Senin, 04 November 2013

Tikam samurai - Di Singapura I (288-289-290-291-292)

Tikam Samurai - 288

Kini akan kemanakah dia? Pulang ke kampung dahulu baru kemudian ke Jakarta. Atau ke Jakarta dahulu baru ke kampung setelah tugasnya selesai?
Keduanya mempunyai resiko.
Kalau dia ke Jakarta dahulu, lalau baru pulang ke kampung, apakah dia akan selamat dalam tugasnya itu. Kalau tidak, maka kampungnya takkan pernah dia pijak lagi. Dia tahu, sindikat ini adalah sindikat yang berbahaya. Memiliki tukang bunuh bayaran. Memiliki manusia-manusia yang siap mengerjakan apa saja demi uang.
Tapi kalau dia pulang dulu ke kampung, itu berarti memberi kesempatan bagi sindikat itu untuk beroperasi terus. Selama ia berada di kampung, berapa orang gadis dan perempuan akan jadi korban pula.
Lama si Bungsu memikirkan kedua kemungkinan ini di hotelnya. Dia tak menyangka bahwa dirinya akan terlibat dalam urusan serius seperti ini.
Dia tengah tegak menatap ke pelabuhan lewat jendela kaca di hotelnya itu ketika dia lihat di depan hotel sebuah sedan berhenti.
Dari dalamnya turun dua orang Barat. Kedua orang itu langsung masuk ke hotel. Si Bungsu tak begitu memperhatikan kedua orang itu. Pikirannya tengah melayang. Memikirkan kemungkinan untuk pulang ke kampung atau langsung ke Jakarta.
Kalau saja pikirannya tak tengah menerawang, dia pasti segera mengenali kedua orang Barat itu. Mereka tak lain dari bekas tentara Australia yang terlibat baku hantam dengannya di hotel Sam Kok sebulan yang lalu.
Mereka baku hantam karena soal Mei-Mei. Anak gadis pemilik hotel itu. Bekas tentara sekutu berkebangsaan Australia itu semula berjumlah tiga orang. Dan mereka berniat memperkosa Mei-Mei. Si Bungsu yang datang sesaat sebelum gadis itu dinistai, berhasil membunuh salah seorang diantaranya.
Si Bungsu masih tegak di depan jendela ketika kedua orang Australia itu sampai di depan pintu kamarnya. Dia baru sadar ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Dia mengalihkan pandangannya dari kapal-kapal di tengah laut ke pintu kamar.
“Siapa…?”
“Saya, pelayan…”
Tanpa curiga dia berjalan ke pintu. Membukanya. Pintu itu baru saja terbuka sedikit, ketika tiba-tiba ditendang dengan keras dari luar.
Pelayan yang diminta mengetukkan pintu itu kaget. Dia tak menyangka bahwa tamu ini akan main tendang. Padahal mereka tadi minta tolong tunjukkan kamar orang Indonesia ini dengan sikap yang sopan. Kok sekarang pakai tendang segala.
Dia sebenarnya ingin marah. Sebab pintu hotelnya ditendang. Induk semangnya bisa berang. Namun bekas tentara Australia itu telah mengirimkan sebuah bogem mentah ke kepala si Bungsu. anak muda itu terpental ketempat tidur.
Dan melihat keadaan gawat begini, pelayan yang orang Cina itu cepat-cepat berlalu.
“Awas jangan lu telepon Polisi…!” ancam orang Australia yang satu lagi padanya. Pelayan itu menggeleng sambil angkat langkah seribu.
Mereka lalu masuk ke kamar si Bungsu. menutupkan pintu!
Si Bungsu yang tadi terlempar ke tempat tidur kena pukul, kini mulai bangkit. Karena kedua orang itu telah berada dalam biliknya, dia terpaksa tegak di atas tempat tidur.
Kedua lelaki itu menatap padanya dengan wajah sadis. Dan dipinggang mereka tersembul gagang pisau komando.
Rupanya mereka masih ingat bahwa salah seorang teman mereka mati ditangan anak muda ini karena lemparan sebuah pisau kecil. Makanya kini mereka membawa pisau komando. Yaitu pisau pengganti sangkur yang sangat mahir mereka mepergunakannya ketika dalam perang dunia ke II dahulu. Betapa mereka takkan mahir, sebab mereka berada dalam pasukan Green Barets. Pasukan Komando tentara Inggris  yang tersohor itu.
“Monyet, dulu kau mempergunakan pisau kecilmu untuk membunuh teman kami. Sekarang mari kita coba siapa yang lebih cepat melemparkan pisau…”
Salah seorang diantara kedua lelaki itu, yang memakai kaos oblong berwarna merah darah buka suara. Dan pisau komando yang kuning, runcing berkilat itu telah berada ditangannya. Tergantung ke bawah dengan ujung yang runcing terjepit diantara telunjuk dan jarinya.
Pisau itu siap untuk dilemparkan. 
Si Bungsu masih tegak diam di atas kasur. Kedua tangannya juga terjuntai kebawah. Ada enam samurai tersisip di kedua tangannya. Tersembunyi dibalik lengan bajunya yang panjang.
Dia yakin, melihat gerakan kedua lelaki ini ketika mengambil pisau, kemudian melihat caranya memegang ujung pisau komando itu, kemudian menggantungnya dengan tangan lemas disisi badan, kedua orang ini adalah pelempar pisau yang tangguh.
Tapi apakah dia akan melayani mereka? Dia terlibat perkelahian dengan kedua orang ini hanya soal Mei-Mei. Mereka akan memperkosa anak pemilik hotel Sam Kok itu. Dan dia datang menolong. Hanya soal itu mereka berkelahi. Sudah jatuh korban nyawa. Apakah masih perlu ditambah?
Kalau saja kedua orang ini adalah bahagian dari sindikat perdagangan wanita itu, maka dia pasti sudah membereskannya sejak dahulu. Tapi karena mereka bukan anggota sindikat yang dia benci itu, makanya kedua orang ini tak dia bunuh dahulu. Hanya dia tendang kerampangnya sekdar untuk melumpuhkan.

Tikam Samurai - 289

Tak dinyana, kedua orang ini ternyata menaruh denadam. Dendam karena teman mereka dibunuh. Dan dendam karena kerampang mereka kena tendang.
Kedua lelaki itu memencar. Yang satu berada dibahagian kiri. Yang satu dibahagian kanan. Jarak antara mereka ada sekitar empat depa. Dan jarak masing-masing mereka dengan si Bungsu yang masih tegak di tempat tidur itu sekitar tiga depa lebih.
Dengan demikian mereka menghindarkan diri dari kena serangan yang amat cepat. Mereka bukannya tak yakin bahwa anak muda ini seorang pelempar yang cepat. Itu sudah dibuktika dengan kematian teman mereka di hotel dulu.
Demikian cepatnya kejadian itu. Mereka tak melihat bagaimana anak muda itu mencabut dan melemparkan samurainya. Itulah sebabnya kini mereka bertindak hati-hati. Dan dengan tegak agak terpisah satu dengan yang lain dalam jarak yang empat depa itu, mereka yakin akan susah diserang sekaligus.
Anak muda itu harus membuat dua gerakan. Dan harus berputar untuk menyerang mereka berdua.
Sementara itu, si Bungsu yang mendengar tantangan lelaki Australia itu, menarik nafas. Lalu suaranya terdengar perlahan.
“Saya rasa tak ada gunanya perkelahian ini…”
“Babi! Tak ada gunanya katamu, setelah teman kami engkau bunuh, setelah perlakuanmu terhadap diri kami di hotel itu?”
“Saya berharap hal itu bisa berakhir. Dan saya bersedia minta maaf pada tuan-tuan…”
Kedua orang Australia itu berpandangan. Namun mereka tetap tegak dengan kaki terpentang dan tangan memegang ujung pisau komando.
“Apakah engkau takut melihat pisau kami anak muda?”
Si Bungsu tersenyum lembut. Menatap ke pisau di tangan kedua bekas pasukan Komando itu.
“Ambillah pisaumu. Mari kita pertahankan nyawa kita sebagai seorang jantan…” suara tentara Asutralia itu kembali terdengar menantang.
“Maafkan saya. Saya tak bermaksud meremehkan kalian berdua. Saya yakin tuan-tuan sangat cepat mempergunakan pisau Komando itu. Cepat menurut ukuran tentara…”
Kedua bekas tentara sekutu itu tak begitu faham dengan ucapan si Bungsu. namun mereka tetap tegak dengan waspada.
“Saya menantang anada untuk mempertahankan nyawa dengan kecepatan melemparkan pisau anak muda…” lelaki yang berada di sebelah kanannya berkata.
Si Bungsu menggerakkan tangan kananya perlahan. Suatu gerakan yang benar-benar tak mencurigakan kedua bekas tentara sekutu itu. Demikian pula tangan kirinya. Sistim menjepitkan samurai di kedua tangannya itu dibuat sedemikian rupa menurut petunjuk Tokugawa. Sehingga ikatannya seperti bersatu dengan saraf. Bisa diatur kapan meluncur turun meski dengan gerakkan yang amat halus. Sebaliknya, meski dengan gerakan kuat seperti memukul misalnya, jika tidak dikehendaki, samurai itu takkan lepas.
Sistim ini sulit diuraikan menurut ilmu logika atau menurut sistim simpul buhul. Namun bagi orang-orang yang mahir mempergunakan pisau, semacam senjata rahasia di Tiongkok, atau samurai kecil di Jepang, sistim itu mudah dimengerti. Meski tak mudah mempergunakannya. Sebab untuk mempergunakannya diperlukan latihan dan kemahiran yang jarang orang bisa mencapainya.
Si Bungsu masuk yang beruntung dan menguasai pada taraf sangat mahir.
Kini, tanpa diketahui oleh kedua bekas tentara sekutu itu, anak muda itu telah memegang dua buah samurai. Masing-masing ditiap tangannya. Dan kedua bilah samurai itu terlindung dari penglihatan kedua tentara sekutu itu oleh punggung tangannya. Hulunya berada di pergelangan, sementara ujungnya terjepit antara jari tengah dan jari telunjuk.
“Bagaimana caranya tuan menghendaki pertarungan ini berlangsung?” si Bungsu bertanya perlahan.
“Engkau dapat melempar pisaumu pada kami setiap saat engkau suka, dan kami akan menandinginginya dengan kecepatan…”
Demikian yakinnya kedua tentara itu akan kemahiran mereka. Mereka memang mendapat brefet pelempar pisau komando. Dan kini mereka mempraktekkannya pada anak muda ini.
“Setiap saat saya suka?” tanya si Bungsu.
“Ya. Setiap saat…” yang dikiri si Bungsu berkata sambil matanya waspada melihat tangan si Bungsu. si Bungsu mengangkat kedua tangannya. Kedua tentara itu jadi tegang dan amat waspada. Tapi si Bungsu ternyata hanya menyisir rambutnya dengan kesepuluh jari tangannya. Lalu menurunkan tangannya kembali.
Kedua bekas tentara itu menatap tajam pada si Bungsu. ada suara berdetak perlahan disisi mereka. Namun mereka tak mau menoleh. Sebab tak mau kehilangan pengawasan dari anak muda yang masih tegak di pembaringan itu.
“Mulailah..” suara orang Autralia yang dikanan bergema. Sementara pisau komandonya sudah siap sejak tadi.
“Maafkan saya. Anda telah kalah…” kata si Bungsu. kedua tentara itu menatap tajam padanya.
“Apa yang anda maksudkan bahwa kami telah kalah?”

Tikam Samurai - 290

“Ya. Kalau saya mau, tuan berdua sudah mati seperti teman tuan di hotel itu. Mati dengan samurai menancap di antara dua mata, atau menancap persis di jantung…”
Kedua tentara itu tersenyum tipis.
“Anda punya mental yang cukup tangguh anak muda. Tapi kalau anda bermaksud  menggertak, maka bukan kami orangnya…”
“Saya tidak menggertak. Lihatlah ke lantai. Di antara kedua sepatu tuan…”
Tanpa dapat ditahan, kedua mereka melihat ke bawah. Dan demi Yesus yang mereka agungkan, mereka hampir tak percaya.
Betapa mereka akan percaya, kalau diantara kedua kaki mereka kini tertancap sebilah samurai kecil hingga hampir separoh tertanam di lantai?
Mereka tak melihat bila anak muda itu melemparkannya. Apakah sudah sejak tadi samurai itu ada di sana, dan mereka tak melihatnya? Mustahil. Mereka melihat lagi pada si Bungsu.
Dan saat itu tangan anak muda itu bergerak perlahan.
“Kini ada dua samurai diantara kaki tuan…” katanya perlahan. Dan kedua mereka melihat lagi. Dan demi Tuhan, ya Nabi dan ya Malaikat! Memang benar ada dua samurai kecil diantara kaki mereka!
Mereka menatap pada si Bungsu. si Bungsu mengangkat tangan kanannya. Membuka lengan bajunya. Dan disana nampak sebuah samurai tersisip.
“Jika saya mau, tak terlalu sulit untuk membunuh tuan. Tapi apakah itu ada gunanya?”
Si Bungsu berkata perlahan. Dan kedua bekas tentara itu segera sadar, bahwa mereka berhadapan dengan seorang lelaki yang ketangguhannya melempar pisau ada puluhan, barangkali ratusan lebih cepat dan lebih mahir dari diri mereka yang sudah termasuk jagoan di pasukan komando dahulu.
Anak muda ini tidak membual ketika berkata bahwa dia sanggup membunuh mereka dengan mudah. Buktinya, sama sekali mereka tidak melihat bagaimana caranya anak muda ini melemparkan pisaunya. Tahu-tahu telah tertancap saja!
Mereka berpandangan satu dengan yang lain. Muka mereka jelas sebentar pucat sebentar merah.
Kini anak muda itu tegak menatap pada mereka dengan tenang. Dengan kedua tangan tergantung disisi tubuhnya. Dan tangan itu, kalau dia mau, memang sanggup menyebar maut. Diam-diam kedua bekas tentara Australia itu pada merinding bulu tengkuknya.
Tapi, yang seorang lagi, yang berdiri di bahagian kiri si Bungsu, tetap saja merasa kurang puas. Dia bergerak ke arah meja. Di meja itu terletak gelas, piring dan bekas kaleng minuman.
Dia memungut kaleng minuman yang telah kosong itu. Lalu berjalan ke sudut ruangan. Menyeret sebuah kursi kesana. Kemudian meletakkan kaleng bekas itu di kursi tersebut.
Dan dia tegak lagi ketempatnya semula. Si Bungsu menatap saja dengan diam.
“Nah, anak muda. Kini kita buktikan siapa yang lebih cepat mempergunakan pisau. Engkau atau kami. Jarak antara kaleng itu dengan ketiga kita, sama-sama sekitar empat depa. Pisau saya bertanda merah. Pisau teman saya kuning hulunya. Dan samurai kecilmu jelas berbeda dengan milik kami. Saya akan melemparkan kotak korek api ke atas. Ebgitu kotak itu jatuh di lantai, kita lempar kaleng itu dengan pisau. Yang dituju adalah lingkaran huruf O yang ada di tenagh kaleng itu. Dengan demikian kita akan ketahui siapa yang cepat..”
Bekas tentara itu memandang pada temannya. Temannya mengangguk. Kemudian mereka sama-sama memandang pada si Bungsu. si Bungsu masih diam. Dia bukannya tak tahu, banyak orang-orang yang licik.
Apakah tak mungkin ini adalah suatu jebakan? Apakah tak mungkin, disaat dia melemparkan kaleng bekas minumannya itu dengan pisau, saat itu pula kedua bekas tentara itu melemparkan pisaunya. Tapi bukan ke arah kaleng, melainkan kearah dirinya!
Itulah sebabnya dia memandang saja dengan diam dan tak segera menjawab tantangan itu. Dan barangkali kedua bekas tentara itu mengerti jalan pikirannya.
“Jangan khawatir anak muda. Kami takkan berbuat curang. Yang punya sifat curang biasanya adalah kalian, orang-orang Melayu. Kami menjungjung tinggi nilai-nilai sportif. Kami tahu engkau cepat dengan pisaumu. Dan kalau kau mau, kau bisa menghabisi kami sejak tadi. Nah, kami menghargai sikapmu itu. Kini kami ingin menguji sampai dimana ketangguhan kami sebagai bekas tentara komando. Yang amat mahir mempergunakan pisau. Kami ingin membandingkan dengan dirimu…”
Kembali si Bungsu menarik nafas panjang.
“Baiklah, kalau itu yang tuan-tuan kehendaki” akhirnya dia berkata.
Yang meletakkan kaleng bekas minuman tadi segera merogoh kantong dengan tangan kirinya. Dari dalam kantongnya dia mengeluarkan kotak korek apai.
“Siap?” tanyanya. Temannya mengangguk. Si Bungsu juga mengangguk perlahan. Kedua bekas serdadu itu bersiap. Tangan kanan mereka yang memegang hulu pisau komando itu tadi mengeras. Sementara tangan si Bungsu melemas. Sebuah gerakkan kecil lengan kanannya membuat samurai terakhir di sebelah kanan itu meluncur turun.
Korek api itu dilambungkan keatas. Ujung-ujung jari si Bungsu menjepit ujung samurai kecil yang meluncur dari lengannya.

Tikam Samurai - 291

Kotak korek api itu rupanya terlalu kuat dilemparkan. Dia membentur loteng. Dan benturannya menyebabkan korek itu cepat pula terpukul ke bawah. Ketiga mereka tak melihat kotak itu. Hanya mempertajam pendengaran. Menanti suara jatuhnya korek api itu menyentuh lantai kamar.
Kedua bekas serdadu sekutu itu memang cepat luar biasa dengan lemparannya. Dan lemparannya juga tepat. Buktinya, kedua pisau komando mereka menancap saling dempet di dinding!
Ya, kedua pisau komando itu menerkam dinding di belakang kaleng bekas minuman tadi. Sementara kaleng minuman itu sendiri sudah terpental dan terpaku ke dinding sedikit ke bawah dari kedua pisau komando itu.
Kedua bekas tentara sekutu itu menatap dengan mata tak berkedip pada kaleng bekas minuman itu. Selain takjub pada kecepatan anak muda itu, mereka dengan kaget juga melihat bahwa pada huruf O yang menjadi sasaran lemparan tersebut, tertancap tidak hanya sebilah samurai kecil melainkan dua bilah! Dua bilah samurai kecil pada sasaran yang amat kecil dan dalam kecepatan yang sama dengan ketepatan yang fantastis!
Lalu mereka menoleh pada si Bungsu.
“Ada dua samurai. Anda hanya memiliki sebuah tadinya…” kata salah seorang diantara mereka dengan heran.
Si Bungsu tak menjawab. Dia membuka lengan baju kirinya dan disana kelihatan kulit pengikat samurai seperti yang berada di tangan kanannya.
Kedua bekas tentara sekutu itu benar-benar takjub. Dengan demikian berarti anak muda ini tadi melempar dua bilah ssamurai dengan tangan kiri dan kanannya.
Dan kedua lemparan itu sama cepatnya, sama tepatnya.
“Anda memang seorang Master anak muda. Anda tak berbohong ketika mengatakan bahwa anda dengan mudah bisa membunuh kami bila saja anda kehendaki.
Ternyata anda tak melakukan hal itu meski telah kami tantang dan telah kami pukul. Terima kasih atas kebaikan anda. Kami takkan melupakan pertemuan ini…”
Berkata begitu kedua bekas serdadu itu mengulurkan tangan pada si Bungsu. si Bungsu turun dari tempat tidur dimana dia tegak sejak tadi. Kemudian menerima jabatan tangan dari kedua orang Australia itu.
Kedua orang itu menyalaminya dengan sikap penuh persahabatan yang akrab dan penuh kekaguman. Kemudian mereka mengambil pisau komandonya yang tertancap di dinding. Lalu mengambil samurai si Bungsu yang memakukan kaleng bekas itu di bawah pisau komando mereka.
Mereka mengamati model samurai kecil itu.
“Benar-benar senjata yang ampuh. Tapi jika dibanding dengan pisau komando kami, rasanya pisau kami lebih baik buatan dan mutunya. Hanya saja senjata ini berada ditangan seorang ahli…” mereka lalu mengembalikan samurai itu pada si Bungsu.
“Diluar sana ada sebuah restoran. Kami ingin mengundang anda untuk minum dan merayakan perkenalan ini…” yang berbaju kaos oblong merah berkata.
“Mari kita minum, anda tidak keberatan bukan?” yang bercelanan jean menguatkan ajakan temannya.
“Terimakasih atas undangan anda. Saya tak suka minuman keras…”
“Restoran itu tak hanya menjual minuman keras. Disana juga dijual the atau susu es. Ayolah..”
Akhirnya si Bungsu tak dapat mengelak ajakan kedua bekas serdadu itu. Dia ikuti kedua orang itu. Pelayan yang tadi kena tendang pantatnya dan diancam untuk tak menelpon polisi menjadi ketakutan melihat kedua orang Australia itu muncul.
Dan rasa takutnya segera berobah jadi rasa heran takkala melihat diantara kedua orang itu ada si Bungsu. dan ketiga orang itu berjalan dengan wajah berseri. Pelayan itu menganga mulutnya.
Ketiga orang tersebut melangkah keluar. Menyebrangi jalan raya. Dua buah taksi lewat. Mereka berhenti membiarkan taksi itu lalu dengan kencang.
Restoran itu terletak di dermaga, yaitu ditempat dimana si Bungsu dan Nurdin minum-minum dahulu.
Jalan itu kosong kini. Ada sebuah taksi, tapi masih agak jauh dan jalannya perlahan. Mereka lalu menyebrang. Mereka tetap beriringan, yang pakai kaos oblong merah di kanan, yang pakai jeans, yaitu yang agak muda dikiri dan si Bungsu di tengah.
Ketika mereka berada persis di tengah jalan, sedan merah yang tadi berjalan perlahan tiba-tiba menekan gas. Sedan itu seperti disentakkan meluncur maju. Ketiga orang itu kaget. Mereka tengah berada ditengah jalan. Dengan cepat mereka berlari keseberang sana. Namun sedan itu seperti sengaja dihadapkan pada mereka. Jaraknya sudah demikian dekat, dan saat itulah bekas tentara yang memakai jeans menolakkan tubuh si Bungsu.
Dalam keadaan berlari demikian, tentu saja si Bungsu kehilangan keseimbangan. Tanpa dapat ditahan, dia jatuh bergulingan ke pinggir parit. Dan begitu dia jatuh, serentetan tembakan terdengar. Dan sedan itu meninggalkan asap putih di tentang mereka.

Tikam Samurai - 292

Si Bungsu kaget ketika dia dengar keluhan. Demikian juga orang Australia yang memakai kaos oblong itu. Mereka menoleh, dan dengan terkejut mereka melihat betapa si celana jeans itu tertelungkup mandi darah.
Yang memakai kaos oblong, yang nampaknya berusia sedikit lebih tua segera memburu. Dia memangku tubuh temannya itu dan membawanya ke pinggir jalan.
Orang-orang segera berkerumun.
“Robert…! Robert…!” yang pakai oblong itu mengguncang tubuh temannya itu. Lelaki bercelana jeans itu perlahan membuka matanya. Perlahan darah mengalir dari sela bibirnya. Si kaos oblong menoleh pada orang yang berkerumun.
“Saya bekas Kapten tentara Inggris. Tolong telponkan Rumah sakit Militer untuk mengirimkan mobil dan dokter kemari…” seorang yang tegak menonton segera berlari ke toko di pinggir dermaga.
“Kapten…” yang tertembak itu berkata perlahan.
“Robert…”
“Ingat….ketika kita memasuki Bombay…? Ketika kita menghadapi tentara Ghurka yang memberontak…ingat..?” si celana jeans bertanya. Bibirnya tersenyum tipis. Nampaknya ada kisah nostalgia dalam pertanyaan itu.
“Saya ingat Robert. Saya ingat….engkau terjebak di jalan raya. Dikepung oleh enam Ghurka. Tapi engkau berhasil membunuh mereka semua. Tiga orang engkau sudahi dengan pisau komandomu. Tiga orang lagi dengan pistol Lucer. Engkau harusnya sudah berpangkat Kapten sepertiku. Tidak letnan seperti sekarang…”
Yang muda yang bercelana jeans itu tersenyum.
“Mana anak muda tangguh itu…?” tanyanya.
Si Bungsu tahu, dialah yang ditanyakan bekas tentara itu.
“Saya disini, terimakasih tuan menyelamatkan nyawa saya…”
“Nampaknya ada orang yang menginginkan nyawamu di kota ini…samurai…”
Si Bungsu tak menjawab. Dia ingat betapa tadi dia ditolakkan dengan kuat oleh bekas tentara ini. Ketika dia menduga orang ini akan mencelakakannya.
“Ketika deru mobil itu melaju, saya sempat memandang sekilas. Saya lihat ada moncong bedil…sebagai bekas tentara yang telah kenyang dalam pertempuran, saya tahu, bedil itu diarahkan padamu, makanya engkau saya dorong hingga jatuh…”
“Terimakasih. Saya berhutang nyawa pada tuan, saya takkan melupakan budi tuan…”
Bekas tentara itu tersenyum. Kemudian menatap temannya. Letnan itu muntah darah. Dari kejauhan terdengar sirene. Polisi Militer yang ditelepon segera datang bersama ambulance.
“Dokter datang….Robert…” si kaos oblong yang berpangkat Kapten itu berkata. Namun si celana jeans telah terkulai. Tubuhnya dingin. Matanya layu. Meninggal.
Ketika orang berkuat, ketika Polisi Militer turun, ketika tandu diletakkan, ketika petugas rumah sakit militer itu akan mengambil mayat si Letnan, bekas Kapten yang masih memangkunya itu masih terduduk menatap bekas Letnan itu dengan diam. Tak percaya dia akan yang telah terjadi.
Seorang Polisi Militer berpangkat letnan mendekat dan memberi hormat pada bekas Kapten itu ketika mayat telah diambil dan dimasukkan ke Ambulance.
“Apakah kami dapat tahu apa penyebab pembunuhan ini?” Tanya letnan polisi militer itu.
“Perang…” desis bekas Kapten berkaos oblong itu.
“Perang…” Polisi Militer itu mengerutkan kening. Tak faham dia apa yang dimaksud.
“Ya. Perang! Akan ada perang di kota ini antara bekas Baret Hijau dengan bajingan yang telah membunuh Robert…” suara Kapten itu mendesis perlahan. Kemudian dia bangkit. Menoleh pada si Bungsu yang tegak disisinya dengan diam.
“Maafkan, saya terpaksa tak jadi mengundang anda untuk minum..”
Si Bungsu yang perasaannya tak menentu, tegak mematung. Menatap pada mayat Robert yang telah menyelamatkan nyawanya. Orang-orang Australia bekas serdadu perang dunia ke II itu, benar-benar membuktikan ucapannya tentang nilai sportifitas.
“Jangan khawatir anak muda. Kami takkan berlaku curang. Yang suka berbuat curang biasanya adalah kalian. Orang-orang Melayu. Kami menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas” ucapan Robert ketika menantang dia di kamar tadi masih terngiang ditelinganya.
Sementara itu di Ambulance, pihak perawat dan dokter mencatat segala sesuatu.
“Kapten…ini barang-barang miliknya…” dokter tentara itu menyerahkan rantai dan plat nama yang terbuat dari perak, yang senantiasa tergantung dilehernya. Rantai dan plat nama begitu dimiliki oleh setiap prajurit yang terjun ke kencah peperangan.
Bekas Kapten itu menerima barang-barang tersebut. Dompet, uang dan sapu tangan.
Polisi Militer sibuk pula mencatat keterangan-keterangan para saksi. Kemudian mereka menuju rumah sakit. Ketika segala urusan di rumah sakit selesai, mereka menuju ke markas tentara.
Di kota itu masih ada suatu badan perwakilan tentara sekutu. Yaitu badan yang mengurusi segala sesuatu kepentingan bekas tentara sekutu di Asia Tenggara ini.
Dan Kapten itu nampaknya selain cukup dikenal, juga disegani di sana. Hal itu jelas terlihat oleh si Bungsu pada sikap para tentara yang menerima mereka.
Kapten itu memang sorang komandan Kompi dari pasukan Baret Hijau Inggris yang terkenal itu.

1 komentar:

Hana mengatakan...

Tarimo kasih sanak, di Blog iko ambo dapek mambaco carito Tikam Samurai nan katiko ketek dulu indak sempat mambaconyo, cuma baa dek indak ado se carito Tikam Samurai dari Nomor iko (86 s/d ...)tibo-tibo lah nomor 300 an se ...sanak?