Senin, 04 November 2013

tikam samurai (bagian 68-69)

tikam samurai (bagian 68)


“Hei, kamu sini ikut. Saya mau periksa ..” Ujar Djun-i itu kepada Mei-mei.
Si Upik mulai menangis. Tapi dia terdiam begitu dibentak oleh Kempetai yang seorang lagi. Perlahan Mei-mei bangkit. Kempetai itu menelan ludahnya melihat tubuh montok gadis cina itu. Segera saja dia menyeret tangan Mei-mei ke bilik yang biasanya ditempati si Bungsu.
Kemudian pintu dia tutup, Si Upik memeluk ibunya dengan wajah pucat. Sementara serdadu yang satu lagi menatap mereka dengan seringai buruk. Dari dalam kamar terdengar suara gelosok posoh tak menentu. Dan Kempetai yang di ruang tengah itu menelan ludahnya beberapa kali. Membayangkan kenikmatan yang sedang dikenyam oleh komandannya di dalam bilik itu bersama gadis montok tadi. Dia jadi tak sabaran menunggu giliran, cukup lama dia menanti, dan tiba tiba pintu kamar terbuka. Mei-mei muncul dengan senyum di bibir. Dia memberi isyarat pada Kempetai yang ada di ruang tengah itu. Kempetai itu bergegas.

Tak peduli komandannya tadi belum keluar, yang jelas dia harus cepat mendapat giliran. Dia masuk kamar itu. Didapatinya komandannya masih terbaring dalam pakaian lengkap. Tapi yang menjadikannya heran adalah karena komandannya itu terbaring tidak di tempat tidur. Melainkan di lantai. Pertanyaan belum menjawab, ketika dia berpaling pada gadis itu, tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Pukulan dengan sisi tangannya mendarat di tengkuk Kempetai itu. Kempetai tersebut bukanlah orang lemah.
Sebagai seorang Kempetai, dia belajar karate dan Yudo. Pukulan pertama dia tangkis dengan tangannya. Namun meleset. Pukulan gadis itu amat cepat. Tapi pukulan itu belum merubuhkannya. Dalam keadaan heran dan kaget Kempetai itu coba memeluk gadis tersebut.
Itulah kesalahannya. Mei-mei membiarkan Kempetai itu memeluknya, disaat tubuh mereka merapat, Mei-mei menghantamkan lututnya keatas. Mendarat persis di selangkang Jepang itu.
Jepang itu hampir saja terpekik. Mei-mei bertindak cepat. Tangannya segera menutup mulut Jepang itu. Kalau teriakannya sampai kedengaran oleh tiga temannya di luar, bisa berbahaya. Dan Kempetai itu melosoh turun. Kentang kentangnya pecah. Mei-mei hari ini bukan lagi Mei-mei setahun yang lalu.
Bukan lagi Mei-mei yang lemah yang tak dapat berbuat apa apa ketika tubuhnya digumuli oleh perwira perwira Jepang di Payakumbuh dulu. Mei-mei hari ini adalah gadis yang telah berisi. Dia membuktikan hal itu dengan merubuhkan kedua Kempetai ini dengan mudah.

Kempetai yang berpangkat Djun-i yang masuk pertama kali tadi juga mendapatkan perlakuan yang sama. Begitu masuk dan menutup pintu, dia segera memeluk dan berusaha mencium gadis itu.
Mei-mei seperti akan membalas pelukannya. Namun kedua tangannya memegang leher Djun-i itu. Begitu terpegang lehernya, sementara Jepang itu masih asik menciumi mukanya, Mei-mei menghantam lututnya keselangkang Jepang itu. Ketika Jepang itu tersentak kaget dan amat sakit, kedua tangannya memegang leher Jepang itu bergerak pula. Yang satu mencengkram rambut di belakang kepala Kempetai itu. Tangan yang satu lagi menghantam dagunya. Rambut Jepang itu dia tarik sekuat kuatnya arah kekanan. Sementara dagunya dipukul arah kekiri.

Akibatnya kepala Jepang itu terputar dengan paksa amat kuat. Terdengar suara tulang berderak. Leher Jepang itu patah tulangnya. Dia mati tanpa sempat berteriak. Itulah yang dialami oleh Djun-i yang masuk pertama kali. Kini sudah dua orang selesai oleh Mei-mei. Benci dan dendam yang telah lama menyala dalam dada gadis ini kepada Jepang yang telah melaknati tubuhnya, kini mendapat tempat pelampiasannya. Diam diam dia mengunci pintu kamar. Kemudian mengambil samurai yang panjangnya dua jengkal yang tersisip di pinggang Djun-i yang telah mati itu. Lalu perlahan dia membuka jendela dan berjingkat dia keluar. Masuk kedalam malam yang gelap.

tikam samurai (bagian 69)

Tadi dia mendengar ada tiga Jepang lagi menjaga di luar rumah. Dia ingin menyudahi ketiga Jepang jahanan itu. Perlahan lahan dia menuju ke depan. Tiba tiba langkahnya terhenti. Dari depan seorang Kempetai rupanya menaruh curiga akan situasi rumah yang sepi itu. Dengan bedil terhunus dia mengitari rumah tersebut. Dan dia melihat sesosok bayangan tegak mematung dekat dinding.
“Siapa itu..!” Jepang itu membentak sambil mengacungkan bedil yang siap memuntahkan peluru.
“Malaikat maut..” Jawab Mei-mei dengan suara mendesis tajam. Dan seiring dengan itu tubuhnya bergulingan di tanah. Dalam tiga kali bergulingan yang amat cepat, dari posisi berbaring menyamping di tanah, kaki kanannya menghantam keatas. Terdengar seruan terkejut dan kesakitan dari mulut Jepang itu ketika sisi kaki Mei-mei yang terlatih mendarat di perutnya. Namun Jepang itu tak rubuh. Dia hanya terjajar kebelakang.

Bedil masih terpegang ditangannya. Dan justru saat itu, dalam keadaan terjajar kebelakang itu, telunjuknya menarik pelatuk bedil. Suara dentaman bedil mengoyak malam yang kelam. Membuat terkejut kedua temannya yang berada di depan. Mereka segera berlari kesamping.
Mei-mei merasa bahunya pedih. “Aku kena,” bisik hatinya. Namun dia tak menyerah. Masih dia ingat betapa jahanam kempetai ini ketika di Payakumbuh dulu melanyau dirinya. Mungkin memang tidak mereka. Tapi komandan komandan mereka. Namun apa bedanya. Tubuhnya segera bangkit. Sebelum kedua Kempetai yang ada di depan sampai ketempat itu, sebuah tendangan lagi menghantam kerampang Jepang itu. Kali ini bedilnya jatuh. Kedua tangannya menggigil memegang tempat yang baru saja kena tendangan. Terdengar keluhan yang menegakkan bulu tengkuk.

Dia segera saja jatuh di kedua lututnya. Tendangan itu benar benar tendangan malaikat maut. Ketika dia terjatuh di atas kedua lututnya itulah sebuah tendangan sisi kaki mendarat di tengkuknya. Riwayat Kempetai itu the end di sana. Saat itu pula kedua serdadu yang tadi ada di depan sampai di situ. Mereka melihat temannya terduduk. Yang paling depan mengangkat bedil. Namun jaraknya dengan Mei-mei terlalu dekat. Bedilnya direngutkan oleh gadis itu. Tubuh Jepang itu terhuyung kedepan.
Sebuah tinju menyongsong mulutnya. Tangan Mei-mei terasa ngilu. Buku jarinya mendarat dengan telak di bibir Jepang itu. Tapi kalau buku buku jarinya ngilu, maka Jepang itu merasa mulutnya bengkak. Dan hampir saja dia menelan giginya yang copot tiga buah. Kempetai ini tak melihat dengan jelas siapa lawannya. Namun dia tahu, orang ini pastilah pesilat. Dan mereka sudah mengetahui, bahwa silat di Minangkabau tak dapat dianggap enteng. Bedilnya sudah sejak tadi lepas. Yaitu sejak mulutnya kena bogem mentah. Tapi kini dengan cepat kakinya melayang kedepan. Mengirimkan sebuah tendangan karate bernama maei-geri yang telak.

Mei-mei melihat gerakan yang cepat itu. Dia menyilangkan kedua lengannya kebawah, menanti tendangan itu. Sebuah tangkisan Silang Bawah yang ampuh dari Silek Tuo dalam menangkis tendangan yang datang dari bawah. Tapi gadis ini memang belum berpengalaman. Dia memang mahir bersilat, tapi baru kali ini berkelahi langsung. Dan justru mempertaruhkan nyawa. Tangkisan silang bawah itu sebenarnya memang ampuh untuk menangkis tendangan pesilat Minang yang umumnya tak bersepatu. Tapi Kempetai ini memakai sepatu. Lagipula tangkisannya agak terlambat. Tak ampun lagi, tulang tangannyalah yang kena tendang. Mei-mei terpekik. Tangannya segera saja jadi bengkak. Dan Jepang itu segera menyadari dari suaranya, bahwa lawannya ini adalah seorang perempuan.
“Onaaa …” serunya.
“Onaa ?” (perempuan) tanya kawan di belakangnya.
“Haik…” jawabnya.
Dengan jawaban begitu, Kempetai itu maju ingin memeluk Mei Mei. Ingin menangkap dan meringkusnya hidup hidup, Namun disinilah kesalahan tentara Jepang itu. Disini pula kebanyakan kesalahan setiap lelaki dalam menghadapi perempuan. Selalu mendahului nafsu. Begitu dia mendekat, Mei-mei yang sudah bertekad untuk membunuh atau dibunuh itu segera menghunus samurai pendek yang tadi dia ambil dari pinggang Kempetai yang mati dalam bilik.

Tidak ada komentar: