tikam samurai (bagian 127)
“Baiklah, engkau yang menghendaki…” si Bungsu berkata perlahan.
“Satu…dua…!” lelaki itu mulai menghitung.
Ketika mulutnya akan mengana menyebut tiga, saat itulah si Bungsu menyambar samurai di depannya. Samurai itu berkelabat sangat cepat. Dan tak seorangpun yang tahu bagaimana terjadinya. Apa penyebabnya.
Yang terlihat setelah itu adalah, kepala lelaki itu putus dan tercampak keluar kedai. Tubuhnya jatuh dan menggelinjang-gelinjang seperti ayam disembelih. Darah menyembur-nyembur kemana-mana. Sudah itu diam!
Suara pekik dan gaduh terdengar. Isi kedai tercekam diam tak bisa keluar karena merasa lumpuh melihat kejadian yang mengerikan itu.
Dan kegemparan itu sampai ke telinga Kempetai yang posnya hanya berjarak dua ratus meter dari stasiun itu.
“Anak muda. Lihatlah. Kempetai datang. Datuk itu kaki tangan Kempetai. Sudah banyak pejuang-pejuang dan penduduk yang jadi korban Datuk itu. Datuk itu tukang tunjuk. Mata-mata Jepang. Pergilah sebelum engkau ditangkap…”
Pemilik kedai itu berkata dengan gugup. Sementara ketiga teman Datuk itu terhenyak di tikar ditempat mereka berjudi tadi. Usahkan untuk bangkit, untuk bernafaspun mereka takut. Mereka benar-benar seperti melihat hantu pada anak muda itu.
Dalam sekali tebas, kepala Datuk Hitam putus. Siapa bisa menyangka? Siapa tak kenal Datuk Hitam? Juara silat dan orang yang sangat ditakuti di Luhak Lima Puluh ini. Tapi kini anak muda itu telah menebas kepalanya dengan penuh ketenangan.
Ketiga teman Datuk itu tak berani bergerak. Malah yang bernama Sarip, celananya telah basah sendiri. Si Bungsu melihat pada pemilik kedai itu. Kemudian menghela nafas. Dia menghirup kopinya dengan tenang. Dan tetap pula duduk dengan tenang.
Di luar terdengar orang berbisik-bisk. Kempetai datang! Empat orang Kempetai muncul di hadapan kedai itu. Keempatnya tertegak kaget melihat kepala Datuk Hitam yang tergolek dengan mata mendelik. Dan serentak keempat Kempetai itu memandang ke dalam kedai. Belum begitu jelas. Sebab di luar cahaya sangat terang. Di dalam kedai itu agak samar-samar.
“Tangkap semuanya yang ada dalam lapau itu…!” terdengar perintah salah seorang dari ke empat Kempetai tersebut.
Tiga diantaranya menyerbu masuk. Namun sebuah suara yang dingin menghentikan gerakan mereka.
“Saya yang membunuh Datuk itu. Kalau akan ditangkap, cukup saya sendiri…”
Ketiga Kempetai itu menoleh. Dan mereka tersurut takkala melihat siapa yang bicara sambil menghirup kopi itu.
“Bungsu…!!” tanpa dapat ditahan, mulut mereka bicara serentak.
Si Bungsu hanya diam. Tapi semua orang yang ada dalam kedai itu pada menatap padanya. Si Bungsu! Siapa yang tak pernah mendengar nama itu? Dan kini ternyata anak muda itu muncul di hadapan mereka.
Sopir truk yang membawa si Bungsu pun menoleh padanya. Dia jadi ternganga. Benar-benar tak dia sangka, penumpangnya yang pendiam itu ternyata si Bungsu. Si Bungsu yang namanya jadi buah bibir itu. Dia jadi malu kenapa tak melayani anak muda ini dengan hormat.
Ketiga Jepang itu berlari keluar. Berkata kepada komandan yang memerintahkan untuk menangkapi semua isi kedai itu. Komandannya ini tertegun mendengar laporan ketiga bawahannya, ia bergegas masuk. Dan tertegak dipintu begitu melihat si Bungsu.
“Bungsu…! mulutnya juga berkata tertahan.
Lambat-lambat si Bungsu menatap padanya. Kemudian berkata perlahan.
“Ya. Sayalah si Bungsu. Ingin menangkap saya sekarang?”
Kempetai yang berpangkat Go Cho (Sersan dua) itu cepat-cepat menggeleng.
“Tidak! Tak seorangpun diantara balatentara Jepang yang boleh menangkap si Bungsu. Panglima Pasukan Balatentara Dai Nippon di Sumatera telah menjamin kebebasanmu sejak pertarungan dengan Overste Akiyama di Bukittinggi. Tentara Jepang tak pernah memungkiri janjinya…”
“Tapi saya telah membunuh kaki tangan kalian. Mata-mata kalian”
“Oh itu… itu resiko dirinya sendiri. Hai” berkata begitu Go Cho ini membungkuk memberi hormat, kemudian memerintahkan beberapa penduduk mengangkat mayat Datuk Hitam itu. Lalu cepat-cepat meninggalkan kedai itu.
Si Bungsu menarik nafas. Dia menoleh pada ketiga teman Datuk Hitam yang masih terduduk di sudut ruangan. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
“”Lelaki itu….” Kata si Bungsu sambil menunjuk pada suami perempuan muda yang menamparnya tadi. “tadi kalah main dengan kalian. Dan kali kedua dia menggadaikan gelang isterinya. Kini kembalikan semua padanya…”
“Teta…tetapi…semuanya ada pada Datuk….” Ucapannya terputus ketika melihat si Bungsu meraih samurainya.
“Yiy…ya..yay… Ya! Pada kami ada, kami kembalikan…” dengan pucat dan menggigil dia merogoh kantong. Mengambil segenggam uang. Lalu mengode temannya. Temannya merogoh kantong pula. Kemudian mengeluarkan sebuah gelang.
“Baiklah, engkau yang menghendaki…” si Bungsu berkata perlahan.
“Satu…dua…!” lelaki itu mulai menghitung.Ketika mulutnya akan mengana menyebut tiga, saat itulah si Bungsu menyambar samurai di depannya. Samurai itu berkelabat sangat cepat. Dan tak seorangpun yang tahu bagaimana terjadinya. Apa penyebabnya.
Yang terlihat setelah itu adalah, kepala lelaki itu putus dan tercampak keluar kedai. Tubuhnya jatuh dan menggelinjang-gelinjang seperti ayam disembelih. Darah menyembur-nyembur kemana-mana. Sudah itu diam!
Suara pekik dan gaduh terdengar. Isi kedai tercekam diam tak bisa keluar karena merasa lumpuh melihat kejadian yang mengerikan itu.
Dan kegemparan itu sampai ke telinga Kempetai yang posnya hanya berjarak dua ratus meter dari stasiun itu.
“Anak muda. Lihatlah. Kempetai datang. Datuk itu kaki tangan Kempetai. Sudah banyak pejuang-pejuang dan penduduk yang jadi korban Datuk itu. Datuk itu tukang tunjuk. Mata-mata Jepang. Pergilah sebelum engkau ditangkap…”
Pemilik kedai itu berkata dengan gugup. Sementara ketiga teman Datuk itu terhenyak di tikar ditempat mereka berjudi tadi. Usahkan untuk bangkit, untuk bernafaspun mereka takut. Mereka benar-benar seperti melihat hantu pada anak muda itu.
Dalam sekali tebas, kepala Datuk Hitam putus. Siapa bisa menyangka? Siapa tak kenal Datuk Hitam? Juara silat dan orang yang sangat ditakuti di Luhak Lima Puluh ini. Tapi kini anak muda itu telah menebas kepalanya dengan penuh ketenangan.
Ketiga teman Datuk itu tak berani bergerak. Malah yang bernama Sarip, celananya telah basah sendiri. Si Bungsu melihat pada pemilik kedai itu. Kemudian menghela nafas. Dia menghirup kopinya dengan tenang. Dan tetap pula duduk dengan tenang.
Di luar terdengar orang berbisik-bisk. Kempetai datang! Empat orang Kempetai muncul di hadapan kedai itu. Keempatnya tertegak kaget melihat kepala Datuk Hitam yang tergolek dengan mata mendelik. Dan serentak keempat Kempetai itu memandang ke dalam kedai. Belum begitu jelas. Sebab di luar cahaya sangat terang. Di dalam kedai itu agak samar-samar.
“Tangkap semuanya yang ada dalam lapau itu…!” terdengar perintah salah seorang dari ke empat Kempetai tersebut.Tiga diantaranya menyerbu masuk. Namun sebuah suara yang dingin menghentikan gerakan mereka.
“Saya yang membunuh Datuk itu. Kalau akan ditangkap, cukup saya sendiri…”
Ketiga Kempetai itu menoleh. Dan mereka tersurut takkala melihat siapa yang bicara sambil menghirup kopi itu.“Bungsu…!!” tanpa dapat ditahan, mulut mereka bicara serentak.
Si Bungsu hanya diam. Tapi semua orang yang ada dalam kedai itu pada menatap padanya. Si Bungsu! Siapa yang tak pernah mendengar nama itu? Dan kini ternyata anak muda itu muncul di hadapan mereka.
Sopir truk yang membawa si Bungsu pun menoleh padanya. Dia jadi ternganga. Benar-benar tak dia sangka, penumpangnya yang pendiam itu ternyata si Bungsu. Si Bungsu yang namanya jadi buah bibir itu. Dia jadi malu kenapa tak melayani anak muda ini dengan hormat.
Ketiga Jepang itu berlari keluar. Berkata kepada komandan yang memerintahkan untuk menangkapi semua isi kedai itu. Komandannya ini tertegun mendengar laporan ketiga bawahannya, ia bergegas masuk. Dan tertegak dipintu begitu melihat si Bungsu.
“Bungsu…! mulutnya juga berkata tertahan.
Lambat-lambat si Bungsu menatap padanya. Kemudian berkata perlahan.“Ya. Sayalah si Bungsu. Ingin menangkap saya sekarang?”
Kempetai yang berpangkat Go Cho (Sersan dua) itu cepat-cepat menggeleng.
“Tidak! Tak seorangpun diantara balatentara Jepang yang boleh menangkap si Bungsu. Panglima Pasukan Balatentara Dai Nippon di Sumatera telah menjamin kebebasanmu sejak pertarungan dengan Overste Akiyama di Bukittinggi. Tentara Jepang tak pernah memungkiri janjinya…”
“Tapi saya telah membunuh kaki tangan kalian. Mata-mata kalian”
“Oh itu… itu resiko dirinya sendiri. Hai” berkata begitu Go Cho ini membungkuk memberi hormat, kemudian memerintahkan beberapa penduduk mengangkat mayat Datuk Hitam itu. Lalu cepat-cepat meninggalkan kedai itu.Si Bungsu menarik nafas. Dia menoleh pada ketiga teman Datuk Hitam yang masih terduduk di sudut ruangan. Dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
“”Lelaki itu….” Kata si Bungsu sambil menunjuk pada suami perempuan muda yang menamparnya tadi. “tadi kalah main dengan kalian. Dan kali kedua dia menggadaikan gelang isterinya. Kini kembalikan semua padanya…”
“Teta…tetapi…semuanya ada pada Datuk….” Ucapannya terputus ketika melihat si Bungsu meraih samurainya.
“Yiy…ya..yay… Ya! Pada kami ada, kami kembalikan…” dengan pucat dan menggigil dia merogoh kantong. Mengambil segenggam uang. Lalu mengode temannya. Temannya merogoh kantong pula. Kemudian mengeluarkan sebuah gelang.
tikam samurai (bagian 128)
Si Bungsu menoleh pada suami perempuan muda itu.
“Ambillah….” Katanya perlahan. Lelaki itu bergerak ke arah ketiga pejudi tersebut. Menerima uang dan gelang isterinya kembali.
“Nah, kalian yang bertiga, dengarlah. Kalian harus meninggalkan Luhak Lima Puluh ini segera. Kalau sore nanti kalian masih saya lihat di Luhak ini, atau lain kali saya dengar kalian masih membuat huru hara, saya akan cari kalian. Dan saya akan menebas kepala kalian seperti menebas kepala Datuk itu. Kini pergilah!”
Ucapan si Bungsu baru saja habis, ketika ketiganya lari berhamburan. Yang satu lari terbirit-birit lewat pintu, yang dua lagi mengambil jalan singkat, yaitu meloncat dari jendela di dekat mereka. Ketiganya lenyap. Ya, bagi mereka itulah saat yang paling berbahagia. Berbahagia terlepas dari elmaut.
Saat itu juga mereka tak kembali ke rumah. Tapi terus cigin meninggalkan Luhak Lima Puluh itu seperti yang diperintahkan si Bungsu. Tak seorangpun yang tahu kemana mereka lenyap.
Kini keadaan dalam kedai sepi. Si Bungsu kembali menoleh pada suami perempuan muda itu. Ia berkata perlahan-lahan.
“Hei sanak. Saya dulu juga pejudi. Tapi saya tidak hanya sekedar pejudi kelas murahan. Saya raja judi di negeri ini.Tak pernah saya kalah dalam tiap permainan. Tapi ketahuilah, hidup saya tak pernah tenang. Sedangkan saya yang selalu menang hidup tak tenang, apalagi kalau selalu kalah. Nah, saya pesankan pada sanak, lebih baik mencangkul daripada harus berjudi. Istrimu seorang perempuan lembut dan cantik. Bagaimana kalau tadi dia sempat dilaknati oleh Datuk itu?”
Lelaki itu menunduk.
“Terimakasih sanak. Terimakasih. Saya berhutang budi pada sanak…”
Lelaki itu berkata perlahan. Matanya basah. Istrinya bangkit. Berjalan mendekati si Bungsu. Pada wajahnya kelihatan penyesalan. Dia teringat betapa tadi dia menampar anak muda ini. Dia menyangka anak muda ini temannya Datuk jahanam itu. Itulah sebabnya dia menampar si Bungsu begitu dirinya didorong kepangkuan anak muda ini.
“Maafkan saya bang…saya telah salah sangka tadi…” katanya perlahan. Si Bungsu menatapnya. Kemudian tersenyum.
“Tidak apa. Saya lihat engkau mencintai suamimu. Tapi mencintai suami bukan berarti harus menuruti segela kehendaknya. Kalau engkau merasa pekerjaan yang dia lakukan adalah pekerjaan tercela, engkau berkewajiban melarangnya. Seperti tadi ketika dia meminta gelangmu untuk berjudi. Walaupun engkau dia tampar, tapi jangan berikan. Soalnya bukan berapa nilai gelangmu, tapi yang penting adalah akibat judi itu sangat buruk. Paham bukan…?”
Perempuan itu menghapus air matanya. Dan lambat-lambat duduk di hadapan si Bungsu.
“Kalian dari mana?”
“Kami dari Pekan Baru”
“Hmm, merantau ke sana?”
“Ya. Kami merantau sejak lama di Tanjung Pinang. Di sana kami bertemu dan kawin…”
“Kini akan kemana?”
“Pulang ke kampung…”
“Di mana, masih jauh?”
“Tidak, kampung kami di Situjuh…”
“Situjuh?” tanya si Bungsu kaget.
“Ya. Situjuh Ladang Laweh…”
“Di sana kampung kalian keduanya?”
“Tidak. Di sana kampung saya, kampung uda Rasid di Kubang…”
“Siapa ayahmu di Situjuh..?”
Perempuan itu menatap padanya.
“Abang pernah ke sana?” si Bungsu menunduk. Menarik nafas panjang.
“Tidak hanya sekadar “pernah” upik. Di sana lah darah saya tertumpah. Situjuh Ladang Laweh adalah kampung saya pula…” gadis itu terbelalak.
“Abang orang Situjuh Ladang Laweh?”
“Ya. Kita Sekampung…. Siapa nama ayahmu?”
“Datuk Maruhun…..” si Bungsu kaget.
“Ya. Datuk Maruhun. Abang kenal padanya?”
Si Bungsu menatap gadis itu tepat-tepat. Seingatnya tak ada anak Datuk Maruhun seperti perempuan ini. Datuk itu hanya punya dua orang anak. Yang satu lelaki. Kini jadi Gyugun di Padang. Yang satu lagi perempuan, namanya Renobulan.
Dan betapa dia tak kenal pada Datuk Maruhun?
Renobulan anak Datuk itu adalah bekas tunangannya dahulu. Pertunangan mereka putus karena Datuk itu tidak suka calon menantunya seorang pejudi. Dan sejak putus tunangannya itu, dia tidak lagi pernah mengetahui kemana perginya Renobulan. Gadis tercantik dikampungnya itu.
“Maaf, saya rasa anaknya hanya dua orang. Satu lelaki bernama Mukhtar, kedua perempuan bernama Renobulan…”
“Ya. Datuk Maruhun itulah ayah saya…”
“Tapi…”
Si Bungsu menoleh pada suami perempuan muda itu.
“Ambillah….” Katanya perlahan. Lelaki itu bergerak ke arah ketiga pejudi tersebut. Menerima uang dan gelang isterinya kembali.
“Nah, kalian yang bertiga, dengarlah. Kalian harus meninggalkan Luhak Lima Puluh ini segera. Kalau sore nanti kalian masih saya lihat di Luhak ini, atau lain kali saya dengar kalian masih membuat huru hara, saya akan cari kalian. Dan saya akan menebas kepala kalian seperti menebas kepala Datuk itu. Kini pergilah!”
Ucapan si Bungsu baru saja habis, ketika ketiganya lari berhamburan. Yang satu lari terbirit-birit lewat pintu, yang dua lagi mengambil jalan singkat, yaitu meloncat dari jendela di dekat mereka. Ketiganya lenyap. Ya, bagi mereka itulah saat yang paling berbahagia. Berbahagia terlepas dari elmaut.
Saat itu juga mereka tak kembali ke rumah. Tapi terus cigin meninggalkan Luhak Lima Puluh itu seperti yang diperintahkan si Bungsu. Tak seorangpun yang tahu kemana mereka lenyap.
Kini keadaan dalam kedai sepi. Si Bungsu kembali menoleh pada suami perempuan muda itu. Ia berkata perlahan-lahan.“Hei sanak. Saya dulu juga pejudi. Tapi saya tidak hanya sekedar pejudi kelas murahan. Saya raja judi di negeri ini.Tak pernah saya kalah dalam tiap permainan. Tapi ketahuilah, hidup saya tak pernah tenang. Sedangkan saya yang selalu menang hidup tak tenang, apalagi kalau selalu kalah. Nah, saya pesankan pada sanak, lebih baik mencangkul daripada harus berjudi. Istrimu seorang perempuan lembut dan cantik. Bagaimana kalau tadi dia sempat dilaknati oleh Datuk itu?”
Lelaki itu menunduk.
“Terimakasih sanak. Terimakasih. Saya berhutang budi pada sanak…”
Lelaki itu berkata perlahan. Matanya basah. Istrinya bangkit. Berjalan mendekati si Bungsu. Pada wajahnya kelihatan penyesalan. Dia teringat betapa tadi dia menampar anak muda ini. Dia menyangka anak muda ini temannya Datuk jahanam itu. Itulah sebabnya dia menampar si Bungsu begitu dirinya didorong kepangkuan anak muda ini.“Maafkan saya bang…saya telah salah sangka tadi…” katanya perlahan. Si Bungsu menatapnya. Kemudian tersenyum.
“Tidak apa. Saya lihat engkau mencintai suamimu. Tapi mencintai suami bukan berarti harus menuruti segela kehendaknya. Kalau engkau merasa pekerjaan yang dia lakukan adalah pekerjaan tercela, engkau berkewajiban melarangnya. Seperti tadi ketika dia meminta gelangmu untuk berjudi. Walaupun engkau dia tampar, tapi jangan berikan. Soalnya bukan berapa nilai gelangmu, tapi yang penting adalah akibat judi itu sangat buruk. Paham bukan…?”
Perempuan itu menghapus air matanya. Dan lambat-lambat duduk di hadapan si Bungsu.
“Kalian dari mana?”
“Kami dari Pekan Baru”
“Hmm, merantau ke sana?”
“Ya. Kami merantau sejak lama di Tanjung Pinang. Di sana kami bertemu dan kawin…”
“Kini akan kemana?”
“Pulang ke kampung…”
“Di mana, masih jauh?”
“Tidak, kampung kami di Situjuh…”
“Situjuh?” tanya si Bungsu kaget.
“Ya. Situjuh Ladang Laweh…”
“Di sana kampung kalian keduanya?”
“Tidak. Di sana kampung saya, kampung uda Rasid di Kubang…”
“Siapa ayahmu di Situjuh..?”
Perempuan itu menatap padanya.
“Abang pernah ke sana?” si Bungsu menunduk. Menarik nafas panjang.
“Tidak hanya sekadar “pernah” upik. Di sana lah darah saya tertumpah. Situjuh Ladang Laweh adalah kampung saya pula…” gadis itu terbelalak.
“Abang orang Situjuh Ladang Laweh?”
“Ya. Kita Sekampung…. Siapa nama ayahmu?”
“Datuk Maruhun…..” si Bungsu kaget.
“Ya. Datuk Maruhun. Abang kenal padanya?”
Si Bungsu menatap gadis itu tepat-tepat. Seingatnya tak ada anak Datuk Maruhun seperti perempuan ini. Datuk itu hanya punya dua orang anak. Yang satu lelaki. Kini jadi Gyugun di Padang. Yang satu lagi perempuan, namanya Renobulan.
Dan betapa dia tak kenal pada Datuk Maruhun?
Renobulan anak Datuk itu adalah bekas tunangannya dahulu. Pertunangan mereka putus karena Datuk itu tidak suka calon menantunya seorang pejudi. Dan sejak putus tunangannya itu, dia tidak lagi pernah mengetahui kemana perginya Renobulan. Gadis tercantik dikampungnya itu.
“Maaf, saya rasa anaknya hanya dua orang. Satu lelaki bernama Mukhtar, kedua perempuan bernama Renobulan…”
“Ya. Datuk Maruhun itulah ayah saya…”
“Tapi…”
tikam samurai (bagian 129)
“Ayah berbini dua. Ibu Kak Reno adalah istrinya yang tua. Ibu saya istrinya yang kedua. Ayah menikah dengan ibu ketika berdagang ke Tanjung Pinang. Sejak Jepang masuk ayah tak pernah lagi datang ke Pinang. Kini kami datang untuk mencarinya. Apakah beliau ada sehat-sehat…?
Si Bungsu terdiam. Dikepalanya terbayang lagi masa lalunya di kampung Situjuh Ladang Laweh itu. Terbayang betapa suatu malam dia tertangkap ketika mengintai orang sedang latihan silat. Yang sedang latihan adalah Datuk Maruhun dan anak buahnya. Datuk Maruhun adalah wakil ayahnya. Wakil ayahnya sebagai guru silat. Dia sedang mengintai ketika Jepang datang menangkapnya.
Dan beberapa murid Datuk Maruhun terbunuh malam itu oleh Jepang. Dan Datuk Maruhun menyangka dia yang memberitahu Jepang tempat latihan itu. Dia dituduh membocorkan tempat latihan itu demi mendapatkan uang untuk berjudi.
“Apakah ayah masih hidup?” tiba-tiba si Bungsu kembali dikagetkan oleh pertanyaan perempuan muda didepannya.
“Saya tak tahu dengan pasti upik. Suatu malam dia ditangkap oleh Jepang. Rencananya akan dikirim ke Logas untuk kerja paksa. Tapi sebulan kemudian dia lolos bersama tiga orang temannya setelah membunuh dua orang tentara jepang yang menjaganya.
Mereka pulang ke kampung dimalam buta. Kemudian membawa istri dan anak-anaknya pergi melarikan diri. Sejak saat itu saya tak lagi mendengar dimana beliau. Tapi kini mungkin sudah di kampung. Kalau tidak ada di sana, carilah anaknya. Anaknya yang tua, yang bernama Mukhtar kini menjadi anggota Gyugun di Padang. Pangkatnya kalau tidak salah Gun Syo (Sersan satu). Dari dia barangkali engkau dapat tahu di mana beliau..”
“Abang juga tak tahu di mana Kak Renobulan?” si Bungsu menggeleng. Perempuan itu menarik nafas. Wajahnya murung. Kemudian berkata perlahan…:
“Dahulu, dari seorang pedagang yang datang dari kampung, kami dengar Kak Reno akan menikah. Tunangannya seorang anak muda gagah tapi pejudi. Kabarnya ayah tak menyukai pertunangan itu. Tapi Kak Reno sendiri kabarnya mencintai anak muda itu sepenuh hatinya… hanya itu yang sempat saya dengar di Pinang. Apakah tak mungkin dia telah menikah dengan tunangannya itu…?”
Perempuan muda itu menatap pada si Bungsu. Si Bungsu jadi pucat.
Tapi dia yakin perempuan itu memang bertanya dengan jujur. Tidak mempunyai prasangka apa-apa. Makanya dia mencoba menguasai diri.
“Tidak. Saya rasa mereka tak jadi menikah…” jawab si Bungsu cepat. Perempuan itu kembali menarik nafas.
“Darimana Abang tahu bahwa mereka tak menikah. Apakah Abang mengenali tunangan Kak Reno?” si Bungsu kembali jadi pucat. Namun sebisa-bisanya dia menjawab juga.
“Ya. Ya. Saya kenal padanya. Kami sama-sama pejudi. Dan teman saya itu seingat saya belum pernah menikah…”
“Dimana tunangannya itu kini, apa kerjanya…?”
“Ah, tunangannya itu memang seorang lelaki pejudi. Mujur Renobulan tak jadi menikah dengannya. Kini dia kabarnya jadi luntang-lantung diburu-buru karena pernah membunuh orang….”
Si Bungsu menjawab pasti dengan mimik muka ikut membenci “tunangan” Renobulan itu.
“Kasihan kak Reno. Kabarnya mereka sama-sama mencintai. Dan yang pasti, kabarnya ka Renolah yang sangat mencintai tunangannya itu.” Si Bungsu menghirup kopinya. Kopi manis itu tiba-tiba terasa pahit ditenggorokkannya.
Diluar stokar truk itu memperbaiki terus per yang patah dan membuka ban yang bocor. Memberikannya ke tukang tambal. Jalan Payakumbuh ke Pekan Baru adalah jalan parah. Jalan menembus hutan rimba. Mendaki gunung dan menuruni lembah. Itulah jalan yang akan mereka tempuh sebentar lagi.
“Ayah berbini dua. Ibu Kak Reno adalah istrinya yang tua. Ibu saya istrinya yang kedua. Ayah menikah dengan ibu ketika berdagang ke Tanjung Pinang. Sejak Jepang masuk ayah tak pernah lagi datang ke Pinang. Kini kami datang untuk mencarinya. Apakah beliau ada sehat-sehat…?
Si Bungsu terdiam. Dikepalanya terbayang lagi masa lalunya di kampung Situjuh Ladang Laweh itu. Terbayang betapa suatu malam dia tertangkap ketika mengintai orang sedang latihan silat. Yang sedang latihan adalah Datuk Maruhun dan anak buahnya. Datuk Maruhun adalah wakil ayahnya. Wakil ayahnya sebagai guru silat. Dia sedang mengintai ketika Jepang datang menangkapnya.
Dan beberapa murid Datuk Maruhun terbunuh malam itu oleh Jepang. Dan Datuk Maruhun menyangka dia yang memberitahu Jepang tempat latihan itu. Dia dituduh membocorkan tempat latihan itu demi mendapatkan uang untuk berjudi.
“Apakah ayah masih hidup?” tiba-tiba si Bungsu kembali dikagetkan oleh pertanyaan perempuan muda didepannya.
“Saya tak tahu dengan pasti upik. Suatu malam dia ditangkap oleh Jepang. Rencananya akan dikirim ke Logas untuk kerja paksa. Tapi sebulan kemudian dia lolos bersama tiga orang temannya setelah membunuh dua orang tentara jepang yang menjaganya.
Mereka pulang ke kampung dimalam buta. Kemudian membawa istri dan anak-anaknya pergi melarikan diri. Sejak saat itu saya tak lagi mendengar dimana beliau. Tapi kini mungkin sudah di kampung. Kalau tidak ada di sana, carilah anaknya. Anaknya yang tua, yang bernama Mukhtar kini menjadi anggota Gyugun di Padang. Pangkatnya kalau tidak salah Gun Syo (Sersan satu). Dari dia barangkali engkau dapat tahu di mana beliau..”
“Abang juga tak tahu di mana Kak Renobulan?” si Bungsu menggeleng. Perempuan itu menarik nafas. Wajahnya murung. Kemudian berkata perlahan…:
“Dahulu, dari seorang pedagang yang datang dari kampung, kami dengar Kak Reno akan menikah. Tunangannya seorang anak muda gagah tapi pejudi. Kabarnya ayah tak menyukai pertunangan itu. Tapi Kak Reno sendiri kabarnya mencintai anak muda itu sepenuh hatinya… hanya itu yang sempat saya dengar di Pinang. Apakah tak mungkin dia telah menikah dengan tunangannya itu…?”
Perempuan muda itu menatap pada si Bungsu. Si Bungsu jadi pucat.
Tapi dia yakin perempuan itu memang bertanya dengan jujur. Tidak mempunyai prasangka apa-apa. Makanya dia mencoba menguasai diri.
“Tidak. Saya rasa mereka tak jadi menikah…” jawab si Bungsu cepat. Perempuan itu kembali menarik nafas.
“Darimana Abang tahu bahwa mereka tak menikah. Apakah Abang mengenali tunangan Kak Reno?” si Bungsu kembali jadi pucat. Namun sebisa-bisanya dia menjawab juga.
“Ya. Ya. Saya kenal padanya. Kami sama-sama pejudi. Dan teman saya itu seingat saya belum pernah menikah…”
“Dimana tunangannya itu kini, apa kerjanya…?”
“Ah, tunangannya itu memang seorang lelaki pejudi. Mujur Renobulan tak jadi menikah dengannya. Kini dia kabarnya jadi luntang-lantung diburu-buru karena pernah membunuh orang….”
Si Bungsu menjawab pasti dengan mimik muka ikut membenci “tunangan” Renobulan itu.
“Kasihan kak Reno. Kabarnya mereka sama-sama mencintai. Dan yang pasti, kabarnya ka Renolah yang sangat mencintai tunangannya itu.” Si Bungsu menghirup kopinya. Kopi manis itu tiba-tiba terasa pahit ditenggorokkannya.
Diluar stokar truk itu memperbaiki terus per yang patah dan membuka ban yang bocor. Memberikannya ke tukang tambal. Jalan Payakumbuh ke Pekan Baru adalah jalan parah. Jalan menembus hutan rimba. Mendaki gunung dan menuruni lembah. Itulah jalan yang akan mereka tempuh sebentar lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar