Senin, 04 November 2013

tikam samurai (bagian 24-25-26)

tikam samurai (bagian 24)

Dia tak akan turun sebelum dia merasa yakin akan mampu menuntut balas dendam keluarganya. Dia takkan turun sebelum dia yakin akan bisa menyaingi kemahiran Saburo Matsuyama mempergunaskan samurai dalam perkelahian. Dia harus mampu!. Sebab ayahnya telah bersumpah untuk membalas dendam. Ayahnya telah bersumpah untuk membunuh Saburo dengan samurai.
Sumpah ayahnya itu dia dengar nyata. Bukankah itu suatu isyarat padanya, agar melaksanakan perintah ayah yang tak pernah dia patuhi suruhannya selama ayahnya hidup? Dia harus melaksanakan niat ayahnya. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menebus segala dosa yang pernah dia buat pada si ayah. Semasa dia hidup dia tak pernah menyenangkan hati ayahnya. Kini setelah orang tua itu mati, dia ingin melaksanakan niat ayahnya. Dia ingin berbuat baik padanya.

Dari pondoknya tak jauh di depannya dia lihat dua ekor tupai bergelut bekejaran. Saling terkam, bergulingan. Lepas, terkam lagi, bergulingan lagi. Lambat-lambat dia melangkah keluar. Kedua tupai itu masih berlarian. Masih bergelut. Masih bergulingan. Meloncat. Melambung dan menerkam. Dia memperhatikan kembali dengan seksama. Gerakan itu seperti sengaja diperlihatkan kepadanya berulang-ulang. Dan gerakan itu telah dia tiru berkali-kali, sampai mahir. Ya, gerakan yang telah menyelamatkan nyawanya dalam perkelahian dengan Cindaku itu dia tiru dari gerakan dua tupai itu.
Suatu hari dia melihat keduanya berkelahi di cabang pohon. Berkelahi dengan sengit. Saling loncat, saling terkam. Bergulung dan melambung di cabang pohon. Namun tak seekorpun yang jatuh.

Mereka nampaknya memiliki ilmu keseimbangan yang sempurna. Kemudian dia menirukan gerakan itu. Mula-mula sudah tentu tak berkelincitan. Tubuhnya berkelukuran. Namun berbulan-bulan setelah itu dia jadi bisa. Dan anehnya, tanpa dia sangka kedua tupai itu ternyata memperhatikan setiap tingkah lakunya. Kemudian kedua tupai itu sering bergelut di batu layah itu. Seperti memberikan petunjuk dan pelajaran baru padanya. Dan tentu saja dia mengikutinya. Dan tupai-tupai itu kemudian menjadi ”sahabat dan guru”nya.
”Terima kasih, saya akan ingat selalu atas pelajaran yang kalian berikan…” ujarnya suatu hari.
Kedua tupai itu menjilat kaki depan mereka. Kemudian meloncat pergi. Dia melambai meskipun tupai itu tak melihat lagi padanya. Dia menatap pada burung-burung yang bernyanyi di pohon. Menatap pada ikan-ikan kecil di tebat alam di atas batu itu. Menatap dan mencium dengan segenap rasa terima kasih bau harumnya hutan belantara itu. Ini adalah hari-hari terakhir dia berada di gunung Sago itu.

Dia tak pernah punya guru secara langsung. Gurunya adalah alam terkembang. Dia lihat Jepang berkelahi mempergunakan samurai. Dia tiru gerakan itu. Dia lihat ayahnya berkelahi menikamkan samurai. Dia tiru cara mrnikaman samurai itu. Dia lihat tupai berkelahi dan bergulingan. Dia tiru gerakan itu. Tuhan menjadikan alam ini untuk dipelajari. Dan dia belajar banyak sekali padanya. Banyak hikmah tersembunyi di balik alam semesta ini. Hanya manusia yang tak mengetahui isyarat-isyarat yang dijadikan Allah Yang Maha Pencipta itu

tikam samurai (bagian 25)


Kampung itu telah ramai sekali. Kehidupan sudah berlangsung seperti biasa. Hari itu hari
Jumat, panasnya bukan main. Lelaki boleh dikatakan semuanya berkumpul di masjid. Mereka
sebahagian besar hampir tertidur tatkala khatib membaca khotbah. Khotbah yang dibacakan
berasal dari penguasa Jepang. Para khatib tidak lagi bebas berkhotbah seperti biasa. Mula-mula
cara berkhotbah begitu terasa menyakitkan hati umat islam. Tidak hanya di kampung itu, tapi juga
di seluruh Minangkabau.
Namun lama-lama hal itu menjadi biasa. Kehendak penguasa memang harus ditaati. Masih
untung yang mereka wajibkan hanya membaca khotbah yang sudah ditentukan. Lagipula khotbah
itu rasanya tak ada yang melanggar ajaran agama. Selain berisi ayat-ayat Al Quran dan hadis
seperti biasa, menyeru berbuat baik dan menjauhi yang mungkar, kini ditambah dengan menyeru
untuk mematuhi perintah yang datang dari Jepang sebagai saudara tua.

Mematuhi perintah Jepang berarti membantu mengamankan kampung halaman juga berarti
membangun negeri. Nah, apa beratnya membaca khotbah seperti itu bukan?jemaah sebenarnya
ingin cepat khotbah itu berakhir. Namun tak seorangpun yang berani meninggaikan masjid. Sebab
mereka tahu, kalau mereka pergi berarti tak suka pada khotbah. Dan tak suka pada khotbah di
masjid berarti tak menyukai seruan Jepang si saudara tua. Nah, ini bisa mengundang kesusahan.
Daripada susah lebih baik di masjid. Meskipun ngantuk.
Akhirnya sembahyang Jumat yang dua rakaat itupun selesai. orang-orang bersalaman untuk
pulang. Seorang lelaki seporah baya yang duduk di saf paling belakang disalami oleh orang yang
duduk di sebelahnya. Dia menerima salam itu dengan senyum. Namun tatkala dia melihat pada
orang yang menyalaminya itu, senyumnya lenyap tiba-tiba. Tangannya yang tengah bersalaman
itu dia tarik cepat-cepat. Dia seperti orang yang terpandang pada setan di siang hari. Lalu tiba-tiba
dia bangkit. Kemudian bergegas ke pintu. Dua orang lelaki yang akan keluar tertabrak olehnya.
”Hei, bergegas kelihatannya. Akan kemana Datuk?” orang yang ditabrak dipintu mesjid itu
bertanya.

Lelaki seporah baya yang dipanggil dengan sebutan Datuk itu mula-mula akan terus keluar.
Namun dia berbalik dan berbisik pada kedua lelaki yang ditabrak itu. Kedua lelaki itu tak percaya.
Mereka surut kembali ke tengah masjid. Menatap orang yang bersalaman dengan Datuk itu. Yang
kini masih duduk menunduk. Kedua orang ini juga tersurut. Kemudian cepat-cepat berlalu. Sudah
tentu sikap ini menarik perhatian yang lain. Dan beberapa orang, meniru perbuatannya pula.
Berbalik ke tengah masjid dan melihat pada orang yang masih duduk menunduk itu. Kemudian
juga mereka seperti melihat setan. Lalu keluar cepat-cepat.
Dalam waktu yang singkat, hampir semua lelaki di kampung itu, yang datang sembahyang
Jumat ke masjid, mengetahui bahwa si bungsu laknat anak Datuk Berbangsa itu ternyata masih
hidup, Dan kini dia kembali ke kampung ini. Ada perasaan tak sedap dan tak aman di hati hampir
seluruh lelaki kampung atas kehadiran si Bungsu.

Anak muda itu masih duduk di tengah masjid. Duduk dengan kepala menunduk. Dia tahu tadi
orang memperhatikannya. Dia tahu orang berbisik membencinya. Dan itulah kini yang dia
renungkan. Dia menyangka dengan masuknya rumah Allah ini perasaannya akan tentram. Dia
menyangka bahwa di rumah Allah ini semua insan sama. Bukankah setiap kaum muslim itu
bersaudara? Dan bukankah masjid ini adalah lambang dari persaudaraan orang Islam? Mengapa
kebencian di luar sana harus dibawa ke rumah suci ini? Atau di rumah Allah inipun manusia
sebenarnya tak bisa melepaskan dirinya dari sikap manusia yang hewani. Saling membenci, saling
dengki, saling atas mengatasi, saling himpit menghimpit? Atau barangkali dia tak dianggap sebagai
seorang Muslim?
”Engkau itu Bungsu?”
Tiba-tiba suara lembut menyapa. Menyadarkan dirinya dari lamunan Dia mengangkat kepala.
Dan matanya tertatap pada imam yang barusan menyapa. Imam itu masih duduk di depan, di
dekat mihrab.

”Benar. Saya inilah pak Haji…” dia berkata sambil kembali menunduk.
”Sudah lama kau tiba di kampung ini?”
Aneh. Suara imam itu tetap lembut. Tak ada nada permusuhan sedikitpun.
”Saya tiba malam tadi pak….” katanya masih tetap menunduk.
„Angkat kepalamu Bungsu. ini rumah Allah. Di sini setiap manusia sama nilainya. Mereka hanya
berbeda amalnya di sisi Allah.”
Imam itu seperti bisa membaca yang tersirat di hatinya. Dia mengangkat kepala.
Menatap imam itu dengan heran.
”Disenangi. Dibenci. Dipuja. Disanjung. Dilupakan. Dicaci maki, atau tak diacuhkan. Itulah yang
dinamakan kehidupan Bungsu. Manusia harus berjuang di antara kemungkinan-kemungkinan itu.
orang takkan mulia karena pujian. Sebaliknya orang juga takkan mati karena caci maki.”
Si bungsu termenung. Dalam masjid itu tak ada orang lain. Hanya dia dan imam itu saja.
”Dimana engkau malam tadi?” Imam itu bertanya lagi.
”Di surau lama di hilir kampung ini pak Haji….”
”Hmm. Masih senang main koa atau dadu?“
Dia menggeleng, kepalanya kembali menunduk.
”Kenapa tak terus ke rumahmu?”
Kini dia mengangkat kepala. Menatap pada haji itu.

”Saya sudah sampai di sana pak Haji. Tapi saya lihat ada orang yang menunggu. Saya tak
berani membangunkan mereka. Saya tak tahu siapa yang telah menghuni…”
”Yang menghuni adalah Sutan Lembang. Menantu mamakmu Datuk Sati. Semua orang di
kampung ini menyangka engkau telah mati.Jadi seluruh pusaka keluargamu menurut adat jatuh pada kakak lelaki ibumu.

Dia punya rumah banyak. Karena itu rumah ibumu disuruh tunggunya
pada anak perempuannya. Isteri Sultan Lembang.”
”Ada yang ingin saya tanyakan pada pak Imam…”
”Tentang kuburan ayah, ibu dan kakakmu yang di tengah laman rumah itu?”
Si bungsu kaget. Alangkah tajamnya firasat Imam ini. Dia memang akan menanyakan kuburan
itu. Malam tadi dalam cahaya rembulan, kuburan itu tak dia lihat lagi di tengah halaman itu.
Padahal dulu di sanalah dia menguburkan ayah, ibu dan kakaknya. Benar. Saya ingin tahu dimana
kini kuburan mereka akhirnya dia berkata juga.
”Dahulu mereka kau kuburkan di tengah halaman bukan? Dan kakakmu dekat jenjang. Benar
begitu?.”
Kembali dia terkejut mendengar ketepatan terkaan Haji ini. ”Benar pak Haji…”
”Dan seorang anak yang kau kubur dekat pohon gajus di sebelah sekolah. Dua orang
perempuan di bawah batang manggis. Tiga orang lelaki dekat kandang kerbau. Begitu bukan
Bungsu?”
”Apakah pak Haji ada waktu saya menguburkan mereka?”
Si bungsu bertanya di antara rasa kaget dan herannya. Haji itu menarik nafas panjang.
Kemudian berkata perlahan :

”Allah Maha Besar. Hari ini Allah membuktikan apa yang kuduga selama ini. Terima kasih
Bungsu. Engkau telah menyelenggarakan mayat-mayat itu dengan baik. Salah satu lelaki yang kau
kubur itu adalah adikku. Dan anak itu adalah ponakanku. Terima kasih. Saya sudah menduga
sejak semula. Bahwa kaulah yang menguburkan mereka. Sebab saat itu semua kami sudah
melarikan diri. Kami lihat kau kena hantam samurai. Ketika kami kembali sebulan kemudian,
kuburan itu kami gali kembali. Kami pindahkan ke pekuburan kaum. Ternyata mayatmu tak
kamijumpai. Semua orang menyangka mayatmu diseret binatang ke kaki gunung dan
memamahnya di sana.

tikam samurai (bagian 26)


Namun aku menduga, engkau pasti selamat. Dan engkaulah yang
menguburkan mereka. Aku tak tahu bagaimana caramu menguburkan mayat sebanyak itu dalam
keadaan luka. Dan aku juga tak tahu berapa lama waktu kau perlukan untuk mengubur mereka.
Namun aku yakin, pekerjaan itu pastilah pekerjaan yang tak mudah bagimu, mengingat lukamu
yang parah itu. Sekali lagi terima kasih nak. Atas bantuanmu mengubur mayat ponakanku, mayat
adikku, dan mayat seluruh penduduk yang terbunuh. Kau selenggarakan mayat mereka, meskipun
semasa hidupnya mereka selalu membencimu. Tuhan akan membalas budimu nak…”
Air mata imam itu merembes di pipinya. Betapa tidak. dia yakin anak muda inilah yang telah
menolong mayat-mayat itu. Namun alangkah malangnya dia. Dia tak mampu menjelaskan pada
orang kampung tentang keyakinannya itu. Dia takut orang kampung akan membencinya. Dia jadi
malu pada kelemahan dirinya itu. Seorang imam yang tak berani mengatakan yang benar hanya
karena dia takut dikucilkan orang kampung. Padahal dia tahu benar ada ayat yang berbunyi
Katakanlah yang benar, meskipun sangat pahit. Dia menangis menyesali kelemahannya .

”Jadi kuburan ibu, ayah dan kakak saya sudah dipindahkan ke makam kaum di hilir sana pak
Haji?”
”Ya, mereka sudah dipindahkan ke sana nak….”
”Terima kasih pak….” dia lalu bangkit.
”Akan kemana kau Bungsu?”
”Saya akan ke kuburan itu pak…. Setelah itu? Belum saya pikirkan…”
”Kalau engkau masih lama di kampung ini. Singgahlah ke rumah saya. Masih di tempat yang
lama. Dekat pohon kuini besar yang sering kau lempari buahnya dahulu. Singgahlah….”
”Terima kasih pak. Insyaallah. Saya permisi. Assalamualaikum….”
”Waalaikum salam….”
Dia turun dari masjid. Imam itu menatap punggungnya. Aneh kalau lelaki yang turun dari
mesjid tadi merasa suatu yang tak sedap dan suatu ketegangan yang mencengkam mereka atas
kehadiran anak muda ini, pak Haji ini justru sebaliknya. Ketika menatap punggung anak muda itu.
menatap bayang-bayangnya melangkah keluar, ada semacam perasaan bangga dan aman
menjalari hati tuanya.

Ya, si Bungsu telah kembali setelah dianggap mati sejak peristiwa berdarah yang
memusnahkan keluarganya belasan purnama yang lalu. Orang kampungnya tak melihat satu perubahanpun pada diri anak muda itu.
Kesan mereka terhadapnya tetap sama seperti dahulu.
Seorang penjudi dengan muka murung dan mata sayu seperti orang yang tak punya semangat.
Dan lebih daripada itu, mereka tetap menganggapnya sebagai seorang laknat yang telah
membuka rahasia tentang penyusunan kegiatan di kampung ini dalam melawan Jepang. Itulah
sebabnya dia tetap tak disukai kembali ke kampungnya. Perasaan tak suka itu segera saja
diperlihatkan di hari pertama dia berada di kampung kelahirannya itu. Saat tengah berjalan
menuju ke rumahnya setelah kembali dari kuburan, lewat sedikit dari masjid dia dihadang oleh
enam lelaki yang rata-rata mempunyai tubuh kekar.

Dengan wajah yang tetap murung dan sinar mata yang kuyu, dia tatap lelaki itu satu persatu. Dia segera mengenali mereka. Mereka adalah pesilat-pesilat. Dua di antaranya adalah murid ayahnya, yang lain murid Datuk Maruhun.
”Assalamualaikum……..” sapanya perlahan setelah dari pihak yang mencegat beberapa saat
tetap tak bersuara.
Salah seorang itu terbatuk-batuk kecil. orang itu dia kenal sebagai Malano, murid ayahnya.
”Apa perlumu kemari Bungsu….” Malano bertanya.
Alangkah menyakitkannya pertanyaan itu. Ini adalah kampung halamannya. Tempat dia
dilahirkan dan dibesarkan. Kini dia pulang ke kampungnya untuk melihat pusara ayah, ibu dan kakaknya. Sejelas itu kedatangannya, masih ada orang yang bertanya, untuk apa dia kembali. Namun meski pahit sekali pertanyaan itu, dengan kepala masih menunduk dia tetap menjawab dengan suara yang rendah.

”Saya ingin melihat kuburan ayah, ibu dan kakak …. ”
”Telah kau lihat kuburan mereka bukan?”
Seorang lagi bertanya. Tanpa melihat orangnya, dia tahu bahwa yang bertanya itu adalah
Sutan Permato. Murid silat Datuk Maruhun.
”Ya. Saya datang dari kuburan.”
”Nah, kalau sudah kau lihat, kini tinggalkanlah kampung ini….” suara Malano kembali terdengar.
Dia mengangkat kepala. Ucapan terakhir ini seperti perintah dan ancaman sekaligus. Apakah
dia tak salah dengar? Nampaknya memang tidak. Keenam lelaki itu mengelilinginya. Menatapnya dengan penuh kebencian. Dan dari balik kain-kain pintu, dari rumah-rumah yang berdekatan dengan tempat mereka, perempuan-perempuan dan anak-anak mengintip kejadian itu.
”Kenapa saya mesti harus pergi dari kampung ini?” dia bertanya.
”Kenapa…? cis.. karena ini..?”
bersambung …

Tidak ada komentar: