Senin, 04 November 2013

tikam samurai (bagian 70)

tikam samurai (bagian 70)


Ketika tangan Kempetai ini terjulur, tangannya juga terulur….. crep samurai tajam dan tipis itu masuk persis ke jantungnya. Kempetai itu terbelalak menyeringai sakit. Suaranya seperti suara kerbau disembelih. Gadis itu tak mau tanggung tanggung. Samurai itu dia renggutkan dengan kuat ke kanan. Merobek dada Jepang itu selebar satujengkal. Lalu samurai itu dia cabut dengan cepat dan dia tikamkan keleher Jepang itu Demikian cepat peristiwa itu. Demikian lihai gadis ini menjadi pembunuh orang yang dia benci. Kehidupan keras yang dialami selama tahun tahun yang hitam di Payakumbuh, membuat hatinya tak mudah terguncang melihat kematian.
Umurnya masih sangat muda. Belum cukup delapan belas tahun. Tapi lihatlah, Kempetai yang satu lagi benar benar tertegun melihat perkelahian itu. Tak pernah dia sangka seorang wanita bisa berbuat begitu. Tapi dia sadar wanita ini amat berbahaya. Dengan kesadaran demikian, dia menghantamkan pangkal bedilnya ke tengkuk Mei-mei. Mei Mei merasa ada gerakan angin di belakangnya. Dengan cepat dia menjatuhkan diri. Kedua tangannya bertelekan di tanah. Namun tangan kirinya terasa lumpuh. Kelumpuhan akibat tembakkan dan tendangan tadi. Dengan tangan kanan bertelekan dia menghujamkan kakinya kebelakang. sebuah cuek belakang yang telak. Jepang itu tersurut selangkah ketika kena hantam pahanya. Terasa sakit kena hantam tumit gadis itu.

Kempetai ini memutar bedil, mengarahkan moncong bedil itu ke depan untuk menembak, namun saat itu pula Mei-mei berputar sangat cepat. Tangan kanannya yang memegang samurai terayun cepat pula. Samurai itu melesat dalam gelap dan menancap persis di antara kedua mata si Kempetai. Begitu samurai pendek itu lepas dari ujung ujung jarinya Mei-mei berguling lagi dengan cepat ke kanan. Bedil Jepang itu menyalak saat dia sudah dua kali dia bergulingan. Peluru bedil itu menerpa tempat kosong, bersamaan rubuhnya tubuh Kempetai itu.
Mei-mei tersandar ke dinding rumah. Nafasnya memburu. Suasana sepi. Salak anjing yang biasanya riuh di malam begini, kini pada terdiam mendengar suara dua kali letusan itu. Mereka menyurutkan diri ke dalam semak atau ke bawah rumah. Sebab sudah beberapa kali Jepang memburu anjing. Memburunya masuk kampung keluar kampung. Menurut Jepang, anjing itu harus dibunuhi. Sebab dia memakan makanan yang harusnya jadi makanan manusia. Tambahan lagi, yang paling parah, anjing anjing itu sedang dijangkiti penyakit rabies.
Penyakit yang biasanya menulari anjing bila penduduk suatu negeri dilanda kekurangan makanan. Dewasa itu pula, penduduk mana di Indonesia yang tak kekurangan makanan di bawah Pemerintahan Rasisme Jepang ? Manusia dan anjing memang saling berebutan makanan. Suatu tragedi sebenarnya. Tapi begitulah sejarah mencatatnya. Penduduk Indonesia yang mengalami tahun tahun penderitaan di bawah kuku Jepang itu, akan tetap mengingatnya sampai mati. Etek Ani dan si Upik yang sejak tadi duduk berpelukan di ruangan tengah, yaitu sejak Mei-mei diseret masuk bilik oleh Djun-i, kini menanti dengan tegang.

“Unii. Uni Uni Mei-mei…” si Upik memanggil di antara tangisnya.
Memanggil uninya yang tak kunjung keluar dan tak kunjung terdengar suaranya dari dalam bilik yang tadi dimasuki dua orang Kempetai itu. Tak ada jawaban dari dalam.
“Uni Mei Mei ..” si Upik mulai menangis. Dia berdiri menuju kepintu bilik.
“Uni … buka pintu uni ..”
Tak ada jawaban. Sepi…!!

Tiba tiba etek Ani mendengar suara halus. Dia mengangkat kepala. Suara itu seperti dari luar.
“Upik … , Etek …”
Suara itu terdengar lagi. Seperti suara Mei-mei. Istri Datuk itu tegak. Dia seperti mendengar suara itu dari luar. Kenapa dari luar ?
“Etek .. tolong saya. Saya di luar ..” Ujar suara itu perlahan, seperti orang kehabisan tenaga. Si Upik mendengar pula suara itu. ibunya mengambil lampu dinding. Kemudian perlahan membuka pintu Melangkah kesamping pintu. Mereka tertegak kaku melihat tiga tubuh Kempetai yang telah jadi mayat. Lalu mereka melihat tubuh Mei-mei tersandar di dinding rumah. Dari bahu kirinya darah mengalir. Kepala gadis itu terkulai. Dan matanya menatap sayu.
“Mei-mei…”
“Etek …” himbau gadis itu lirih.
Upik menangis memeluk uninya itu. Istri Datuk berusaha menolong Mei-mei untuk bangkit dan memapahnya ke dalam. Tapi gadis itu menolak.
“Mayat mayat ini harus disembunyikan etek. Komandan mereka yang menugaskan mencari pak Datuk kemari pasti akan curiga kalau mereka tak kembali pada waktunya. Mereka akan mengirimkan pasukan lagi kemari. Bukankah di belakang rumah ada lobang besar tempat membakar sampah ? Seretlah mayat ini kesana. Nampaknya etek terpaksa bekerja dengan upik. Saya tak dapat membantu. Bahu saya tertembak. Di dalam kamar masih ada dua mayat lagi. Seretlah etek… kemudian timbun dengan apa saja. Asal mayat mereka tak kelihatan”

Istri Datuk itu memang tak melihat jalan lain yang lebih baik selain mengikuti petunjuk Mei-mei. Dengan mengerahkan semua tenaganya, dengan bantuan si Upik,
dia menyeret kelima mayat Kempetai itu ke lobang pembakaran sampah di belakang rumah. Mei-mei hanya mampu melihat dari tempatnya bersandar. cukup lama pekerjaan itu mereka lakukan. Setelah selesai istri Datuk itu berniat membawa Mei-mei masuk. Namun Mei-mei menggeleng.
“Tidak etek. Berbahaya kalau saya masuk kerumah.
Kalau Kempetai datang dan ternyata teman temannya tak ada, mereka akan memaksa kita. Barangkali mereka juga berniat memperkosa saya. Dan mereka akan melihat dan mengetahui luka saya ini adalah luka bekas tembakan. Mereka akan curiga. Kematian kelima teman mereka akan segera mereka ketahui. Sembunyikan saja saya ke tempat lain. Bawa saya kepondok kecil di tengah rumpun bambu di samping sana. Biarlah saya di sana menjelang koko pulang …”
“Saya akan ikut dengan uni …” si Upik berkata sambil menangis.
“Tidak Upik. Upik harus tetap bersama etek di rumah. Tolong ambilkan obat di kamar uni. obat ramuan yang dulu diberikan koko kepada kita. Ingat ?”
Upik mengangguk.
Kemudian cepat masuk. Mengambil obat, kain dan beberapa potong kue yang mereka beli siang tadi. Kemudian sebuah bantal dan tikar.

Dengan suluh mereka segera menuju kepondok kecil di tengah hutan bambu itu. Pondok itu dibuat oleh si Bungsu untuk istirahat jika selesai latihan. Sesampai di pondok Mei-mei minta tolong menaburkan obat ramuan itu di lukanya.
Peluru bedil Kempetai itu ternyata menembus bahunya dari depan tembus ke belakang. Luka di belakang tiga kali selebar luka yang di depan. Gadis itu sudah sangat pucat karena darah banyak keluar. Setelah ramuan obat yang dibawa si Bungsu dari gunung Sago itu ditebarkan dilukanya, dia kelihatan sedikit tenang.
“Pulanglah etek, Upik. Kalau koko datang, katakan aku di sini …”
“Tidak. Upik tidak pulang. Upik di sini mengawani uni …”
Si Upik tak tahan untuk tak menangis melihat penderitaan Mei-mei. Mei-mei jadi terharu. Dia belai kepala adiknya itu.
“Tidak Upik. Upik harus menemani amak di rumah.
Bagaimana kalau Jepang datang, dan dia menganggu amak …?”
“Amak juga di sini. Amak jangan pulang. Kita di sini saja bersama uni ya mak?” si Upik membujuk ibunya diantara tangisnya.
“Tidak Upik. Kalau Upik dan amak di sini, Jepang pasti curiga. Mereka akan membakar rumah dan mencari kita sampai dapat. upik dan amak harus di rumah. Menjawab pertanyaan Jepang yang datang.

Mei-mei berusaha meyakinkan gadis kecil itu. Akhirnya Upik pulang juga bersama ibunya. Mei-mei tinggal sendiri. Dia tak berani menghidupkan lampu togok yang ada di pondok itu. Tidak juga menghidupkan api unggun untuk menghalau nyamuk. Dia khawatir kalau api yang dia pasang akan kelihatan oleh Jepang. Gadis ini memang mempunyai firasat yang tajam. Sebab tak lama setelah Upik dan ibunya sampai di rumah, sepasukan tentara Jepang sampai pula di sana.
Sementara itu, di sebuah kedai kopi di pasar atas, si Bungsu telah menantikan kedatangan seorang lelaki. Bendinya tegak tak jauh dari kedai kopi. Kegiatan Jepang nampaknya makin sibuk menjelang awal Agustus itu. Perang melawan Sekutu di Samudra Pasifik mengirimkan berita tak menyenangkan Jepang ke seluruh tanah jajahannya. Tiba tiba si Bungsu melihat lelaki yang dia nanti itu muncul dari arah Jam Gadang.


Tidak ada komentar: