Dalam Kecamuk Perang Saudara-bagian-422-423-424
tikam samurai Dari Kecamuk Perang Saudara Ke Dallas Menuntut Balas (Episode II – 422)
”Dua kali kau menyelamatkan kami, Nak. Engkau seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan ke kedai ini, persis di saat-saat yang sangat genting. Kami dua beranak tidak tahu bagaimana membalas budimu…”
Si Bungsu hanya menatap dengan tenang.
”Saya sangat lapar, apakah mungkin saya minta bantuan Siti menanakkan nasi? Saya rasa kita makan dengan Pak Wali bersama-sama. Saya rasa besok belum tentu ada orang yang mau menanakkan nasi buat saya di Situjuh Ladang Laweh. Di sana tak ada lagi sanak famili saya. Mamak saya suami isteri, sudah meninggal. Anaknya Reno Bulan kini berjualan kain di Bukittinggi bersama suaminya.”
Siti hiba hatinya saat si Bungsu berkata ”besok belum tentu ada orang yang mau menanakkan nasi buat saya” .
”Saya akan tanakkan nasi untuk Uda. Tapi … bila Uda bertemu dengan kak Reno? Kabarnya hidupnya susah, dia ikut suaminya yang tukang salung..”
”Saya bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu. Sebelum peperangan besar melanda Bukittinggi. Dulu suaminya memang tukang salung. Tapi berkat yakin, dari uang yang mereka kumpulkan sedikit demi sedikit, kini mereka sudah berjualan kain di Los Galuang.”
Siti menatap lelaki yang tak pernah lenyap dari hatinya itu nanap-nanap. Kemudian mulai menjerang nasi, menyiangi ikan limbat dan gurami yang dibeli sore tadi dari orang yang memancing di sungai kecil tak jauh dari kampung itu. Kemudian menggorengnya dengan cabe hijau yang dia giling. Sambil menanti Siti bertanak, ketiga lelaki itu terlibat pembicaraan tentang pertempuran PRRI dan APRI di Bukittinggi. Tentang ratusan korban yang bergelimpangan yang dikumpulkan di bawah Jam Gadang, yang tidak jelas apakah penduduk atau tentara PRRI.
Ketika azan subuh terdengar, walinagari minta diri seraya juga mengucapkan terimakasih kepada si Bungsu atas perannya menyelamatkan Siti dan ayahnya, sekaligus menyadarkan ketiga orang PRRI yang sering jadi momok di kampung-kampung di kaki Gunung Sago itu. Si Bungsu menompang sembahyang subuh di rumah itu. Mereka sembahyang berjamah, dengan ayah Siti sebagai Imam. Usai sembahyang Siti meletakkan kopi dan ketan serta pisang goreng yang dia siapkan dengan cepat.
Tapi akhirnya tiba juga saat yang sangat dia takuti, sangat tidak dia ingini. Yaitu saat si Bungsu minta diri. Entah mengapa, dia ingin anak muda itu berada lebih lama lagi di rumahnya. Namun si Bungsu sudah minta diri.
”Saya harus pergi, terimakasih masakanmu Siti. Selamat jalan kalau kelak Bapak dan Siti berangkat ke Negeri Sembilan. Salam saya kepada suamimu, Sutan Sinaro, Siti…” ujar Si Bungsu. Siti menatap si Bungsu, kemudian tertunduk. Ada manik-manik air mengalir perlahan di pipinya.
”Akan lama Uda di Situjuh?”
”Saya tidak tahu, Siti. Seperti saya katakan tadi, di sana tidak ada lagi sanak famili saya..”
”Kalau sebelum kami pergi Uda lewat di sini, singgahlah. Saya akan menanakkan nasi untuk Uda..”
Rumah Gadang tempat dia lahir dan menjalani masa remaja, rumah dimana ayah, ibu dan kakaknya mati ditangan Saburo dan pasukannya, masih terurus dengan baik. Dia dapat cerita dari Reno Bulan sewaktu di Bukittinggi bahwa rumah itu kini dihuni kemenakan ayahnya. Waktu mereka bertunangan dulu kemenakan ayahnya itu berada di Jambi, menikah dan berdagang di sana. Si Bungsu tak pernah mengenal kemenakan ayahnya itu. Karenanya dia sengaja tak singgah di rumah tersebut. Kendati hatinya direjam rindu, namun dia hanya melihat dari kejauhan saat akan menuju ke pekuburan. Sudah tiga hari dia di kampungnya ini. Pandam pekuburan kaum dimana keluarganya dimakamkan sudah tak terurus dan ditumbuhi lalang padat.
Dia baru menemukan ketiga kuburan keluarganya itu setelah mencari dengan susah payah. Selama di kampung dia tidur di masjid dimana dulu terjadi keributan karena tentara Jepang akan menangkap Sawal dan Malano, dua pejuang yang sebeumnya mencuri senjata di gudang tentara Jepang di Kubu Gadang. Peristiwa itu terjadi setelah dia ikut sembahyang berjamah di masjid itu. Sawal adalah anak haji yang menjadi imam di masjid tersebut. Itu adalah hari pertama dia turun dari puncak Gunung Sago. Dan hari itu, untuk membela Saleha, anak kedua Imam masjid dan sekaligus menolong Sawal dan Malano agar tak tertangkap, dia membunuh ketiga Jepang yang datang itu. Itulah kali pertama dia membunuh tentara Jepang.
Kini tak ada lagi orang sembahyang berjamaah di masjid itu. Pergolakan merobah kampung itu, dan juga kampung-kampung lain di pedalaman Minangkabau. Sebagaimana dijelaskan walinagari di kedai Siti, para lelaki sebagian ada yang ikut masuk hutan bergerilya melawan tentara pusat dengan sukarela. Sebagaian lagi ikut dengan terpaksa. Sebagian yang lain lagi pada meninggalkan kampung. Merantau ke Jawa, Tanjung Pinang atau Pekanbaru. Sebagian besar yang tinggal di kampung adalah orang-orang tua, lelaki maupun perempuan.
Jika di kota seperti di Payakumbuh, Bukittinggi dan Batusangkar saja orang jarang sembahyang berjamah ke masjid, apa lagi di kampung-kampung kecil di kaki Gunung Sago itu. Tapi keadaan itu membuat si Bungsu agak tenteram. Karena hampir tak ada orang yang tahu dia berada di kampung itu. Situjuh Ladang Laweh, karena letaknya di pinggang Gunung Sago, situasinya sangat rawan. Letaknya itu menyebabkan desa tersebut setiap sat dengan mudah didatangi pasukan PRRI. Sebaliknya, pada waktu tertentu tentara pusat yang disebut sebagai APRI itu datang ”membersihkan” desa-desa dari PRRI yang mereka sebut sebagai ”gerombolan”.
Penduduk benar-benar seperti memakan buah simalakama. Mereka tak mungkin menolak bila ada dua atau tiga anggota PRRI yang singgah dan meminta nasi. Namun bagi orang tertentu hal itu digunakan untuk mencari keuntungan bila tentara APRI datang. Bisa saja untuk balas dendam bila orang yang rumahnya didatangi PRRI itu adalah orang yang berseteru dengannya. Sebaliknya, bila yang naik ke sebuah rumah adalah anggota TNI dari APRI, maka itu juga bisa dijadikan sumber fitnah oleh seterunya. Lapor melapor antar-sesama penduduk seperti itu bukan hal yang jarang terjadi. Itulah yang menyebabkan orang merasa lebih baik angkat kaki dari kampung halaman mereka. Pergi merantau ke Jawa, ke Riau atau ke daerah lain.
Si Bungsu tengah menuju ke pemakaman untuk kembali membersihkan kuburan keluarganya itu. Saat lewat di depan rumah milik kedua orang tuanya, dimana dahulu dia hidup di sana, dia lihat seorang lelaki separoh baya tengah membelah-belah kayu di bawah rumah gadang tersebut. Lelaki itu menoleh ke arahnya. Dia cepat-cepat mengalihkan pandangan dan terus berjalan. Dia tahu, lelaki itu adalah kemenakan ayahnya yang menunggu rumah gadang tersebut.
Lewat tengah hari dia selesai membuat ketiga makam keluarganya menjadi amat bersih. Selain ketiga makam itu, dia juga membersihkan tiga atau empat makam di sekeliling makam keluarganya tersebut. Pergolakan tidak hanya membuat kampung menjadi lengang, juga menyebabkan kuburan, kebun, sawah dan ladang menjadi terlantar. Rumah-rumah yang tidak berpenghuni atap ijuknya pada ditumbuhi lumut atau sakek.
Saat akan mengakhiri pekerjaannya membersihkan kuburan itu tiba-tiba jantungnya berdebar. Dia tegak, menatap keliling. Hanya ada belukar yang semakin lebat. Debar jantungnya makin menguat. Biasanya debar seperti itu adalah isyarat datangnya bahaya. Jauh di atas sana dua ekor elang terbang berputar seperti sedang mengintai mangsa. Dia memejamkan mata, memusatkan konsentrasi. Mencoba mengetahui apakah bahaya yang mengancam nya, yang membuat debar jantungnya berdenyut tidak normal itu, datang dari dalam belukar yang mengelilingi kuburan tersebut.
Dalam konsentrasinya dia mencoba menangkap suara sehalus apapun yang datang dari dalam belukar itu. Mungkin desah nafas, mungkin dengus, mungkin suara dedaunan yang tergeser oleh tubuh mahluk apapun. Harimau, beruang atau ular sekalipun. Dari pengalaman hidup di puncak Gunung Sago dahulu, dia memiliki kemampuan untuk mendengarkan perbedaan sekecil apapun suara yang ditimbulkan. Antara suara daun yang ditiup angin dengan daun yang terkuak oleh lewatnya mahluk hidup.
Namun meski beberapa kali dia coba memusatkan kosentrasi tetap saja tak satupun sumber suara yang bisa disimpulkan sebagai ancaman. Dia hanya mendengar suara beberapa ekor ayam hutan mengais makanan. Kemudian suara desiran seekor ular, mungkin ular tedung yang besarnya tak melebihi lengannya. Suara bergeraknya ular itu, menurut perkiraannya, ada sekitar dua puluh depa dari tempatnya berdiri. Lagipula arah bergerak ular itu menjauhi tempatnya berdiri, bukan ke arahnya. Jadi samasekali bukan ancaman bagi dirinya.
Dalam Kecamuk Perang Saudara-bagian-423

Dengan pikiran demikian bahwa tak ada sesuatu yang mengancam nya dari dalam belukar lebat disekitar pekuburan kaum itu,dia menatap ke tiga kuburan yang terletak berdampingan itu.
“Ayah,ibu…,ampun kan anakmu yang tidak berguna ini,yang tidak mempunyai keberanian sedikitpun membela kalian,saat kalian diancam maut.Uni..ampunkan adikmu.Doaku semoga berbahagia di akhirat…”bisik nya dengan airmata yang tak mampu di bendung.
Ada beberapa saat dia berlutut di samping ketiga makam itu.Menunduk dengan mata basah,pipi basah dan diri yang amat sepi karena hidup sebatang kara.Masa kecilnya seperti datang berlarian,saat ayah,ibu dan kakaknya masih hidup.Meski bersikap keras,namun ayahnya selalu membawa dia bepergian,naik bendi ke payakumbuh,atau naik kereta api ke bukittinggi.Ayahnya ingin dia bersekolah agar dia nanti menjadi”orang”.Tidak seperti dia yang hanya petani. Ibunya adalah wanita berhati lembut yang selalu melindungi dia dari amarah ayahnya.Kakaknya adalah yang membela dia di segala situasi.Kini semua tidak akan dia perdapat lagi,tak ada lagi ayah,ibu dan kakak tempat dia mengadu.
“Tinggala ayah,ibu,uni..aku pergi menjalani nasibku…”ujarnya perlahan sambil berdiri dan melangkah meninggalkan pemakaman itu.
Guruh terdengar menderam resah tatkala dia keluar dari areal pendam kuburan kaum itu.Dia melangkah penurunan di areal pemakaman.Hanya beberapa selang menurun,dia menempuh jalan mendaki.Diatas pendakian dia melihat seseorang melangkah kearahnya.Nampaknya orang itu akan ke kuburan.Karena jalan yang dia tempuh ini hanya menuju pekuburan tersebut.
Tapi ternyata orang itu tidak melangkah kearahnya,orang itu hanya tegak disana,di puncak pendakian yang akan dia lewati.
Dia terus melangkah dengan pikiran ke masa kecilnya.Selintas dia lihat orang tadi masih tegak disana.lalu entah kenapa debar aneh itu menyerangnya lagi. Langkah nya pun sampai kedekat orang yang masih tegak di pendakian.tegak persis di jalan yang akan dia lalui,karena orang itu tidak menggeser tegak,lima langkah dari orang itu dia mengalihkan langkahnya agak kekanan.
Orang itu masih tegak disana,tak bergerak sejengkal pun.Tegak dengan kaki terpentang dan rasanya seperti menatap terus kepadanya!hatinya menjadi tak sedap.kenangan masa kecilnya seperti kembali berlarian di kepalanya.Saat itu dia disentakan oleh sebuah suara.
“Bungsu…!”
Dia benar-benar seperti disambar petir mendengar suara itu.Bukan terkejut karena mengenal atau tau namanya tapi tersentak karena suara orang itu. Suara yang amat dia kenal.yang tak pernah di mimpikan akan mendengar suaranya disini,di kampung halamannya Situjuh ladang Laweh!
Suara itu seperti orang yang mengucapkan nya,datang dari tempat jauh. Puluhan ribu kilometer dari sini.Dia sampai kemari setelah melintasi samudra, lembah dan gunung.Suatu hal yang sangat mustahil,tapi kembali dia dikejutkan oleh suara orang itu.
“Bungsu-san…”
“Ya Allah,M..michiko…??”
“Ya,akulah ini.Michiko anak saburo Matsuyama…!”
Mereka hanya terpisah dalam jarak tiga depa.Guruh mengeram beberapa kali di sertai angin kencang.Dia ingin mengucapkan selamat datang di kampung ini dan menanyakan apa kabar,namun sebelum dia sempat bicara suara gadis terdengar lagi.
“Sejak tadi aku tunggu engkau disini Bungsu,aku tak inginmengganggu suasana ziarahmu ke makam Ayah,ibu,dan kakakmu…”
Gerimis tiba-tiba turun menyiram bumi,makin lama makin rapat.Guruh kembali mengeram di langit yang berubah menjadi kelam.Dia kembali ingin mengucap kan selamat datang,kendati dia tak keberatan sama sekali kalau gadis itu datang menemuinya di areal pemakaman.Namun sebelum dia bicara suara gadis itu kembali memintas mendahului.
“Seperti saat engkau datang mencari ayahku,tujuh samudra dan berpuluh gunung serta lembah kutempuh untuk bisa bertemu dengan mu disini Bungsu. Kau cari ayah ku kejepang sana dan kau temui dia di kampungku.Di kuil Simogamo,dimana dia mengabdikan diri disisa usianya.disana kau bunuh dia. Apapun alasanmu,kendati dia melakukan seppuku,harakiri,namun kematiannya tak lain tak bukan karena engkaulah penyebabnya!Engkau datang ke Jepang untuk membalas kematian keluargamu di tangan ayahku.Kini aku datang kemari menuntut kematian ayahku ditangan mu,adil bukan…?”
Dia ingin bicara,tapi…
“Cabut samuraimu,Bungsu….!”
Si Bungsu merasa samurai di tangan kirinya seolah-olah menjadi panas.Dia menyesal kenapa membawa samurai itu.Kendati kemana pun dia pergi samurai ini tak pernah berpisah dengannya,namun kali benar-benar menyesal telah membawanya.Dia mengangkat tangan kirinya itu jauh-jauh,sambil mengatakan bahwa dia takkan menumpahkan darah lagi.Bukan karena dia dekat makam keluarganya.Namun gerakan tangan kirinya yang ingin membuang samurai itu salah ditafsirkan oleh Michiko.
Setiap orang yang memegang samurai apakah ditangan kiri maupun ditangan kanan,bila akan mencabut samurainya harus mendekatkan hulu samurai ke tangan yang satunya lagi.Gerakan itu,mendekatkan hulu samurai dengan tangan yang akan mencabut samurai,di lakukan saat bersamaan.Hanya dalam hitungan detik,entah mana yang duluan,entah samurai yang akan di lemparkan si Bungsu lebih dahulu lepas dari tangan nya,atau mata samurai Michiko yang lebih dahulu memakan dirinya,atau samurainya lepas bersamaan dengan tiba nya sabetan samurai Michiko!
Yang pasti adalah,saat samurainya yang masih berada di dalam sarungnya itu jatuh menimpa jalan berkerikil,dadanya terasa amat pedih.Baju gunting cina yang dipakainya,persis tentang jantungnya mulai basah oleh darah.dengan menahan rasa sakit dia menatap Michiko,kemudian perlahan tatapannya beralih kedadanya yang mengalirkan darah,kemudian kembali menatap michiko.
Michiko sudah akan melancarkan serangan kedua,sejak tadi,namun tangannya terhenti dengan ujung samurai menghadap keatas dan tangan siap menetak kan samurainya keleher si Bungsu.Gerakannya terhenti ketika mendengar suara benda yang jatuh menimpa kerikil jalanan,dan sekilas saat yang kritis,dia melihat ditangan si Bungsu tidak ada senjata apa pun.sedangkan baju tentang dadanya dilumuri darah,yang makin lama makin banyak!.
Dia segera sadar kalau si Bungsu,sama sekali tidak berniat untuk mencabut samurainya,sama sekali tidak berniat melawannya.Dia masih tertegak dalam posisi menahan serangan terakhir.wajahnya pucat.
“Oh,tidak…”ujarnya seperti keluhan.
Di depannya si Bungsu jatuh dengan kedua lututnya.Tangan kananya memegang dadanya yang luka,seperti ingin menahan darahnya keluar yang mengalir deras.Matanya menatap Michiko.di wajah dan tatapannya tak ada rasa marah,tak ada rasa dendam,apalagi rasa benci.
“Terima kasih,Michiko-san.Engkau telah menolong aku..bebas dari rasa berdosa karena menyebabkan kematian ayahmu.Alangkah lamanya aku menanti saat pembebasan dari rasa berdosa ini,alangkah jauhnya jalan yang akan kau tempuh untuk pulang.Maafkan aku…Michiko-san….”
Si Bungsu tidak sadar sepenuhnya,bahwa sebagian dari kata-kata yang diucapkan terucap setelah dirinya berada dalam pelukan Michiko.Gadis itu memekik,memeluk tubuh si bungsu erat-erat.Memekik dengan meneriakan kata-kata “Tidak”.berkali-kali,memekikkan kata”Tolong”berkali-kali!
“TIdaaaak,jangan tinggalkan aku Bungsu-san.Jangan tinggalkan aku.Oh budha, tolong hambamu ini.jangan biarkan dia meninggalkan aku..”Ratap Gadis itu.
Dalam gerimis yang semakin rapat,dalam deram gemuruh yang sahut bersahut si Bungsu membuka mata,menatap kepada Michiko.Gadis itu terdiam,dia menggigit bibirnya di antara tubuhnya yang terguncang-guncang menahan tangis.perlahan tangan si Bungsu yang tadi menahan darah mengucur dari dadanya terangkat.Dengan tangan berlumur darah dipegangnya pipi Michiko. Di antara senyum Ikhlasnya dia berbisik.
“Michiko-san…jaga..dirimu baik-baik….”
“Maafkan aku,Bungsu-san.Maafkan aku…”ratapnya antara terdengar dan tidak.
Dalam Kecamuk Perang Saudara-bagian-424
Sama sekali tak ada niatnya untuk melukai apalagi membunuh si Bungsu, lelaki yang siang malam memenuhi relung hatinya. Satu-satunya lelaki yang pernah merebut hatinya, yang siang malam dia rindukan. Lelaki yang dia cari sampai ke ujung dunia, tanpa mempedulikan apapun rintangannya. Kalau tadi dia menghunus samurai, itu dengan keyakinan yang amat sangat bahwa serangannya dengan amat mudah dapat dielakkan atau ditangkis oleh si Bungsu. Dia sebenarnya sangat berharap dialah yang dilukai dan dilumpuhkan.
Kalau si Bungsu tidak mencintainya, dia rela mati di tangan lelaki yang dia cari ke segenap penjuru ini. Dia memang mencari lelaki itu dengan dendam di hati. Tapi jika ditimbang mana yang berat antara dendam dengan rasa cintanya kepada lelaki itu, perbandingannya bisa satu untuk dendam, sepuluh untuk cinta. Dia benar-benar tidak menduga sedikitpun, bahwa gerakan si Bungsu di awal tadi adalah gerakan untuk membuang samurai nya. Dalam pikiran nya, serangannya yang tak berbahaya dalam bentuk memancung dari atas kiri ke dada lelaki itu akan mudah digagalkan. Dia tahu, serangannya itu dapat di tangkis siapapun dengan gerakan sederhana sekali, apalagi oleh si Bungsu.
Tapi si Bungsu ternyata samasekali tidak mencabut samurai nya. Dia merasa hiba melihat gadis itu memburunya ke mana-mana untuk membalas dendam. Dia amat menyesal telah menyebabkan Michiko sebagai anak tunggal kehilangan ayah. Kini tak ada lagi tempat gadis itu menggantungkan hidup. Ibunya sudah lama meninggal. Dia dapat merasakan betapa sepi dan terguncang nya jiwa Michiko setelah kematian ayahnya, dia dapat merasakan karena hal yang sama juga menimpa dirinya.
Itulah sebab dia ingin segera mengakhiri dendam turunan itu. Itulah pula sebabnya kenapa dia samasekali tidak mencabut samurai untuk melawan Michiko. Yang dia lakukan justru melemparkan samurai nya ke tanah. Dan saat itu serangan ke dadanya tak lagi sempat ditarik Michiko. Lalu…terjadilah tragedi dan malapetaka itu!
Dalam ketakutan ditinggalkan lelaki yang amat dicintainya itu, Michiko teringat ucapan pendeta Kuil Shimogamo yang menjadi senseinya berlatih samurai, sepeninggal ayahnya. Saat sensei itu tahu Michiko berlatih untuk mencari dan membalas dendam kepada si Bungsu, pendeta itu mengingatkannya dengan lembut:
”Saya tahu anak muda bagaimana musuhmu itu Michiko-san. Dia akan membunuh lawan-lawannya. Tapi percayalah, jika engkau bertemu kelak dengannya, dia takkan melawanmu. Dia adalah anak muda yang berbudi. Dia tak akan melawanmu, dia akan merelakan nyawanya di tanganmu. Percayalah, Nak . .”
Dia juga teringat penggalan dialognya suatu hari dengan Zato Ichi, pendekar legendaris Jepang yang ternyata juga sudah sangat mengenal si Bungsu setelah peristiwa wafatnya Obosan Saburo Matsuyama.
”Michiko, muridku. Saya dapat menerka, bahwa antara kalian ada salah pengertian . .”
”Maksud bapak?”
”Salah fahaman itu datangnya bukan dari dia. Tapi dari engkau Michiko-san . .”
”Maksud bapak?”
”Maksud saya, kalian sebenarnya saling cinta . .. ”
”Tidak. Dia tak mencintai saya . . ”
”Bagaimana dengan engkau. Apakah engkau mencintainya?”
Saat itu Michiko tak bisa menjawab pertanyaan Zato Ichi.
”Jawablah. Apakah engkau mencintainya?”
”Saya orang Jepang. Dia telah menyebabkan kematian ayah saya. Bagaimana mungkin dengan kedua perbedaan yang amat besar ini saya bisa mencintainya?”
Zato Ichi tertawa bergumam, lalu menarik nafas panjang.
”Kalau engkau orang Jepang, apakah itu menjadi halangan untuk mencintai bangsa lain? Ah, sedangkan diriku yang tua tak berfikir sekolot engkau Nak. Yang penting bukan bangsa apa dia. Bukan pula bangsawan atau tidaknya dia. Tapi yang penting apakah engkau mencintainya dan dia mencintaimu. Jika hal ini terjadi timbal balik, maka persetan dengan segala perbedaan yang ada. Apakah tak pernah kau dengar betapa banyaknya orang yang kawin hanya karena mementingkan derajat, kekayaan, martabat, akhirnya perkawinan mereka jadi puing. Perkawinan mereka jadi neraka bagi diri mereka. Ah, saya sudah banyak mendengar perkawinan yang demikian Nak . . . ”
Terakhir, dia teringat dialognya dengan Salma, orang yang dicintai si Bungsu sebelum bertemu dengannya, yang ternyata menjadi isteri sahabatnya, Overste Nurdin, Atase Militer Malaya yang berkedudukan di Kota Singapura. Saat itu dia akan naik pesawat ke Padang melalui Jakarta. Saat itu suami Salma berkata:
”Saya berharap akan dapat bertemu dengan kalian berdua, Michiko. Maksud saya engkau dan si Bungsu. Saya tahu, engkau menaruh dendam padanya. Namun, saya benar-benar menginginkan tak satupun di antara kalian yang cedera…”
Kala itu Michiko hanya tersenyum. Senyumnya kelihatan getir. Sebelumnya Salma juga sempat bicara empat mata dengannya.
”Sebagai sesama perempuan, Michiko, saya ingin mengatakan padamu. Engkau punya kesempatan untuk bertemu dengan lelaki yang sama-sama kita cintai. Engkau yang memiliki kesempatan paling besar untuk mendapatkan dirinya. Jangan engkau sampai dikuasai oleh dendam keparat itu. Itu nonsens sama sekali. Berfikirlah dengan akal sehat. Dia takkan mau melawanmu, aku tahu itu bukan sifatnya. Bila dia engkau bunuh Michiko, sama artinya engkau membunuh harapanmu sendiri. Kau akan menyesal seumur hidupmu.
Kalian kini sama-sama sebatangkara. Yang kalian butuhkan adalah kasih sayang. Bukan perkelahian dan saling bunuh. Sebagai seorang yang lebih tua darimu, Michiko san, saya ingin engkau bahagia. Saya ingin si Bungsu bahagia. Dan saya yakin, kebahagiaan itu takkan kalian peroleh kalau kalian tidak bersama. Saya ingin mendengar kabar bahwa kalian menikah. Saya akan menanti kalian di sini. Datanglah sebagai suami isteri. Saya selalu berdoa untuk itu, Michiko, Adikku!”
Michiko tak bisa menahan air matanya. Dia memeluk Salma. Salma juga basah matanya. Kini, lelaki yang dia cintai dan dia cari ke ujung langit itu, bersimbah darah dan sekarat dalam pelukannya karena dimakan mata samurainya! Apa yang pernah diucapkan sesnseinya di Kuil Shimogamo dan Salma, bahwa anak muda itu takkan pernah mau melawannya, akan merelakan nyawanya di tangan Michiko, kini semua terbukti. Semua!
Di antara ratap sesalnya Michiko sayup-sayup seperti mendengar suara ledakan dan tembakan sahut menyahut. Disusul suara gemuruh. Semua suara berdesakan ke dalam kepalanya, susul menyusul dan kacau balau. Hiruk pikuk tak menentu. Bathinnya yang terpukul amat dahsyat akhirnya membuat pertahanan jiwanya berada di titik paling nadir. Mula-mula semuanya menjadi samar-samar, lalu akhirnya tubuhnya rebah ke jalan berkerikil tak sadarkan diri, dengan tetap memeluk tubuh si Bungsu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar