Senin, 04 November 2013

tikam samurai (bagian 71-72)

tikam samurai (bagian 71)

Lelaki itu adalah kurir dari Datuk Penghulu Basa. Dari dia di harapkan berita tentang dimana kini Kapten Saburo Matsuyama berada. Sampai saat ini, si Bungsu belum mengetahui kalau Kapten yang telah naik pangkat jadi Mayor itu telah dipaksa pensiun dan dipaksa pulang ke Jepang oleh Kolonel Fujiyama. Lelaki itu nampak tergesa.
Si Bungsu hanya menoleh sebentar. Kemudian membelakangi lelaki itu, menghadap kopi dan pisang gorengnya. Lelaki itu mengambil tempat duduk disampingnya.
“Kopi pahit satu …” Katanya sambil menjangkau sebuah goreng ubi. Dia mengunyah goreng itu.
Sementara si Bungsu menghirup kopinya. Lelaki yang baru datang itu melayangkan pandangannya ke berbagai penjuru. Ketika dia lihat tak ada yang mencurigakan, dia berkata perlahan.
“Dia sudah dipensiunkan …”
Si Bungsu menghirup lagi kopinya, lalu bertanya.
“Dimana dia kini ?”
“Sudah pulang ke Jepang …”
Si Bungsu tertegun. Hampir saja gelas di tangannya jatuh. Sudah pulang ke Jepang Mungkinkah itu? Dia seharusnya tak menoleh pada lelaki tersebut. Namun dia tak perduli. Dia menatap pada lelaki yang tetap saja menatap kedepan dan mengunyah goreng ubinya.
“Pulang ke Jepang ?”
“Ya. Fujiyama tidak suka tentara Jepang bertindak sadis. Karena itu dia memaksa Mayor itu untuk pensiun dan memaksanya untuk pulang ke Jepang”

“Tapi buktinya masih banyak pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang ..”
“Ya. Dan itu pasti tak sampai ketelinga Fujiyama.Sebuah peraturan dan disiplin yang baik yang diputuskan atasan, belum tentu baik pelaksanaannya sampai ke bawah. Tapi jelas, Fujiyama sebagai pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Sumatera telah berbuat banyak untuk membuat pasukannya agar tak menjadi iblis. Hanya saja bawahannya tak semua mendukung kebijakannya. Atas kebersihannya itu, Fujiyama telah dinaikkan pangkatnya dari Tei Sha (Kolonel) menjadi Syo Sho (Mayor Jenderal)..”
“Kenaikan dua tingkat ?”
“Tidak. Hanya satu tingkat. Dalam ketentaraan Jepang tak dikenal pangkat Brigadir Jenderal. Dari Kolonel langsung ke Mayor Jenderal …”
“Sudah berapa lama Saburo pulang ke Jepang ?”
“Tiga bulan yang lalu ..”
“Tiga bulan yang lalu ?”
“Ya ..”
“Sebelum itu dia berada di kota ini ?”
“Tidak. Setelah pindah dari Payakumbuh, dia berada di kota ini dua bulan. Kemudian diangkat menjadi chu-Tei cho (Komandan Kompi di Batusangkar). Dan ketika dia ..” ucapan lelaki itu terhenti ketika mereka mendengar suara bentakan dan derap sepatu.
Mereka menoleh, dan empat orang Kempetai kelihatan menuju ke arah mereka. Di depan mereka ada seorang lelaki. Jelas lelaki itu orang Indonesia. Lelaki itu menunjuk kearah kedai kopi dimana kini mereka duduk.
“Jahannam. Ada penghianat. Saya sudah menduga, banyak orang awak yang jadi penghianat. Awas dia …saya harus pergi”

Lelaki itu beranjak cepat. Namun bentakkan menyuruh berhenti terdengar dari mulut Kempetai itu. Karena hari malam, lelaki itu tak perduli. Dia melompat, namun saat itu senapan Kempetai itu meledak. Lelaki itu terpekik rubuh. Kakinya kena tembak. Kempetai Kempetai itu berlarian dengan samurai terhunus.
“Larilah Bungsu. Katakan pada pak Datuk saya terbunuh di sini. Saya akan melawan sampai tetes darah terakhir ..”
Lelaki itu bicara sambil tetap berguling seperti mati. Keempat Kempetai itu sampai di sana. Yang satu menunduk membalikkan tubuh lelaki yang sampai saat itu tak diketahui oleh si Bungsu siapa namanya. Begitu Jepang itu menjamah tubuhnya, begitu lelaki itu bergerak. Tangannya terayun keatas. Keris di tanganya menancap di leher Kempetai itu. Mati Demikian cepatnya peristiwa itu berlangsung. Si Bungsu masih duduk ditempatnya tadi. Tangannya masih memegang gelas berisi kopi. Pemilik lepau itu juga tertegak diam.

Kini, kedua Jepang yang masih hidup bersama lelaki yang tadi menunjuk kearah mereka, yang dimaki sebagai jahanam penghianat oleh kurir anak buah Datuk Penghulu Basa itu, mendekat ke lepau. Si Bungsu tertegun menyaksikan peristiwa kematian anak buah Datuk Penghulu tersebut. Lelaki itu telah berkata sebelum dia mati, bahwa dia akan berjuang sampai tetes darah terakhir. Lelaki itu sudah memilih jalan berjuang sampai mati dari pada harus tertawan oleh Kempetai.
Sebab sudah bukan rahasia lagi, setiap pejuang yang melawan Jepang, yang berhasil ditawan Kempetai, akan mendapatkan siksaan yang amat pahit sebelum nyawa mereka direnggutkan. Kalau begitu ditangkap kemudian dibawa kedepan regu tembak atau dipancung, tak akan jadi soal. Artinya mereka tak takut menghadapi kematian yang demikian. Tetapi menghadapi siksaan cabut seluruh kuku, kemudian jari jemari dipatahkan satu demi satu, kemudian rambut dibotaki dengan cara mencabutnya, siapakah yang akan tahan ? Begitulah penyiksaan model Kempetai.

tikam samurai (bagian 72)


Daripada menyerah dalam tahanan, menyerah dengan menyebutkan rahasia teman teman, lelaki itu merasa lebih baik mati dalam perlawanan. Dan dia telah membuktikan hal itu di hadapan mata si Bungsu.
Tanpa dapat ditahan, air mata meleleh di pipi anak muda itu. Dia teringat pada ayahnya. Pada pejuang pejuang yang telah mengorbankan nyawa mereka demi mengusir penjajah. Dan dia juga teringat pada si Baribeh dan siJuling yang sampai hati berkhianat. Dia juga teringat lelaki yang jadi tukang tunjuk tadi. Dia yakin lelaki itu pastilah orang Minang juga. Dia melihat hal itu pada gaya dan pakaiannya. Kedua Kempetai dan lelaki tukang tunjuk itu berhenti tiga depa di belakangnya. Dia dengar suara bedil dikokang. Lalu sebuah suara serak.
“Hei, kamu pemilik lepau dan yang pakai baju hitam, kemari cepat. Kemari dengan mengangkat tanganmu tinggi-tinggi . . .”

Pemilik lepau itu menatap dengan tenang pada si Bungsu. Si Bungsu heran melihat ketenangan lelaki itu. Lambat lambat tangan lelaki itu mendekati meja di depannya. Dan sekali pandang, si Bungsu melihat keris di atas meja yang dipenuhi pisang itu. Segera saja si Bungsu dapat menebak, lelaki ini pastilah salah seorang kurir atau mata mata pihak pejuang Indonesia. Sebab kalau tidak, takkan mungkin Datuk Penghulu menyuruh dia menanti kurir yang telah mati itu di lepau ini. Si Bungsu juga segera menyadari bahaya besar kalau sampai pemilik lepau ini mengambil kerisnya.
Dia berada di bawah bayangan lampu, gerakannya pasti kelihatan oleh Kempetai yang sudah siap dengan bedil terkokang. Lelaki itu akan mati sebelum dia sempat berbuat apa apa. Tapi dia tak bisa memberi ingat, lelaki itu sudah menjamah kerisnya. Saat itulah si Bungsu melemparkan gelas berisi kopi di tangannya kebelakang, ke arah Kempetai itu.

Serentak dengan itu tangannya menyambar samurai di pahanya. Tubuhnya d ia jatuhkan ke belakang. Tiga kali bergulingan cepat, lalu samurainya bekerja. Kedua Kempetai itu semula menatap dengan bengis melihat gerak tangan lelaki itu mengambil kerisnya.
Mereka sudah siap menarik pelatuk bedil begitu keris diangkat. Tapi mereka jadi kaget ketika tiba-tiba sebuah gelas berisi kopi panas melayang ke wajah mereka. Mereka lalu menghindar sebisanya, namun tetap saja wajah mereka terpercik kopi panas itu. Mereka tahu siapa melemparkan gelas kopi ini. Pasti orang yang duduk si sebelah kurir yang telah mati itu. Namun begitu mereka bersiap. begitu si Bungsu sampai di dekat mereka dengan cara bergulingan di tanah. Dan …
Sret … sret .. snap!!
Dua buah sabetan amat cepat, kemudian sebuah tikaman ke belakang. Tikam Samurai Kedua Kempetai itu mati di tempat. Bedil di tangan kedua Jepang itu tak pernah menyalak. Tapi orang orang sudah berkerumun di kejauhan. Pemilik lepau itu tertegun. Keris di tangannya, belum sempat dia cabut dari sarungnya, kini masih terpegang di tangannya. Dia masih belum beranjak setapakpun dari tempatnya. Dia ingin mengadakan perlawanan, tapi musuh yang akan dilawannya itu sudah mati keduanya. Demikian cepat anak muda itu bertindak.

Lelaki yang tadi jadi tukang tunjuk melihat gelagat tak baik itu segera lari. Namun pemilik lepau itu melihatnya, demikian pula si Bungsu. Pemilik lepau itu dengan menggeretakkan gigi menghayunkan tangan. Kerisnya melayang memburu lelaki yang akan lari itu. Demikian pula si Bungsu. Dia menjadi benci separo mati pada si Minang yang sampai hati menghianati bangsanya.
Tangannya bergerak pula. Samurai panjangnya melesat dalam kegelapan malam. Lelaki itu tiba tiba terhenti larinya. Matanya mendelik, lalu rubuh. Dalam cahaya listrik yang remang remang, orang melihat sebuah keris menancap hampir seluruhnya di tengkuk lelaki itu. Sementara sebuah samurai tegak di punggungnya. Persis di bahagian jantung. Menembus sampai ke dada. Lelaki itu tertelungkup.

Jam Gadang yang tak jauh dari tempat lelaki itu rubuh berdentang sebelas kali. orang orang di pasar atas yang telah dewasa saat itu pasti takkan pernah melupakan peristiwa ini. Pada Kamis malam Jumat diakhir bulan Juli tahun 1945 itu adalah malam malam kematian bagi banyak Serdadu Jepang di Bukittinggi. Kota dimana Markas Besar Balatentara Jepang se Sumatera berkedudukan.
“Kemari, ikuti saya …” tiba tiba si Bungsu mendengar suara.
Dia lihat lelaki pemilik lepau itu mencabut keris dari tengkuk si lelaki. Dan berlari arah ke arah Pasar Teleng. Si Bungsu menuruti lelaki tersebut mencabut samurainya dari tubuh penghianat itu. Kemudian memangku tubuh kurir yang tadi menyampaikan berita tentang Saburo. Dan dengan cepat dia mengikuti lelaki pemilik lepau itu. Dari kejauhan mereka mendengar suara peluit dan bentakkan tentara Jepang. Suara derap sepatu terdengar memburu. Namun saat itu mereka telah aman. Sebuah toko terbuka ketika lelaki pemilik lepau itu lewat. Lelaki itu masuk kesana dan si Bungsu ikut.
Pemilik toko itu menutupkan pintu dengan cepat. Mengunci dengan sebuah balok besar. Tak lama setelah itu derap sepatu berlarian di luar. Derap sepatu Kempetai. Tentara Jepang itu seperti mencari hantu yang hilang dalam gelap. Sementara pemilik toko di Pasar Teleng itu membawa mereka keruang bawah tokonya.


Tidak ada komentar: