga menyelinap ke balik rumah-rumah penduduk. Dan bergegas pergi ke arah pelabuhan! Jauh dibelakangnya dia dengar suara deruman kendaraan militer mendekati tempat tadi. Balatentara Belanda pasti telah munju tempat tersebut.

Dia percepat langkahnya. Dia tak khawatir pada serdadu Belanda. Sebab mereka segera bisa dikenali. Tubuh dan kulit mereka berbeda dengan kulitnya. Yang dia takutkan adalah anggota-anggota Nevis dari bangsanya sendiri.

Mereka sulit diketahui. Sebab mata-mata ini berpakaian seperti umumnya orang Indonesia dan karena mereka juga bangsa Indonesia, maka mereka sulit diketahui. Si Bungsu mempercepat langkah. Berusaha bergegas, tapi jangan sampai mencurigakan!

Peluh telah meleleh ditubuhnya ketika dengan hati-hati dia menghampiri penginapan kecil dimana dia tinggal.


Dia berhenti. Memperhatikan dari kejauahan. Apakah ada hal-hal yang mencurigakan. Sepi. Apakah sepi karena tak terjadi apa-apa atau sepi karena Belanda telah memasang perangkap?

Tiba-tiba dia lihat pemilik penginapan itu keluar bersama orang Amerika yang menyelidiki Istana Siak Sri Indrapura. Mereka bicara sebentar, kemudian orang Amerika itu pergi. Pemilik penginapan masuk kembali. Dan orang Amerika itu pergi sendiri tanpa istrinya yang bertubuh montok, menggiurkan. Dan dari suasana itu, si Bungsu mengetahui bahwa Belanda belum mencium jejaknya. Dia berjalan ke penginapan.

Naik ke tingkat dua dengan melewati tangga papan. Ketika dia baru saja di atas, dia berpapasan dengan perempuan Amerika.

Perempuan cantik itu terkejut, dia tertegun menatap si Bungsu. Namun si Bungsu bergegas ke biliknya. Di biliknya dia mengambil bubuk obat yang dia bawa dari Bukittinggi. Kemudian menebarkannya disepotong kain bersih. Kemudian mengambil saputangannya. Membasahkannya dengan air dalam ceret kecil di atas meja. Dengan saputangan basah itu dia bersihkan lukanya. Dan ia terhenti sebentar. Ingatannya melayang pada Salma. Tanpa sengaja dia melihat cincin bermata berlian di jari manisnya. Cincin yang diberikan Salma ketika dia akan berangkat meninggalkan Bukittinggi.

Ah, terasa benar betapa sepinya tanpa gadis itu.



Di Bukittinggi, dia tak usah susah-susah mengurus dirinya yang luka. Berkali-kali dia kembali dari perkelahian mengalami luka-luka. Dan Salma selalu merawatnya sampai sembuh. Merawat dirinya dengan kasih sayang.

Dia menarik nafas. Kemudian mengambil kain yang telah ditaburi bubuk obat itu. Kemudian menempelkannya ke lehernya yang luka oleh pisau pejuang itu tadi.

Tapi ketika akan melekatkannya, bubuk obat itu jatuh. Terserak dilantai. Tubuhnya terasa lemah. Dia raba lehernya yang luka itu. Dan tiba-tiba dia merasa sesuatu yang ganjil. Dia lihat telapak tangannya. Dia perhatikan kuku jari-jari tangannya. Pucak agak kebiru-biruan.

tikam samurai (bagian 136)

Ya Tuhan, racun, dia berbisik sendiri. Celaka, dirinya bisa celaka. Dan kini panas mulai terasa menjalar. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Tapi belum begitu dia rasakan karena dia bergegas saja menuju penginapan. Dan karena bergegas itu racun ternyata bekerja lebih cepat.



Jahanam! Pejuang itu benar-benar jahanam. Mengapa dia tak memperingatkan ketika akan berpisah tadi bahwa pisaunya beracun? Dia angkat cepat-cepat bubuk yang telah dia serakkan lagi di kain itu. Dia berbaring, dan dia coba lekatkan kain berbubuk itu ke lehernya. Namun lagi-lagi usahanya gagal.

Dan waktu itulah pintu biliknya terbuka. Kepalanya sudah mulai pusing. Racun pisau pejuang itu mulai menghilangkan kesadarannya.

Tangannya meraih samurai dimeja. Bersiap terhadap kemungkinan masuknya Belanda.

Dan yang berdiri dipintu memang orang yang berkulit putih. Berhidung mancung dan bermata biru, berambut pirang. Tapi dia bukan Belanda.  Yang berdiri dipintu adalah wanita Amerika itu. Di tangannya terjinjing sebuah ransel kecil, di luar ransel kecil itu ada tanda palang merah. Itulah yang sempat diingat si Bungsu. Setelah itu dia tak sadar diri.

Yang masih diingatnya dalam ketidaksadarannya itu adalah tentang diri Salma. Rasanya, gadis itu datang merawat lukanya.

Rasanya dia mencium bau harum yang biasanya dia cium dari tubuh gadis itu ketika dirawat dulu.



“Diamlah agar saya rawat luka abang…” suara gadis itu berbisik perlahan di telinganya.



Si Bungsu tak mejawab. Dia rasakan gadis itu membalut luka di lehernya. Gadis itu membersihkan pakaiannya. Matanya menatap loteng. Di loteng, seekor cecak tengah mengintai lelatu yang merayap tak jauh dari mulutnya.

Cecak itu menatap pada belatu itu dengan diam. Lelatu itu nampaknya tak sadar bahwa dirinya diancam bahaya. Si Bungsu ingin berteriak mengusir cecak itu. Atau ingin berteriak memperingatkan lelatu itu.

Tapi dia tak bersuara. Cecak itu makin dekat. Dan si Bungsu yakin, bahwa mulut cecak itu akan menerkam lelatu itu. Makin dekat-makindekat. Nafas si Bungsu memburu. Dia ingin mencegah. Tapi…snap!! Cecak itu berhasil menangkap lelatu itu persih tentang kepalanya!

Cecak itu menutupkan mulutnya. Lelatu yang tubuhnya sudah masuk separoh itu meronta. Menggelinjang berusaha mengeluarkan kepalanya yang tertelan. Kakinya menerjang-nerjang. Tapi cecak itu melulurnya terus. Cecak itu sendiri menggoyang kepalanya melawan gerakan lelatu itu. Dan akhirnya lelatu itu memang tak berdaya untuk keluar dengan selamat dari mulut cecak.

Tubuh si Bungsu sampai berpeluh melihat betapa lelatu itu teraniaya. Beberapa kali dia menggeliat. Dan akhirnya dia tertidur pulas.



Entah berapa lama dia tak sadar diri. Udara yang panas di kota itu membuat dia gelisah dan perlahan membuka mata. Lambat-lambat matanya terbuka. Menatap ke loteng penginapan.

Cecak yang menatap lelatu tadi tak ada lagi di loteng. Dia merasa lehernya yang luka dan agak dingin. Tangan kanannya terangkat meraba leher yang luka itu. Namun tangannya tak pernah sampai ke sana. Ada sesuatu yang ganjil yang menghalangi dirinya.

Selimut tebal menutupi tubuhnya. Tapi ada sesuatu di samping. Tangannya meraba, ada orang. Meski dengan kepala agak berdenyut dia menoleh ke kanan. Dengan mengucap istighfar dia berusaha untuk bangkit takkala dilihatnya siapa yang berbaring di sisinya di bawah satu selimut itu.

Orangnya tak lain dari perempuan Amerika yang cantik itu. Tapi begitu dia berusaha untuk bangkit, perempuan itu terbangun pula dari tidurnya yang letih. Dan sambil miring ke kanan menghadap si Bungsu, perempuan itu tersenyum.



“Sudah merasa agak baik?” perempuan itu bertanya dalam bahasa Indonesia yang fasih.



Si Bungsu tak segera bisa menemukan jawaban. Dia segera ingin duduk. Tapi kembali maksudnya tertahan. Bukan karena dia keenakan berbaring di sisi perempuan cantik bertubuh ranum itu. Tidak.

Yang menyebabkan dia tak bisa bergerak untuk bangkit adalah kesadaran bahwa di bawah selimut yang menutupi tubuhnya, rasanya dia tak memakai apa-apa.



“tetaplah berbaring. Racun pada luka itu amat berbisa. Untung saya cepat tahu dan punya obat pemunahnya”. Perempuan Amerika itu berkata sambil keluar dari bawah selimut. Kemudian melekatkan kembali pakaiannya. Tapi tiba-tiba terdengar suara derap sepatu di tangga menuju ke atas.

Lalu terdengar suara-suara tentara dalam bahasa Belanda diiringi bentakan dan gedoran pada pintu kamar di empat kamar yang ada ditingkat dua penginapan tersebut.

Si Bungsu menyambar samurainya yang terletak di atas meja. Tapi dia masih tetap berbaring. Perempuan Amerika yang tengah berpakaian itu juga tertegun. Lalu cepat-cepat membuka baju kembali. Dan masuk kebawah selimut disebelah si Bungsu. Saat persis ketika pintu yang lupa mereka kunci dibuka oleh seorang tentara Belanda.

Pintu itu terbuka hanya sedetik setelah perempuan itu menutup kepala si Bungsu dengan selimut.
“Tetaplah berbaring diam…” bisik perempuan itu begitu pintu terbuka.

Tidak ada komentar: