Tikam samurai - Di Singapura II-bagian- 432-433-434
Tikam samurai - Di Singapura II-bagian- 432

Pesawat yang ditompangi si Bungsu baru saja mendarat di lapangan Paya Lebar, Singapura. Dia berjalan kaki ke bagian Douane. Tak banyak yang dia bawa. Hanya sebuah tas berisi empat atau lima stel pakaian, kemudian sebuah tongkat kayu. Tas tangan itu dia jinjing, jadi dia tak usah menunggu lama untuk bisa keluar. Dalam perjalanan menuju tempat keluar, sebuah pesawat LKM milik Belanda dia lihat mendarat pula di ujung landasan.
Melihat pesawat dari Belanda itu dia segera teringat pada situasi Indonesia yang baru saja dia tinggalkan. Presiden Soekarno sedang gencar-gencarnya atas nama rakyat Indonesia menuntut dikembalikannya Irian Barat ke tangan Indonesia. Beberapa benturan kecil telah terjadi di sekitar Irian antara pasukan Indonesia dengan pasukan Belanda. Belanda tetap bersikeras mempertahankan Irian di bawah kekuasaannya.
Tak lama setelah pesawat itu berhenti, kelihatan turis-turis Belanda turun. Pakaian mereka beraneka warna. Lelaki perempuan. Ada firasat aneh yang tiba-tiba saja menyelusup di hati si Bungsu, melihat turis-turis tersebut turun dari pesawat KLM. Dia tak segera keluar dari tempat pemeriksaan. Ada beberapa saat dia menanti. Sampai akhirnya turis-turis itu juga masuk ke ruangan nya. Ketika itulah seorang lelaki menepuk bahunya. Dia menoleh, dan…….
“Fabian…!” serunya sambil bangkit dan segera saja kedua lelaki itu berangkulan.
“Hai, kau kelihatan kurus, Letnan..” ujar mantan kapten Baret Hijau itu sambil mengucek-ngucek rambut di kepala si Bungsu.
“Masih kau ingat dia…?” berkata begitu si Kapten menunjuk seorang Negro bertubuh atletis.
“Tongky…!!” seru si Bungsu begitu mengenali lelaki itu.
“Letnan Bungsu..!” seru tongky si negro. Mereka segera saling peluk. Si Bungsu terharu, mendengar kedua bekas pasukan Baret Hijau dari Inggris ini masih memanggilnya dengan sebutan letnan. Pangkat itu memang pernah “diberikan” padanya, ketika mereka akan berperang melawan sindikat penjualan wanita di Singapura ini beberapa tahun yang lalu. Semacam pangkat tituler, sebab kemahirannya ternyata melebihi kemahiran rata-rata anggota baret hijau itu dalam hal bela diri.
“ Mana teman-teman yang lain?”
“ Mereka mempersiapkan perjalan kita.
“Nanti kita akan berkumpul di rumahku. Hei… Sejak tadi engkau memperhatikan turis-turis itu..” bisik kapten Fabian ketika menyebut kalimat terakhir ini.
Si Bungsu kagum juga, ternyata kawannya ini mengetahui apa yang dia perhatikan.
“Saya ingin tahu dimana mereka menginap, Kapten…” Katanya pelan
“Itu mudah diatur…”
“Juga hal-hal lain yang dirasa perlu tentang identitas mereka..”
“Mudah diatur, Tongki akan menyelesaikannya…”
Si Bungsu segera ingat pada teman negronya yang bernama Tongki itu. Seorang ahli menyamar dan menyusup yang nyaris tak ada duanya. Tongki mengerdipkan mata. Kemudian si Bungsu meninggalkan lapangan udara Paya Lebar itu bersama Fabian. Meninggalkan Tongki disana. Mencari informasi tentang turis-turis tersebut. Mereka nenuju sebuah mobil Cadilac besar berwarna hitam metalik.
“Mobilmu Kapten?”
“Yap.”
“Kau kaya sekarang”
“Bukan aku, tapi ayahku. Dua tahun yang lalu ayahku meninggal di Inggris. Dia tak punya ahliwaris selain aku dan ibuku. Kini ibuku ada disini. Kau bisa bertemu nanti. Ayahku meninggalkan harta tak tanggung-tanggung. Barang kali dia dulu korupsi…”
Si Bungsu menatap heran.
“Ah tidak, ayahku seorang bangsawan”.
Kapten itu tersenyum, menjalankan mobilnya keluar areal pelabuhan. Mereka meluncur di jalan raya.
“Turis yang kau curigai tadi, apakah mereka dari Belanda?” Fabian bertanya sambil menyetir mobil.
“Ya. Nampaknya mereka dari Belanda. Saya mendengar bahasa yang mereka gunakan..”
“Kau hawatir bahwa mereka sebenarnya akan menuju Irian Barat?”
Si Bungsu menoleh pada kawannya itu. Dia hanya menduga semulanya. Apakah kapten ini mengetahui lebih jauh?
“Saya mengikuti berita-berita yang terjadi di negerimu, Bungsu. Saya punya bisnis di Singapura ini. Dan salah satu negeri terdekat, salah satu negeri dimana ekonomi Singapura terkait, adalah negerimu. Saya mengikuti setiap yang terjadi di sana. Dan kami bukannya tak tahu, saat ini banyak sukarelawan Indonesia yang telah diterjunkan di daratan Irian. Sukarelawan yang tak lain daripada pasukan-pasukan komando. Saya tak bersimpati dengan pemimpin negaramu, Bungsu. Terlalu dekat dengan komunis. Saya hanya simpati denganmu. Saya juga pernah mendengar bahwa ada pasukan-pasukan organik Belanda yang telah diselusupkan ke Irian. Dan.. mana tahu, karena tak dapat mengirim pasukan secara terang-terangan, mereka justru memakai jalur turis, bukan?Si Bungsu tak menjawab. Selama di Indonesia dia memang tak tertarik sedikitpun soal Irian Barat itu. Masalah yang dia hadapi adalah masalah dimana dia berada secara langsung. Yaitu di tengah kecamuk pergolakan PRRI. Dia hanya mendengar soal Irian Barat itu dari siaran-siaran radio. Tapi begitu sampai di negeri orang, entah mengapa, ada saja suatu rasa yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata, betapa rasa solidaritas, rasa bangga terhadap tanah air, dan rasa amarah terhadap orang yang ingin meneruskan penjajahan, tiba-tiba saja meresap demikian dalamnya.
‘’Cukup banyak yang Anda ketahui, Fabian. Saya harap, saya dapat cerita yang cukup banyak pula..’’
‘’Tentang negerimu, di sini tak ada yang dirahasiakan Bungsu. Semua terbeber tanpa ada yang disembunyikan sedikitpun. Dibeberkan oleh puluhan wartawan Barat dan Timur dalam berbagai bahasa. Namun saya kurang tahu apakah ada pasukan Belanda yang dikirim lewat Singapura atau tidak, itu memang dirahasiakan Belanda. Kini ada satu soal yang ingin saya katakan padamu….’’
Bekas kapten Baret Hijau itu tak melanjutkan ucapannya. Dia menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan. Si Bungsu segera ingat bangunan itu. Hatinya berdegub kencang. Gedung itu adalah gedung Konsulat Indonesia. Dia pernah di sini beberapa tahun yang lalu.
Atase Militer di Konsulat adalah sahabatnya, Overste Nurdin. Teman seperjuangannya ketika melawan Belanda di Pekanbaru. Lebih daripada itu, isteri atas militer itu adalah Salma. Gadis yang meninggalkan bekas amat dalam di hatinya.
‘’Ingat gedung ini?’’ tanya Fabian.
‘’Apakah mereka masih di sini?’’ Si Bungsu balik bertanya. Perlahan Fabian menjalankan mobilnya kembali.
‘’Tidak. Mereka telah pindah. Mereka kini di India. Overste Nurdin menjabat sebagai Atase Militer di New Delhi.
‘’Sudah lama mereka pindah?’’
‘’Setahun yang lalu’’
‘’Anda hadir di sini ketika dia pindah?’’
‘’Sahabatmu adalah juga sahabat saya, Bungsu. Demikian juga mereka memperlakukan kami. Kami mereka anggap penggantimu. Kami mereka undang dalam tiap acara resepsi yang diadakan Konsulat. Demikian pula ketika overste itu dipindahkan. Pada acara perpisahan dengannya, kami juga diundang..’’
Si Bungsu menarik nafas, membayangkan masa lalunya ketika di Bukitinggi. Mobil yang mereka kendarai meluncur terus di jalan-jalan kota Singapura yang kelihatan bersih dan teratur. Di suatu tempat, di daerah Petaling Jaya, mobil itu membelok ke sebuah pekarangan yang amat luas dan berpagar tinggi. Jauh di tengah pekarangan itu tegak sebuah rumah model Tahun 1800 yang antik.
Padang rumput pekarangan luas itu berwarna hijau bersih. Dan di tengah lapangan hijau itu, rumah antik tahun 1800 itu seperti muncul tiba-tiba. Berwarna putih kemerlap dengan lampu-lampu kristal. Putih bersih di tengah permadani hijau. Benar-benar pemandangan yang mempesona. Di depannya ada taman dengan pohon-pohon bonsai dan bambu cina.
‘’Ini rumahku. Di sini aku dan ibuku tinggal, Bungsu..’’ Fabian berkata sambil menghentikan mobilnya. Seekor anjing jenis pudel yang lucu berlari menyongsong.
‘’Ini bukan rumah, Fabian. Ini istana..’’ kata si Bungsu tak habis-habisnya mengagumi rumah bertaman yang ditata dengan selera aristokrat itu.
‘’Mari kita menemui Ibu..’’
Si Bungsu melangkah menaiki tangga bersusun empat panjang-panjang. Nyaris sepanjang bahagian depan rumah tersebut. Dan di pintu, berdiri ibu Fabian. Perempuan tua itu kelihatan anggun dan berwajah ramah. Fabian mengenalkan si Bungsu pada ibunya. Tak berapa lama mereka berada di rumah, sebuah mobil sedan lain muncul dan berhenti di halaman. Dari dalamnya keluar Tongky, Negro yang ahli menyamar itu. Mereka berkumpul di ruang samping.
‘’Siapa turis-turis itu sebenarnya?’’
Kapten Fabian memulai pembicaraan. Tongky tak segera menjawab. Dia menghirup jus dingin yang dia ambil dari lemari es.
‘’Ada enam puluh turis dari Belanda, Jerman dan Scotlandia. Sepuluh di antaranya perempuan. Tapi dari limapuluh lelaki yang mengaku turis itu, saya rasa empat puluh diantaranya adalah tentara reguler. Saya tak yakin mereka orang Scot, Jerman atau bangsa manapun, mereka itu orang Belanda. Saya berani bertaruh. Dan saya berhasil mendapatkan ini dari salah satu kantong mereka’’
Tongky memberikan sehelai kertas kepada Kapten Fabian. Kertas itu dikembangkan di atas meja. Si Bungsu melihat kertas itu tak lain daripada sebuah peta. Peta Singapura.
‘’Saya juga memiliki peta itu..’’ ujar si Bungsu.
Dia mengambil dari kantongnya sebuah peta yang nyaris sama. Peta itu adalah brosur pariwisata yang dapat diambil gratis di Airport Payalebar.
‘’Ini hanya peta pariwisata yang dibagikan gratis..’’ katanya.
Peta itu memang mirip sekali. Di sana ditunjukan beberapa tempat wisata. Beberapa pulau dan teluk. Pelabuhan dan terminal taksi. Bank dan lapangan udara.
‘’Tidak, Bungsu. Ini memang mirip dengan milikmu. Tapi ini ada bedanya. Ini..’’
Fabian lalu menunjuk ke sebuah teluk di selatan Singapura. Tak begitu kentara, namun jelas ditandai dengan pinsil. Tanda yang tak begitu menyolok. Kemudian Fabian juga menunjuk beberapa titik di pelabuhan Singapura. Tanda beberapa kapal yang berlabuh.
‘’Ini adalah kapal-kapal dagang. Tapi ada bedanya. Di teluk ini, dengan tanda pensil bergambar garis bengkok ini, adalah semacam kode dalam kemiliteran, bahwa di sini ada kapal selam. Dan ini… kapal-kapal dagang yang ditandai ini, diantara puluhan kapal dagang di pelabuhan, ada lima kapal perang yang disulap seperti kapal dagang. Meriam-meriam dikamuflase sedemikian rupa, sehingga sepintas nampaknya seperti tumpukan peti barang..’’ papar Fabian.
Si Bungsu tak bisa bicara saking kagetnya.
‘’Mereka akan menyerang Indonesia..’’ akhirnya dia berkata.
‘’Barangkali tidak. Tetapi mereka akan membalas jika presidenmu yang condong ke komunis itu memerintahkan menyerang Irian Barat..’’
Si Bungsu menatap Fabian dan Tongky bergantian.
‘’Kalian mengetahui rahasia ini sejak lama?’’
‘’Tidak. Saya juga baru mengetahuinya.
Tikam samurai - Di Singapura II -bagian- 433

“Tidak,saya mengetahuinya sejak melihat peta ini.Harus saya akui Bungsu,bahwa saya mencium gerakan tentara Belanda secara diam-diam ingin menyelusup ke berbagai wilayah yang berbatasan dengan negri mu.Betapun juga di Irian barat masih terdapat ribuan orang belanda.Yang sewaktu-waktu harus mereka selamatkan nyawanya.dan maaf diantara kita tak ada rahasia Bungsu.Saya orang inggris dan saya cenderung sependapat dengan politik pemerintah negeri saya,bahwa negerimu cenderung ke Komunis.
Banyak peralatan perang yang didatangkan Soviet ke negerimu.Mulai dari karaben,pesawat jet,sampai ke kapal-kapal perang dan kapal selam.Di Asia tenggara,negerimu lah yang terkuat dewasa ini…”sepi sesaat.
Si Bungsu menatap peta yang ditandai itu.Di mana terhadap kapal selam dan kapal-kapal perang yang di kamuflase sebagai kapal dagang.Apakah pihak konsulat RI di Singapura mencium juga hal ini?Artinya,apakah pihak Indonesia telah mengetahui bahwa Singapura secara sah atau tidak sah,kini telah dijadi kan semacam pangkalan perang asing untuk menyerang Indonesia.?
Pertanyaan itu tetap di simpan dalam hati sampai esoknya.Mereka bertiga mengunjungi berbagai tempat di Singapura.Fabian membawanya kepelabuhan. Disana kelihatan puluhan kapal ditengah laut sedang buang jangkar.
“Beberapa buah di antaranya adalah kapal perang,bungsu…”bisik Fabian.
Si Bungsu mencoba meneliti.Tapi kapal-kapal itu berlabuh jauh di tengah teluk.
Kalaupun ada yang berlabuh dekat,dia pasti takkan mengenal kapal yang di kamuflase tersebut.Dia tak paham tentang kapal-kapal perang.ketika mereka berada dalam sebuah kedai kopi,Fabian yang tengah membawa sebuah majalah berseru pelan.
“Hei,perang telah mulai di negerimu,Bungsu.Perang di laut Aru.Seorang komodor indonesia meninggal,baca ini….!”
Fabian memberikan majalah terbitan inggris,The economist.,yang tengah dia baca kepada si Bungsu.Si Bungsu mengambilnya dan membaca dihalaman pertama tentang peperangan itu.Majalah terkemuka Inggris itu tidak menunjukan sikap berpihaknya dalam pemberitaan yang disiarkannya.Koran itu hanya mengutip beberapa keterangan tentang Perang Laut aru itu.
Selain mengutip keterangan ALRI.koran itu juga mengutip keterangan Mayjen Ahmad Yani selaku Panglima Operasi pembebasan Irian Barat.Juga mengutip keterangan pihak Belanda dan keterangan yang disiarkan radio Australia.The Economist memberitakan bahwa pertempuran antara kapal perang Indonesia dan kapal perang Belanda itu terjadi pada 15 Januari 1962 jam 21.00 waktu setempat.artinya baru dua hari hal itu terjadi tatkala si Bungsu membaca peristiwanya di Singapura.
Keterangan pihak ALRI adalah sebagai berikut”Kesatuan ALRI sedang mengadakan patroli di perairan Indonesia,di sekitar kepulauan pulau Aru ketika tiba-tiba di serang oleh kesatuan Angkatan laut Belanda dan juga dengan pesawat udara,Kesatuan ALRI yang di pimpin oleh Komodor yos Sudarso terdiri dari beberapa kapal cepat Torpedo MTB-2 dalam serangan tersebut,satuan ALRI memberikan perlawanan yang gigih untuk mempertahankan diri.Pertempuran berlangsung selama satu jam..”
Pengumuman ALRI itu tidak menyebutkan kerugian,baik di pihak lawan atau pun di pihak ALRI.Namun the economoist lebih lanjut menyiarkan pula keterangan Jendral A.Yani,selaku Panglima Operasi pembebasan Irian barat sbb: “Tidak benar Indonesia mencoba melakukan Invasi sebagaimana di tuduhkan Belanda.Tidak benar Indonesia bermaksud melakukan pendaratan di Irian,sebab tipe kapal yang dipakai adalah MTB-2 bukan imbangan kapal-kapal Belanda yang dikerahkan itu.Andaikata ALRI ingin menyerang,tentu kekuatan yang dikerahkan paling tidak mesti seimbang dengan kekuatan belanda.Sebuah kapal cepat torpedo MTB-2 tenggelam dalam serangan itu…”
Pihak Belanda yang di kutip oleh the economist menyiarkan sbb:”komando Angkatan laut Belanda di Irian barat mengeluarkan sebuah pengumuman resmi tentang pertempuaran di laut Aru yang di siarkan di den haag hari senin malam,bahwa kapal-kapal perang Indonesia yang dengan kecepatan tinggi sedang menuju ke Irian barat telah melepaskan tembakan ke kapal-kapal Belanda.Dalam pertempuran yang kemudian terjadi,sebuah kapal torpedo cepat indonesia terbakar dan kapal-kapal belanda berhasil menangkap awak kapalnya yang mencoba menyelamatkan diri dalam sebuah sekoci karet.Jumlah prajurit Indonesia yang tertawan tersebut lebih besar jumlahnya dari awak yang di perlukan oleh sebuah kapal torpedo seperti yang tenggelam itu.Jumlah awak kapal MTB-2 yang normal adalah 20 sampai 30 orang.Tapi MTB-2 Indonesia itu mengangkut 70 sampai 90 orang.Hal ini menunjukan pihak Indonesia sedang berusaha melakukan pendaratan di pantai Irian barat…”
Di kutip pula oleh The Economist,siaran radio Australia,bahwa belanda menawan 50 prajurit indonesia dalam pertempuran di Laut Aru.siapakah yang melepaskan tembakan?Belanda atau indonesia?kantor berita’AFP’ mewartakan
pula dari Holandia.”Kapal-kapal Belanda mulai menembak ke suatu formasi kapal-kapal perusak Indonesia di perairan teritorial belanda yang sedang bergerak ke arah pantai selatan Irian barat…”
Kemudian kantor Berita’DPA’ lebih lanjut menyiarkan bahwa di antara tawanan perang yang berada di tangan belanda dalam peristiwa di laut Aru itu,terdapat beberapa jenazah.satu diantara jenazah itu adalah jenazah Deputy KSAL Yos Sudarso dan nakhoda RI macan tutul wiratno.Mereka di makam kan di kaimana,di bumi irian barat.Berita DPA itu mengutip siaran resmi departemen pertahanan Belanda.Si Bungsu meletakan majalah itu.Fabian dan tongky berdiam diri.Mereka bertukar pandang.
“Perang telah di mulai…”ujar si Bungsu sambil menatap jauh kelaut.Ke kapal-kapal dagang dari puluhan negara di dunia.yang kini buang jangkar di Teluk singapura.
Yang mana diantara itu yang merupakan kapal perang Belanda?Tiba-tiba si Bungsu berdiri.berjalan kedepan rumah minum itu.Pada sebuah rak,dia meraih sebuah brosur parawisata Singapura.membawa brosur itu kemeja dimana mereka duduk bersama.membuka dan mengamatinya.
“Dimana kapal selam menurut peta rahasia kemarin?”tanyanya pelan.
Tikam samurai - Di Singapura II-bagian-434
Fabian menunjuk sebuah teluk di bahagian selatan pulau itu. Di depan teluk itu ada sebuah pulau kecil. Nampaknya kalau benar kapal selam Belanda itu ada di sana, maka dia tersembunyi dari pandangan orang. Daerah daratan teluk itu memang tak berpenghuni. Teluk di situ, seperti umumnya teluk di sekitar pulau
Singapura, adalah teluk yang lautnya tak terbilang dalam. Namun dengan lindungan pepohonan, terutama pohon-pohon beringin dan bakau yang memang menjadi ciri khas pantai pulau tersebut, dua atau tiga buah kapal selam dengan aman dapat merapat ke pantai. Bersembunyi di bawah naungan dedaunan.
Bagi Singapura nampaknya tak pula ada alasan untuk menolak kehadiran kapal selam itu, Sebab Singapura adalah bahagian dari Malaysia, Negara Persemakmuran Inggeris. Dan mereka punya hubungan baik dengan Belanda. Si Bungsu menatap peta itu. Kemudian menatap ke laut.
‘’Di mana kapal-kapal perang yang disulap seperti kapal dagang itu?’’ tanyanya pelan.
Fabian dan Tongky menatap ke laut. Ke kapal besar kecil yang buang jangkar.
‘’Mereka berada diantara kapal-kapal yang banyak itu, Bungsu..’’ jawab Fabian.
Si Bungsu berdiri. Melipat peta tersebut dan memasukannya ke kantongnya.
‘’Hei, akan kemana?’’ tanya Fabian begitu melihat si Bungsu bergerak.
‘’Ini urusanku, kawan. Ada sedikit pekerjaan yang harus kulakukan’’
‘’Hei sobat, kau tak dapat meninggalkan kami begitu saja. Apapun yang akan kau lakukan, terutama bila bersangkut paut dengan kapal selam dan kapal perang itu, kau tak dapat bekerja sendirian. Tenaga kami kau butuhkan’’ ujar Fabian sambil membayar minuman.
Si Bungsu tak berkata. Dia naik ke mobil, di susul Tongky dan Fabian.
‘’Kau akan menenggelamkan kapal selam itu bukan, kawan?’’ Fabian bertanya sambil menjalankan mobilnya. Si Bungsu menatap kapten itu. Si kapten bekas Baret Hijau tentara Inggeris itu ternyata cepat sekali menebak.
‘’Benar, bukan?’’
‘’Saya tak tahu caranya’’
‘’Makanya ku katakan, kau butuh kami’’
‘’Tapi kalian tak menyenangi politik negaraku yang pro komunis’’
‘’Benar. Soekarno akan membawa negerimu ke kemelaratan yang tak bertepi bila memilih komunis sebagai sahabatnya. Tapi dalam hal meledakan kapal selam Belanda itu, kami tak berniat membantu negaramu. Kami hanya ingin membantumu. Kita telah terikat dengan sumpah persahabatan. Ingat? Kami akan membantumu!’’
Sepi.
Si Bungsu tak tahu harus menjawab bagaimana. Mobil menuju ke suatu daerah di luar kota. Di sebuah perempatan mereka berhenti. Tongky melompat turun, menuju ke sebuah telepon umum. Menelepon beberapa saat. Lau naik kembali ke mobil.
‘’Siapa saja yang dapat kau hubungi?’’ tanya Fabian begitu Tongky duduk di bangku belakang.
‘’Sony, ahli peledak itu..’’ jawab Tongky.
Setengah jam kemudian, mereka sampai ke sebuah rumah yang terletak di tengah rerimbunan pohon. Si Bungsu segera ingat, di rumah ini dahulu mereka merencanakan penyerbuan terhadap kelompok penjual perempuan di kota ini. Tak lama setelah mereka berada di rumah itu datang Sony, bekas sersan Green Barret yang ahli peledak itu. Dengan senyum lebar dia menyalami dan memeluk di si Bungsu.
‘’Hei, akan ada pesta nampaknya..’’ katanya.
‘’Kau punya pengetahuan tentang kapal selam?’’ Fabian memburunya dengan pertanyaan.
‘’Tenang….tenang! Kenapa terburu amat. Saya masih ingin bercerita dengan orang Indonesia kita ini. Apa ada perang yang harus kita selesaikan segera?’’
Fabian segera meninggalkan mereka. Masuk ke kamar yang di kanan. Tak lama kemudian muncul lagi dengan beberapa batang dinamit serta beberapa kotak karton dan beberapa gulung kabel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar