tikam samurai (bagian 112)
“Boleh kuambil putiknya ini bukan ?” tanyanya. Salma hanya tersenyum.
“Boleh ndak?” tanyanya ragu melihat senyum gadis itu. Dia ragu dan berdebar melihat senyum Salma yang memikat. Masih tetap tersenyum, gadis itu menjawab:
“Ambillah. Abang tinggal memilih mana yang abang suka untuk memetiknya…” si Bungsu merasa disindir. Tapi dia memetik terus.
“Tolong tampung di bawah…” katanya.
Salma mengambil sebuah panci. Kemudian menampung putik-putik perawas itu. Umumnya yang dipetik si Bungsu adalah yang sebesar ibu jari. Cukup lama dia memetik. Ketika sudah terkumpul sekitar seratus buah, dia baru turun. Salma jadi heran, untuk apa putik perawas sebanyak ini oleh anak muda itu? Tapi keherannya dia simpan saja dihati.
“Nah, kini tetaplah tegak di sini, ambil dua buah kemudian lemparkan kearahku kuat-kuat. Mengerti…?”
Salma mengangguk. Kini dia mengerti bahwa putik jambu itu akan dipergunakan sebagai alat untuk latihan. Si Bungsu mengambil jarak sepuluh depa di depan Salma. Kemudian memandang pada gadis itu. Samurainya dia pegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya tergantung lemas disisi tubuh. Dia memusatkan konsentrasi. Menatap diam-diam pada Salma. Salma jadi gugup ditatap begitu. Kemudian menunduk.
“Hei, jangan menunduk!” si Bungsu berseru. Salma jadi merah mukanya.
“Habis abang tatap begitu terus-terusan. Saya jadi gugup…” katanya tersipu-sipu. Dan tiba-tiba si Bungsu pula yang jadi jengah. Namun dia kuat-kuatkan hatinya. Dengan muka yang juga bersemu merah, dia kembali menatap Salma. Gadis itu juga menatapnya.
“Nah…siaplah. Engkau boleh melemparkan dua buah putik jambu itu bila saja engkau sukai. Dan jangan berhenti. Lemparkan terus sekali dua buah. Mengerti ?”
Salma mengangguk. Dia ingin membantu anak muda ini. Membantu mengembalikan semangat dan kepercayaan terhadap dirinya.
Dialah yang paling mengetahui, betapa anak muda ini kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sejak disiksa dalam terowongan itu. Dia mengetahui hal itu ketika merawatnya dibiliknya lebih dari sebulan. Dia mendengar betapa anak muda ini merintih. Memekik. Mengeluh dan bahkan menggigil melihat jari-jari tangan kirinya yang dipatahkan Jepang.
Dan ketika telah sembuh, dia melihat betapa setiap kali anak muda itu merenung. Menatap pada tangannya. Mengepal-ngepalkan tangannya itu. Kemudian menggerak-gerakkannya. Kini nampaknya dia ingin berlatih. Dan Salma berniat membantunya sekuat tenaga.
“Awas…!” gadis itu berteriak tiba-tiba sambil melemparkan dua buah putik perawas.
Lemparannya cukup cepat dan kuat. Si Bungsu terkejut, dan tangannya menggapai kehulu samurai. Tapi kedua putik perawas itu telah mengenai tubuhnya sementara samurainya belum keluar sedikitpun!
Salma jadi kaget. Kenapa terlalu lamban anak muda itu?
“Uda, kenapa?” tanyanya sambil mendekat pada si Bungsu. Si Bungsu menggelan. Salma tegak disisinya.
“Kenapa. Tanganmu sakit lagi…?” tanyanya sambil memegang tangan si Bungsu. Si Bungsu tambah menunduk. Menarik nafas. Panjang, kemudian menatap pada Salma.
“Ya. Tidak hanya tangan, tapi tubuh saya juga terasa lumpuh…” katanya perlahan. Salma jadi pucat.
“Kenapa…?” bisiknya.
“Karena matamu..” jawab si Bungsu. Salma membelalak. “ Ya. Saya seperti lumpuh engkau tatap begitu Salma”.
Dan tiba-tiba gadis itu menunduk. Hatinya berdebar kencang. Kakinya menggaris-garis tanah. Dan si Bungsu terkejut, ketika dilihatnya pipi gadis itu basah.
“Salma..? saya menyakitimu…?’ Salma masih menggaris-garis tanah dengan ibu jari kakinya. Kemudian menggeleng.
“Lalu kenapa?”
“Uda mempermainkan saya….” Jawabnya perlahan. Dia sebenarnya bahagia. Tapi sekaligus juga sedih. Bukankah dalam mimpinya, dalam igaunya ketika sakit, dia dengar si Bungsu puluhan kali menyebut nama Mei-Mei?
“Mempermainkan…? Sungguh mati, saya jadi gugup seperti lumpuh kau tatap seperti itu…. Tapi maafkan kalau ucapan saya itu menyinggung perasaanmu…”
Salma mengangkat kepala. Kemudian tersenyum. Betapapun dia harus membantu anak muda itu mengembalikan kepercayaan dirinya.
“Tidak marah…? Tanya si Bungsu. Salma menggeleng. Salma tersenyum. Si Bungsu menarik nafas. Si Bungsu balas tersenyum. Kemudian Salma kembali ketempatnya, kesisi baskom yang berisi putik jambu di atas meja kecil di bawah batang perawas.
“Kita mulai lagi…?” tanyanya.
“Ya, tapi jangan kau sihir dengan matamu. Tangan saya bisa tak bergerak…” jawab si Bungsu bergurau. Salma tertawa kecil. Tangannya mengambil dua buah putik perawas disampinya. Kemudian tegak lurus.
“Siap..?” tanyanya.
“Boleh kuambil putiknya ini bukan ?” tanyanya. Salma hanya tersenyum.
“Boleh ndak?” tanyanya ragu melihat senyum gadis itu. Dia ragu dan berdebar melihat senyum Salma yang memikat. Masih tetap tersenyum, gadis itu menjawab:
“Ambillah. Abang tinggal memilih mana yang abang suka untuk memetiknya…” si Bungsu merasa disindir. Tapi dia memetik terus.
“Tolong tampung di bawah…” katanya.
Salma mengambil sebuah panci. Kemudian menampung putik-putik perawas itu. Umumnya yang dipetik si Bungsu adalah yang sebesar ibu jari. Cukup lama dia memetik. Ketika sudah terkumpul sekitar seratus buah, dia baru turun. Salma jadi heran, untuk apa putik perawas sebanyak ini oleh anak muda itu? Tapi keherannya dia simpan saja dihati.
“Nah, kini tetaplah tegak di sini, ambil dua buah kemudian lemparkan kearahku kuat-kuat. Mengerti…?”
Salma mengangguk. Kini dia mengerti bahwa putik jambu itu akan dipergunakan sebagai alat untuk latihan. Si Bungsu mengambil jarak sepuluh depa di depan Salma. Kemudian memandang pada gadis itu. Samurainya dia pegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya tergantung lemas disisi tubuh. Dia memusatkan konsentrasi. Menatap diam-diam pada Salma. Salma jadi gugup ditatap begitu. Kemudian menunduk.
“Hei, jangan menunduk!” si Bungsu berseru. Salma jadi merah mukanya.
“Habis abang tatap begitu terus-terusan. Saya jadi gugup…” katanya tersipu-sipu. Dan tiba-tiba si Bungsu pula yang jadi jengah. Namun dia kuat-kuatkan hatinya. Dengan muka yang juga bersemu merah, dia kembali menatap Salma. Gadis itu juga menatapnya.
“Nah…siaplah. Engkau boleh melemparkan dua buah putik jambu itu bila saja engkau sukai. Dan jangan berhenti. Lemparkan terus sekali dua buah. Mengerti ?”
Salma mengangguk. Dia ingin membantu anak muda ini. Membantu mengembalikan semangat dan kepercayaan terhadap dirinya.
Dialah yang paling mengetahui, betapa anak muda ini kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sejak disiksa dalam terowongan itu. Dia mengetahui hal itu ketika merawatnya dibiliknya lebih dari sebulan. Dia mendengar betapa anak muda ini merintih. Memekik. Mengeluh dan bahkan menggigil melihat jari-jari tangan kirinya yang dipatahkan Jepang.
Dan ketika telah sembuh, dia melihat betapa setiap kali anak muda itu merenung. Menatap pada tangannya. Mengepal-ngepalkan tangannya itu. Kemudian menggerak-gerakkannya. Kini nampaknya dia ingin berlatih. Dan Salma berniat membantunya sekuat tenaga.
“Awas…!” gadis itu berteriak tiba-tiba sambil melemparkan dua buah putik perawas.
Lemparannya cukup cepat dan kuat. Si Bungsu terkejut, dan tangannya menggapai kehulu samurai. Tapi kedua putik perawas itu telah mengenai tubuhnya sementara samurainya belum keluar sedikitpun!
Salma jadi kaget. Kenapa terlalu lamban anak muda itu?
“Uda, kenapa?” tanyanya sambil mendekat pada si Bungsu. Si Bungsu menggelan. Salma tegak disisinya.
“Kenapa. Tanganmu sakit lagi…?” tanyanya sambil memegang tangan si Bungsu. Si Bungsu tambah menunduk. Menarik nafas. Panjang, kemudian menatap pada Salma.
“Ya. Tidak hanya tangan, tapi tubuh saya juga terasa lumpuh…” katanya perlahan. Salma jadi pucat.
“Kenapa…?” bisiknya.
“Karena matamu..” jawab si Bungsu. Salma membelalak. “ Ya. Saya seperti lumpuh engkau tatap begitu Salma”.
Dan tiba-tiba gadis itu menunduk. Hatinya berdebar kencang. Kakinya menggaris-garis tanah. Dan si Bungsu terkejut, ketika dilihatnya pipi gadis itu basah.
“Salma..? saya menyakitimu…?’ Salma masih menggaris-garis tanah dengan ibu jari kakinya. Kemudian menggeleng.
“Lalu kenapa?”
“Uda mempermainkan saya….” Jawabnya perlahan. Dia sebenarnya bahagia. Tapi sekaligus juga sedih. Bukankah dalam mimpinya, dalam igaunya ketika sakit, dia dengar si Bungsu puluhan kali menyebut nama Mei-Mei?
“Mempermainkan…? Sungguh mati, saya jadi gugup seperti lumpuh kau tatap seperti itu…. Tapi maafkan kalau ucapan saya itu menyinggung perasaanmu…”
Salma mengangkat kepala. Kemudian tersenyum. Betapapun dia harus membantu anak muda itu mengembalikan kepercayaan dirinya.
“Tidak marah…? Tanya si Bungsu. Salma menggeleng. Salma tersenyum. Si Bungsu menarik nafas. Si Bungsu balas tersenyum. Kemudian Salma kembali ketempatnya, kesisi baskom yang berisi putik jambu di atas meja kecil di bawah batang perawas.
“Kita mulai lagi…?” tanyanya.
“Ya, tapi jangan kau sihir dengan matamu. Tangan saya bisa tak bergerak…” jawab si Bungsu bergurau. Salma tertawa kecil. Tangannya mengambil dua buah putik perawas disampinya. Kemudian tegak lurus.
“Siap..?” tanyanya.
tikam samurai (bagian 113)
Si Bungsu menarik nafas. Memusatkan perhatian kemudian mengangguk. Salma tak segera melemparkan putik jambu itu. Ada beberapa saat dia berdiam, kemudia baru melemparkannya sekuat tenaga.
Samurai si Bungsu berkelabat. Memancung kekiri dan kekanan. Kemudian samurainya masuk kembali kesarangnya. Namun kedua putik jambu itu mengenai tubuhnya. Gagal! Salma menatapnya.
“Saya gagal…” kata si Bungsu perlahan.
Namun saat ini Salma sudah mengambil dua buah lagi putik jambu dari dalam baskom. Dan ketika kata-kata “gagal” itu diucapkan si Bungsu, Salma melemparkan putik jambu tersebut. Jambu itu melayang cepat sekali. Si Bungsu tak sempat berfikir, dengan cepat mengandalkan instingnya, tangannya bergerak. Mencabut samurai dan membabat ke depan.
Kena! Ya, sebuah dari putik-putik jambu itu kena. Meski tak tepat, tapi putik jambu itu sempat sumbing. Mereka bertatapan lagi.
“Sudah mulai sedikit…!” Salma berkata sambil mengambil lagi putik jambu tersebut. Dan tiba-tiba melemparkannya kembali, si Bungsu mencabut samurainya. Membabatkannya. Gagal! Dia gagal lagi.
Samurainya memang tercabut dengan cepat. Bahkan hampir-hampir tak terkejutkan oleh mata Salma. Namun babatannya meleset. Demikian mereka ulangi berkali-kali. Sampai akhirnya si Bungsu mulai biasa lagi. Tangannya mulai melemas tidak kaku seperti awalnya. Beberapa kali, samurainya sempat membelah sebuah putik jambu itu persis di tengah. Kemudian gagal lagi. Kemudian tepat lagi. Begitu silih berganti.
Tapi menjelang putik jambu itu habis dua pertiga, dia sudah bisa membelah dua putik jambu yang dilemparkan Salma. Mereka hanya istirahat kalau tangan Salma atau tangan si Bungsu sendiri sudah penat dan pegal. Lalu mereka mengulangi lagi latihan itu.
Suatu saat, Salma berkata:
“Nah, itu ayah pulang…” si Bungsu menoleh kebelakang, dan saat itulah Salma melemparkan kedua putik jambu di tangannya ke arah si Bungsu. Telinga si Bungsu tajam mendengar sesuatu menuju ke arahnya. Dia berpaling, dan saat itulah kedua putik jambu yang dilemparkan Salma menghantam dada dan kepalanya! Si Bungsu tertegun. Dia kaget bukan main. Salma menarik nafas panjang.
“Abang tertipu, dan kurang waspada…” katanya perlahan. Si Bungsu mengangguk. Dia jadi kagum akan kecerdasan gadis ini.
“Terimakasih Salma. Engkau mengingatkan aku sesuatu…kini kita lanjutkan latihan dengan caramu itu, engkau lelah…?”
Salma menghapus peluh di wajahnya yang memerah seperti tomat. Kemudian menggeleng. Si Bungsu membelakang kemudian berkata:
“Nah, untuk tahap pertama, engkau harus bersuara bila melemparkan putik jambu itu. Nanti kalau sudah tebiasa, baru engkau lemparkan tanpa peringatan…”
“Awas…!!” Salma melemparkan putik jambu ditangannya tanpa memberi kesempatan jarak pada si Bungsu. Si Bungsu menajamkan pendengaran. Kemudian mencabut samurai dan berputar sambil menghayunsamurai ditangannya.
“Tras! Tras! Tapi samurainya menerpa angin kosong! Salah satu diantara putik jambu itu mengenai dadanya yang satu lagi terus ke belakang jatuh ke tanah.
“Gagal, kita teruskan…” katanya sambil berputar. Salma kali ini memberi kesempatan pada anak muda itu untuk bernafas. Perlahan mengambil buah jambu di baskom. Kemudian dengan teriakkan “Awas” sekali lagi, dia melemparkan putik jambu itu.
Si Bungsu mencabut samurai menanti sesaat kemudian berputar sambil menghayun samurainya. Kena! Ya, kini satu diantara putik jambu itu kena persis pada pertengahannya.
Dan latihan itu mereka ulangi terus. Terus dan terus hingga si Bungsu dengan tepat mengenai kedua putik jambu yang dilemparkan disaat dia membelakangi itu.
Hari-hari berikutnya si Bungsu mencoba methode yang dulu pernah dia lakukan di Gunung Sago. Yaitu mengendalikan pendengarannya sambil memicingkan mata. Dia duduk bersila di tanah kemudian memejamkan mata. Dan Salma kembali melemparkan putik-putik jambu itu.
Seperti halnya setiap permulaan, pada awal-awalnya dia selalu gagal. Tetapi makin lama, tangannya makin mahir. Dan pendengarannya makin terlatih. Dan kini kedua putik jambu itu senantiasa terbabat belah dua!.
Suatu saat si Bungsu merasa ada lebih dari dua putik jambu yang menyerangnya. Dia membabat tiga kali. Kena. Suatu saat empat, lima, enam. Dan dengan kecepatan yang luar biasa, sambil tetap memicing dia membabat terus. Dan kena!
Dan akhirnya dia mendengar tarikan nafas di kejauhan. Tak ada lagi putik jambu yang dilemparkan. Lambat-lambat dia membuka mata. Dan dibawah pohon perawas sana, dia lihat Salma dengan tubuh berpeluh. Gadis itu menatap padanya dengan tersenyum.
“Lelah…?” tanyanya sambil bangkit mendekati Salma.
“Penat dan kehabisan peluru….” Jawab Salma. Dan si Bungsu melihat betapa panci di depan gadis itu sudah kosong. Dia tersenyum.
“Bukan main, yang terakhir delapan buah sekali saya lemparkan. Lihatlah…semua kena” kata Salma.
Si Bungsu menarik nafas. Memusatkan perhatian kemudian mengangguk. Salma tak segera melemparkan putik jambu itu. Ada beberapa saat dia berdiam, kemudia baru melemparkannya sekuat tenaga.
Samurai si Bungsu berkelabat. Memancung kekiri dan kekanan. Kemudian samurainya masuk kembali kesarangnya. Namun kedua putik jambu itu mengenai tubuhnya. Gagal! Salma menatapnya.
“Saya gagal…” kata si Bungsu perlahan.
Namun saat ini Salma sudah mengambil dua buah lagi putik jambu dari dalam baskom. Dan ketika kata-kata “gagal” itu diucapkan si Bungsu, Salma melemparkan putik jambu tersebut. Jambu itu melayang cepat sekali. Si Bungsu tak sempat berfikir, dengan cepat mengandalkan instingnya, tangannya bergerak. Mencabut samurai dan membabat ke depan.
Kena! Ya, sebuah dari putik-putik jambu itu kena. Meski tak tepat, tapi putik jambu itu sempat sumbing. Mereka bertatapan lagi.
“Sudah mulai sedikit…!” Salma berkata sambil mengambil lagi putik jambu tersebut. Dan tiba-tiba melemparkannya kembali, si Bungsu mencabut samurainya. Membabatkannya. Gagal! Dia gagal lagi.
Samurainya memang tercabut dengan cepat. Bahkan hampir-hampir tak terkejutkan oleh mata Salma. Namun babatannya meleset. Demikian mereka ulangi berkali-kali. Sampai akhirnya si Bungsu mulai biasa lagi. Tangannya mulai melemas tidak kaku seperti awalnya. Beberapa kali, samurainya sempat membelah sebuah putik jambu itu persis di tengah. Kemudian gagal lagi. Kemudian tepat lagi. Begitu silih berganti.
Tapi menjelang putik jambu itu habis dua pertiga, dia sudah bisa membelah dua putik jambu yang dilemparkan Salma. Mereka hanya istirahat kalau tangan Salma atau tangan si Bungsu sendiri sudah penat dan pegal. Lalu mereka mengulangi lagi latihan itu.
Suatu saat, Salma berkata:
“Nah, itu ayah pulang…” si Bungsu menoleh kebelakang, dan saat itulah Salma melemparkan kedua putik jambu di tangannya ke arah si Bungsu. Telinga si Bungsu tajam mendengar sesuatu menuju ke arahnya. Dia berpaling, dan saat itulah kedua putik jambu yang dilemparkan Salma menghantam dada dan kepalanya! Si Bungsu tertegun. Dia kaget bukan main. Salma menarik nafas panjang.
“Abang tertipu, dan kurang waspada…” katanya perlahan. Si Bungsu mengangguk. Dia jadi kagum akan kecerdasan gadis ini.
“Terimakasih Salma. Engkau mengingatkan aku sesuatu…kini kita lanjutkan latihan dengan caramu itu, engkau lelah…?”
Salma menghapus peluh di wajahnya yang memerah seperti tomat. Kemudian menggeleng. Si Bungsu membelakang kemudian berkata:
“Nah, untuk tahap pertama, engkau harus bersuara bila melemparkan putik jambu itu. Nanti kalau sudah tebiasa, baru engkau lemparkan tanpa peringatan…”
“Awas…!!” Salma melemparkan putik jambu ditangannya tanpa memberi kesempatan jarak pada si Bungsu. Si Bungsu menajamkan pendengaran. Kemudian mencabut samurai dan berputar sambil menghayunsamurai ditangannya.
“Tras! Tras! Tapi samurainya menerpa angin kosong! Salah satu diantara putik jambu itu mengenai dadanya yang satu lagi terus ke belakang jatuh ke tanah.
“Gagal, kita teruskan…” katanya sambil berputar. Salma kali ini memberi kesempatan pada anak muda itu untuk bernafas. Perlahan mengambil buah jambu di baskom. Kemudian dengan teriakkan “Awas” sekali lagi, dia melemparkan putik jambu itu.
Si Bungsu mencabut samurai menanti sesaat kemudian berputar sambil menghayun samurainya. Kena! Ya, kini satu diantara putik jambu itu kena persis pada pertengahannya.
Dan latihan itu mereka ulangi terus. Terus dan terus hingga si Bungsu dengan tepat mengenai kedua putik jambu yang dilemparkan disaat dia membelakangi itu.
Hari-hari berikutnya si Bungsu mencoba methode yang dulu pernah dia lakukan di Gunung Sago. Yaitu mengendalikan pendengarannya sambil memicingkan mata. Dia duduk bersila di tanah kemudian memejamkan mata. Dan Salma kembali melemparkan putik-putik jambu itu.
Seperti halnya setiap permulaan, pada awal-awalnya dia selalu gagal. Tetapi makin lama, tangannya makin mahir. Dan pendengarannya makin terlatih. Dan kini kedua putik jambu itu senantiasa terbabat belah dua!.
Suatu saat si Bungsu merasa ada lebih dari dua putik jambu yang menyerangnya. Dia membabat tiga kali. Kena. Suatu saat empat, lima, enam. Dan dengan kecepatan yang luar biasa, sambil tetap memicing dia membabat terus. Dan kena!
Dan akhirnya dia mendengar tarikan nafas di kejauhan. Tak ada lagi putik jambu yang dilemparkan. Lambat-lambat dia membuka mata. Dan dibawah pohon perawas sana, dia lihat Salma dengan tubuh berpeluh. Gadis itu menatap padanya dengan tersenyum.
“Lelah…?” tanyanya sambil bangkit mendekati Salma.
“Penat dan kehabisan peluru….” Jawab Salma. Dan si Bungsu melihat betapa panci di depan gadis itu sudah kosong. Dia tersenyum.
“Bukan main, yang terakhir delapan buah sekali saya lemparkan. Lihatlah…semua kena” kata Salma.
tikam samurai (bagian 114)
“Lapan buah?” si Bungsu kini balik bertanya dengan heran.
“Ya, delapan buah. Masa tak tahu..”.
“Saya hanya merasa ada enam buah..”
“Ya, saya lihat hanya enam kali tebas. Tapi dengan enam kali tebas itu kedelapannya kena. Barangkali ada yang sekali tebas dua buah…” Salma berkata perlahan.
Matanya menatap ketempat si Bungsu sejak tadi. Dan disana, terdapat belahan-belahan putik jambu. Berserakan memenuhi halaman belakang rumah itu.
“Sudah merasa lega kini?” tanya Salma. Si Bungsu menatap dalam-dalam kemata gadis itu.
Aneh, ada suatu perasaan yang membuat hatinya jadi buncah dan tak tenteram. Perasaan yang membuat hatinya berdebar.
“Terimakasih Salma. Engkau telah bersusah payah. Merawat diriku, membantu mengembalikan kepercayaan pada diriku. Membantu melatihku…. Terimakasih, aku takkan melupakan budimu…” katanya perlahan. Salma tersenyum, mukanya bersemu merah.
“Hari sudah sore. Tidak lapar?” tanyanya pada si Bungsu. Si Bungsu sudah akan mengangguk, ketika gelang-gelangnya berbunyi. Dia tersenyum malu, Salma juga tersenyum. Dan sore itu dia makan dengan lahap. Makannya bertambuh-tambuh.
Hubungan antara keduanya berjalan makin akrab. Salma tak banyak bicara, namun tatapan matanya yang gemerlap lebih banyak berucap. Dan suatu hari, dia menanyakan sesuatu yang sudah lama ingin dia tanyakan pada si Bungsu. Sesuatu yang membuat hatunya sebagai gadis yang pertama kalin jatuh cinta jadi luluh. Yaitu tentang perempuan lain, yang namanya selalu disebut si Bungsu dalam igauannya ketika sakit dulu.
“Abang berkali-kali memanggil namanya…Mei-Mei!…tentulah dia seorang gadis yang cantik…” kata Salma hari itu, sambil tangannya meneruskan sulamannya.
Si Bungsu tak segera menjawab. Salma menanti dengan berdebar. Sebagai perempuan, dia tak mau ada perempuan lain dalam lelaki yang dia cintai. Tapi sebaliknya, dia tak pula mau merebut lelaki yang telah jadi milik orang lain.
“Ya… dia seorang yang cantik dan amat berbudi..” akhirnya si Bungsu menjawab pelan. Salma merasa jantungnya ditikam.
Penjahit ditangannya terguncang, ibu jarinya tertusuk. Sakitnya bukan main, namun lebih sakit lagi jantungnya.
“Dia ada di kota ini…?” tanyanya dengan suara nyaris gemetar.
“Ada…” jawab si Bungsu pelan.
Salma ingin meletakkan sulamannya. Ingin berlari ke kamar dan menangis disana. Tapi dia kuatkan hatinya.
“Kenapa tak uda bawa dia jalan-jalan kemari…” tambahanya. Dan dia jadi heran, kenapa mulutnya bisa bicara begitu. Padahal hatinya menjerit luka.
“Dia tak mungkin datang kemari. Tapi saya ingin ke tempatnya sore ini, kalau engkau mau aku ingin membawamu kesana. Kau mau bukan…?”
Dan Salma mengangguk. Meskipun setelah itu dia ingin memotong kepalanya yang sudi saja mengangguk. Padahal dia ingin menggeleng dengan keras agak sepuluh atau dua puluh kali.
Dan soere itu, mereka memang pergi ke sana. Ke “tempat” perempuan bernama Mei-Mei itu. Salma jadi heran ketika si Bungsu membawanya ke sebuah pemakaman kaum di Tarok. Pekuburan itu terletak dalam paluhan hutan bambu.
Dan… disebuah pusara, si Bungsu berhenti. Salma tegak disisinya.
“Mengapa kita kemari….?” Tanyanya pelan sambil menutupi kepalanya dengan kerudung.
“Engkau ingin mengenal Mei-mei bukan? Disinilah dia. Dalam pusara ini. Dia meninggal setelah diperkosa bergantian oleh selusin tentara Jepang…”
Salma merasa tubuhnya menggigil. Dia berpegang ke tangan si Bungsu. Dan si Bungsu menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Mei-mei. Bagaimana penderitaan gadis itu semasa hidupnya. Dan dengan jujur juga menceritakan bahwa mereka telah berniat menikah, namun maut lebih duluan menjangkaukan tangannya.
Salma menangis terisak-isak. Si Bungsu menunjukan pula tiga pusara lainnya. Masing-masing pusara Datuk Penghulu, kusir bendi yang ternyata intel Republik itu. Kemudian pusara isteri Datuk itu dan pusara si Upik, anak gadisnya yang meninggal malam itu ditangan kebiadaban tentara Jepang.
Lama mereka terdiam. Kemudian Salma membersihkan ke empat pusara itu bersama si Bungsu. Gadis itu mencari sepohon bunga kemboja. Mematahkan dahannya yang berbunga lebat, menancapkannya dipusara Mei-mei.
“Terimakasih Salma. Kau baik sekali…” kata si Bungsu.
Salma menghapus air matanya. Si Bungsu memeluknya dalam tiupan angin sore yang semilir. Tak ada ucapan yang keluar.Namun Salma merasakan pelukan itu alangkah membahagiakan. Kukuh dan tenteram. Dia ingin berada disana, dalam pelukan yang membuat hatinya berbunga itu untuk selama hidupnya.
“Lapan buah?” si Bungsu kini balik bertanya dengan heran.
“Ya, delapan buah. Masa tak tahu..”.
“Saya hanya merasa ada enam buah..”
“Ya, saya lihat hanya enam kali tebas. Tapi dengan enam kali tebas itu kedelapannya kena. Barangkali ada yang sekali tebas dua buah…” Salma berkata perlahan.
Matanya menatap ketempat si Bungsu sejak tadi. Dan disana, terdapat belahan-belahan putik jambu. Berserakan memenuhi halaman belakang rumah itu.
“Sudah merasa lega kini?” tanya Salma. Si Bungsu menatap dalam-dalam kemata gadis itu.
Aneh, ada suatu perasaan yang membuat hatinya jadi buncah dan tak tenteram. Perasaan yang membuat hatinya berdebar.
“Terimakasih Salma. Engkau telah bersusah payah. Merawat diriku, membantu mengembalikan kepercayaan pada diriku. Membantu melatihku…. Terimakasih, aku takkan melupakan budimu…” katanya perlahan. Salma tersenyum, mukanya bersemu merah.
“Hari sudah sore. Tidak lapar?” tanyanya pada si Bungsu. Si Bungsu sudah akan mengangguk, ketika gelang-gelangnya berbunyi. Dia tersenyum malu, Salma juga tersenyum. Dan sore itu dia makan dengan lahap. Makannya bertambuh-tambuh.
Hubungan antara keduanya berjalan makin akrab. Salma tak banyak bicara, namun tatapan matanya yang gemerlap lebih banyak berucap. Dan suatu hari, dia menanyakan sesuatu yang sudah lama ingin dia tanyakan pada si Bungsu. Sesuatu yang membuat hatunya sebagai gadis yang pertama kalin jatuh cinta jadi luluh. Yaitu tentang perempuan lain, yang namanya selalu disebut si Bungsu dalam igauannya ketika sakit dulu.
“Abang berkali-kali memanggil namanya…Mei-Mei!…tentulah dia seorang gadis yang cantik…” kata Salma hari itu, sambil tangannya meneruskan sulamannya.
Si Bungsu tak segera menjawab. Salma menanti dengan berdebar. Sebagai perempuan, dia tak mau ada perempuan lain dalam lelaki yang dia cintai. Tapi sebaliknya, dia tak pula mau merebut lelaki yang telah jadi milik orang lain.
“Ya… dia seorang yang cantik dan amat berbudi..” akhirnya si Bungsu menjawab pelan. Salma merasa jantungnya ditikam.
Penjahit ditangannya terguncang, ibu jarinya tertusuk. Sakitnya bukan main, namun lebih sakit lagi jantungnya.
“Dia ada di kota ini…?” tanyanya dengan suara nyaris gemetar.
“Ada…” jawab si Bungsu pelan.
Salma ingin meletakkan sulamannya. Ingin berlari ke kamar dan menangis disana. Tapi dia kuatkan hatinya.
“Kenapa tak uda bawa dia jalan-jalan kemari…” tambahanya. Dan dia jadi heran, kenapa mulutnya bisa bicara begitu. Padahal hatinya menjerit luka.
“Dia tak mungkin datang kemari. Tapi saya ingin ke tempatnya sore ini, kalau engkau mau aku ingin membawamu kesana. Kau mau bukan…?”
Dan Salma mengangguk. Meskipun setelah itu dia ingin memotong kepalanya yang sudi saja mengangguk. Padahal dia ingin menggeleng dengan keras agak sepuluh atau dua puluh kali.
Dan soere itu, mereka memang pergi ke sana. Ke “tempat” perempuan bernama Mei-Mei itu. Salma jadi heran ketika si Bungsu membawanya ke sebuah pemakaman kaum di Tarok. Pekuburan itu terletak dalam paluhan hutan bambu.
Dan… disebuah pusara, si Bungsu berhenti. Salma tegak disisinya.
“Mengapa kita kemari….?” Tanyanya pelan sambil menutupi kepalanya dengan kerudung.
“Engkau ingin mengenal Mei-mei bukan? Disinilah dia. Dalam pusara ini. Dia meninggal setelah diperkosa bergantian oleh selusin tentara Jepang…”
Salma merasa tubuhnya menggigil. Dia berpegang ke tangan si Bungsu. Dan si Bungsu menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Mei-mei. Bagaimana penderitaan gadis itu semasa hidupnya. Dan dengan jujur juga menceritakan bahwa mereka telah berniat menikah, namun maut lebih duluan menjangkaukan tangannya.
Salma menangis terisak-isak. Si Bungsu menunjukan pula tiga pusara lainnya. Masing-masing pusara Datuk Penghulu, kusir bendi yang ternyata intel Republik itu. Kemudian pusara isteri Datuk itu dan pusara si Upik, anak gadisnya yang meninggal malam itu ditangan kebiadaban tentara Jepang.
Lama mereka terdiam. Kemudian Salma membersihkan ke empat pusara itu bersama si Bungsu. Gadis itu mencari sepohon bunga kemboja. Mematahkan dahannya yang berbunga lebat, menancapkannya dipusara Mei-mei.
“Terimakasih Salma. Kau baik sekali…” kata si Bungsu.
Salma menghapus air matanya. Si Bungsu memeluknya dalam tiupan angin sore yang semilir. Tak ada ucapan yang keluar.Namun Salma merasakan pelukan itu alangkah membahagiakan. Kukuh dan tenteram. Dia ingin berada disana, dalam pelukan yang membuat hatinya berbunga itu untuk selama hidupnya.
tikam samurai (bagian 115)
Suatu hari, ketika dia kembali duduk di beranda depan, dia melihat dan mendengar derap sepatu tentara.
“Salma…” katanya memanggil ketika melihat enam orang serdadu Jepang lewat di depan rumah dengan bedil ditangan. Salma datang ke beranda depan.
“Mereka selalu lewat di jalan-jalan kota sejak kemerdekaan?”
“Ya, mereka mengadakan patroli. Setiap hari mereka patroli tiga kali. Mengitari kota. Memasuki jalan-jalan kecil. Dan setiap regu patroli terdiri dari enam orang. Begitu terus tiap hari…”
Si Bungsu mengangguk-ngangguk. Dan dia berpikir lagi tentang rencananya beberapa hari yang lalu. Rencana yang disusun untuk membuat sebuah pembalasan. Rencana gila, tapi dia berniat untuk melaksanakannya.
“Kalau bapak pulang, katakan saya pergi jalan-jalan…” si Bungsu berkata sambil mengambil samurainya.
Salma jadi tertegun. Ada firasat tak enak menyelusup dihatinya. Katakanlah semacam rasa cemas. Dia ingin mencegah anak muda itu untuk tak pergi. Tapi dia yakin, anak muda itu tak tercegah.
“Uda…” hanya itu yang mampu diucapkan ketika si Bungsu sudah sampai di jenjang.
Si Bungsu berhenti, menoleh kebelakang. Gadis itu menatapnya dengan sinar mata yang sulit untuk diartikan. Lembut dan dalam. Seperti teluk yang damai dimana kapal-kapal berlabuh.
“Hati-hatilah…’ Akhirnya ucapan itulah yang terlontar dari bibirnya.
Namun dari matanya banyak sekali ucapan yang tersirat. Si Bungsu menaiki lagi anak tangga yang dia turuni sebanyak dua buah. Dia pegang tangan Salma, menggenggamnya.
“Terimakasih Salma…” kemudian dia berbalik, buru-buru menyusul serdadu Jepang tadi. Salma menatapnya hingga lenyap dibalik tikungan.
Suatu hari, ketika dia kembali duduk di beranda depan, dia melihat dan mendengar derap sepatu tentara.
“Salma…” katanya memanggil ketika melihat enam orang serdadu Jepang lewat di depan rumah dengan bedil ditangan. Salma datang ke beranda depan.
“Mereka selalu lewat di jalan-jalan kota sejak kemerdekaan?”
“Ya, mereka mengadakan patroli. Setiap hari mereka patroli tiga kali. Mengitari kota. Memasuki jalan-jalan kecil. Dan setiap regu patroli terdiri dari enam orang. Begitu terus tiap hari…”
Si Bungsu mengangguk-ngangguk. Dan dia berpikir lagi tentang rencananya beberapa hari yang lalu. Rencana yang disusun untuk membuat sebuah pembalasan. Rencana gila, tapi dia berniat untuk melaksanakannya.
“Kalau bapak pulang, katakan saya pergi jalan-jalan…” si Bungsu berkata sambil mengambil samurainya.
Salma jadi tertegun. Ada firasat tak enak menyelusup dihatinya. Katakanlah semacam rasa cemas. Dia ingin mencegah anak muda itu untuk tak pergi. Tapi dia yakin, anak muda itu tak tercegah.
“Uda…” hanya itu yang mampu diucapkan ketika si Bungsu sudah sampai di jenjang.
Si Bungsu berhenti, menoleh kebelakang. Gadis itu menatapnya dengan sinar mata yang sulit untuk diartikan. Lembut dan dalam. Seperti teluk yang damai dimana kapal-kapal berlabuh.
“Hati-hatilah…’ Akhirnya ucapan itulah yang terlontar dari bibirnya.
Namun dari matanya banyak sekali ucapan yang tersirat. Si Bungsu menaiki lagi anak tangga yang dia turuni sebanyak dua buah. Dia pegang tangan Salma, menggenggamnya.
“Terimakasih Salma…” kemudian dia berbalik, buru-buru menyusul serdadu Jepang tadi. Salma menatapnya hingga lenyap dibalik tikungan.
Keenam serdadu Jepang itu sudah memutari separo kota Bukittinggi. Regu patroli jalan kaki itu dipimpin oleh seorang Syo Cho (Sersan Mayor). Keenam mereka tak seorangpun yang memakai samurai. Syo Cho memakai pistol dipinggangnya. Sementara lima orang lagi, yang terdiri serdadu-serdadu berpangkat Itto Hei (Prajurit Satu) tiga orang dan berpangkat Djo to Hei (Prajurit Kepala) satu orang. Satu orang lagi adalah wakil komandan dengan pangkat Hei Cho (Kopral). Kelima mereka memakai bedil panjang lengkap dengan sangkur terhunus diujung bedilnya.
Mereka tengah lewat di dekat penghentian bendi tak jauh dari jenjang gantung yang melintasi jalan, yang menghubungkan pasar teleng dengan pasar bawah, ketika tiba-tiba saja seorang anak muda menghadang mereka. Syo Cho yang memimpin regu itu jadi gusar melihat anak muda yang tegak bertolak pinggang di depannya. Dengan tangan kananya ia dorong anak muda itu. Sebenarnya, kalau saja mereka tidak kalah perang dengan Sekutu, anak muda ini barangkali telah dia tampar. Atau dia tangkap dan diseret ke markas.
Tapi kini situasi sudah berbeda jauh. Mereka adalah tentara yang kalah. Makanya mereka cukup hati-hati.
“Minggir..” katanya sambil mendorong. Namun saat itulah yang ditunggu anak muda yang tak lain dari pada si Bungsu, samurainya bekerja dan tangan yang mendorongnya tiba-tiba dibabat putus hingga kebatas siku!
Syo Cho itu memekik. Kelima anggota regunya terkejut dan siap untuk mengadakan pembalasan. Namun keadaan sudah diperhitungkan si Bungsu. Dia sudah mengira, bahwa rencananya itu rencana gila. Tapi dia merasa kasihan pada pejuang-pejuang yang selalu kalah dalam tiap penyergapan di luar kota.
Begitu tangan Sersan Mayor itu putus, dia menyergap tubuhnya dari belakang. Kemudian seperti dia mengancam Mayor Akiyama di Birugo dahulu, begitu pulalah yang dia perbuat kini. Sersan itu dia ancam dengan melekatkan mata samurainya kelehernya.
“Letakkan seluruh bedil kalian di tanah, kalau tidak saya sembelih komandan kalian ini. Lekas!” si Bungsu menghardik. Kelima serdadu itu tersurut. Mereka jadi ngeri melihat darah yang menyembur dari tangan Sersan yang putus itu. Sersan itu memekik dalam bahasa Jepang agar anak buahnya meletakkan bedil.
Dan keenam serdadu itu segera menyadari, bahwa yang menghadang mereka itu adalah si Bungsu. Anak muda yang ditakuti itu. Yang telah lolos dari tahanan di dalam terowongan dahulu. Menyadari bahwa yang mencegatnya adalah si Bungsu, keenam mereka benar-benar tak mampu berkutik.
Dan kelima serdadu itu mencampakkan bedil mereka ke tanah. Meski hari itu bukan hari balai, bukan Sabtu dan Rabu, namun orang tetap ramai kepasar. Dan dalam waktu sebentar saja, tempat itu telah dikerumuni orang. Penduduk melihat makin lama makain ramai dari kejauhan.
“Kalian tanggalkan pakaian kalian semua. Cepaaat!!” si Bungsu berteriak lagi. Dan tanpa menunggu perintah kedua, mereka berlomba menanggalkan baju dan celana dinasnya.
“Nah, kini dengarkan baik-baik. Katakanlah pada Letnan Kolonel Akiyama bahwa si Bungsu mencarinya. Pergilah cepat!”
Berkata begini, dia mendorong tubuh Sersan Mayor yang dia ringkus tadi. Sersan Mayor itu terjajar. Kemudian melangkah menjauh.
Keenam serdadu Jepang itu sudah memutari separo kota Bukittinggi. Regu patroli jalan kaki itu dipimpin oleh seorang Syo Cho (Sersan Mayor). Keenam mereka tak seorangpun yang memakai samurai. Syo Cho memakai pistol dipinggangnya. Sementara lima orang lagi, yang terdiri serdadu-serdadu berpangkat Itto Hei (Prajurit Satu) tiga orang dan berpangkat Djo to Hei (Prajurit Kepala) satu orang. Satu orang lagi adalah wakil komandan dengan pangkat Hei Cho (Kopral). Kelima mereka memakai bedil panjang lengkap dengan sangkur terhunus diujung bedilnya.
Mereka tengah lewat di dekat penghentian bendi tak jauh dari jenjang gantung yang melintasi jalan, yang menghubungkan pasar teleng dengan pasar bawah, ketika tiba-tiba saja seorang anak muda menghadang mereka. Syo Cho yang memimpin regu itu jadi gusar melihat anak muda yang tegak bertolak pinggang di depannya. Dengan tangan kananya ia dorong anak muda itu. Sebenarnya, kalau saja mereka tidak kalah perang dengan Sekutu, anak muda ini barangkali telah dia tampar. Atau dia tangkap dan diseret ke markas.
Tapi kini situasi sudah berbeda jauh. Mereka adalah tentara yang kalah. Makanya mereka cukup hati-hati.
“Minggir..” katanya sambil mendorong. Namun saat itulah yang ditunggu anak muda yang tak lain dari pada si Bungsu, samurainya bekerja dan tangan yang mendorongnya tiba-tiba dibabat putus hingga kebatas siku!
Syo Cho itu memekik. Kelima anggota regunya terkejut dan siap untuk mengadakan pembalasan. Namun keadaan sudah diperhitungkan si Bungsu. Dia sudah mengira, bahwa rencananya itu rencana gila. Tapi dia merasa kasihan pada pejuang-pejuang yang selalu kalah dalam tiap penyergapan di luar kota.
Begitu tangan Sersan Mayor itu putus, dia menyergap tubuhnya dari belakang. Kemudian seperti dia mengancam Mayor Akiyama di Birugo dahulu, begitu pulalah yang dia perbuat kini. Sersan itu dia ancam dengan melekatkan mata samurainya kelehernya.
“Letakkan seluruh bedil kalian di tanah, kalau tidak saya sembelih komandan kalian ini. Lekas!” si Bungsu menghardik. Kelima serdadu itu tersurut. Mereka jadi ngeri melihat darah yang menyembur dari tangan Sersan yang putus itu. Sersan itu memekik dalam bahasa Jepang agar anak buahnya meletakkan bedil.
Dan keenam serdadu itu segera menyadari, bahwa yang menghadang mereka itu adalah si Bungsu. Anak muda yang ditakuti itu. Yang telah lolos dari tahanan di dalam terowongan dahulu. Menyadari bahwa yang mencegatnya adalah si Bungsu, keenam mereka benar-benar tak mampu berkutik.
Dan kelima serdadu itu mencampakkan bedil mereka ke tanah. Meski hari itu bukan hari balai, bukan Sabtu dan Rabu, namun orang tetap ramai kepasar. Dan dalam waktu sebentar saja, tempat itu telah dikerumuni orang. Penduduk melihat makin lama makain ramai dari kejauhan.
“Kalian tanggalkan pakaian kalian semua. Cepaaat!!” si Bungsu berteriak lagi. Dan tanpa menunggu perintah kedua, mereka berlomba menanggalkan baju dan celana dinasnya.
“Nah, kini dengarkan baik-baik. Katakanlah pada Letnan Kolonel Akiyama bahwa si Bungsu mencarinya. Pergilah cepat!”
Berkata begini, dia mendorong tubuh Sersan Mayor yang dia ringkus tadi. Sersan Mayor itu terjajar. Kemudian melangkah menjauh.
tikam samurai (bagian 116)
“Pergilah sebelum saya berobah niat…” kata si Bungsu.
Yang lima mundur menjauh, Sersan itu juga. Namun si Sersan kini mempunyai niat lain. Si Bungsu ternyata lupa melucuti senjata pistol dipinggangnya. Kini jarak mereka ada sepuluh depa. Bukankah samurai si Bungsu tak berdaya dalam jarak begitu? Dia pasti bisa menghajar anak muda itu. Maka dengan perhitungan begini, tiba-tiba tangan kirinya mencabut pistol dipinggang.
“Bagero! Bungsu jahanam, kubunuh kau!” teriaknya begitu pistolnya keluar dari sarangnya.
Dan kelima serdadu Jepang yang lain pada berhenti. Mata si Bungsu tiba-tiba menyipit.
Sepuluh depa! Dia perhitungkan jarak itu. Berapa kalikah dia harus bergulingan maka sampai ke Jepang yang pontong tangannya itu? Atau dia lemparkan sajakah samurainya dari sini? Peluru pistol itu pasti lebih cepat.
Perhitungan ini diambil dalam waktu yang hanya dua detik. Sebab pistol itu sudah akan diangkat untuk ditembakkan. Penduduk pada terpekik dan mundur. Dan saat itulah tubuh si Bungsu bergulingan di tanah. Lompat tupai!
Tiga kali, empat kali bergulingan tiba-tiba dia dengar letusan. Kakinya terasa panas, luka! Saat itulah dia bangkit. Sebuah letusan lagi, dan rusuknya terasa pedih. Luka! Jaraknya masih empat depa. Samurainya tiba-tiba keluar dan melayang! Creep!!
Lemparannya tepat mengenai jantung Sersan Mayor itu. Tertancap hingga kehulunya dan tembus terjulur panjang dibahagian punggung. Sersan itu berusaha menarik pelatuk pistolnya. Namun tubuhnya terkulai tiba-tiba. Jatuh, dan mati!
Si Bungsu cepat memburu, menyentakkan samurai itu dn menatap lima Jepang yang hanya bercelana kolor di depannya. Kelima Jepang itu tiba-tiba balik kanan dan ambil langkah seribu! Lari.
“Jangan lupa sampaikan pada Akiyama, saya mencarinya!! Si Bungsu berteriak.
Dua orang tentara Jepang saking takutnya sambil berlari itu lalu mengiyakan. Angguk ketakutan.
Si Bungsu melihat kaki dan rusuknya yang pedih tadi. Hanya luka tergores. Tak Parah. Meski darah mengalir cukup banyak.
“Jika ada diantara kalian pejuang bawah tanah, ambillah bedil ini dan pergi cepat sebelum Jepang tiba….” Dia berkata. Sunyi sejenak.
Dan tiba-tiba saja empat lelaki berkain sarung dibahunya muncul ketengah. Mengambil senjata-senjata dan pakaian yang ditinggalkan Jepang itu. Mereka menatap sejenak pada si Bungsu.
“Kami sudah banyak mendengar tentang nama besarmu anak muda. Dan hari ini kami lihat betapa nama besarmu itu tidak kosong semata. Terimakasih atas bantuanmu. Tuhan akan selalu melindungimu…..” salah seorang dari yang barkain dan bersebo yang berkumis dan bertubuh kekar berkata.
Dan sehabis berkata begini, keempat mereka hilang diantara palunan manusia. Menyelinap dibalik-balik rumah. Dan lenyap entah kemana.
“Kalian menghindarlah dari sini, jangan sampai didapati Kempetai nanti….” Si Bungsu memberi ingat pada penduduk sambil berjalan cepat-cepat.
Pendudukpun pada bertebaran menghindarkan diri. Namun beberapa orang masih tegak disana menatap pada sersan yang mati itu. Dan saat itulah selusin lebih Kempetai telah mengepung tempat tersebut.
Ada enam orang lelaki, dan tiga orang perempuan yang tak sempat menghindarkan diri. Yang masih terlongo-longo menatap mayat sersan itu ketika Kempetai datang. Semua mereka ditangkap untuk pemeriksaan dan menanyakan kemana si Bungsu dan siapa yang mengambil bedil yang ditinggalkan tadi.
Kalau saja mereka mengikuti petunjuk si Bungsu agar menghindar cepat dari sana, maka mereka tentulah tak usah dapat kesusahan ditangkap Kempetai. Tapi mereka tak dapat pula disalahkan sepenuhnya. “Pertunjukkan” seperti yang baru saja mereka lihat, dimana seorang pemuda Indonesia melawan dan menelanjangi tentara Jepang, seorang lawan enam orang, dan pemuda Indonesia yang seorang itu menang pula, benar-benar belum pernah bersua dalam hidup mereka.
Bahkan mungkin takkan pernah lagi mereka menemuinya. Mereka sudah banyak mendengar dari mulut ke mulut, bahwa ada seorang anak muda yang bernama si Bungsu, yang berasal dari Payakumbuh, dari kakai gunung Sago, yang selalu berhasil membunuhi Jepang.
Diam-diam, nama anak muda itu menjadi macam tokoh dongeng dan legenda kehidupan mereka. Kaum lelaki dan perempuan, tua dan muda, menganggap anak muda itu sebagai suatu tokoh pahlawan yang hanya hidup dalam zaman dongeng.
Namun tiba-tiba saja, hari ini pahlawan dongeng mereka itu muncul. Dan kemunculannya tidak hanya sambil lenggang kangkung. Dia muncul lengkap dengan kemahirannya melucuti dan membunuh Jepang dengan samurainya. Dia muncul lengkap dengan kehebatannya memainkan samurai. Suatu kemunculan yang komplit seperti didalam dongeng yang mereka dengar selama ini.
“Pergilah sebelum saya berobah niat…” kata si Bungsu.
Yang lima mundur menjauh, Sersan itu juga. Namun si Sersan kini mempunyai niat lain. Si Bungsu ternyata lupa melucuti senjata pistol dipinggangnya. Kini jarak mereka ada sepuluh depa. Bukankah samurai si Bungsu tak berdaya dalam jarak begitu? Dia pasti bisa menghajar anak muda itu. Maka dengan perhitungan begini, tiba-tiba tangan kirinya mencabut pistol dipinggang.
“Bagero! Bungsu jahanam, kubunuh kau!” teriaknya begitu pistolnya keluar dari sarangnya.
Dan kelima serdadu Jepang yang lain pada berhenti. Mata si Bungsu tiba-tiba menyipit.
Sepuluh depa! Dia perhitungkan jarak itu. Berapa kalikah dia harus bergulingan maka sampai ke Jepang yang pontong tangannya itu? Atau dia lemparkan sajakah samurainya dari sini? Peluru pistol itu pasti lebih cepat.
Perhitungan ini diambil dalam waktu yang hanya dua detik. Sebab pistol itu sudah akan diangkat untuk ditembakkan. Penduduk pada terpekik dan mundur. Dan saat itulah tubuh si Bungsu bergulingan di tanah. Lompat tupai!
Tiga kali, empat kali bergulingan tiba-tiba dia dengar letusan. Kakinya terasa panas, luka! Saat itulah dia bangkit. Sebuah letusan lagi, dan rusuknya terasa pedih. Luka! Jaraknya masih empat depa. Samurainya tiba-tiba keluar dan melayang! Creep!!
Lemparannya tepat mengenai jantung Sersan Mayor itu. Tertancap hingga kehulunya dan tembus terjulur panjang dibahagian punggung. Sersan itu berusaha menarik pelatuk pistolnya. Namun tubuhnya terkulai tiba-tiba. Jatuh, dan mati!
Si Bungsu cepat memburu, menyentakkan samurai itu dn menatap lima Jepang yang hanya bercelana kolor di depannya. Kelima Jepang itu tiba-tiba balik kanan dan ambil langkah seribu! Lari.
“Jangan lupa sampaikan pada Akiyama, saya mencarinya!! Si Bungsu berteriak.
Dua orang tentara Jepang saking takutnya sambil berlari itu lalu mengiyakan. Angguk ketakutan.
Si Bungsu melihat kaki dan rusuknya yang pedih tadi. Hanya luka tergores. Tak Parah. Meski darah mengalir cukup banyak.
“Jika ada diantara kalian pejuang bawah tanah, ambillah bedil ini dan pergi cepat sebelum Jepang tiba….” Dia berkata. Sunyi sejenak.
Dan tiba-tiba saja empat lelaki berkain sarung dibahunya muncul ketengah. Mengambil senjata-senjata dan pakaian yang ditinggalkan Jepang itu. Mereka menatap sejenak pada si Bungsu.
“Kami sudah banyak mendengar tentang nama besarmu anak muda. Dan hari ini kami lihat betapa nama besarmu itu tidak kosong semata. Terimakasih atas bantuanmu. Tuhan akan selalu melindungimu…..” salah seorang dari yang barkain dan bersebo yang berkumis dan bertubuh kekar berkata.
Dan sehabis berkata begini, keempat mereka hilang diantara palunan manusia. Menyelinap dibalik-balik rumah. Dan lenyap entah kemana.
“Kalian menghindarlah dari sini, jangan sampai didapati Kempetai nanti….” Si Bungsu memberi ingat pada penduduk sambil berjalan cepat-cepat.
Pendudukpun pada bertebaran menghindarkan diri. Namun beberapa orang masih tegak disana menatap pada sersan yang mati itu. Dan saat itulah selusin lebih Kempetai telah mengepung tempat tersebut.
Ada enam orang lelaki, dan tiga orang perempuan yang tak sempat menghindarkan diri. Yang masih terlongo-longo menatap mayat sersan itu ketika Kempetai datang. Semua mereka ditangkap untuk pemeriksaan dan menanyakan kemana si Bungsu dan siapa yang mengambil bedil yang ditinggalkan tadi.
Kalau saja mereka mengikuti petunjuk si Bungsu agar menghindar cepat dari sana, maka mereka tentulah tak usah dapat kesusahan ditangkap Kempetai. Tapi mereka tak dapat pula disalahkan sepenuhnya. “Pertunjukkan” seperti yang baru saja mereka lihat, dimana seorang pemuda Indonesia melawan dan menelanjangi tentara Jepang, seorang lawan enam orang, dan pemuda Indonesia yang seorang itu menang pula, benar-benar belum pernah bersua dalam hidup mereka.
Bahkan mungkin takkan pernah lagi mereka menemuinya. Mereka sudah banyak mendengar dari mulut ke mulut, bahwa ada seorang anak muda yang bernama si Bungsu, yang berasal dari Payakumbuh, dari kakai gunung Sago, yang selalu berhasil membunuhi Jepang.
Diam-diam, nama anak muda itu menjadi macam tokoh dongeng dan legenda kehidupan mereka. Kaum lelaki dan perempuan, tua dan muda, menganggap anak muda itu sebagai suatu tokoh pahlawan yang hanya hidup dalam zaman dongeng.
Namun tiba-tiba saja, hari ini pahlawan dongeng mereka itu muncul. Dan kemunculannya tidak hanya sambil lenggang kangkung. Dia muncul lengkap dengan kemahirannya melucuti dan membunuh Jepang dengan samurainya. Dia muncul lengkap dengan kehebatannya memainkan samurai. Suatu kemunculan yang komplit seperti didalam dongeng yang mereka dengar selama ini.
tikam samurai (bagian 117)
Memang tak dapat disalahkan penduduk yang masih tetap tinggal ditempat kejadian itu. Barangkali mereka tak merasa rugi telah ditangkap Kempetai. Malah bila telah bebas, meski kena tampar sebelas dua belas kali, kepada teman dan kenalan, kepada sanak famili, kepada anak cucu, mereka bisa menepuk dada. Bercerita tentang kehebatan si Bungsu. Bercerita bahwa mereka ikut dalam “aksi” membunuh dan menelanjangi enam orang Jepang di dekat jembatan gantung itu bersama si Bungsu. Bersama si Bungsu!
Hm, bayangkan kebanggan yang akan mereka perdapat.
Demikian selalu rakyat kecil. Harapannya tak pula besar. Kecil saja, sekecil kehidupan mereka. Bagi mereka, kebanggaan-kebanggan bertegur sapa atau berdekatan dengan tokoh yang dikagumi, sudah meruapakan suatu kebahagian. Dan itu mereka perdapat hari ini.
Peristiwa di dekat jembatan gantung itu segera menyebar seperti menelan lalang. Bersambung dari satu mulut ke mulut yang lain. Makin lama, kehebatan peritiwa itu makin menjadi-jadi. Ada yang bercerita bahwa pakaian kelima serdadu Jepang itu tanggal hanya karena bentakkan si Bungsu.
Artinya, bentakkan si Bungsu mengandung tenaga dalam yang tangguh. Ada pula yang menceritakan bahwa dia melihat benar dengan mata kepala sendiri, betapa si Bungsu tetap saja tegak ketika ditembak belasan kali oleh Kempetai-Kempetai itu. Setelah perluru pistol Kempetai itu habis barulah si Bungsu beraksi dengan samurainya. Bukan main hebatnya cerita itu bertebar dan bersambung dari mulut ke mulut. Yang sejengkal djadi sedepa.
Namun begitulah selalu rakyat kecil. Jika mereka tidak mampu memperoleh yang besar-besar, bahkan memperoleh yang kecil sekalipun susah, maka mereka cukup merasa puas dengan hanya menceritakan sesuatu yang besar.
Atau sekurang-kurangnya membesar-besarkan peritiwa kecil. Bukankah itu termasuk juga suatu”pekerjaan” yang besar?
Letnan Kolonel Akiyama mencak-mencak saking berangnya mendengar laporan kelima serdadu yang ditelanjangi itu. Mukanya merah padam. Persis udang yang dibakar hidup-hidup. Kelima serdadu yang hanya bercelana kotok itu dia biarkan terus bercelana kotok. Tak dia biarkan memakai pakaian.
“Goblok! Pandir! Kalian tak punya otak. Tak mampu melawan seorang anak ingusan yang hanya pakai samurai. Sialan” dan tangannya bekerja menampari kelima orang serdadunya itu. Puak…puak-puak…pak! Berkatintam tangannya mendarat datar di pipi, kepala dan tengkuk kelima serdadu itu.
Kelima serdadu itu hanya dapat tegak dengan diam dan sikap sempurna. Masih untung mereka ditampar disana dan dibiarkan berserawa kotok. Bagaimana kalau mereka diseret ketahanan kemudian disiksa? Cukup banyak serdadu Jepang yang mengalami siksaan dibawah perintah Letnan Kolonel ini. Dia memang arsitek bidang siksa menyiksa.
Tapi tiba-tiba Letnan Kolonel itu jadi terdiam pula. Dia ingat kembali kata-katanya barusan. “Goblok, pandir, beruk. Kalian tak punya otak, tak mampu melawan anak ingusan yang hanya pakai samurai. Sialan” begitu ucapan makiannya sebentar ini. Dan dia jadi terdiam tertegak seperti patung justru mengingat kejadian di Birugo dahulu. Bukankah dia juga dibuat tak berkutik oleh ancaman samuari anak muda itu?
Bahkan waktu itu dia justru punya kekuatan jauh lebih besar. Dia membawa hampir tiga puluh orang serdadu. Tapi dengan kekuatan begitu, dia justru berhasil direndam anak muda itu dalam tebat. Bahkan Letnan Atto, ajudannya mati dibabat anak muda itu di depan matanya! Dia terdiam karena merasa malu. Dia baru saja memaki anak buahnya. Bukankah itu juga berarti memaki dirinya sendiri?
“Jahanam. Pergi kalian dari hadapanku! Bagero, beruk semuaa!” dia membentak sambil menendangi pantat anak buahnya yang lima orang itu. Ada yang terpancar kentutnya kena tendangan itu. Selagi ada kesempatan, ketika diusir itu lebih cepat menghindar lebih baik pikir mereka.
Dan kini tinggallah Overste itu sendiri. Terengah-engah dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Si Bungsu sudah keterlaluan.Sudah melumuri kepala botakku dengan cirit, pikirnya. Dengan menelanjangi tentara Jepang dimuka orang ramai, membunuh komandan regunya, kemudia berpesan pula agar menyampaikan ancaman pada Akiyama, bukankah itu sebuah tantangan yang tak alang kepalang.
Oh Budha, kalau saja bom atom tak meledak di Nagasaki dan Hirosyima, kalau saja Jepang tak bertekuk lutut pada Sekutu, dia pasti sudah menyuruh menangangkapi semua orang di Bukittinggi ini. Menangkapin mereka sambil memaksa buka mulut untuk menunjukkan dimana si Bungsu sembunyi. Anak setan itu pasti dalam kota ini. Pasti, tapi dimana?
Malangnya Jepang telah menyerah. Jadi kekuatan mereka tak begitu berarti lagi. Mereka harus banyak menekan perasaan. Tapi Akiyama bersumpah, dia harus menangkap dan membunuh si Bungsu jahanam itu. Harus!
Sebaliknya si Bungsu juga bersumpah pada dirinya untuk menuntut balas pada Akiyama. Masih ingat dia betapa Letnan Kolonel itu, semasa dia masih berpangkat Mayor, menghantam luka dibahunya. Lukanya dia tusuk dengan keempat jarinya sehingga jebol ke dalam. Bukan main sakitnya.
Memang tak dapat disalahkan penduduk yang masih tetap tinggal ditempat kejadian itu. Barangkali mereka tak merasa rugi telah ditangkap Kempetai. Malah bila telah bebas, meski kena tampar sebelas dua belas kali, kepada teman dan kenalan, kepada sanak famili, kepada anak cucu, mereka bisa menepuk dada. Bercerita tentang kehebatan si Bungsu. Bercerita bahwa mereka ikut dalam “aksi” membunuh dan menelanjangi enam orang Jepang di dekat jembatan gantung itu bersama si Bungsu. Bersama si Bungsu!
Hm, bayangkan kebanggan yang akan mereka perdapat.
Demikian selalu rakyat kecil. Harapannya tak pula besar. Kecil saja, sekecil kehidupan mereka. Bagi mereka, kebanggaan-kebanggan bertegur sapa atau berdekatan dengan tokoh yang dikagumi, sudah meruapakan suatu kebahagian. Dan itu mereka perdapat hari ini.
Peristiwa di dekat jembatan gantung itu segera menyebar seperti menelan lalang. Bersambung dari satu mulut ke mulut yang lain. Makin lama, kehebatan peritiwa itu makin menjadi-jadi. Ada yang bercerita bahwa pakaian kelima serdadu Jepang itu tanggal hanya karena bentakkan si Bungsu.
Artinya, bentakkan si Bungsu mengandung tenaga dalam yang tangguh. Ada pula yang menceritakan bahwa dia melihat benar dengan mata kepala sendiri, betapa si Bungsu tetap saja tegak ketika ditembak belasan kali oleh Kempetai-Kempetai itu. Setelah perluru pistol Kempetai itu habis barulah si Bungsu beraksi dengan samurainya. Bukan main hebatnya cerita itu bertebar dan bersambung dari mulut ke mulut. Yang sejengkal djadi sedepa.
Namun begitulah selalu rakyat kecil. Jika mereka tidak mampu memperoleh yang besar-besar, bahkan memperoleh yang kecil sekalipun susah, maka mereka cukup merasa puas dengan hanya menceritakan sesuatu yang besar.
Atau sekurang-kurangnya membesar-besarkan peritiwa kecil. Bukankah itu termasuk juga suatu”pekerjaan” yang besar?
Letnan Kolonel Akiyama mencak-mencak saking berangnya mendengar laporan kelima serdadu yang ditelanjangi itu. Mukanya merah padam. Persis udang yang dibakar hidup-hidup. Kelima serdadu yang hanya bercelana kotok itu dia biarkan terus bercelana kotok. Tak dia biarkan memakai pakaian.
“Goblok! Pandir! Kalian tak punya otak. Tak mampu melawan seorang anak ingusan yang hanya pakai samurai. Sialan” dan tangannya bekerja menampari kelima orang serdadunya itu. Puak…puak-puak…pak! Berkatintam tangannya mendarat datar di pipi, kepala dan tengkuk kelima serdadu itu.
Kelima serdadu itu hanya dapat tegak dengan diam dan sikap sempurna. Masih untung mereka ditampar disana dan dibiarkan berserawa kotok. Bagaimana kalau mereka diseret ketahanan kemudian disiksa? Cukup banyak serdadu Jepang yang mengalami siksaan dibawah perintah Letnan Kolonel ini. Dia memang arsitek bidang siksa menyiksa.
Tapi tiba-tiba Letnan Kolonel itu jadi terdiam pula. Dia ingat kembali kata-katanya barusan. “Goblok, pandir, beruk. Kalian tak punya otak, tak mampu melawan anak ingusan yang hanya pakai samurai. Sialan” begitu ucapan makiannya sebentar ini. Dan dia jadi terdiam tertegak seperti patung justru mengingat kejadian di Birugo dahulu. Bukankah dia juga dibuat tak berkutik oleh ancaman samuari anak muda itu?
Bahkan waktu itu dia justru punya kekuatan jauh lebih besar. Dia membawa hampir tiga puluh orang serdadu. Tapi dengan kekuatan begitu, dia justru berhasil direndam anak muda itu dalam tebat. Bahkan Letnan Atto, ajudannya mati dibabat anak muda itu di depan matanya! Dia terdiam karena merasa malu. Dia baru saja memaki anak buahnya. Bukankah itu juga berarti memaki dirinya sendiri?
“Jahanam. Pergi kalian dari hadapanku! Bagero, beruk semuaa!” dia membentak sambil menendangi pantat anak buahnya yang lima orang itu. Ada yang terpancar kentutnya kena tendangan itu. Selagi ada kesempatan, ketika diusir itu lebih cepat menghindar lebih baik pikir mereka.
Dan kini tinggallah Overste itu sendiri. Terengah-engah dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Si Bungsu sudah keterlaluan.Sudah melumuri kepala botakku dengan cirit, pikirnya. Dengan menelanjangi tentara Jepang dimuka orang ramai, membunuh komandan regunya, kemudia berpesan pula agar menyampaikan ancaman pada Akiyama, bukankah itu sebuah tantangan yang tak alang kepalang.
Oh Budha, kalau saja bom atom tak meledak di Nagasaki dan Hirosyima, kalau saja Jepang tak bertekuk lutut pada Sekutu, dia pasti sudah menyuruh menangangkapi semua orang di Bukittinggi ini. Menangkapin mereka sambil memaksa buka mulut untuk menunjukkan dimana si Bungsu sembunyi. Anak setan itu pasti dalam kota ini. Pasti, tapi dimana?
Malangnya Jepang telah menyerah. Jadi kekuatan mereka tak begitu berarti lagi. Mereka harus banyak menekan perasaan. Tapi Akiyama bersumpah, dia harus menangkap dan membunuh si Bungsu jahanam itu. Harus!
Sebaliknya si Bungsu juga bersumpah pada dirinya untuk menuntut balas pada Akiyama. Masih ingat dia betapa Letnan Kolonel itu, semasa dia masih berpangkat Mayor, menghantam luka dibahunya. Lukanya dia tusuk dengan keempat jarinya sehingga jebol ke dalam. Bukan main sakitnya.
tikam samurai (bagian 118)
Tapi yang paling sakit perasaannya adalah ketika dia ketahui bahwa Datuk Penghulu mati dihantam samurai Akiyama. Inilah dendam yang harus dia balaskan. Membalas kematian Datuk Penghulu.
Dan akhirnya kedua musuh bebuyutan yang saling membenci ini bertemu muka. Mereka bertemu dalam saat-saat yang menguntungkan bagi posisi si Bungsu. Waktu itu ada suatu upacara dimana selain bala tentara Jepang, juga hadir anggota-anggota pejuang Indonesia dan anggota Gyugun.
Tentara Jepang yang hadir sekitar satu kompi (seratus orang). Pihak pejuang-pejuang Indonesia agak kurang, namun sudah mempunyai senjata agak komplit.
Upacara itu berlangsung di depan asrama militer Birugo. Ada lapangan luas di depan markas itu. Upacara dipimpin langsung oleh Mayor Jenderal Fujiyama.
Ketika upacara itu selesai, pasukan Indonesia sudah siap-siap untuk meninggalkan lapangan upacara. Demikian pula pasukan Jepang siap untuk kembali ke markas mereka yang terletak di belakang lapangan upcara itu. Saat itulah Akiyama tiba-tiba melihat seorang anak muda di antara puluhan penduduk sipil yang tegak di tepi lapangan melihat jalannya upacara itu.
“Bungsu!!!” dia berseru dari tempat tegaknya.
Semua orang terkejut. Termasuk Jenderal Fujiyama. Akiyama saat itu tengah bertindak sebagai Komandan Upacara. Dia masih tegak dititik putih tengah lapangan ketika dia menyebut nama si Bungsu.
Setiap tentara Jepang, setiap anggota Gyugun mengenal nama itu dengan baik. Makanya tentara yang sudah siap-siap untuk meninggalkan lapangan itu, segera tegak kembali ditempatnya. Jenderal Fujiyama sendiri juga tertegak di atas podium kehormatan. Demikian pula perwira-perwira Jepang lainnya.
Penduduk yang tegak diarah mana Akiyama menoleh pada surut dengan takut. Dan kini tinggallah disana seorang anak muda. Memakai pantalon biasa. Memakai baju gunting cina dan sebuah tongkat di tangannya.
“Ya, sayalah ini, Akiyama….” Anak muda itu berkata perlahan. Seruan-seruan tertahan terdengar dari mulut para serdadu Jepang. Sementara anggota-anggoat Heiho, Gyugun, para pejuang lainnya dan penduduk pada berbisik.
“Akhirnya kau kudapatkan Bungsu…” Akiyama berseru lagi.
“Ya, saya memang datang untuk mencarimu….” Si Bungsu tak kalah gertak. Dan sebelum Akiyama mempergunakan kekuasaannya untuk memerintahkan menangkap dirinya, si Bungsu cepat-cepat berkata dengan lantang.
“Sebagai seorang Samurai, saya tantang anda untuk bertarung sampai mati. Bertarung secara kesatria di hadapan semua yang hadir sebagai saksi. Itu kalau anda memang benar-benar seorang Samurai Sejati!” suaranya lantang. Bergema diudara yang begitu panas. Muka Akiyama jadi merah.
“Seluruh tentara Jepang jadi saksi untuk tuan. Seluruh tentara Indonesia menjadi saksi untuk saya…” si Bungsu berkata lagi. Suasana sepi.
Tiba-tiba Letnan Kolonel itu menghadap pada Jenderal Fujiyama kemudian melangkah mendekatinya. Pada jarak empat depa dia berhenti. Kemudian memberi hormat dengan sikap gagah. Lalu bicara dalam bahasa Jepang, Fujiyama kelihatan mengangguk-ngangguk. Kemudian Akiyama memberi hormat lagi. Kali ini Jenderal Fujiyama memutar tegak menghadap si Bungsu. Lalu terdengar suaranya bergema :
“Saya sudah lama mendengar namamu anak muda. Hari ini engkau menantang saya. Bagi samurai Jepang adalah suatu kehormatan tertinggi untuk menerima tantangan berkelahi dengan Samurai melawan musuh. Namun untuk engkau ketahui, baru kali ini terjadi dalam sejarah kemiliteran Jepang, ada seorang asing yang menantang seorang Jepang untuk bertarung dengan pedang Samurai. Saya telah mendengar permintaanmu, kemudian mendengar penjelasan Akiyama. Dia bersedia melayanimu. Dan saya merestuinya. Akiyama adalah seorang perwira kami yang sangat mahir dengan samurainya. Saya sangat menyesalkan kalau engkau sampai mati ditangannya. Baik, saya jadi saksi, berikut seluruh tentara Jepang. Dan segenap pejuang-pejuang Indonesia serta masyarakat umum yang ada saat ini jadi saksi untukmu. Saya menjamin kebebasan bagimu, andainya engkau menang. Engkau boleh pergi kemana engkau suka, jika engkau keluar dengan selamat dalam pertarungan ini. Bagi kami, tantanganmu adalah suatu kehormatan, dan bila engkau menang adalah menjadi kehormatan pula bagi kami untuk membiarkan engkau bebas, Bersiaplah!”
Pasukan Jepang dan Heiho serta pejuang-pejuang Indonesia itu segara saja membentuk sebuah lingkaran yang besar. Perlahan-lahan si Bungsu memasuki lingkaran besar itu dan lingkaran itu menutup di belakangnya.
Akiyama membuka pistolnya memberikannya pada ajudannya. Membuka penpels air dipinggang, topi waja dikepala, dan ransel di punggung. Semua yang memberatkannya untuk bergerak leluasa ini dia lucuti dan dia serahkan pada ajudan yang meletakkannya ke pinggir.
Akhirnya dipinggangnya hanya ada samurai yang tergantung di pinggang kanan, seperti telah diceritakan terdahulu, ketika dia menyergap rapat di Birugo, dia adalah seorang yang kidal dalam mempergunakan pedang samurainya.
Tapi yang paling sakit perasaannya adalah ketika dia ketahui bahwa Datuk Penghulu mati dihantam samurai Akiyama. Inilah dendam yang harus dia balaskan. Membalas kematian Datuk Penghulu.
Dan akhirnya kedua musuh bebuyutan yang saling membenci ini bertemu muka. Mereka bertemu dalam saat-saat yang menguntungkan bagi posisi si Bungsu. Waktu itu ada suatu upacara dimana selain bala tentara Jepang, juga hadir anggota-anggota pejuang Indonesia dan anggota Gyugun.
Tentara Jepang yang hadir sekitar satu kompi (seratus orang). Pihak pejuang-pejuang Indonesia agak kurang, namun sudah mempunyai senjata agak komplit.
Upacara itu berlangsung di depan asrama militer Birugo. Ada lapangan luas di depan markas itu. Upacara dipimpin langsung oleh Mayor Jenderal Fujiyama.
Ketika upacara itu selesai, pasukan Indonesia sudah siap-siap untuk meninggalkan lapangan upacara. Demikian pula pasukan Jepang siap untuk kembali ke markas mereka yang terletak di belakang lapangan upcara itu. Saat itulah Akiyama tiba-tiba melihat seorang anak muda di antara puluhan penduduk sipil yang tegak di tepi lapangan melihat jalannya upacara itu.
“Bungsu!!!” dia berseru dari tempat tegaknya.
Semua orang terkejut. Termasuk Jenderal Fujiyama. Akiyama saat itu tengah bertindak sebagai Komandan Upacara. Dia masih tegak dititik putih tengah lapangan ketika dia menyebut nama si Bungsu.
Setiap tentara Jepang, setiap anggota Gyugun mengenal nama itu dengan baik. Makanya tentara yang sudah siap-siap untuk meninggalkan lapangan itu, segera tegak kembali ditempatnya. Jenderal Fujiyama sendiri juga tertegak di atas podium kehormatan. Demikian pula perwira-perwira Jepang lainnya.
Penduduk yang tegak diarah mana Akiyama menoleh pada surut dengan takut. Dan kini tinggallah disana seorang anak muda. Memakai pantalon biasa. Memakai baju gunting cina dan sebuah tongkat di tangannya.
“Ya, sayalah ini, Akiyama….” Anak muda itu berkata perlahan. Seruan-seruan tertahan terdengar dari mulut para serdadu Jepang. Sementara anggota-anggoat Heiho, Gyugun, para pejuang lainnya dan penduduk pada berbisik.
“Akhirnya kau kudapatkan Bungsu…” Akiyama berseru lagi.
“Ya, saya memang datang untuk mencarimu….” Si Bungsu tak kalah gertak. Dan sebelum Akiyama mempergunakan kekuasaannya untuk memerintahkan menangkap dirinya, si Bungsu cepat-cepat berkata dengan lantang.
“Sebagai seorang Samurai, saya tantang anda untuk bertarung sampai mati. Bertarung secara kesatria di hadapan semua yang hadir sebagai saksi. Itu kalau anda memang benar-benar seorang Samurai Sejati!” suaranya lantang. Bergema diudara yang begitu panas. Muka Akiyama jadi merah.
“Seluruh tentara Jepang jadi saksi untuk tuan. Seluruh tentara Indonesia menjadi saksi untuk saya…” si Bungsu berkata lagi. Suasana sepi.
Tiba-tiba Letnan Kolonel itu menghadap pada Jenderal Fujiyama kemudian melangkah mendekatinya. Pada jarak empat depa dia berhenti. Kemudian memberi hormat dengan sikap gagah. Lalu bicara dalam bahasa Jepang, Fujiyama kelihatan mengangguk-ngangguk. Kemudian Akiyama memberi hormat lagi. Kali ini Jenderal Fujiyama memutar tegak menghadap si Bungsu. Lalu terdengar suaranya bergema :
“Saya sudah lama mendengar namamu anak muda. Hari ini engkau menantang saya. Bagi samurai Jepang adalah suatu kehormatan tertinggi untuk menerima tantangan berkelahi dengan Samurai melawan musuh. Namun untuk engkau ketahui, baru kali ini terjadi dalam sejarah kemiliteran Jepang, ada seorang asing yang menantang seorang Jepang untuk bertarung dengan pedang Samurai. Saya telah mendengar permintaanmu, kemudian mendengar penjelasan Akiyama. Dia bersedia melayanimu. Dan saya merestuinya. Akiyama adalah seorang perwira kami yang sangat mahir dengan samurainya. Saya sangat menyesalkan kalau engkau sampai mati ditangannya. Baik, saya jadi saksi, berikut seluruh tentara Jepang. Dan segenap pejuang-pejuang Indonesia serta masyarakat umum yang ada saat ini jadi saksi untukmu. Saya menjamin kebebasan bagimu, andainya engkau menang. Engkau boleh pergi kemana engkau suka, jika engkau keluar dengan selamat dalam pertarungan ini. Bagi kami, tantanganmu adalah suatu kehormatan, dan bila engkau menang adalah menjadi kehormatan pula bagi kami untuk membiarkan engkau bebas, Bersiaplah!”
Pasukan Jepang dan Heiho serta pejuang-pejuang Indonesia itu segara saja membentuk sebuah lingkaran yang besar. Perlahan-lahan si Bungsu memasuki lingkaran besar itu dan lingkaran itu menutup di belakangnya.
Akiyama membuka pistolnya memberikannya pada ajudannya. Membuka penpels air dipinggang, topi waja dikepala, dan ransel di punggung. Semua yang memberatkannya untuk bergerak leluasa ini dia lucuti dan dia serahkan pada ajudan yang meletakkannya ke pinggir.
Akhirnya dipinggangnya hanya ada samurai yang tergantung di pinggang kanan, seperti telah diceritakan terdahulu, ketika dia menyergap rapat di Birugo, dia adalah seorang yang kidal dalam mempergunakan pedang samurainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar