tikam samurai (bagian 60)
Terjangan nya mendarat di pusat si Bungsu. Anak muda itu terjajar menghantam dinding di

Padahal dia sudah diberitahu oleh kedua perempuan yang satu bus dengannya dari Payakumbuh itu. Bahwa lelaki lelaki itu adalah penyamun-penyamun yang sering merampok pedagang yang dalam perjalanan ke Bukittinggi dari Payakumbuh atau dari Padang Panjang. Dia terlalu menenggang. Dia hanya ingin membunuh Jepang yang membunuh keluarganya. Yang menjajah negerinya. Dia tak ingin membunuh bangsanya sendiri.Ternyata belas kasihannya memakan dirinya sendiri. Mei-mei memekik mekik melihat tubuh si Bungsu tercampak dari satu kaki ke kaki yang lain.
“Jangan siksa dia Jangan siksa diaaa. Kuserahkan apa yang kalian minta.Jangan siksa dia … Koko …Koko” Mei Mei menatap memohon. Lambat lambat di antara rasa sakit dan terguling guling di lanyau cuek itu, si Bungsu mendengar suara Mei-mei. Hatinya luluh ketika mendengar betapa gadis itu bersedia memberikan apa saja, termasuk dirinya, asal lelaki lelaki itu berhenti menganiaya dirinya. Dia coba menyusun ingatannya kembali. coba mengingat dimana samurai nya terjatuh. Lalu, tiba tiba sekali, dengan sisa sisa tenaga tubuhnya bergulingan amat cepat. Dengan mengandalkan pendengaran nya yang amat tajam, telinganya menangkap suara samurainya yang tersentuh kaki salah seorang lelaki itu.
Seperti magnit, ke sanalah tubuhnya bergulingan amat cepat. Para lelaki itu masih berusaha mengejarnya. Masih belum mengetahui dengan sepenuhnya bahwa tubuh anak muda itu bergulingan bukan lagi karena tendangan mereka. Ketika mereka memburu lagi, saat itulah tangan si Bungsu berhasil meraih samurainya. Dia tak bisa tegak sempurna. Rusuknya yang patah di sebelah kiri menghalangi gerakannya. Namun dengan berlutut tiba tiba samurainya bekerja. Dalam tiga kali gerakan pertama, tiga lelaki dimakan samurainya.
Perut mereka robek Ada yang dadanya belah Menggelepar dan mati. Datuk itu kaget. Tapi dia memang seorang pesilat tangguh. Dia menendang cepat sekali. Wajah si Bungsu berubah keras seperti baja. Ketika kaki Datuk itu menendang ke wajahnya, samurainya bekerja. Dan amat cepat sekali, kaki datuk itu buntung sebatas lutut. Yang seorang lagi, yang menyerang dengan keris dia pancung tentang pinggangnya. Pinggang lelaki itu hampir putus.
Datuk itu terpekik, namun si Bungsu menggeser tubuh. Dan samurainya kembali bekerja. Kaki kiri Datuk itu putus sebatas betis. Datuk itu terguling. Samurai si Bungsu bekerja lagi. Kedua tangan Datuk jahanam itu putus hingga siku. Anak buahnya yang satu lagi, yang masih selamat, menggigil. celananya segera basah. Dan tiba tiba dia balik kanan. Lari kedalam kegelapan. Dialah satu satunya yang selamat. Datuk itu menggelepar gelepar. Memekik mekik. Minta ampun. Kaki dan tangannya putus semua
“Bunuhlah saya. Tolong lah. Jangan biarkan saya menderita … oh tolonglah ..” dia meratap.Bungsu menatapnya dengan wajah datar. Kemudian dia berkata dengan suara tanpa emosi.
“Engkau takkan mati Datuk. Darahmu akan kuhentikan alirannya agar kau tak mati kehabisan darah. Kematian terlalu mulia bagimu. Engkau akan tetap hidup dengan tubuh seperti sekarang. cukup banyak orang sengsara olehmu. Mulai hari ini, kau akan merasakan kesengsaraan yang lebih hebat dari itu. Ini adalah balasan dari kejahatan selama ini. Engkau seorang datuk seorang penghulu, seorang kepala suku. Yang seharusnya membimbing anak kemenakanmu. Yang seharusnya meluruskan yang bengkok, menyambung yang singkat menyayangi yang muda, melindungi yang lemah. Tapi ternyata gelar yang engkau sandang engkau laknati sendiri …”
“Ampun saya anak muda … tolonglah saya. Jangan biarkan diri saya hina begini. Bunuhlah saya .. bunuhlah saya ..” ratap datuk yang sudah lenyap seluruh kepongahannya Si Bungsu hanya menatapnya dengan dingin sambil menekan beberapa bahagian di tempat tubuhnya yang putus, darah tiba-tiba berhenti mengalir. Kemudian menatap ketujuh mayat yang bergelimpangan dalam kamar tunggu penginapan itu. Lalu lambat lambat dia berbalik. Menghadap pada Mei-mei. Gadis itu berlari memeluknya. “Koko ..” “Mari kita pergi Moy-moy ..”
Dan malam itu, mereka meninggalkan penginapan tersebut. Si Bungsu tahu dalam waktu singkat, Kempetai akan memenuhi penginapan itu. Dan dia tak mau ditangkap. Dengan sebuah bendi yang berada di depan penginapan itu, mereka pergi membelah malam yang dingin. Malam yang hampir bersahut dengan subuh.
“Ke mana kita koko ..?” “Saya tak tahu Moy-moy. Saya tak punya kenalan di sini Jangan ke rumah famili ibumu di Kampung cina, berbahaya bagi keluarganya.
” “Kita kepenginapan lain koko ?” “Tidak. Semua penginapan akan digeledah Kempetai…”
Kusir bendi, seorang lelaki tua, yang tadi mengintip perkelahian dalam penginapan itu mendengarkan saja percakapan kedua anak muda tersebut. Dari pembicaraan mereka, dia mengetahui, bahwa kedua anak muda ini bukan suami istri. Dia mengetahui sedikit banyaknya bahasa cina. Sebab dia bersahabat dengan sebuah keluarga Tionghoa yang tinggal di daerah Tembok. yang berdekatan dengan Kampung cina. Kedua anak muda ini, kalau tidak sepasang kekasih, pastilah dua orang bersahabat. Kusir tua itu juga mengetahui, bahwa Datuk basunguik buruk dan teman temannya yang dibantai anak muda ini adalah penyamun yang ditakuti.
tikam samurai (bagian 61)
Markas Datuk itu dan anak buahnya terletak di dalam rimba buluh di Tambuo. Suatu tempat angker di dekat kampung Tigobaleh di tepi Kota Bukittinggi. Banyak orang yang mengetahui bahwa rimba buluh Tambuo itu adalah markas dan sekaligus tempat persembunyian para perampok. Namun tak ada yang berani mengadukan pada Jepang. Apalagi bertindak sendiri menangkap mereka. Datuk ini terkenal bengis. Hal itu hampir saja terbukti kalau anak muda ini tak cepat dengan samurai nya tadi.Kini kusir bendi itu dapat menangkap dari pembicaraan kedua penompangnya ini, bahwa mereka kesulitan tempat menginap. Hatinya jadi hiba. “Seluruh kota akan segera diperiksa oleh Kempetai ..” kusir itu berkata perlahan. Si Bungsu menoleh padanya. “Apakah orang orang itu dilindungi oleh Jepang ? “ tanyanya ingin tahu. “Tidak. Tapi Jepang akan mencari setiap pembunuh. Apalagi yang kau bunuh malam ini tujuh orang. Suatu jumlah yang tak sedikit Jepang membiarkan gerombolan Datuk itu merajalela untuk kepentingan mereka secara tak langsung. Dalam setiap kekacauan, mereka memetik untungnya …” Si Bungsu menarik nafas panjang.
Mereka sama sama terdiam. Yang terdengar memecah sunyi adalah suara ladam kuda yang beradu dengan aspal. Membelah malam yang telah jauh menikam larut. Si Bungsu tak menyadari kemana bendi itu tengah menuju. Rusuknya yang patah membuat dirinya letih tak terkira. Makan kaki lelaki lelaki di penginapan tadi benar benar meluluhkan tubuhnya. Mei-meilah yang pertama menyadari, bahwa bendi itu makin jauh dan makin masuk kepalunan gelap. Dia menggoyang tubuh si Bungsu yang bersandar ke dirinya. Si Bungsu tak bergerak.
“Koko .. Koko …” panggilnya perlahan dekat telinga si Bungsu. Si Bungsu mengeluh pendek. Tak bisa menjawab, tapi keluhan itu sebagai tanda bahwa dia mendengarkan panggilan Mei-mei. “Kemana kita Koko ?”
ada nada cemas dalam suara gadis itu.
“Kemana …?”
si Bungsu balas bertanya perlahan.
“Lihatlah, kita dibawa kepalunan rimba …” bisik Memei.
Masih dalam keadaan menyandarkan kepalanya yang terasa amat berat, tanpa membuka mata, si Bungsu bertanya perlahan.
“Akan bapak bawa kemana kami ?”
“Kalian tak punya tempat untuk menginap di kota anak muda ..”
“Ya. Tapi kini kami akan bapak bawa kemana ?”
“Ke rumah saya …”
“Ke rumah bapak …?”
“Ya. Di rumah saya kalian akan aman.
Hais ck ck ..” kusir itu mendecah kudanya. Terasa goncangan agak keras ketika bendi itu mulai meninggalkan jalan beraspal dan memasuki jalan kecil yang tak datar. Mei-mei memeluk bahu si Bungsu agar jangan sampai melosoh turun.
“Kerumah bapak …?” si Bungsu mengulangi tanyanya perlahan.
Dan setelah itu dia tak sadar diri. Mei-mei tak bisa berbuat apa apa. Kalaupun dia berniat melawan, dan bisa melarikan diri, namun dia tak akan melakukannya. Dia tak mau meninggalkan anak muda yang telah menolongnya ini. Kalaupun bencana akan menimpa dirinya, dia ingin tetap berada di dekat si Bungsu. “Haissy ck … ck Haissy …” kusir bendi tersebut mendecah kudanya lagi. Kuda itu seperti berjalan dalam cahaya terang. Berlari seenaknya. Melangkahi lobang dan batu sebesar-besar tinju. Dia hafal jalan itu. Meski malam yang hampir disambut subuh itu amat kental gelapnya. Mei-mei coba memperhatikan jalan dan belantara yang mereka lalui.
Jalan itu di kiri kanannya penuh oleh pohon pohon. Seperti hutan saja layaknya. Tapi yang paling banyak di antara pohon pohon itu adalah pohon bambu. Besar dan tinggi seperti akan menjangkau langit. Dahulu waktu kecil, dia pernah tinggal di kota ini. Tapi saat itu dia masih kecil, kemudian si Babah, ayah tirinya itu, membawa mereka pindah ke Payakumbuh. Waktu kecil itu, dia tak pernah sampai kemari. Paling paling hanya ke rumah tetangga di kampung cina. Tiba tiba bendi itu berhenti. Kusir berseru, kemudian dia berjalan ke belakang. Ke tempat si Bungsu dan Mei-mei duduk.
“Mari kutolong menurunkannya …” kata kusir tua itu lagi sambil memegang tangan si Bungsu.
Lalu tiba tiba, dalam gerakannya yang amat cepat tubuh si Bungsu telah berada di bahunya. Pintu pondok terbuka. Seorang perempuan separoh baya muncul dengan lampu togok di tangannya. Mei-mei turun dari bendi dan mengikuti kusir itu. Saat akan masuk kepondok perempuan paroh baya itu tertegun menatap Mei-mei. Tapi hanya sebentar. Kemudian menghindar dari pintu memberi jalan pada Mei-mei..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar