Tikam Samurai - 304
Si Bungsu mengagumi cara mereka merayap. Dalam lumpur dan timbunan dedaunan tebal begitu, kedua orang itu merayap benar-benar seperti ular.
Tak bersuara. Artinya, suara desir yang mereka timbulkan hanya bisa ditangkap oleh telinga yang amat tajam. Berarti masih ada seorang lagi di bawah yang harus diselesaikan. Yaitu yang bicara penghabisan sebelum Cina yang diatas cabang itu bercarut menyuruh mereka diam.
Si Bungsu perlahan merangkak ke arah suara itu. Dalam jarak tiga depa, si Bungsu merasa berada di pasar. Orang itu membuat kegaduhan yang tak tanggung-tanggung dalam penantiannya.
Dia menguap. Dan suara kuapnya sebenarnya cukup perlahan. Tapi ditelinga si Bungsu, suara kuap seperti itu sama seperti mendengar suara teriakkan. Kemudian orang itu beberapa kali menyumpah-nyumpah. Dari logatnya, si Bungsu segera tahu, orang ini adalah orang Keling.
Kini jaraknya hanya tinggal sedepa. Dan si Bungsu segera dapat mencium bau tubuh Keling itu.
Keling itu masih menyumpah-nyumpah karena muak menanti. Si Bungsu mengukur jarak. Jarak antara dirinya dengan orang Keling itu.
Orang itu berada agak diatasnya sekitar sehasta. Hanya karena kesal sejalan orang keling itu sampai tak melihat dirinya dalam jarak sedepa itu. Padahal orang itu menempati tempat yang strategis. Agak di atas tebing, si Bungsu hanya dilindungi oleh gelapnya malam, dan sedikit semak-semak.
Perlahan si Bungsu menoleh ke kiri. Dalam jarak empat depa, tegak pohon rimbun bercabang rendah. Dan di pohon itulah Cina yang bercarut tadi bersembunyi.
Kalau sekarang di menyerang Keling ini, apakah Cina di atas pohon itu takkan mengetahui?
Dia mengangkat kepala sedikit. Antara tempat kaling itu berada dengan pohon si Cina ada pohon-pohon kecil. Tak dapat tidak, keling inilah yang harus diselesaikan dahulu.
Dia merayap lagi. Dan nampaknya keling itu baru menyadari ada sesuatu yang tak beres disekitarnya.
Dia terdiam. Si Bungsu juga menghentikan gerakkannya. Orang itu menatap tajam ke depan. Ke arah air rawa. Dia ingin memastikan apakah sesuatu yang bergerak disana.
Tak ada apa-apa.
Air rawa itu tetap pekat dan gelap. Tetap tak ada riak apa-apa. Tapi ketika dia menukikkan pandangannya agak kebawah, yaitu ke tebing yang terletak persis di bawah batang hidungnya, dia meliat sesuatu tergeletak. Terjulur dari dalam semak-semak yang setengah depa di depannya.
Hitam dan agak besar. Nampaknya seperti pohon kayu yang lapuk. Tapi, apakah tadi pohon kayu itu ada disitu?
Dia tak begitu yakin. Rasanya tidak. Atau salah mengingatkah dia? Masakan pohon itu begitu saja ada disana. Dia coba membuka matanya lebar-lebar. Berusaha menembus dinding gelap yang melingkup pinggir rawa itu.
Karena tak begitu yakin, dia lalu merangkak ke depan. Kepalanya dia julurkan, dan menatap. Lalu tiba-tiba di sadar bahwa itu bukan pohon, melainkan kaki manusia! Kaki yang lengkap dengan sepatu!
Kaget dan panik dalam waktu yang singkat melanda diri Keling itu. Dia menarik kepalanya dan mengangkat bedil. Namun segalanya terlambat sudah. Yang berada di depannya adalah si Bungsu. sesaat sebelum kepalanya ditarik, samurai anak muda itu berkelabat. Masih dalam keadaan tiarap, mata samurai itu membuat lingkaran ke udara. Dan kepala orang Keling itu putus!
Kepalanya justru jatuh menimpa punggung si Bungsu. dan darah yang menyembur membasahi baju lorengnya! Tubuh keling yang tak berkepalanya itu menggelepar. Gelepar tubuhnya menimbulkan suara berisik di semak itu.
“Kani keni Pubo!! Kau tak bisa diam Keling jahanam?!” terdengar carut yang amat kasar dari mulut Cina diatas pohon itu. Si Bungsu menanti dengan tegang. Dia tak mungkin bergerak dalam situasi bgitu. Posisinya berada dalam keadaan lemah. Cina itu bisa saja memuntahkan peluru kearahnya bila dia curiga.
Dia menanti diam. Tapi tubuh keling itu masih menggelepur. Persis seperti ayam yang disembelih.
“Kalau kau tak bisa diam, kurengkahkan kepalamu dengan pistol ini….!” Cina itu nampaknya marah benar. Dan hanya kebetulan saja yang menolong si Bungsu. tubuh keling itu kehabisan darah. Darahnya telah menyembur seperti air tumpah dari drom lewat lehernya yang putus.
Dan kini tubuh yang kehabisan darah itu terdiam.
“Kalau kau tak bisa menanti, lebih baik kau pulang saja ke markas….” Suara Cina itu terdengar lagi perlahan. Mayat keling itu diam. Tak menyahut. Ya, apa pula yang akan disahuti oleh sesosok mayat yang tak berkepala?
Si Bungsu merasa muak oleh darah yang membasahi pakaian dan punggungnya.
Dia ingin bergulingan masuk ke air rawa. Tapi itu adalah hal yang mustahil. Kalau akan masuk rawa, dia harus merangkak lagi enam depa ke kanan. Yaitu ketempatnya mula-mula muncul tadi. Sebab disanalah medannya yang penuh semak. Sementara dibawahnya ini, yaitu di depan sei Keling ini mengintip, sampai ke daerah Cina di atas pohon itu, tebing rawannya licin, tak berumput. Dan setiap benda yang bergerak akan mudah kelihatan.
Tak bersuara. Artinya, suara desir yang mereka timbulkan hanya bisa ditangkap oleh telinga yang amat tajam. Berarti masih ada seorang lagi di bawah yang harus diselesaikan. Yaitu yang bicara penghabisan sebelum Cina yang diatas cabang itu bercarut menyuruh mereka diam.
Si Bungsu perlahan merangkak ke arah suara itu. Dalam jarak tiga depa, si Bungsu merasa berada di pasar. Orang itu membuat kegaduhan yang tak tanggung-tanggung dalam penantiannya.
Dia menguap. Dan suara kuapnya sebenarnya cukup perlahan. Tapi ditelinga si Bungsu, suara kuap seperti itu sama seperti mendengar suara teriakkan. Kemudian orang itu beberapa kali menyumpah-nyumpah. Dari logatnya, si Bungsu segera tahu, orang ini adalah orang Keling.
Kini jaraknya hanya tinggal sedepa. Dan si Bungsu segera dapat mencium bau tubuh Keling itu.
Keling itu masih menyumpah-nyumpah karena muak menanti. Si Bungsu mengukur jarak. Jarak antara dirinya dengan orang Keling itu.
Orang itu berada agak diatasnya sekitar sehasta. Hanya karena kesal sejalan orang keling itu sampai tak melihat dirinya dalam jarak sedepa itu. Padahal orang itu menempati tempat yang strategis. Agak di atas tebing, si Bungsu hanya dilindungi oleh gelapnya malam, dan sedikit semak-semak.
Perlahan si Bungsu menoleh ke kiri. Dalam jarak empat depa, tegak pohon rimbun bercabang rendah. Dan di pohon itulah Cina yang bercarut tadi bersembunyi.
Kalau sekarang di menyerang Keling ini, apakah Cina di atas pohon itu takkan mengetahui?
Dia mengangkat kepala sedikit. Antara tempat kaling itu berada dengan pohon si Cina ada pohon-pohon kecil. Tak dapat tidak, keling inilah yang harus diselesaikan dahulu.
Dia merayap lagi. Dan nampaknya keling itu baru menyadari ada sesuatu yang tak beres disekitarnya.
Dia terdiam. Si Bungsu juga menghentikan gerakkannya. Orang itu menatap tajam ke depan. Ke arah air rawa. Dia ingin memastikan apakah sesuatu yang bergerak disana.
Tak ada apa-apa.
Air rawa itu tetap pekat dan gelap. Tetap tak ada riak apa-apa. Tapi ketika dia menukikkan pandangannya agak kebawah, yaitu ke tebing yang terletak persis di bawah batang hidungnya, dia meliat sesuatu tergeletak. Terjulur dari dalam semak-semak yang setengah depa di depannya.
Hitam dan agak besar. Nampaknya seperti pohon kayu yang lapuk. Tapi, apakah tadi pohon kayu itu ada disitu?
Dia tak begitu yakin. Rasanya tidak. Atau salah mengingatkah dia? Masakan pohon itu begitu saja ada disana. Dia coba membuka matanya lebar-lebar. Berusaha menembus dinding gelap yang melingkup pinggir rawa itu.
Karena tak begitu yakin, dia lalu merangkak ke depan. Kepalanya dia julurkan, dan menatap. Lalu tiba-tiba di sadar bahwa itu bukan pohon, melainkan kaki manusia! Kaki yang lengkap dengan sepatu!
Kaget dan panik dalam waktu yang singkat melanda diri Keling itu. Dia menarik kepalanya dan mengangkat bedil. Namun segalanya terlambat sudah. Yang berada di depannya adalah si Bungsu. sesaat sebelum kepalanya ditarik, samurai anak muda itu berkelabat. Masih dalam keadaan tiarap, mata samurai itu membuat lingkaran ke udara. Dan kepala orang Keling itu putus!
Kepalanya justru jatuh menimpa punggung si Bungsu. dan darah yang menyembur membasahi baju lorengnya! Tubuh keling yang tak berkepalanya itu menggelepar. Gelepar tubuhnya menimbulkan suara berisik di semak itu.
“Kani keni Pubo!! Kau tak bisa diam Keling jahanam?!” terdengar carut yang amat kasar dari mulut Cina diatas pohon itu. Si Bungsu menanti dengan tegang. Dia tak mungkin bergerak dalam situasi bgitu. Posisinya berada dalam keadaan lemah. Cina itu bisa saja memuntahkan peluru kearahnya bila dia curiga.
Dia menanti diam. Tapi tubuh keling itu masih menggelepur. Persis seperti ayam yang disembelih.
“Kalau kau tak bisa diam, kurengkahkan kepalamu dengan pistol ini….!” Cina itu nampaknya marah benar. Dan hanya kebetulan saja yang menolong si Bungsu. tubuh keling itu kehabisan darah. Darahnya telah menyembur seperti air tumpah dari drom lewat lehernya yang putus.
Dan kini tubuh yang kehabisan darah itu terdiam.
“Kalau kau tak bisa menanti, lebih baik kau pulang saja ke markas….” Suara Cina itu terdengar lagi perlahan. Mayat keling itu diam. Tak menyahut. Ya, apa pula yang akan disahuti oleh sesosok mayat yang tak berkepala?
Si Bungsu merasa muak oleh darah yang membasahi pakaian dan punggungnya.
Dia ingin bergulingan masuk ke air rawa. Tapi itu adalah hal yang mustahil. Kalau akan masuk rawa, dia harus merangkak lagi enam depa ke kanan. Yaitu ketempatnya mula-mula muncul tadi. Sebab disanalah medannya yang penuh semak. Sementara dibawahnya ini, yaitu di depan sei Keling ini mengintip, sampai ke daerah Cina di atas pohon itu, tebing rawannya licin, tak berumput. Dan setiap benda yang bergerak akan mudah kelihatan.
Tikam Samurai - 305
Dan untuk surut ke belakang akan membuang waktu panjang. Kapten Fabian dengan pasukannya di seberang sana pasti tak sabar lagi menanti. Maka tak ada jalan lain baginya, selain membiarkan punggungnya berlumur darah, dan kini dia merayap ke atas. Bergulingan dan hop! Kini dia berada pada posisi si Keling tadi. Tubuh keling itu terbaring menelentang. Dan si Bungsu berbaring disisinya.
Pada saat Cina tadi menyuruh Keling yang telah mati itu untuk diam, Donald dan Tongky pada saat yang hampir bersamaan terhenti. Mereka sebenarnya siap menyekap musuh mereka dari belakang. Tapi mendengar Cina itu memerintah si Keling, kedua lelaki yang akan mereka sekap itu berpaling.
Sebenarnya kedua orang itu berpaling ke arah tempat si Keling. Yaitu di dua belas depa dari lelaki yang akan disekap Tongky dan delapan depa dari lelaki yang akan disekap Donald.
Kedua orang itu juga mendengar suar semak-semak terkuak akibat gesekan tubuh si Keling. Ke arah itulah mereka berpaling. Meskipun mereka tak dapat melihat karena gelapnya malam, namun mereka menoleh juga. Dan malangnya baik Donald maupun Tongky berada di arah yang toleh kedua orang itu.
Kedua orang itu semula hanya melihat bayangan gelap. Dan bagi Tongky maupun Donald hal begini mereka maklumi sangat sebagai suatu bahaya. Kalau saja sempta salah seorang diantara orang yang mereka sekap ini berteriak, maka tamatlah riwayat penyergapan mereka. Mungkin mereka masih akan bisa memenangkan pertarungan. Tapi korban akan berjatuhan. Sedangkan mereka tak ingin seorangpun korban yang jatuh di pihak mereka.
Dan yang lebih penting lagi, kalau sampai terdengar tembakan, maka kapal yang sedang membongkafr muatan berupa perempuan-perempuan itu pasti akan melarikan diri.
Mengingat bahaya ini, Tongky segera menerkam lawannya yang orang Cina itu.
Dan Donald menerkam lawannya yang orang Melayu. Cara mereka memang cara khas pasukan komando. Terlatih, cepat dan mematikan. Dan yang lebih penting, tak menimbulkan suara!
Tongky menyergap lawannya dengan pisau komando. Sergapannya dibuat sedemikian rupa. Sehingga ujung pisau komando itu menerkam jantung Cina tersebut bersamaan dengan tangan kirinya yang menyekap mulut Cina itu.
Cina itu kaget separoh mampus. Bukan hanya separoh mampus, tapi dia kaget sampai mampus. Mula-mula tubuhnya akan berkelonjotan seperti tubuh Keling yang dipancung kepalanya itu. Tapi Tongky menekan tubuhnya rapat ke tanah. Dan menyekap mulutnya kuat-kuat. Menghujamkan pisaunya sampai tembus kehulu!
Cina itu menggigit jari Tongky. Sakitnya bukan main. Tapi Tongky membiarkan. Lebih baik jarinya digigit. Biar saja, asal mulutnya tak terbuka. Jari tangan Tongky berdarah. Tapi akhirnya Cina itu mampus!
Tongky menarik nafas. Perlahan tubuhnya bergulingan ke samping. Menelentang diam. Dan perlahan masih dalam berguling, mencabut pisau komandonya yang tertancap di jantung Cina itu. Cina berdegap itu beralih jadi mayat.
Akan hanya Donald, dia juga mempergunakan pisau Komando. Ya, keistimewaan pasukan Komando, sebagaimana jamaknya pasukan komando. Ya, keistimewaan pasukan Komando, sebagaimana jamaknya pasukan komando di negara manapun, adalah kemahirannya dalam bela diri.
Dia menyerang dengan tusukan pisau komando. Serangan dengan pisau ini terutama ditujukan agar lawan tak bersuara. Dan serangan yang dilakukan juga tak menimbulkan suara. Namun orang Melayu yang dia serang ternyata punya reflek yang cepat.
Tikaman pisau komando itu berhasil dia tangkis. Meski lengannya jadi luka, tapi nyawznya selamat. Dia berusaha mengangkat bedil dan memberi ingat teman-temannya.
Tapi sergapan orang tak dikenalnya itu telah membungkam mulutnya. Tangan orang itu rapat sekali ke mulutnya.
Posisinya yang duduk menyusahkannya untuk bergerak bebas. Dia mengeliat. Tapi tangan kiri Donald benar-benar seperti melengket dimulutnya.
Donald sendiri, merasa serangan pisau komandonya luput, segera memiting leher orang itu dengan tangan kanannya. Dia berusaha menanamkan kedua lututnya di tanah. Orang itu menggelinjang, namun dia makin menekankan tubuhnya ke bawah. Dia tak ingin pergulatan ini menimbulkan suara. Suara harus dilenyapkan sedapat mungkin.
Jika suara tak bisa diredam, maka peyergapan bukan bernama penyergapan. Namanya sudah jadi pertempuran. Dan kalau pertempuran, maka nilainya sama saja dengan pasukan-pasukan biasa. Disitulah letak istimewanya pasukan komando.
Jika berperang dalam bentuk beregu atau Kompi, dia akan merupakan pasukan pemunah yang sangat tangguh, ditakuti dan berbahaya. Kalau berperang secara individu, maka dia merupakan ujung-ujung tombak yang amat berbisa.
Yang setiap goresannya merupakan maut.
Begitulah yang telah dibuktikan oleh Tongky. Dan kini Donald sedang berusaha menyelesaikan penyergapannya. Dia jadi malu kalau penyergapan ini ketahuan. Meskipun musuhnya ini bisa dia bunuh, namun suara yang ditimbulkan akan jadi cemooh nanti.
Dan untuk surut ke belakang akan membuang waktu panjang. Kapten Fabian dengan pasukannya di seberang sana pasti tak sabar lagi menanti. Maka tak ada jalan lain baginya, selain membiarkan punggungnya berlumur darah, dan kini dia merayap ke atas. Bergulingan dan hop! Kini dia berada pada posisi si Keling tadi. Tubuh keling itu terbaring menelentang. Dan si Bungsu berbaring disisinya.
Pada saat Cina tadi menyuruh Keling yang telah mati itu untuk diam, Donald dan Tongky pada saat yang hampir bersamaan terhenti. Mereka sebenarnya siap menyekap musuh mereka dari belakang. Tapi mendengar Cina itu memerintah si Keling, kedua lelaki yang akan mereka sekap itu berpaling.
Sebenarnya kedua orang itu berpaling ke arah tempat si Keling. Yaitu di dua belas depa dari lelaki yang akan disekap Tongky dan delapan depa dari lelaki yang akan disekap Donald.
Kedua orang itu juga mendengar suar semak-semak terkuak akibat gesekan tubuh si Keling. Ke arah itulah mereka berpaling. Meskipun mereka tak dapat melihat karena gelapnya malam, namun mereka menoleh juga. Dan malangnya baik Donald maupun Tongky berada di arah yang toleh kedua orang itu.
Kedua orang itu semula hanya melihat bayangan gelap. Dan bagi Tongky maupun Donald hal begini mereka maklumi sangat sebagai suatu bahaya. Kalau saja sempta salah seorang diantara orang yang mereka sekap ini berteriak, maka tamatlah riwayat penyergapan mereka. Mungkin mereka masih akan bisa memenangkan pertarungan. Tapi korban akan berjatuhan. Sedangkan mereka tak ingin seorangpun korban yang jatuh di pihak mereka.
Dan yang lebih penting lagi, kalau sampai terdengar tembakan, maka kapal yang sedang membongkafr muatan berupa perempuan-perempuan itu pasti akan melarikan diri.
Mengingat bahaya ini, Tongky segera menerkam lawannya yang orang Cina itu.
Dan Donald menerkam lawannya yang orang Melayu. Cara mereka memang cara khas pasukan komando. Terlatih, cepat dan mematikan. Dan yang lebih penting, tak menimbulkan suara!
Tongky menyergap lawannya dengan pisau komando. Sergapannya dibuat sedemikian rupa. Sehingga ujung pisau komando itu menerkam jantung Cina tersebut bersamaan dengan tangan kirinya yang menyekap mulut Cina itu.
Cina itu kaget separoh mampus. Bukan hanya separoh mampus, tapi dia kaget sampai mampus. Mula-mula tubuhnya akan berkelonjotan seperti tubuh Keling yang dipancung kepalanya itu. Tapi Tongky menekan tubuhnya rapat ke tanah. Dan menyekap mulutnya kuat-kuat. Menghujamkan pisaunya sampai tembus kehulu!
Cina itu menggigit jari Tongky. Sakitnya bukan main. Tapi Tongky membiarkan. Lebih baik jarinya digigit. Biar saja, asal mulutnya tak terbuka. Jari tangan Tongky berdarah. Tapi akhirnya Cina itu mampus!
Tongky menarik nafas. Perlahan tubuhnya bergulingan ke samping. Menelentang diam. Dan perlahan masih dalam berguling, mencabut pisau komandonya yang tertancap di jantung Cina itu. Cina berdegap itu beralih jadi mayat.
Akan hanya Donald, dia juga mempergunakan pisau Komando. Ya, keistimewaan pasukan Komando, sebagaimana jamaknya pasukan komando. Ya, keistimewaan pasukan Komando, sebagaimana jamaknya pasukan komando di negara manapun, adalah kemahirannya dalam bela diri.
Dia menyerang dengan tusukan pisau komando. Serangan dengan pisau ini terutama ditujukan agar lawan tak bersuara. Dan serangan yang dilakukan juga tak menimbulkan suara. Namun orang Melayu yang dia serang ternyata punya reflek yang cepat.
Tikaman pisau komando itu berhasil dia tangkis. Meski lengannya jadi luka, tapi nyawznya selamat. Dia berusaha mengangkat bedil dan memberi ingat teman-temannya.
Tapi sergapan orang tak dikenalnya itu telah membungkam mulutnya. Tangan orang itu rapat sekali ke mulutnya.
Posisinya yang duduk menyusahkannya untuk bergerak bebas. Dia mengeliat. Tapi tangan kiri Donald benar-benar seperti melengket dimulutnya.
Donald sendiri, merasa serangan pisau komandonya luput, segera memiting leher orang itu dengan tangan kanannya. Dia berusaha menanamkan kedua lututnya di tanah. Orang itu menggelinjang, namun dia makin menekankan tubuhnya ke bawah. Dia tak ingin pergulatan ini menimbulkan suara. Suara harus dilenyapkan sedapat mungkin.
Jika suara tak bisa diredam, maka peyergapan bukan bernama penyergapan. Namanya sudah jadi pertempuran. Dan kalau pertempuran, maka nilainya sama saja dengan pasukan-pasukan biasa. Disitulah letak istimewanya pasukan komando.
Jika berperang dalam bentuk beregu atau Kompi, dia akan merupakan pasukan pemunah yang sangat tangguh, ditakuti dan berbahaya. Kalau berperang secara individu, maka dia merupakan ujung-ujung tombak yang amat berbisa.
Yang setiap goresannya merupakan maut.
Begitulah yang telah dibuktikan oleh Tongky. Dan kini Donald sedang berusaha menyelesaikan penyergapannya. Dia jadi malu kalau penyergapan ini ketahuan. Meskipun musuhnya ini bisa dia bunuh, namun suara yang ditimbulkan akan jadi cemooh nanti.
Pada saat Cina tadi menyuruh Keling yang telah mati itu untuk diam, Donald dan Tongky pada saat yang hampir bersamaan terhenti. Mereka sebenarnya siap menyekap musuh mereka dari belakang. Tapi mendengar Cina itu memerintah si Keling, kedua lelaki yang akan mereka sekap itu berpaling.
Sebenarnya kedua orang itu berpaling ke arah tempat si Keling. Yaitu di dua belas depa dari lelaki yang akan disekap Tongky dan delapan depa dari lelaki yang akan disekap Donald.
Kedua orang itu juga mendengar suar semak-semak terkuak akibat gesekan tubuh si Keling. Ke arah itulah mereka berpaling. Meskipun mereka tak dapat melihat karena gelapnya malam, namun mereka menoleh juga. Dan malangnya baik Donald maupun Tongky berada di arah yang toleh kedua orang itu.
Kedua orang itu semula hanya melihat bayangan gelap. Dan bagi Tongky maupun Donald hal begini mereka maklumi sangat sebagai suatu bahaya. Kalau saja sempta salah seorang diantara orang yang mereka sekap ini berteriak, maka tamatlah riwayat penyergapan mereka. Mungkin mereka masih akan bisa memenangkan pertarungan. Tapi korban akan berjatuhan. Sedangkan mereka tak ingin seorangpun korban yang jatuh di pihak mereka.
Dan yang lebih penting lagi, kalau sampai terdengar tembakan, maka kapal yang sedang membongkafr muatan berupa perempuan-perempuan itu pasti akan melarikan diri.
Mengingat bahaya ini, Tongky segera menerkam lawannya yang orang Cina itu.
Dan Donald menerkam lawannya yang orang Melayu. Cara mereka memang cara khas pasukan komando. Terlatih, cepat dan mematikan. Dan yang lebih penting, tak menimbulkan suara!
Tongky menyergap lawannya dengan pisau komando. Sergapannya dibuat sedemikian rupa. Sehingga ujung pisau komando itu menerkam jantung Cina tersebut bersamaan dengan tangan kirinya yang menyekap mulut Cina itu.
Cina itu kaget separoh mampus. Bukan hanya separoh mampus, tapi dia kaget sampai mampus. Mula-mula tubuhnya akan berkelonjotan seperti tubuh Keling yang dipancung kepalanya itu. Tapi Tongky menekan tubuhnya rapat ke tanah. Dan menyekap mulutnya kuat-kuat. Menghujamkan pisaunya sampai tembus kehulu!
Cina itu menggigit jari Tongky. Sakitnya bukan main. Tapi Tongky membiarkan. Lebih baik jarinya digigit. Biar saja, asal mulutnya tak terbuka. Jari tangan Tongky berdarah. Tapi akhirnya Cina itu mampus!
Tongky menarik nafas. Perlahan tubuhnya bergulingan ke samping. Menelentang diam. Dan perlahan masih dalam berguling, mencabut pisau komandonya yang tertancap di jantung Cina itu. Cina berdegap itu beralih jadi mayat.
Akan hanya Donald, dia juga mempergunakan pisau Komando. Ya, keistimewaan pasukan Komando, sebagaimana jamaknya pasukan komando. Ya, keistimewaan pasukan Komando, sebagaimana jamaknya pasukan komando di negara manapun, adalah kemahirannya dalam bela diri.
Dia menyerang dengan tusukan pisau komando. Serangan dengan pisau ini terutama ditujukan agar lawan tak bersuara. Dan serangan yang dilakukan juga tak menimbulkan suara. Namun orang Melayu yang dia serang ternyata punya reflek yang cepat.
Tikaman pisau komando itu berhasil dia tangkis. Meski lengannya jadi luka, tapi nyawznya selamat. Dia berusaha mengangkat bedil dan memberi ingat teman-temannya.
Tapi sergapan orang tak dikenalnya itu telah membungkam mulutnya. Tangan orang itu rapat sekali ke mulutnya.
Posisinya yang duduk menyusahkannya untuk bergerak bebas. Dia mengeliat. Tapi tangan kiri Donald benar-benar seperti melengket dimulutnya.
Donald sendiri, merasa serangan pisau komandonya luput, segera memiting leher orang itu dengan tangan kanannya. Dia berusaha menanamkan kedua lututnya di tanah. Orang itu menggelinjang, namun dia makin menekankan tubuhnya ke bawah. Dia tak ingin pergulatan ini menimbulkan suara. Suara harus dilenyapkan sedapat mungkin.
Jika suara tak bisa diredam, maka peyergapan bukan bernama penyergapan. Namanya sudah jadi pertempuran. Dan kalau pertempuran, maka nilainya sama saja dengan pasukan-pasukan biasa. Disitulah letak istimewanya pasukan komando.
Jika berperang dalam bentuk beregu atau Kompi, dia akan merupakan pasukan pemunah yang sangat tangguh, ditakuti dan berbahaya. Kalau berperang secara individu, maka dia merupakan ujung-ujung tombak yang amat berbisa.
Yang setiap goresannya merupakan maut.
Begitulah yang telah dibuktikan oleh Tongky. Dan kini Donald sedang berusaha menyelesaikan penyergapannya. Dia jadi malu kalau penyergapan ini ketahuan. Meskipun musuhnya ini bisa dia bunuh, namun suara yang ditimbulkan akan jadi cemooh nanti.
Tikam Samurai - 306
Dengan tetap mendekap mulut orang Melayu itu, Donald memiting lehernya dengan kuat. Pitingannya makin menjepit. Dia memiting dengan sebuah pitingan Yudo yang tangguh. Tubuh orang Melayu itu mulai menggeletar. Dan suatu saat terdengar suara berderak. Kepala orang itu terkulai. Tulang lehernya ternyata patah!
Dalam usahanya mematahkan perlawanan orang Melayu itu, Donald mendekap mulutnya dengan tangan kiri dengan kuat. Kemudian memiting lehernya dengan lengan kanan. Yaitu setelah lengan kanannya gagal memasukkan pisau komando.
Dia memiting dengan segenap tenaga. Kemudian dengan segenap tenaganya pula, tangan kirinya yang masih mendekap mulut, dia tolakkan ke kanan. Akibatnya sungguh fatal bagi orang itu. Tulang lehernya patah!
Donald masih memiting leher orang itu beberapa saat. Bahkan tangan kirinya masih mendekap mulut orang itu. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Berusaha mendengar reaksi. Apakah pergumulannya ini terdengar tadi atau tidak?
Tak ada suara apa-apa. Perlahan dia membaringkan tubuh orang itu ke tanah. Kemudian dia menghapus peluh. Waktu yang termakan oleh mereka sejak mereka bersalaman tadi, sampai terbunuhnya ketiga orang itu adalah empat menit. Jadi jika dihitung sejak mereka mulai menyebrang rawa, yaitu sejak meninggalkan Kapten Fabian dan lima anggota lainnya di seberang sana, telah habis waktu selama enam belas menit.
Keadaan kini jadi sepi. Tak ada suara. Dan si Bungsu yakin, sebagaimana Donald dan Tongky juga yakin, bahwa teman-temanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik.
Kini mereka menanti. Sementara si Bungsu yang harus menyelesaikan Cina di atas pohon itu, tengah merangkak ke pohon tersebut.
Dia merangkak mendekati tempat itu dari arah belakang. Posisi ini menguntungkan dirinya. Sebab Cina itu pasti tetap memandang ke depan. Ke rawa yang airnya hitam dalam gelapnya malam itu.
Dia tengah merangkak, ketika dari seberang sana terdengar suara burung malam. Tak sembarang orang bisa mengetahui bahwa suara itu sebenarnya adalah suara manusia. Isyarat yang dikirimkan oleh regu Kapten Fabian.
Si Bungsu menangkap bunyi itu. Dia berhenti merangkak. Dan tiba-tiba dia dengar suara yang sama dari arah kanannya. Suara itu kalau tidak balasan dari Tongky pastilah balasan dari Donald. Jawabannya itu hanya sekali. Kemudian sepi.
Si Bungsu merangkak lagi. Makin dekat ke pohon rendah itu. Ah, soal merangkak dalam semak-semak tanpa menimbulkan bunyi, dia tak usah malu pada anggota Baret Hijau itu. Pekerjaan itu sudah merupakan mainannya ketika di Gunung Sago.
Bukankah ketika mengintai rusa atau kijang untuk persediaan makanan dia harus menanti atau merangkak mendekati hewan itu ketika mereka sedang minum di tebat kecil di rimba belantara itu? Nah, pekerjaan itu mula-mula amat susah bua dia lakukan. Dia masih ingat, selama sebulan dia berusaha mendekati rusa itu, tapi dari jarak seratus meter, rusa itu sudah tahu akan kehadirannya.
Tidak saja dia lupa memperhitungkan arah angin, sehingga bau tubuhnya tercium oleh binatang itu, tapi gerakan kakinya dia anggap sudah sangat hati-hati dan perlahan sekali, rupanya sangat hinggar binggar di telinga binatang-binatang itu.
Dari kesulitan hidup di belantara itu dia belajar. Akhirnya di bulan kedua dia berhasil mendekati tempat binatang tersebut tanpa diketahui.
Menginjak bulan purnama, dengan mudah dia menangkap kijang atau rusa yang tengah makan rumput. Dia merayap dari balik alang-alang tanpa diketahui sedikitpun. Dan kini dia mengulangi lagi kaji lama itu.
Dengan mudah kini dia berada di bawah pohon tersebut. Menembus gelapnya malam dan rimbunan daun, dia berhasil melihat sesosok tubuh duduk dengan enaknya di sebuah cabang yang benar-benar strategis dan mirip kursi. Pantaslah Cina itu tak menimbulkan suara sedikitpun. Sebab dia tak usah susah-suah merubah posisi. Posisi duduknya sudah sedemikian enaknya. Dahan tempat duduknya lebar. Ada dahan lain dikiri kanan tempat kaki.
Dan dibelakangnya tegak batang pohon tersebut untuk bersandar. Hm, benar-benar tempat yang enak.
Kalaupun ada suara yang ditimbulkan oleh Cina itu, hanyalah dari mulutnya. Mulutnya mengunyah terus-terusan. Nampaknya dia seorang profesional benar.
Menanti musuh dengan senjata api siap memuntahkan peluru, dan sekantong makanan di dekatnya. Makan itulah yang dikunyah dan dilahapnya terus selama penantian tersebut.
Pantas saja dia tak merasa bosan seperti teman-temannya yang lain.
Cina itu merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah botol picak. Membuka tutupnya, lalu meneguk isinya. Si Bungsu yang tiarap setengah depa dari pangkal pohon itu segera dapat mencium bau minuman keras menyeruak dari mulut botol tersebut.
Dan saat itulah si Bungsu menginsut tubuh. Dia tegak perlahan. Kalau sekedar ingin membunuh, maka Cina itu sudah kehilangan kepala dia buat. Ketika si Bungsu tegak, Cina itu persis berada sama tinggi dengannya. Dia duduk di dahan yang tingginya hanya setengah meter dari tanah. Dan kini tanpa dia sadari sedikitpun, seseorang dengan sebilah samurai yang sudah terlalu banyak merenggut nyawa berada persis di balik pohon yang dia buat sebagai tempat sandaran tubuhnya.
Dengan tetap mendekap mulut orang Melayu itu, Donald memiting lehernya dengan kuat. Pitingannya makin menjepit. Dia memiting dengan sebuah pitingan Yudo yang tangguh. Tubuh orang Melayu itu mulai menggeletar. Dan suatu saat terdengar suara berderak. Kepala orang itu terkulai. Tulang lehernya ternyata patah!
Dalam usahanya mematahkan perlawanan orang Melayu itu, Donald mendekap mulutnya dengan tangan kiri dengan kuat. Kemudian memiting lehernya dengan lengan kanan. Yaitu setelah lengan kanannya gagal memasukkan pisau komando.
Dia memiting dengan segenap tenaga. Kemudian dengan segenap tenaganya pula, tangan kirinya yang masih mendekap mulut, dia tolakkan ke kanan. Akibatnya sungguh fatal bagi orang itu. Tulang lehernya patah!
Donald masih memiting leher orang itu beberapa saat. Bahkan tangan kirinya masih mendekap mulut orang itu. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Berusaha mendengar reaksi. Apakah pergumulannya ini terdengar tadi atau tidak?
Tak ada suara apa-apa. Perlahan dia membaringkan tubuh orang itu ke tanah. Kemudian dia menghapus peluh. Waktu yang termakan oleh mereka sejak mereka bersalaman tadi, sampai terbunuhnya ketiga orang itu adalah empat menit. Jadi jika dihitung sejak mereka mulai menyebrang rawa, yaitu sejak meninggalkan Kapten Fabian dan lima anggota lainnya di seberang sana, telah habis waktu selama enam belas menit.
Keadaan kini jadi sepi. Tak ada suara. Dan si Bungsu yakin, sebagaimana Donald dan Tongky juga yakin, bahwa teman-temanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik.
Kini mereka menanti. Sementara si Bungsu yang harus menyelesaikan Cina di atas pohon itu, tengah merangkak ke pohon tersebut.
Dia merangkak mendekati tempat itu dari arah belakang. Posisi ini menguntungkan dirinya. Sebab Cina itu pasti tetap memandang ke depan. Ke rawa yang airnya hitam dalam gelapnya malam itu.
Dia tengah merangkak, ketika dari seberang sana terdengar suara burung malam. Tak sembarang orang bisa mengetahui bahwa suara itu sebenarnya adalah suara manusia. Isyarat yang dikirimkan oleh regu Kapten Fabian.
Si Bungsu menangkap bunyi itu. Dia berhenti merangkak. Dan tiba-tiba dia dengar suara yang sama dari arah kanannya. Suara itu kalau tidak balasan dari Tongky pastilah balasan dari Donald. Jawabannya itu hanya sekali. Kemudian sepi.
Si Bungsu merangkak lagi. Makin dekat ke pohon rendah itu. Ah, soal merangkak dalam semak-semak tanpa menimbulkan bunyi, dia tak usah malu pada anggota Baret Hijau itu. Pekerjaan itu sudah merupakan mainannya ketika di Gunung Sago.
Bukankah ketika mengintai rusa atau kijang untuk persediaan makanan dia harus menanti atau merangkak mendekati hewan itu ketika mereka sedang minum di tebat kecil di rimba belantara itu? Nah, pekerjaan itu mula-mula amat susah bua dia lakukan. Dia masih ingat, selama sebulan dia berusaha mendekati rusa itu, tapi dari jarak seratus meter, rusa itu sudah tahu akan kehadirannya.
Tidak saja dia lupa memperhitungkan arah angin, sehingga bau tubuhnya tercium oleh binatang itu, tapi gerakan kakinya dia anggap sudah sangat hati-hati dan perlahan sekali, rupanya sangat hinggar binggar di telinga binatang-binatang itu.
Dari kesulitan hidup di belantara itu dia belajar. Akhirnya di bulan kedua dia berhasil mendekati tempat binatang tersebut tanpa diketahui.
Menginjak bulan purnama, dengan mudah dia menangkap kijang atau rusa yang tengah makan rumput. Dia merayap dari balik alang-alang tanpa diketahui sedikitpun. Dan kini dia mengulangi lagi kaji lama itu.
Dengan mudah kini dia berada di bawah pohon tersebut. Menembus gelapnya malam dan rimbunan daun, dia berhasil melihat sesosok tubuh duduk dengan enaknya di sebuah cabang yang benar-benar strategis dan mirip kursi. Pantaslah Cina itu tak menimbulkan suara sedikitpun. Sebab dia tak usah susah-suah merubah posisi. Posisi duduknya sudah sedemikian enaknya. Dahan tempat duduknya lebar. Ada dahan lain dikiri kanan tempat kaki.
Dan dibelakangnya tegak batang pohon tersebut untuk bersandar. Hm, benar-benar tempat yang enak.
Kalaupun ada suara yang ditimbulkan oleh Cina itu, hanyalah dari mulutnya. Mulutnya mengunyah terus-terusan. Nampaknya dia seorang profesional benar.
Menanti musuh dengan senjata api siap memuntahkan peluru, dan sekantong makanan di dekatnya. Makan itulah yang dikunyah dan dilahapnya terus selama penantian tersebut.
Pantas saja dia tak merasa bosan seperti teman-temannya yang lain.
Cina itu merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah botol picak. Membuka tutupnya, lalu meneguk isinya. Si Bungsu yang tiarap setengah depa dari pangkal pohon itu segera dapat mencium bau minuman keras menyeruak dari mulut botol tersebut.
Dan saat itulah si Bungsu menginsut tubuh. Dia tegak perlahan. Kalau sekedar ingin membunuh, maka Cina itu sudah kehilangan kepala dia buat. Ketika si Bungsu tegak, Cina itu persis berada sama tinggi dengannya. Dia duduk di dahan yang tingginya hanya setengah meter dari tanah. Dan kini tanpa dia sadari sedikitpun, seseorang dengan sebilah samurai yang sudah terlalu banyak merenggut nyawa berada persis di balik pohon yang dia buat sebagai tempat sandaran tubuhnya.
Dalam usahanya mematahkan perlawanan orang Melayu itu, Donald mendekap mulutnya dengan tangan kiri dengan kuat. Kemudian memiting lehernya dengan lengan kanan. Yaitu setelah lengan kanannya gagal memasukkan pisau komando.
Dia memiting dengan segenap tenaga. Kemudian dengan segenap tenaganya pula, tangan kirinya yang masih mendekap mulut, dia tolakkan ke kanan. Akibatnya sungguh fatal bagi orang itu. Tulang lehernya patah!
Donald masih memiting leher orang itu beberapa saat. Bahkan tangan kirinya masih mendekap mulut orang itu. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Berusaha mendengar reaksi. Apakah pergumulannya ini terdengar tadi atau tidak?
Tak ada suara apa-apa. Perlahan dia membaringkan tubuh orang itu ke tanah. Kemudian dia menghapus peluh. Waktu yang termakan oleh mereka sejak mereka bersalaman tadi, sampai terbunuhnya ketiga orang itu adalah empat menit. Jadi jika dihitung sejak mereka mulai menyebrang rawa, yaitu sejak meninggalkan Kapten Fabian dan lima anggota lainnya di seberang sana, telah habis waktu selama enam belas menit.
Keadaan kini jadi sepi. Tak ada suara. Dan si Bungsu yakin, sebagaimana Donald dan Tongky juga yakin, bahwa teman-temanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik.
Kini mereka menanti. Sementara si Bungsu yang harus menyelesaikan Cina di atas pohon itu, tengah merangkak ke pohon tersebut.
Dia merangkak mendekati tempat itu dari arah belakang. Posisi ini menguntungkan dirinya. Sebab Cina itu pasti tetap memandang ke depan. Ke rawa yang airnya hitam dalam gelapnya malam itu.
Dia tengah merangkak, ketika dari seberang sana terdengar suara burung malam. Tak sembarang orang bisa mengetahui bahwa suara itu sebenarnya adalah suara manusia. Isyarat yang dikirimkan oleh regu Kapten Fabian.
Si Bungsu menangkap bunyi itu. Dia berhenti merangkak. Dan tiba-tiba dia dengar suara yang sama dari arah kanannya. Suara itu kalau tidak balasan dari Tongky pastilah balasan dari Donald. Jawabannya itu hanya sekali. Kemudian sepi.
Si Bungsu merangkak lagi. Makin dekat ke pohon rendah itu. Ah, soal merangkak dalam semak-semak tanpa menimbulkan bunyi, dia tak usah malu pada anggota Baret Hijau itu. Pekerjaan itu sudah merupakan mainannya ketika di Gunung Sago.
Bukankah ketika mengintai rusa atau kijang untuk persediaan makanan dia harus menanti atau merangkak mendekati hewan itu ketika mereka sedang minum di tebat kecil di rimba belantara itu? Nah, pekerjaan itu mula-mula amat susah bua dia lakukan. Dia masih ingat, selama sebulan dia berusaha mendekati rusa itu, tapi dari jarak seratus meter, rusa itu sudah tahu akan kehadirannya.
Tidak saja dia lupa memperhitungkan arah angin, sehingga bau tubuhnya tercium oleh binatang itu, tapi gerakan kakinya dia anggap sudah sangat hati-hati dan perlahan sekali, rupanya sangat hinggar binggar di telinga binatang-binatang itu.
Dari kesulitan hidup di belantara itu dia belajar. Akhirnya di bulan kedua dia berhasil mendekati tempat binatang tersebut tanpa diketahui.
Menginjak bulan purnama, dengan mudah dia menangkap kijang atau rusa yang tengah makan rumput. Dia merayap dari balik alang-alang tanpa diketahui sedikitpun. Dan kini dia mengulangi lagi kaji lama itu.
Dengan mudah kini dia berada di bawah pohon tersebut. Menembus gelapnya malam dan rimbunan daun, dia berhasil melihat sesosok tubuh duduk dengan enaknya di sebuah cabang yang benar-benar strategis dan mirip kursi. Pantaslah Cina itu tak menimbulkan suara sedikitpun. Sebab dia tak usah susah-suah merubah posisi. Posisi duduknya sudah sedemikian enaknya. Dahan tempat duduknya lebar. Ada dahan lain dikiri kanan tempat kaki.
Dan dibelakangnya tegak batang pohon tersebut untuk bersandar. Hm, benar-benar tempat yang enak.
Kalaupun ada suara yang ditimbulkan oleh Cina itu, hanyalah dari mulutnya. Mulutnya mengunyah terus-terusan. Nampaknya dia seorang profesional benar.
Menanti musuh dengan senjata api siap memuntahkan peluru, dan sekantong makanan di dekatnya. Makan itulah yang dikunyah dan dilahapnya terus selama penantian tersebut.
Pantas saja dia tak merasa bosan seperti teman-temannya yang lain.
Cina itu merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah botol picak. Membuka tutupnya, lalu meneguk isinya. Si Bungsu yang tiarap setengah depa dari pangkal pohon itu segera dapat mencium bau minuman keras menyeruak dari mulut botol tersebut.
Dan saat itulah si Bungsu menginsut tubuh. Dia tegak perlahan. Kalau sekedar ingin membunuh, maka Cina itu sudah kehilangan kepala dia buat. Ketika si Bungsu tegak, Cina itu persis berada sama tinggi dengannya. Dia duduk di dahan yang tingginya hanya setengah meter dari tanah. Dan kini tanpa dia sadari sedikitpun, seseorang dengan sebilah samurai yang sudah terlalu banyak merenggut nyawa berada persis di balik pohon yang dia buat sebagai tempat sandaran tubuhnya.
Tikam Samurai - 307
“Psst….!” Cina itu mendengar isyarat di belakangnya. Tanpa curiga dia menoleh. Dan tiba-tiba saja sebuah benda panjang lagi dingin dan tajam, tertekan di lehernya.
“Jangan bersuara kalau engkau masih ingin tetap memilki kepalamu ini….” Terdengar suara bisikan perlahan dan bernada datar dirumpun telinganya.
Kalau ada seekor ular berbisa melilit tubuhnya saat itu, mungkin Cina tersebut takkan kaget dan takut seperti yang dialami saat ini. Betapa mungkin, seseorang mendekati tempatnya tanpa dia ketahui sedikitpun? Siapapun orang yang mengancamnya ini, meski tak dia ketahui, namun yang pasti, orang ini adalah seorang tangguh dan amat berbahaya. Dan ancamannya pastilah tidak main-main.
Cina itu menggeleng. Gelengannya tanda persetujuan bhawa dia takkan bersuara. Tanda pengakuan bhawa dia masih ingin memiliki kepala di atas lehernya.
“Engkau harus bicara bilamana ku perintahkan…” suara dingin dan datar itu kembali berbisik di pangkal telinganya. Cina itu menelan ludah. Lalu mengangguk.
“Dan apa yang akan kau katakan, haruslah menurut yang kuingini..”
Cina itu tak segera mengangguk. Mata samurai menekan lehernya.
Dan dia segera merasakan bahwa mata benda yang ditekankan ke lehernya itu telah memakan daging lehernya. Terasa pedih. Dan sesuatu yang cair lagi panas mengalir di lehernya itu. Darah! Dengan wajah pucat dan ketakutan yang amat sangat, Cina itu mengangguk. Dia benar-benar hampir tak bernafas saking takutnya.
“Nah bagus begitu! Berapa orang anggotamu yang menanti di sekitar ini?” suara si Bungsu terdengar lagi berbisik.
“Jangan bohong, sebab aku takkan pernah mengangkat mata samurai ini dari lehermu sebelum semua keteranganmu kuketahui benar adanya. Sekali engkau coba berbohong, maka engkau akan duduk disini tanpa kepala…”
“Ada delapan orang..”
Delapan orang. Berarti sembilan dengan Cina ini. Tiga sudah mati. Yang satu kini dia kuasai. Jadi empat telah dilumpuhkan. Tinggal kini lima orang. Pikiran si Bungsu bekerja cepat.
“Suruh mereka berkumpul kemari semua..” si Bungsu berbisik lagi. Dan Cina itu nampaknya memang pimpinan penyergapan itu. Dia segera memberikan perintah untuk berkumpul. Dan teman-temannya yang lain, karena merasa bosan menanti tanpa hasil sejak tadi, segera berdatangan.
Si Bungsu memberi isyarat dengan bunyi siulan yang mirip suara burung. Dan Donald serta Tongky yang masih tiarap dalam semak belukar mendengar siulan itu. Mereka segera mengerti maksudnya. Kedua orang ini segera menanti. Begitu anggota-anggota sindikat itu tegak dan berjalan dalam kegelapan menuju tempat Cina itu, mereka jua ikut berdiri. Dan ikut berkumpul dekat kayu tersebut.
Cahaya gelap membantu mereka. Tak ada yang tahu bahwa diantara yang berjalan menuju tempat berkumpul itu ada dua orang lain yang tak sama dengan mereka. Dan penyelusupan itu baru diketahui ketika mereka semua telah berkumpul.
“Jangan ada yang bergerak. Kami pasukan Baret Hijau. Jika ada yang melakukan sedikit saja gerakkan, akan kami siram dengan peluru” terdengar suara Tongky perlahan. Semua jadi kaget. Mereka menoleh. Dan dalam kegelapan itu ada dua orang yang tegak hanya setengah depa dari mereka. Mengacungkan bedil dan siap tembak.
Dalam jarak begitu dekat, mana ada harapan bagi mereka untuk melakukan sesuatu? Mereka hanya heran, mana tiga orang lagi teman mereka? Dan mana Cina yang memimpin mereka yang tadi menyuruh mereka berkumpul?
Si Bungsu membisikkan sesuatu ke pangkal telinga Cina itu. Dan terdengar suara Cina itu:
“Menyerahlah. Kita sudah terkepung…..”
Terdengar sumpah serapah. Tongky dan Donald bertindak cepat. Mereka melucuti keempat orang itu. Dan memaksanya tengkurap.
“Beri isyarat pada Kapten Fabian….” Suara si Bungsu terdengar perlahan. Tongky kemudian mengirim isyarat itu. Suara burung malam terdengar berbunyi tiga kali dari mulutnya.
Dari seberang terdengar pula sahutan sekali.
“Mereka berhasil. Mari kita menyeberang. Cepat!!” suara Kapten Fabian memrintahkan regunya. Dan keenam pasukan Baret Hijau ini segera memasuki rawa dan menyebranginya.
Memerlukan waktu lima menit bagi mereka untuk berjalan mengarungi rawa pekat itu.
Mereka segara saja sampai ke tempat ketiga orang itu meringkus lawannya. Keenam anggota sindikat yang semula bermaksud menyiksa mereka kini telah tertelungkup di tanah. Keenamnya dalam keadaan terikat tangannya kebelakang. Dan terikat kakinya satu dengan yang lainnya.
“Letnan” Bungsu menyerahkan tawanan itu pada Kapten Fabian. Dan menerangkan bahwa yang memimpin penyergapan ini adalah Cina yang tertelungkup paling kanan. Kapten tersebut menyalakan senter kecil. Menerangi wajah Cina itu.
“Psst….!” Cina itu mendengar isyarat di belakangnya. Tanpa curiga dia menoleh. Dan tiba-tiba saja sebuah benda panjang lagi dingin dan tajam, tertekan di lehernya.
“Jangan bersuara kalau engkau masih ingin tetap memilki kepalamu ini….” Terdengar suara bisikan perlahan dan bernada datar dirumpun telinganya.
Kalau ada seekor ular berbisa melilit tubuhnya saat itu, mungkin Cina tersebut takkan kaget dan takut seperti yang dialami saat ini. Betapa mungkin, seseorang mendekati tempatnya tanpa dia ketahui sedikitpun? Siapapun orang yang mengancamnya ini, meski tak dia ketahui, namun yang pasti, orang ini adalah seorang tangguh dan amat berbahaya. Dan ancamannya pastilah tidak main-main.
Cina itu menggeleng. Gelengannya tanda persetujuan bhawa dia takkan bersuara. Tanda pengakuan bhawa dia masih ingin memiliki kepala di atas lehernya.
“Engkau harus bicara bilamana ku perintahkan…” suara dingin dan datar itu kembali berbisik di pangkal telinganya. Cina itu menelan ludah. Lalu mengangguk.
“Dan apa yang akan kau katakan, haruslah menurut yang kuingini..”
Cina itu tak segera mengangguk. Mata samurai menekan lehernya.
Dan dia segera merasakan bahwa mata benda yang ditekankan ke lehernya itu telah memakan daging lehernya. Terasa pedih. Dan sesuatu yang cair lagi panas mengalir di lehernya itu. Darah! Dengan wajah pucat dan ketakutan yang amat sangat, Cina itu mengangguk. Dia benar-benar hampir tak bernafas saking takutnya.
“Nah bagus begitu! Berapa orang anggotamu yang menanti di sekitar ini?” suara si Bungsu terdengar lagi berbisik.
“Jangan bohong, sebab aku takkan pernah mengangkat mata samurai ini dari lehermu sebelum semua keteranganmu kuketahui benar adanya. Sekali engkau coba berbohong, maka engkau akan duduk disini tanpa kepala…”
“Ada delapan orang..”
Delapan orang. Berarti sembilan dengan Cina ini. Tiga sudah mati. Yang satu kini dia kuasai. Jadi empat telah dilumpuhkan. Tinggal kini lima orang. Pikiran si Bungsu bekerja cepat.
“Suruh mereka berkumpul kemari semua..” si Bungsu berbisik lagi. Dan Cina itu nampaknya memang pimpinan penyergapan itu. Dia segera memberikan perintah untuk berkumpul. Dan teman-temannya yang lain, karena merasa bosan menanti tanpa hasil sejak tadi, segera berdatangan.
Si Bungsu memberi isyarat dengan bunyi siulan yang mirip suara burung. Dan Donald serta Tongky yang masih tiarap dalam semak belukar mendengar siulan itu. Mereka segera mengerti maksudnya. Kedua orang ini segera menanti. Begitu anggota-anggota sindikat itu tegak dan berjalan dalam kegelapan menuju tempat Cina itu, mereka jua ikut berdiri. Dan ikut berkumpul dekat kayu tersebut.
Cahaya gelap membantu mereka. Tak ada yang tahu bahwa diantara yang berjalan menuju tempat berkumpul itu ada dua orang lain yang tak sama dengan mereka. Dan penyelusupan itu baru diketahui ketika mereka semua telah berkumpul.
“Jangan ada yang bergerak. Kami pasukan Baret Hijau. Jika ada yang melakukan sedikit saja gerakkan, akan kami siram dengan peluru” terdengar suara Tongky perlahan. Semua jadi kaget. Mereka menoleh. Dan dalam kegelapan itu ada dua orang yang tegak hanya setengah depa dari mereka. Mengacungkan bedil dan siap tembak.
Dalam jarak begitu dekat, mana ada harapan bagi mereka untuk melakukan sesuatu? Mereka hanya heran, mana tiga orang lagi teman mereka? Dan mana Cina yang memimpin mereka yang tadi menyuruh mereka berkumpul?
Si Bungsu membisikkan sesuatu ke pangkal telinga Cina itu. Dan terdengar suara Cina itu:
“Menyerahlah. Kita sudah terkepung…..”
Terdengar sumpah serapah. Tongky dan Donald bertindak cepat. Mereka melucuti keempat orang itu. Dan memaksanya tengkurap.
“Beri isyarat pada Kapten Fabian….” Suara si Bungsu terdengar perlahan. Tongky kemudian mengirim isyarat itu. Suara burung malam terdengar berbunyi tiga kali dari mulutnya.
Dari seberang terdengar pula sahutan sekali.
“Mereka berhasil. Mari kita menyeberang. Cepat!!” suara Kapten Fabian memrintahkan regunya. Dan keenam pasukan Baret Hijau ini segera memasuki rawa dan menyebranginya.
Memerlukan waktu lima menit bagi mereka untuk berjalan mengarungi rawa pekat itu.
Mereka segara saja sampai ke tempat ketiga orang itu meringkus lawannya. Keenam anggota sindikat yang semula bermaksud menyiksa mereka kini telah tertelungkup di tanah. Keenamnya dalam keadaan terikat tangannya kebelakang. Dan terikat kakinya satu dengan yang lainnya.
“Letnan” Bungsu menyerahkan tawanan itu pada Kapten Fabian. Dan menerangkan bahwa yang memimpin penyergapan ini adalah Cina yang tertelungkup paling kanan. Kapten tersebut menyalakan senter kecil. Menerangi wajah Cina itu.
“Jangan bersuara kalau engkau masih ingin tetap memilki kepalamu ini….” Terdengar suara bisikan perlahan dan bernada datar dirumpun telinganya.
Kalau ada seekor ular berbisa melilit tubuhnya saat itu, mungkin Cina tersebut takkan kaget dan takut seperti yang dialami saat ini. Betapa mungkin, seseorang mendekati tempatnya tanpa dia ketahui sedikitpun? Siapapun orang yang mengancamnya ini, meski tak dia ketahui, namun yang pasti, orang ini adalah seorang tangguh dan amat berbahaya. Dan ancamannya pastilah tidak main-main.
Cina itu menggeleng. Gelengannya tanda persetujuan bhawa dia takkan bersuara. Tanda pengakuan bhawa dia masih ingin memiliki kepala di atas lehernya.
“Engkau harus bicara bilamana ku perintahkan…” suara dingin dan datar itu kembali berbisik di pangkal telinganya. Cina itu menelan ludah. Lalu mengangguk.
“Dan apa yang akan kau katakan, haruslah menurut yang kuingini..”
Cina itu tak segera mengangguk. Mata samurai menekan lehernya.
Dan dia segera merasakan bahwa mata benda yang ditekankan ke lehernya itu telah memakan daging lehernya. Terasa pedih. Dan sesuatu yang cair lagi panas mengalir di lehernya itu. Darah! Dengan wajah pucat dan ketakutan yang amat sangat, Cina itu mengangguk. Dia benar-benar hampir tak bernafas saking takutnya.
“Nah bagus begitu! Berapa orang anggotamu yang menanti di sekitar ini?” suara si Bungsu terdengar lagi berbisik.
“Jangan bohong, sebab aku takkan pernah mengangkat mata samurai ini dari lehermu sebelum semua keteranganmu kuketahui benar adanya. Sekali engkau coba berbohong, maka engkau akan duduk disini tanpa kepala…”
“Ada delapan orang..”
Delapan orang. Berarti sembilan dengan Cina ini. Tiga sudah mati. Yang satu kini dia kuasai. Jadi empat telah dilumpuhkan. Tinggal kini lima orang. Pikiran si Bungsu bekerja cepat.
“Suruh mereka berkumpul kemari semua..” si Bungsu berbisik lagi. Dan Cina itu nampaknya memang pimpinan penyergapan itu. Dia segera memberikan perintah untuk berkumpul. Dan teman-temannya yang lain, karena merasa bosan menanti tanpa hasil sejak tadi, segera berdatangan.
Si Bungsu memberi isyarat dengan bunyi siulan yang mirip suara burung. Dan Donald serta Tongky yang masih tiarap dalam semak belukar mendengar siulan itu. Mereka segera mengerti maksudnya. Kedua orang ini segera menanti. Begitu anggota-anggota sindikat itu tegak dan berjalan dalam kegelapan menuju tempat Cina itu, mereka jua ikut berdiri. Dan ikut berkumpul dekat kayu tersebut.
Cahaya gelap membantu mereka. Tak ada yang tahu bahwa diantara yang berjalan menuju tempat berkumpul itu ada dua orang lain yang tak sama dengan mereka. Dan penyelusupan itu baru diketahui ketika mereka semua telah berkumpul.
“Jangan ada yang bergerak. Kami pasukan Baret Hijau. Jika ada yang melakukan sedikit saja gerakkan, akan kami siram dengan peluru” terdengar suara Tongky perlahan. Semua jadi kaget. Mereka menoleh. Dan dalam kegelapan itu ada dua orang yang tegak hanya setengah depa dari mereka. Mengacungkan bedil dan siap tembak.
Dalam jarak begitu dekat, mana ada harapan bagi mereka untuk melakukan sesuatu? Mereka hanya heran, mana tiga orang lagi teman mereka? Dan mana Cina yang memimpin mereka yang tadi menyuruh mereka berkumpul?
Si Bungsu membisikkan sesuatu ke pangkal telinga Cina itu. Dan terdengar suara Cina itu:
“Menyerahlah. Kita sudah terkepung…..”
Terdengar sumpah serapah. Tongky dan Donald bertindak cepat. Mereka melucuti keempat orang itu. Dan memaksanya tengkurap.
“Beri isyarat pada Kapten Fabian….” Suara si Bungsu terdengar perlahan. Tongky kemudian mengirim isyarat itu. Suara burung malam terdengar berbunyi tiga kali dari mulutnya.
Dari seberang terdengar pula sahutan sekali.
“Mereka berhasil. Mari kita menyeberang. Cepat!!” suara Kapten Fabian memrintahkan regunya. Dan keenam pasukan Baret Hijau ini segera memasuki rawa dan menyebranginya.
Memerlukan waktu lima menit bagi mereka untuk berjalan mengarungi rawa pekat itu.
Mereka segara saja sampai ke tempat ketiga orang itu meringkus lawannya. Keenam anggota sindikat yang semula bermaksud menyiksa mereka kini telah tertelungkup di tanah. Keenamnya dalam keadaan terikat tangannya kebelakang. Dan terikat kakinya satu dengan yang lainnya.
“Letnan” Bungsu menyerahkan tawanan itu pada Kapten Fabian. Dan menerangkan bahwa yang memimpin penyergapan ini adalah Cina yang tertelungkup paling kanan. Kapten tersebut menyalakan senter kecil. Menerangi wajah Cina itu.
Tikam Samurai - 308
“Kita tak punya waktu. Kita harus menyergap mereka yang ada dipelabuhan. Ayo cepat! Donald dan Miguel tinggal menjaga keenam orang ini di sini. Begitu mereka bergerak, sikat saja semua…”
Kapten itu mengeluarkan perintah.
Dan dipimpin oleh Tongky di depan sekali, mereka mulai mendekati markas sindikat tersebut. Sementara Donald dan Miguel tegak dua depa dari enam anggota sindikat yang tertelungkup itu. Keenam anggota sindikat itu benar-benar dibuat tak berkutik.
“Berteriaklah kalian, atau bangkitlah, agar kami bisa menyikat kalian semua….!” Suara Miguel terdengar mendesis perlahan. Keenam anggota sindikat itu tak bisa bicara. Dan kalaupun bisa, mereka takkan mau bicara. Mereka kenal benar dengan lawan mereka. Dalam dunia yang mereka cempungi ini, jika sudah tertangkap begitu lebih baik menyerah dan dia saja. Ikuti perintah lawan. Sebab sedikit saja membuat kekeliruan, nyawa imbalannya. Dan mereka lebih senang hidup daripada dianggap pahlawan oleh teman-teman sindikat lainnya. Pahlawan tapi sudah mati.
Tak ada yang bergerak. Namun Cina yang tadi diancam oleh si Bungsu masih berusaha. Yang mengikat tangannya adalah Donald. Dan ikatan ditangannya sedikit longgar. Tubuhnya tetap tak bergerak di tanah. Tapi secara perlahan sekali, pergelangan tangannya dia putar. Terasa pedih, namun dia berusaha terus.
Di dalam sepatunya ada pistol kecil dan pisau belati. Mereka memang digeledah satu eprsatu setelah diikat tadi. Semua senjata mereka dilucuti.
Namun dua buah senjata yang ada dalam lars sepatunya luput dari pemeriksaan. Kini itulah yang tengah diusahakan untuk diambil oleh Cina itu. Namun sebelum bisa mengambil kedua senjata itu, dia harus membebaskan kedua tangannya terlebih dahulu.
Dia ingin minta bantuan temannya yang tertelungkup disamping kanannya. Tapi dia khawatir gerakkannya akan mencurigakan kedua anggota Baret Hijau yang tetap mengawasi mereka. Satu-satunya jalan ialah berusaha sendiri. Dia putar terus pergelangan tangannya.
Susahnya adalah karena dia tertelungkup. Kedua tangannya yang terikat ke belakang itu kini justru dibahagian atas. Kalau banyak benar membuat gerakan, bisa-bisa menarik perhatian salah seorang dari pasukan yang menjaganya.
Karena itu meski ditolong oleh gelapnya malam, dia tepaksa memutar kedua pergelangannya dengan perlahan.
Sementara itu pasukan Kapten Fabian telah sampai ke markas sindikat itu. Mereka menyebar di keliling rumah tersebut. Tongky merayap mendekat. Melihat ke dalam. Lalu merayap lagi ke dekat Kapten Fabian.
“Hanya ada seorang di dalam sana….”
“Kemana yang lain?”
“Saya rasa sudah dipelabuhan sana…’
Dari kejauhan terdengar suara ombak.
“Oke. Suruh Fred menyudahi orang itu. Kita menyergap mereka di pelabuhan…’
Perintah Kapten itu disampaikan secara berbisik pada Fred. Orang Inggris yang satu ini adalah ahli karate. Dia segera menyelusup mendekati markas itu begitu teman-temannya yang lain bergerak menuju pelabuhan.
Dia menyandarkan senjatanya di pintu luar. Kemudian mendorong pintu sampai terbuka perlahan.
Orang yang di dalam itu adalah seorang kulit putih. Mungkin orang Itali. Bertubuh besar bertelanjang dada. Senjatanya sepucuk Mauser. Terletak di atas meja. Disudut ruangan ada satu set peralatan radio. Nampaknya orang ini adalah seorang telegrafis.
“Hallo frend…’ Fred menegur perlahan. Orang itu menoleh pula perlahan. Tapi gerakkan perlahannya segera berobah begitu menyadari bahaya. Dia tegak dan berusaha melangkah ke meja dimana bedilnya dia letakkan. Jarak antara dia duduk dengan meja dia meletakkan bedilnya sekitar dua meter.
Namun langkahnya terpotong oleh gerakkan Fred yang selincah musang. Sebuah pukulan menghantam rusuk orang itu.
Ada pepatah berbunyi: sepandai-panda tupat melompat, sekali waktu jatuh juga!
Dan itulah yang dialami Fred malam ini. Dia memang jago karate andalan dalam pasukannya. Tapi sebenarnya dia harus memperhitungkan waktu dan kecepatan. Dia tak boleh mengulur waktu.
Dan saat ini, kecepatan bicara banyak.
Rusuk orang itu memang kena dia hantam. Tapi orang itu punya antisipasi yang tangguh pula. Begitu jalannya dihadang, tangannya bergerak. Dan tangan kanannya menghantam hidung Fred. Rusuk orang itu memang kena gebrak kuat. Tapi tak cukup sampai mematahkan tulangnya seperti yang biasa diperbuat Fred terhadap lawan-lawannya.
Orang Itali itu hanya tersurut dengan wajah meringis. Tapi sebaliknya, Fred juga seperti ditendang mundur. Hidungnya pecah dan berdarah! Orang itu ternyata juga seorang karateka! Kini mereka tegak saling berhadapan.
Menyadari bahaya, tangan Fred bergerak ke arah pisau komandonya. Namun wajah orang itu tersenyum sinis.
“Kita tak punya waktu. Kita harus menyergap mereka yang ada dipelabuhan. Ayo cepat! Donald dan Miguel tinggal menjaga keenam orang ini di sini. Begitu mereka bergerak, sikat saja semua…”
Kapten itu mengeluarkan perintah.
Dan dipimpin oleh Tongky di depan sekali, mereka mulai mendekati markas sindikat tersebut. Sementara Donald dan Miguel tegak dua depa dari enam anggota sindikat yang tertelungkup itu. Keenam anggota sindikat itu benar-benar dibuat tak berkutik.
“Berteriaklah kalian, atau bangkitlah, agar kami bisa menyikat kalian semua….!” Suara Miguel terdengar mendesis perlahan. Keenam anggota sindikat itu tak bisa bicara. Dan kalaupun bisa, mereka takkan mau bicara. Mereka kenal benar dengan lawan mereka. Dalam dunia yang mereka cempungi ini, jika sudah tertangkap begitu lebih baik menyerah dan dia saja. Ikuti perintah lawan. Sebab sedikit saja membuat kekeliruan, nyawa imbalannya. Dan mereka lebih senang hidup daripada dianggap pahlawan oleh teman-teman sindikat lainnya. Pahlawan tapi sudah mati.
Tak ada yang bergerak. Namun Cina yang tadi diancam oleh si Bungsu masih berusaha. Yang mengikat tangannya adalah Donald. Dan ikatan ditangannya sedikit longgar. Tubuhnya tetap tak bergerak di tanah. Tapi secara perlahan sekali, pergelangan tangannya dia putar. Terasa pedih, namun dia berusaha terus.
Di dalam sepatunya ada pistol kecil dan pisau belati. Mereka memang digeledah satu eprsatu setelah diikat tadi. Semua senjata mereka dilucuti.
Namun dua buah senjata yang ada dalam lars sepatunya luput dari pemeriksaan. Kini itulah yang tengah diusahakan untuk diambil oleh Cina itu. Namun sebelum bisa mengambil kedua senjata itu, dia harus membebaskan kedua tangannya terlebih dahulu.
Dia ingin minta bantuan temannya yang tertelungkup disamping kanannya. Tapi dia khawatir gerakkannya akan mencurigakan kedua anggota Baret Hijau yang tetap mengawasi mereka. Satu-satunya jalan ialah berusaha sendiri. Dia putar terus pergelangan tangannya.
Susahnya adalah karena dia tertelungkup. Kedua tangannya yang terikat ke belakang itu kini justru dibahagian atas. Kalau banyak benar membuat gerakan, bisa-bisa menarik perhatian salah seorang dari pasukan yang menjaganya.
Karena itu meski ditolong oleh gelapnya malam, dia tepaksa memutar kedua pergelangannya dengan perlahan.
Sementara itu pasukan Kapten Fabian telah sampai ke markas sindikat itu. Mereka menyebar di keliling rumah tersebut. Tongky merayap mendekat. Melihat ke dalam. Lalu merayap lagi ke dekat Kapten Fabian.
“Hanya ada seorang di dalam sana….”
“Kemana yang lain?”
“Saya rasa sudah dipelabuhan sana…’
Dari kejauhan terdengar suara ombak.
“Oke. Suruh Fred menyudahi orang itu. Kita menyergap mereka di pelabuhan…’
Perintah Kapten itu disampaikan secara berbisik pada Fred. Orang Inggris yang satu ini adalah ahli karate. Dia segera menyelusup mendekati markas itu begitu teman-temannya yang lain bergerak menuju pelabuhan.
Dia menyandarkan senjatanya di pintu luar. Kemudian mendorong pintu sampai terbuka perlahan.
Orang yang di dalam itu adalah seorang kulit putih. Mungkin orang Itali. Bertubuh besar bertelanjang dada. Senjatanya sepucuk Mauser. Terletak di atas meja. Disudut ruangan ada satu set peralatan radio. Nampaknya orang ini adalah seorang telegrafis.
“Hallo frend…’ Fred menegur perlahan. Orang itu menoleh pula perlahan. Tapi gerakkan perlahannya segera berobah begitu menyadari bahaya. Dia tegak dan berusaha melangkah ke meja dimana bedilnya dia letakkan. Jarak antara dia duduk dengan meja dia meletakkan bedilnya sekitar dua meter.
Namun langkahnya terpotong oleh gerakkan Fred yang selincah musang. Sebuah pukulan menghantam rusuk orang itu.
Ada pepatah berbunyi: sepandai-panda tupat melompat, sekali waktu jatuh juga!
Dan itulah yang dialami Fred malam ini. Dia memang jago karate andalan dalam pasukannya. Tapi sebenarnya dia harus memperhitungkan waktu dan kecepatan. Dia tak boleh mengulur waktu.
Dan saat ini, kecepatan bicara banyak.
Rusuk orang itu memang kena dia hantam. Tapi orang itu punya antisipasi yang tangguh pula. Begitu jalannya dihadang, tangannya bergerak. Dan tangan kanannya menghantam hidung Fred. Rusuk orang itu memang kena gebrak kuat. Tapi tak cukup sampai mematahkan tulangnya seperti yang biasa diperbuat Fred terhadap lawan-lawannya.
Orang Itali itu hanya tersurut dengan wajah meringis. Tapi sebaliknya, Fred juga seperti ditendang mundur. Hidungnya pecah dan berdarah! Orang itu ternyata juga seorang karateka! Kini mereka tegak saling berhadapan.
Menyadari bahaya, tangan Fred bergerak ke arah pisau komandonya. Namun wajah orang itu tersenyum sinis.
Kapten itu mengeluarkan perintah.
Dan dipimpin oleh Tongky di depan sekali, mereka mulai mendekati markas sindikat tersebut. Sementara Donald dan Miguel tegak dua depa dari enam anggota sindikat yang tertelungkup itu. Keenam anggota sindikat itu benar-benar dibuat tak berkutik.
“Berteriaklah kalian, atau bangkitlah, agar kami bisa menyikat kalian semua….!” Suara Miguel terdengar mendesis perlahan. Keenam anggota sindikat itu tak bisa bicara. Dan kalaupun bisa, mereka takkan mau bicara. Mereka kenal benar dengan lawan mereka. Dalam dunia yang mereka cempungi ini, jika sudah tertangkap begitu lebih baik menyerah dan dia saja. Ikuti perintah lawan. Sebab sedikit saja membuat kekeliruan, nyawa imbalannya. Dan mereka lebih senang hidup daripada dianggap pahlawan oleh teman-teman sindikat lainnya. Pahlawan tapi sudah mati.
Tak ada yang bergerak. Namun Cina yang tadi diancam oleh si Bungsu masih berusaha. Yang mengikat tangannya adalah Donald. Dan ikatan ditangannya sedikit longgar. Tubuhnya tetap tak bergerak di tanah. Tapi secara perlahan sekali, pergelangan tangannya dia putar. Terasa pedih, namun dia berusaha terus.
Di dalam sepatunya ada pistol kecil dan pisau belati. Mereka memang digeledah satu eprsatu setelah diikat tadi. Semua senjata mereka dilucuti.
Namun dua buah senjata yang ada dalam lars sepatunya luput dari pemeriksaan. Kini itulah yang tengah diusahakan untuk diambil oleh Cina itu. Namun sebelum bisa mengambil kedua senjata itu, dia harus membebaskan kedua tangannya terlebih dahulu.
Dia ingin minta bantuan temannya yang tertelungkup disamping kanannya. Tapi dia khawatir gerakkannya akan mencurigakan kedua anggota Baret Hijau yang tetap mengawasi mereka. Satu-satunya jalan ialah berusaha sendiri. Dia putar terus pergelangan tangannya.
Susahnya adalah karena dia tertelungkup. Kedua tangannya yang terikat ke belakang itu kini justru dibahagian atas. Kalau banyak benar membuat gerakan, bisa-bisa menarik perhatian salah seorang dari pasukan yang menjaganya.
Karena itu meski ditolong oleh gelapnya malam, dia tepaksa memutar kedua pergelangannya dengan perlahan.
Sementara itu pasukan Kapten Fabian telah sampai ke markas sindikat itu. Mereka menyebar di keliling rumah tersebut. Tongky merayap mendekat. Melihat ke dalam. Lalu merayap lagi ke dekat Kapten Fabian.
“Hanya ada seorang di dalam sana….”
“Kemana yang lain?”
“Saya rasa sudah dipelabuhan sana…’
Dari kejauhan terdengar suara ombak.
“Oke. Suruh Fred menyudahi orang itu. Kita menyergap mereka di pelabuhan…’
Perintah Kapten itu disampaikan secara berbisik pada Fred. Orang Inggris yang satu ini adalah ahli karate. Dia segera menyelusup mendekati markas itu begitu teman-temannya yang lain bergerak menuju pelabuhan.
Dia menyandarkan senjatanya di pintu luar. Kemudian mendorong pintu sampai terbuka perlahan.
Orang yang di dalam itu adalah seorang kulit putih. Mungkin orang Itali. Bertubuh besar bertelanjang dada. Senjatanya sepucuk Mauser. Terletak di atas meja. Disudut ruangan ada satu set peralatan radio. Nampaknya orang ini adalah seorang telegrafis.
“Hallo frend…’ Fred menegur perlahan. Orang itu menoleh pula perlahan. Tapi gerakkan perlahannya segera berobah begitu menyadari bahaya. Dia tegak dan berusaha melangkah ke meja dimana bedilnya dia letakkan. Jarak antara dia duduk dengan meja dia meletakkan bedilnya sekitar dua meter.
Namun langkahnya terpotong oleh gerakkan Fred yang selincah musang. Sebuah pukulan menghantam rusuk orang itu.
Ada pepatah berbunyi: sepandai-panda tupat melompat, sekali waktu jatuh juga!
Dan itulah yang dialami Fred malam ini. Dia memang jago karate andalan dalam pasukannya. Tapi sebenarnya dia harus memperhitungkan waktu dan kecepatan. Dia tak boleh mengulur waktu.
Dan saat ini, kecepatan bicara banyak.
Rusuk orang itu memang kena dia hantam. Tapi orang itu punya antisipasi yang tangguh pula. Begitu jalannya dihadang, tangannya bergerak. Dan tangan kanannya menghantam hidung Fred. Rusuk orang itu memang kena gebrak kuat. Tapi tak cukup sampai mematahkan tulangnya seperti yang biasa diperbuat Fred terhadap lawan-lawannya.
Orang Itali itu hanya tersurut dengan wajah meringis. Tapi sebaliknya, Fred juga seperti ditendang mundur. Hidungnya pecah dan berdarah! Orang itu ternyata juga seorang karateka! Kini mereka tegak saling berhadapan.
Menyadari bahaya, tangan Fred bergerak ke arah pisau komandonya. Namun wajah orang itu tersenyum sinis.
Tikam Samurai - 309
“Hallo boy. Beraninya hanya pakai pisau? Kenapa tak sekalian kau pakai senjataku di meja itu?”
Muka Fred jadi merah. Dia merasa dihina dengan ucapan itu. Orang itu menganggapnya takut berkelahi dengan tangan kosong. Dia tak jadi mencabut pisau komandonya. Dia menggeser tegak. Kini mereka berhadapan. Dari sikap tegak dan cara lelaki itu menempatkannya tangannya, Fred segera tahu, bahwa orang ini adalah karateka seperti dirinya.
Dan Fred lagi-lagi membuat kesalahan. Yaitu dengan membiarkan dirinya terpancing oleh ejekan lawan. Dia sedang berada dalam suatu pasukan. Berarti bukan hanya dirinya yang harus dia selamatkan. Tapi seperti tupai yang pandai melompat tadi, dia juga bisa “gawa”.
Kini mereka mengintai langkah lawan.
Fred mendahului menyerang dengan sebuah tendangan ke selangkangan orang itu. Orang itu bergerak cepat ke samping dan mengirimkan sebuah pukulan cepat ke wajah Fred.
Fred menarik tendangannya, kemudian berputar. Kali ini kakinya menyerang dalam bentuk berputar ke belakang.
Ternyata dia berhasil. Sepatunya menggebrak wajah Itali itu. Orang itu terpelanting ke dinding. Fred memburu. Namun seperti seekor musang. Orang yang terjajar itu tiba-tiba melompat tinggi. Dan sebelum Fred siap benar, sepatunya telah mendarat di dada Fred. Sebuah tendangan Mae Tobigeri yang sempurna!
Akibatnya juga sempurna. Jantung Fred pecah. Dan jatuhlah korban pertama dalam pasukan Baret Hijau malam itu. Fred mati!
Sungguh menyedihkan. Fred yang ahli karate itu, justru mati ditangan karateka lainnya. Kalau saja tadi dia tidak terlalu mengandalkan karatenya, yaitu begitu pertama hidungnya pecah, dia segera mempergunakan pisau komando, maka keadaan akan lain jadinya.
Orang Itali ini sudah bisa dia lumpuhkan. Namun dia terlalu percaya pada diri dan kemampuannya. Dan dia cepat panas kena sindir. Dia membiarkan dirinya terperangkap oleh ejekan orang ini. Tak tahunya orang ini juga seorang karateka yang justru lebih tangguh darinya.
Orang Itali itu menatap pada tubuh Fred yang terlentang di lantai. Mulutnya ternganga. Wajahnya membayangkan rasa sakit bercampur heran. Dari mulutnya darah mengalir. Tendangan sambil melompat dia lakukan ketika terdesak tadi sebenarnya tak begitu telak mengenai lelaki ini. Artinya, lelaki itu tak usah sampai terjajar lima depa ke belakang. Tersandar ke dinding. Itu sebenarnya hanya gerak tipu saja. Yaitu gerak mencari ruang dan waktu untuk mempersiapkan sebuah lompatan.
Dan Fred yang ingin segera menyudahi pertarungan itu, ternyata memakan umpan yang diulurkan lawan. Dia maju. Dan saat itulah Itali ini bertumpu dan melompat. Kakai kanannya terjulur lurus ke depan. Kaki kirinya terlipat di bawah paha kanan. Dan tubuhnya seperti duduk melunjurkan kaki kanan ke samping kanan di udara. Dalam posisi begitulah dia mendarat di dada Fred!
Lelaki anggota sindikat ini segera sadar bahwa bahaya besar tengah mengancam dirinya dan teman-temannya. Seluruh pulau dijaga dengan ketat. Perangkap telah dipasang lewat rawa yang diduga pasti akan dilalui oleh musuh mereka. Kini ternyata orang ini bisa menerobos kemari tanpa diketahui oleh penyergap yang mereka pasang. Apakah yang telah terjadi dengan sembilan orang teman-temannya yang menanti dipinggir rawa?
Depat dia menyambar Mausernya yang terletak di meja. Dia menanggalkan granat mauser itu dari ujung Junglenya. Lalu perlahan keluar dari pintu belakang. Gelap!
Dia bersuit. Suit isyaratnya membelah malam yang dingin. Suitnya terdengar oleh ke lima teman-temannya yang tertelungkup di bawah todongan bedil Donald dan Miguel. Kedua anggota Baret Hijau itu juga mendengar suit itu. Dan kedua mereka tahu bahwa suara suitan itu bukan kode dari teman mereka.
Kelima anggota sindikat itu sebenarnya ingin membalas isarat itu. Tapi bagaimana mereka bisa, kalau ujung bedil otomatik tetap diarahkan ketengku mereka? Makanya mereka memilih berdiam diri saja.
Dan orang Itali itu segera menangkap bahaya atas tak terjawabnya isarat yang dia berikan. Dia lalu menuju ke pelabuhan!
Di pelabuhan orang-orang tengah menurunkan sembilan orang perempuan. Perempuan terakhir, yaitu seorang perempuan dari Muangthai kelihatan dipapah turun. Kemudian dibawa ke rumah kecil dipinggir dermaga.
“Kalian telah kami kepung. Menyerahlah!!”
Tiba-tiba saja sebuah suara mengoyak kesepian. Dan suara itu datang dari pangkal dermaga! Mereka menoleh, dan disana, tegak seorang lelaki barat dalam pakaian loreng-loreng. Cahaya lampu di dermaga memantulkan kilat senjata otomatik ditangannya.
Orang itu kelihatan sendiri. Tapi enam orang lelaki di dermaga itu mengetahui bahwa lelaki itu pasti tak sendiri.
Dan dengan kehadiran lelaki berbaju loreng itu, mereka segera pula menyadari bahwa sembilan orang teman mereka yang memasang perangkap di tepi rawa sana telah dilumpuhkan.
“Hallo boy. Beraninya hanya pakai pisau? Kenapa tak sekalian kau pakai senjataku di meja itu?”
Muka Fred jadi merah. Dia merasa dihina dengan ucapan itu. Orang itu menganggapnya takut berkelahi dengan tangan kosong. Dia tak jadi mencabut pisau komandonya. Dia menggeser tegak. Kini mereka berhadapan. Dari sikap tegak dan cara lelaki itu menempatkannya tangannya, Fred segera tahu, bahwa orang ini adalah karateka seperti dirinya.
Dan Fred lagi-lagi membuat kesalahan. Yaitu dengan membiarkan dirinya terpancing oleh ejekan lawan. Dia sedang berada dalam suatu pasukan. Berarti bukan hanya dirinya yang harus dia selamatkan. Tapi seperti tupai yang pandai melompat tadi, dia juga bisa “gawa”.
Kini mereka mengintai langkah lawan.
Fred mendahului menyerang dengan sebuah tendangan ke selangkangan orang itu. Orang itu bergerak cepat ke samping dan mengirimkan sebuah pukulan cepat ke wajah Fred.
Fred menarik tendangannya, kemudian berputar. Kali ini kakinya menyerang dalam bentuk berputar ke belakang.
Ternyata dia berhasil. Sepatunya menggebrak wajah Itali itu. Orang itu terpelanting ke dinding. Fred memburu. Namun seperti seekor musang. Orang yang terjajar itu tiba-tiba melompat tinggi. Dan sebelum Fred siap benar, sepatunya telah mendarat di dada Fred. Sebuah tendangan Mae Tobigeri yang sempurna!
Akibatnya juga sempurna. Jantung Fred pecah. Dan jatuhlah korban pertama dalam pasukan Baret Hijau malam itu. Fred mati!
Sungguh menyedihkan. Fred yang ahli karate itu, justru mati ditangan karateka lainnya. Kalau saja tadi dia tidak terlalu mengandalkan karatenya, yaitu begitu pertama hidungnya pecah, dia segera mempergunakan pisau komando, maka keadaan akan lain jadinya.
Orang Itali ini sudah bisa dia lumpuhkan. Namun dia terlalu percaya pada diri dan kemampuannya. Dan dia cepat panas kena sindir. Dia membiarkan dirinya terperangkap oleh ejekan orang ini. Tak tahunya orang ini juga seorang karateka yang justru lebih tangguh darinya.
Orang Itali itu menatap pada tubuh Fred yang terlentang di lantai. Mulutnya ternganga. Wajahnya membayangkan rasa sakit bercampur heran. Dari mulutnya darah mengalir. Tendangan sambil melompat dia lakukan ketika terdesak tadi sebenarnya tak begitu telak mengenai lelaki ini. Artinya, lelaki itu tak usah sampai terjajar lima depa ke belakang. Tersandar ke dinding. Itu sebenarnya hanya gerak tipu saja. Yaitu gerak mencari ruang dan waktu untuk mempersiapkan sebuah lompatan.
Dan Fred yang ingin segera menyudahi pertarungan itu, ternyata memakan umpan yang diulurkan lawan. Dia maju. Dan saat itulah Itali ini bertumpu dan melompat. Kakai kanannya terjulur lurus ke depan. Kaki kirinya terlipat di bawah paha kanan. Dan tubuhnya seperti duduk melunjurkan kaki kanan ke samping kanan di udara. Dalam posisi begitulah dia mendarat di dada Fred!
Lelaki anggota sindikat ini segera sadar bahwa bahaya besar tengah mengancam dirinya dan teman-temannya. Seluruh pulau dijaga dengan ketat. Perangkap telah dipasang lewat rawa yang diduga pasti akan dilalui oleh musuh mereka. Kini ternyata orang ini bisa menerobos kemari tanpa diketahui oleh penyergap yang mereka pasang. Apakah yang telah terjadi dengan sembilan orang teman-temannya yang menanti dipinggir rawa?
Depat dia menyambar Mausernya yang terletak di meja. Dia menanggalkan granat mauser itu dari ujung Junglenya. Lalu perlahan keluar dari pintu belakang. Gelap!
Dia bersuit. Suit isyaratnya membelah malam yang dingin. Suitnya terdengar oleh ke lima teman-temannya yang tertelungkup di bawah todongan bedil Donald dan Miguel. Kedua anggota Baret Hijau itu juga mendengar suit itu. Dan kedua mereka tahu bahwa suara suitan itu bukan kode dari teman mereka.
Kelima anggota sindikat itu sebenarnya ingin membalas isarat itu. Tapi bagaimana mereka bisa, kalau ujung bedil otomatik tetap diarahkan ketengku mereka? Makanya mereka memilih berdiam diri saja.
Dan orang Itali itu segera menangkap bahaya atas tak terjawabnya isarat yang dia berikan. Dia lalu menuju ke pelabuhan!
Di pelabuhan orang-orang tengah menurunkan sembilan orang perempuan. Perempuan terakhir, yaitu seorang perempuan dari Muangthai kelihatan dipapah turun. Kemudian dibawa ke rumah kecil dipinggir dermaga.
“Kalian telah kami kepung. Menyerahlah!!”
Tiba-tiba saja sebuah suara mengoyak kesepian. Dan suara itu datang dari pangkal dermaga! Mereka menoleh, dan disana, tegak seorang lelaki barat dalam pakaian loreng-loreng. Cahaya lampu di dermaga memantulkan kilat senjata otomatik ditangannya.
Orang itu kelihatan sendiri. Tapi enam orang lelaki di dermaga itu mengetahui bahwa lelaki itu pasti tak sendiri.
Dan dengan kehadiran lelaki berbaju loreng itu, mereka segera pula menyadari bahwa sembilan orang teman mereka yang memasang perangkap di tepi rawa sana telah dilumpuhkan.
Muka Fred jadi merah. Dia merasa dihina dengan ucapan itu. Orang itu menganggapnya takut berkelahi dengan tangan kosong. Dia tak jadi mencabut pisau komandonya. Dia menggeser tegak. Kini mereka berhadapan. Dari sikap tegak dan cara lelaki itu menempatkannya tangannya, Fred segera tahu, bahwa orang ini adalah karateka seperti dirinya.
Dan Fred lagi-lagi membuat kesalahan. Yaitu dengan membiarkan dirinya terpancing oleh ejekan lawan. Dia sedang berada dalam suatu pasukan. Berarti bukan hanya dirinya yang harus dia selamatkan. Tapi seperti tupai yang pandai melompat tadi, dia juga bisa “gawa”.
Kini mereka mengintai langkah lawan.
Fred mendahului menyerang dengan sebuah tendangan ke selangkangan orang itu. Orang itu bergerak cepat ke samping dan mengirimkan sebuah pukulan cepat ke wajah Fred.
Fred menarik tendangannya, kemudian berputar. Kali ini kakinya menyerang dalam bentuk berputar ke belakang.
Ternyata dia berhasil. Sepatunya menggebrak wajah Itali itu. Orang itu terpelanting ke dinding. Fred memburu. Namun seperti seekor musang. Orang yang terjajar itu tiba-tiba melompat tinggi. Dan sebelum Fred siap benar, sepatunya telah mendarat di dada Fred. Sebuah tendangan Mae Tobigeri yang sempurna!
Akibatnya juga sempurna. Jantung Fred pecah. Dan jatuhlah korban pertama dalam pasukan Baret Hijau malam itu. Fred mati!
Sungguh menyedihkan. Fred yang ahli karate itu, justru mati ditangan karateka lainnya. Kalau saja tadi dia tidak terlalu mengandalkan karatenya, yaitu begitu pertama hidungnya pecah, dia segera mempergunakan pisau komando, maka keadaan akan lain jadinya.
Orang Itali ini sudah bisa dia lumpuhkan. Namun dia terlalu percaya pada diri dan kemampuannya. Dan dia cepat panas kena sindir. Dia membiarkan dirinya terperangkap oleh ejekan orang ini. Tak tahunya orang ini juga seorang karateka yang justru lebih tangguh darinya.
Orang Itali itu menatap pada tubuh Fred yang terlentang di lantai. Mulutnya ternganga. Wajahnya membayangkan rasa sakit bercampur heran. Dari mulutnya darah mengalir. Tendangan sambil melompat dia lakukan ketika terdesak tadi sebenarnya tak begitu telak mengenai lelaki ini. Artinya, lelaki itu tak usah sampai terjajar lima depa ke belakang. Tersandar ke dinding. Itu sebenarnya hanya gerak tipu saja. Yaitu gerak mencari ruang dan waktu untuk mempersiapkan sebuah lompatan.
Dan Fred yang ingin segera menyudahi pertarungan itu, ternyata memakan umpan yang diulurkan lawan. Dia maju. Dan saat itulah Itali ini bertumpu dan melompat. Kakai kanannya terjulur lurus ke depan. Kaki kirinya terlipat di bawah paha kanan. Dan tubuhnya seperti duduk melunjurkan kaki kanan ke samping kanan di udara. Dalam posisi begitulah dia mendarat di dada Fred!
Lelaki anggota sindikat ini segera sadar bahwa bahaya besar tengah mengancam dirinya dan teman-temannya. Seluruh pulau dijaga dengan ketat. Perangkap telah dipasang lewat rawa yang diduga pasti akan dilalui oleh musuh mereka. Kini ternyata orang ini bisa menerobos kemari tanpa diketahui oleh penyergap yang mereka pasang. Apakah yang telah terjadi dengan sembilan orang teman-temannya yang menanti dipinggir rawa?
Depat dia menyambar Mausernya yang terletak di meja. Dia menanggalkan granat mauser itu dari ujung Junglenya. Lalu perlahan keluar dari pintu belakang. Gelap!
Dia bersuit. Suit isyaratnya membelah malam yang dingin. Suitnya terdengar oleh ke lima teman-temannya yang tertelungkup di bawah todongan bedil Donald dan Miguel. Kedua anggota Baret Hijau itu juga mendengar suit itu. Dan kedua mereka tahu bahwa suara suitan itu bukan kode dari teman mereka.
Kelima anggota sindikat itu sebenarnya ingin membalas isarat itu. Tapi bagaimana mereka bisa, kalau ujung bedil otomatik tetap diarahkan ketengku mereka? Makanya mereka memilih berdiam diri saja.
Dan orang Itali itu segera menangkap bahaya atas tak terjawabnya isarat yang dia berikan. Dia lalu menuju ke pelabuhan!
Di pelabuhan orang-orang tengah menurunkan sembilan orang perempuan. Perempuan terakhir, yaitu seorang perempuan dari Muangthai kelihatan dipapah turun. Kemudian dibawa ke rumah kecil dipinggir dermaga.
“Kalian telah kami kepung. Menyerahlah!!”
Tiba-tiba saja sebuah suara mengoyak kesepian. Dan suara itu datang dari pangkal dermaga! Mereka menoleh, dan disana, tegak seorang lelaki barat dalam pakaian loreng-loreng. Cahaya lampu di dermaga memantulkan kilat senjata otomatik ditangannya.
Orang itu kelihatan sendiri. Tapi enam orang lelaki di dermaga itu mengetahui bahwa lelaki itu pasti tak sendiri.
Dan dengan kehadiran lelaki berbaju loreng itu, mereka segera pula menyadari bahwa sembilan orang teman mereka yang memasang perangkap di tepi rawa sana telah dilumpuhkan.
3 komentar:
halaman 86 dan seterusnya koq hilang ?? tolong dong dicari yang hilang itu......Thanks
abang.....ba tu,caritonyo jadi indak jaleh do....manga tu ??
Anonim @ Halaman yang hilang karena keterbatasan bukan sebuah kesengajaan tp karena sumber cerita yang tidak ada, jd mohon penegertiannya, silahkan dibaca episode2 selanjutnya. mdh2an dlm wkt dekat saya dapat menemukan kelanjutan sumber cerita TIKAM SAMURAI yang terputus.... Mohon maaf atas ketidak nyamanannya...
Posting Komentar