Di Jepang (bagian 177)
SiBungsu kaget melihat kekuatan ini. Lalu disusul dengan ujian pemecahan benda keras lainnya.
Empat orang Karateka Sabuk Coklat maju. Di tangan mereka terpegang papan setebal dua jari dengan ukuran empat segi. Mereka membuat lingkaran disekitar Kenji. Kenji tegak di tengah dan kembali memusatkan konsentrasi. Ketika aba-aba “Hajime” (mulai) terdengar, dengan cepat sekali tangan dan kakinya bekerja menghantam keempat papan yang diatur dan dipegang oleh keempat karateka itu.
Yang pertama adalah pukulan tangan kanan lurus ke papan yang seukuran dada. Papan tebal itu pecah dua. Gerakan berikutnya adalah menendang melingkar ke papan yang ada di sebelah kiri yang ditaruh setinggi kepala. Papan itu kena tendang dengan bantalan di pangkal jari kaki persis di tengah, dan patah dua! Masih dalam gerakan yang sama, Kenji berputar menghantam papan di tangan Karateka yang ketiga. Papan itu dia hantam dengan ujung-ujung keempat jari kanannya, persis seperti orang menikam sesuatu. Papan yang ditaruh setinggi dada itu anjlok! Pecah dua. Dan dengan pekikan kuat, tubuhnya melambung dan tendangan sambil melompat yang dia lakukan menghantam papan ke empat. Papan keempat ini dipegang dengan kuat dan ditaruh jauh di atas kepala karateka yang keempat. Untuk mencapainya dengan tendangan, Kenji harus melompat terlebih dahulu.
Tapi papan itu kembali hancur dimakan kakinya.
Tak ada tepuk tangan. Ujian ini dianggap hal yang lumrah saja. Para Karateka yang puluhan jumlahnya itu yang kesemuanya bersabuk hitam, pada memandang dengan wajah tenang.
Kenji menarik nafas dan menghapus peluh. Kini tiba gilirannya ujian Kumite bebas. Yaitu ujian perkelahian. Karateka yang telah menempuh ujian terdahulu maju ke depan. Mereka saling berhadapan. Seorang Karatekan lain maju ke tengah. Nampaknya dia adalah salah seorang sensei (pelatih)nya. Dia memerintahkan memberi hormat. Kemudian memberi aba-aba untuk mulai. Mereka mencari posisi. Saling mengintai. Tiba-tiba lawan Kenji membuka serangan dengan mengirimkan sebuah tendangan kilat ke lambung Kenji. Kenji menyilankan tangannya ke bawah. Sebuah tendangan Mae Geri ditangkis dengan tangkisan Gedan Juji Uke yang menyilang. Namun disaat itu pula pukulan tangan kanan lawan Keji meluncur dengan cepat sekali.
“Waza ari Oui-tsuki!” instruktur itu memberi isyarat kemenangan ke arah lawan Kenji.
Naruito adik Kenji menahan nafas. Kedua orang itu saling intai lagi. Saling maju, saling mundur, saling gertak. Suatu saat kaki kanan Kenji menyapu kaki kiri lawannya yang ada di depan. Teknik sapuan Ashi Barai yang sempurna. Keseimbangan lawannya lenyap, tubuh lawannya miring ke kiri. Dan saat itulah pukulan kanan Kenji meluncur dengan cepat ke arah pelipis kiri lawannya. Terdengar suara pukulan mendarat. Lawan Kenji terpekik dan tubuhnya terbanting ke lantai. Si Bungsu menarik nafas lega. Hampir saja dia bertepuk tangan. Namun di bawah sana terdengar bentakan guru besar yang duduk di depan bendera Jepang itu.
“Hansoku mate!” katanya sambil menunjuk pada Kenji.
Kenji berlutut dan memberi hormat dalam-dalam. Lawannya yang tergolek dengan mulut berdarah itu digotong oleh karateka-karateka yang lain.
“Abang dihukum…” Naruito berkata perlahan.
“Dihukum..?” tanya si Bungsu kaget.
“Ya, dia melakukan kesalahan yang berat. Mencederai lawannya”
“Mencederai? Bukankah pukulannya masuk dengan telak?”
“Ya. Telak dan tak terkontrol. Itu terlarang dalam karate. Setiap karateka harus mampu mengontrol pukulannya. Kontrol pukulan sebagai simbol dari kontrol diri. Orang yang tak bisa mengontrol pukulan, tandanya tak mampu pula mengontrol diri di luaran. Orang yang begini berbahaya bila tak diawasi. Sebab di negeri ini ada peraturan, setiap pemegang sabuk hitam Karateka disamakan dengan seseorang yang memakai senjata tajam…”
Si Bungsu tak dapat mengerti keseluruhan ucapan Naruito. Dan ketika di pintu keluar dia bertemu dengan Kenji, dia lihat temannya itu tersenyum kecut.
“Saya kurang latihan….” Kenji berkata sambil menghapus peluh diwajahnya.
“Tapi engkau sanggup memecah genteng, memecah empat papan penguji, dan memukul roboh lawanmu Kenji-san” si Bungsu berkata mengerti.
“Ya, saya lulus dalam ujian memecah benda-benda keras. Tapi tak lulus dalam ujian Kumite. Kau ingat peristiwa saya dipukul penumpang di bawah kerek di kapal dulu Bungsu-san?”
Si Bungsu tentu segera saja ingat peristiwa itu.
“Ya, saya ingat, kenapa?”
SiBungsu kaget melihat kekuatan ini. Lalu disusul dengan ujian pemecahan benda keras lainnya.
Empat orang Karateka Sabuk Coklat maju. Di tangan mereka terpegang papan setebal dua jari dengan ukuran empat segi. Mereka membuat lingkaran disekitar Kenji. Kenji tegak di tengah dan kembali memusatkan konsentrasi. Ketika aba-aba “Hajime” (mulai) terdengar, dengan cepat sekali tangan dan kakinya bekerja menghantam keempat papan yang diatur dan dipegang oleh keempat karateka itu.
Yang pertama adalah pukulan tangan kanan lurus ke papan yang seukuran dada. Papan tebal itu pecah dua. Gerakan berikutnya adalah menendang melingkar ke papan yang ada di sebelah kiri yang ditaruh setinggi kepala. Papan itu kena tendang dengan bantalan di pangkal jari kaki persis di tengah, dan patah dua! Masih dalam gerakan yang sama, Kenji berputar menghantam papan di tangan Karateka yang ketiga. Papan itu dia hantam dengan ujung-ujung keempat jari kanannya, persis seperti orang menikam sesuatu. Papan yang ditaruh setinggi dada itu anjlok! Pecah dua. Dan dengan pekikan kuat, tubuhnya melambung dan tendangan sambil melompat yang dia lakukan menghantam papan ke empat. Papan keempat ini dipegang dengan kuat dan ditaruh jauh di atas kepala karateka yang keempat. Untuk mencapainya dengan tendangan, Kenji harus melompat terlebih dahulu.
Tapi papan itu kembali hancur dimakan kakinya.
Tak ada tepuk tangan. Ujian ini dianggap hal yang lumrah saja. Para Karateka yang puluhan jumlahnya itu yang kesemuanya bersabuk hitam, pada memandang dengan wajah tenang.
Kenji menarik nafas dan menghapus peluh. Kini tiba gilirannya ujian Kumite bebas. Yaitu ujian perkelahian. Karateka yang telah menempuh ujian terdahulu maju ke depan. Mereka saling berhadapan. Seorang Karatekan lain maju ke tengah. Nampaknya dia adalah salah seorang sensei (pelatih)nya. Dia memerintahkan memberi hormat. Kemudian memberi aba-aba untuk mulai. Mereka mencari posisi. Saling mengintai. Tiba-tiba lawan Kenji membuka serangan dengan mengirimkan sebuah tendangan kilat ke lambung Kenji. Kenji menyilankan tangannya ke bawah. Sebuah tendangan Mae Geri ditangkis dengan tangkisan Gedan Juji Uke yang menyilang. Namun disaat itu pula pukulan tangan kanan lawan Keji meluncur dengan cepat sekali.
“Waza ari Oui-tsuki!” instruktur itu memberi isyarat kemenangan ke arah lawan Kenji.
Naruito adik Kenji menahan nafas. Kedua orang itu saling intai lagi. Saling maju, saling mundur, saling gertak. Suatu saat kaki kanan Kenji menyapu kaki kiri lawannya yang ada di depan. Teknik sapuan Ashi Barai yang sempurna. Keseimbangan lawannya lenyap, tubuh lawannya miring ke kiri. Dan saat itulah pukulan kanan Kenji meluncur dengan cepat ke arah pelipis kiri lawannya. Terdengar suara pukulan mendarat. Lawan Kenji terpekik dan tubuhnya terbanting ke lantai. Si Bungsu menarik nafas lega. Hampir saja dia bertepuk tangan. Namun di bawah sana terdengar bentakan guru besar yang duduk di depan bendera Jepang itu.
“Hansoku mate!” katanya sambil menunjuk pada Kenji.
Kenji berlutut dan memberi hormat dalam-dalam. Lawannya yang tergolek dengan mulut berdarah itu digotong oleh karateka-karateka yang lain.
“Abang dihukum…” Naruito berkata perlahan.
“Dihukum..?” tanya si Bungsu kaget.
“Ya, dia melakukan kesalahan yang berat. Mencederai lawannya”
“Mencederai? Bukankah pukulannya masuk dengan telak?”
“Ya. Telak dan tak terkontrol. Itu terlarang dalam karate. Setiap karateka harus mampu mengontrol pukulannya. Kontrol pukulan sebagai simbol dari kontrol diri. Orang yang tak bisa mengontrol pukulan, tandanya tak mampu pula mengontrol diri di luaran. Orang yang begini berbahaya bila tak diawasi. Sebab di negeri ini ada peraturan, setiap pemegang sabuk hitam Karateka disamakan dengan seseorang yang memakai senjata tajam…”
Si Bungsu tak dapat mengerti keseluruhan ucapan Naruito. Dan ketika di pintu keluar dia bertemu dengan Kenji, dia lihat temannya itu tersenyum kecut.
“Saya kurang latihan….” Kenji berkata sambil menghapus peluh diwajahnya.
“Tapi engkau sanggup memecah genteng, memecah empat papan penguji, dan memukul roboh lawanmu Kenji-san” si Bungsu berkata mengerti.
“Ya, saya lulus dalam ujian memecah benda-benda keras. Tapi tak lulus dalam ujian Kumite. Kau ingat peristiwa saya dipukul penumpang di bawah kerek di kapal dulu Bungsu-san?”
Si Bungsu tentu segera saja ingat peristiwa itu.“Ya, saya ingat, kenapa?”
Di Jepang (bagian 178)
“Kau tahu Bungsu-san, kalau saya mau, waktu itu saya bisa menghancurkan kepalanya. Dengan sekali genjot tidak hanya giginya yang rontok, tapi nyawanya juga bisa rontok. Namun saya telah diajar di perguruan untuk tidak melakukan kekerasan begitu Bungsu-san. Percuma saya belajar dan membaca sumpah perguruan selama bertahun-tahun kalau saya tak bisa menguasai diri saya…”
“Tapi orang itu terlalu kurang ajar…”
“Ya. Dan apakah kekurang ajarannya itu harus saya pergunakan untuk menghancurkan dirinya? Orang memang menghendaki saya melakukan kekerasan. Tapi perguruan tak menghendaki demikian Bungsu-san…”
“Saya tak mengerti apa tujuan perguruanmu Kenji-san. Kalau untuk membela diri saja kepandaian yang kita miliki tak bisa digunakan saya rasa percuma saja belajar payah-payah..”
“Ya pendapatmu tak salah Bungsu-san. Bahkan diantara murid-murid Karate dan Judo sendiripun pendapat begitu cukup banyak terdapat. Tapi, percayalah ada hal-hal yang tak dapat saya tuturkan dengan kalimat. Betapa sumpah perguruan itu mengikat kami para senior. Ada hal-hal yang mendasar dan sangat hakiki, yang saya tak bisa mengutarakannya. Terkadang hal itu juga menyiksa saya. Saya toh manusia biasa juga bukan?
Sekali saat saya juga ingin menghantam lawan saya. Dan kalau itu sampai terjadi, lawan seperti yang di kapal itu, mungkin sekedar enam atau tujuh orang bisa saya libas semua. Namun hidup ini rupanya tidak hanya sekedar untuk memuaskan hati saja…ah, sudahlah Bungsu-san…”
Dan si Bungsu memang jengkel untuk memikirkannya. Kenji ternyata memiliki kepandaian yang tak tanggung-tanggung. Tapi kenapa dia tak mau membalas kekasaran yang ditujukan padanya? Dan tadi dalam ujian kenaikan tingkat, jelas pukulannya bisa merobohkan lawannya, lalu kenapa dia tak dinyatakan lulus. Malah dinyatakan dihukum? Bah, dia jadi malas memikirkannya.
Bandit-bandit Jakuza bawahan Kawabata akhirnya mendapat kesempatan yang elok untuk membawa Hannako kembali ke rumah Kawabata. Kesempatan itu datang ketika di rumahnya tinggal Hannako sendiri. Hannako memang dilarang Kenji untuk sering keluar. Dia tahu bahwa Jakuza adalah bandit-bandit yang tak kenal kasihan. Hari itu kedua adiknya yang lelaki sedang pergi sekolah. Kenji pergi latihan ke Budokan. Sementara si Bungsu telah lebih dahulu pergi ke tempat yang tak dia sebutkan. Hannako tengah menyediakan makan tengah hari ketika pintu depan diketuk orang.
“Gomenkudasai…”(Assalamualaikum)
Hannako meletakkan piring, kemudian bergegas ke depan.
“Haai, Donata desu ka…”(ya, siapa?) katanya sambil membuka pintu.
Dan pintu itu didorong dengan kasar. Tiba-tiba saja tiga lelaki telah ada dalam rumah.
“Hmmm, Hanako. Kawabata mencarimu. Dia rindu sekali” salah seorang yang bertubuh gemuk bicara.
Sementara matanya seperti akan menerkam tubuh Hannako. Hannako benar-benar kecut. Dia kenal tampang para lelaki ini.
“Jangan ganggu saya…” katanya sambil berusaha lari ke belakang.
Tapi seorang anggota Jakuza yang lain menghadangnya. Hannako sampai menubruk tubuh orang itu karena gugupnya. Dan orang itu memeluknya sambil tertawa menyeringai. Temannya yang dua lagi ikut tertawa. Hannako meronta dan berhasil melepaskan diri.
“Ayo ikut kami baik-baik. Kawabata ingin bicara denganmu….”
“Jangan ganggu saya….” Hannako mulai menangis.
Ketika anggota Jakuza itu saling pandang. Mata mereka seperti akan menjilati tubuh Hannako yang padat berisi. Kemudian mata mereka juga meneliti rumah itu.
“Hmmm, kalau kau tak mau pergi segera, kita boleh main-main dulu disini…”
Hannako kembali bermohon agar ketiga lelaki itu pergi. Dia khawatir kalau-kalau abangnya atau si Bungsu kembali. Dia tahu lelaki-lelaki ini adalah orang yang tak kenal belas kasihan.
Namun dia salah duga kalau menyangka ketiga lelaki itu akan pergi begitu saja. Yang seorang lalu menangkap tangan Hannako. Kemudian menyeretnya ke kamar Kenji. Hannako berteriak-teriak. Musim salju di Tokyo adalah musim yang sepi. Namun demikian, daerah Uchibori Dori di mana rumah mereka berada tetap saja daerah yang cukup ramai.
Ada orang-orang yang lalu lalang di jalan. Dan mereka mendengar teriakan Hannako. Tapi Tokyo saat itu adalah Tokyo yang depresi. Tokyo yang kalut setelah kalah perang.
Orang lebih suka mengurus diri sendiri daripada mengurus urusan orang lain. Itulah sebabnya kenapa tak seorangpun yang datang melihat apa yang terjadi di rumah itu.
Beberapa orang menolehkan kepala. Tapi cepat-cepat melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tak mau berurusan dengan Jakuza atau tentara Amerika. Bagi mereka, kedua badan itu sama saja menakutkannya.
“Tapi orang itu terlalu kurang ajar…”
“Ya. Dan apakah kekurang ajarannya itu harus saya pergunakan untuk menghancurkan dirinya? Orang memang menghendaki saya melakukan kekerasan. Tapi perguruan tak menghendaki demikian Bungsu-san…”
“Saya tak mengerti apa tujuan perguruanmu Kenji-san. Kalau untuk membela diri saja kepandaian yang kita miliki tak bisa digunakan saya rasa percuma saja belajar payah-payah..”
“Ya pendapatmu tak salah Bungsu-san. Bahkan diantara murid-murid Karate dan Judo sendiripun pendapat begitu cukup banyak terdapat. Tapi, percayalah ada hal-hal yang tak dapat saya tuturkan dengan kalimat. Betapa sumpah perguruan itu mengikat kami para senior. Ada hal-hal yang mendasar dan sangat hakiki, yang saya tak bisa mengutarakannya. Terkadang hal itu juga menyiksa saya. Saya toh manusia biasa juga bukan?
Sekali saat saya juga ingin menghantam lawan saya. Dan kalau itu sampai terjadi, lawan seperti yang di kapal itu, mungkin sekedar enam atau tujuh orang bisa saya libas semua. Namun hidup ini rupanya tidak hanya sekedar untuk memuaskan hati saja…ah, sudahlah Bungsu-san…”
Dan si Bungsu memang jengkel untuk memikirkannya. Kenji ternyata memiliki kepandaian yang tak tanggung-tanggung. Tapi kenapa dia tak mau membalas kekasaran yang ditujukan padanya? Dan tadi dalam ujian kenaikan tingkat, jelas pukulannya bisa merobohkan lawannya, lalu kenapa dia tak dinyatakan lulus. Malah dinyatakan dihukum? Bah, dia jadi malas memikirkannya.
Bandit-bandit Jakuza bawahan Kawabata akhirnya mendapat kesempatan yang elok untuk membawa Hannako kembali ke rumah Kawabata. Kesempatan itu datang ketika di rumahnya tinggal Hannako sendiri. Hannako memang dilarang Kenji untuk sering keluar. Dia tahu bahwa Jakuza adalah bandit-bandit yang tak kenal kasihan. Hari itu kedua adiknya yang lelaki sedang pergi sekolah. Kenji pergi latihan ke Budokan. Sementara si Bungsu telah lebih dahulu pergi ke tempat yang tak dia sebutkan. Hannako tengah menyediakan makan tengah hari ketika pintu depan diketuk orang.
“Gomenkudasai…”(Assalamualaikum)
Hannako meletakkan piring, kemudian bergegas ke depan.
“Haai, Donata desu ka…”(ya, siapa?) katanya sambil membuka pintu.
Dan pintu itu didorong dengan kasar. Tiba-tiba saja tiga lelaki telah ada dalam rumah.
“Hmmm, Hanako. Kawabata mencarimu. Dia rindu sekali” salah seorang yang bertubuh gemuk bicara.
Sementara matanya seperti akan menerkam tubuh Hannako. Hannako benar-benar kecut. Dia kenal tampang para lelaki ini.
“Jangan ganggu saya…” katanya sambil berusaha lari ke belakang.
Tapi seorang anggota Jakuza yang lain menghadangnya. Hannako sampai menubruk tubuh orang itu karena gugupnya. Dan orang itu memeluknya sambil tertawa menyeringai. Temannya yang dua lagi ikut tertawa. Hannako meronta dan berhasil melepaskan diri.
“Ayo ikut kami baik-baik. Kawabata ingin bicara denganmu….”
“Jangan ganggu saya….” Hannako mulai menangis.
Ketika anggota Jakuza itu saling pandang. Mata mereka seperti akan menjilati tubuh Hannako yang padat berisi. Kemudian mata mereka juga meneliti rumah itu.
“Hmmm, kalau kau tak mau pergi segera, kita boleh main-main dulu disini…”
Hannako kembali bermohon agar ketiga lelaki itu pergi. Dia khawatir kalau-kalau abangnya atau si Bungsu kembali. Dia tahu lelaki-lelaki ini adalah orang yang tak kenal belas kasihan.
Namun dia salah duga kalau menyangka ketiga lelaki itu akan pergi begitu saja. Yang seorang lalu menangkap tangan Hannako. Kemudian menyeretnya ke kamar Kenji. Hannako berteriak-teriak. Musim salju di Tokyo adalah musim yang sepi. Namun demikian, daerah Uchibori Dori di mana rumah mereka berada tetap saja daerah yang cukup ramai.
Ada orang-orang yang lalu lalang di jalan. Dan mereka mendengar teriakan Hannako. Tapi Tokyo saat itu adalah Tokyo yang depresi. Tokyo yang kalut setelah kalah perang.
Orang lebih suka mengurus diri sendiri daripada mengurus urusan orang lain. Itulah sebabnya kenapa tak seorangpun yang datang melihat apa yang terjadi di rumah itu.
Beberapa orang menolehkan kepala. Tapi cepat-cepat melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tak mau berurusan dengan Jakuza atau tentara Amerika. Bagi mereka, kedua badan itu sama saja menakutkannya.
Di Jepang (bagian 179)
Hannako memang bernasib malang. Lelaki yang menyeretnya ke kamar itu telah merobek pakaiannya. Dan menampar Hannako berkali-kali hingga gadis itu terkulai lemah. Dan dalam keadaan begitulah dia memuaskan nafsu jahanamnya! Cukup lama dia berbuat demikian. Kemudian keluar kamar sambil menghapus peluh.
“Giliranku….” Kata yang bertubuh pendek sambil berjalan ke kamar.
Dan saat itu di luar terdengar orang bernyanyi menuju ke rumah. Suaranya terdengar berat dengan nada bariton.
“Watashi o wasurenaide kudasai…
Nakanaide kuda-sai
Ame ga futtemo ikimasu”
(Jangan lupakan saya
Jangan menangis
Meskipun hujan turun, saya akan pergi)
Nyanyian itu adalah nyanyian pelaut-pelaut yang berangkat meninggalkan pelabuhan. Yang menyanyi adalah Kenji abang Hannako. Dia tiba di pintu depan yang tertutup. Berhenti sejenak di bawah teras depan. Membuka mantel tebalnya yang dipenuhi salju. Mengipaskannya.
“Hanako-saaan……” panggilnya sambil menyangkutkan mantelnya di paku di tiang depan.
Kemudian dengan menjinjing Judoki (pakaian Judo) nya dia membuka pintu. Dia membuka pintu sambil hidungnya mencium bau harum masakan Hannako yang terletak di meja.
Siulnya berhenti. Dua lelaki berpotongan kasar yang tak dia kenal kelihatan duduk di meja dan di kursi. Duduk dengan sikap yang benar-benar kurang ajar. Kedua orang itu memandang padanya dengan sikap cengar cengir dan anggap enteng. Kenji masih akan bersikap sopan bertanya siapa mereka, tapi pertanyaan itu dia lulur cepat takkala dari pintu yang terbuka dia lihat Hannako terlentang tanpa pakaian. Dan disampingnya berdiri seorang lelaki yang tengah menanggalkan celana.
“Hanako………!” serunya sambil menghambur.
Namun secepat itu pula kedua lelaki itu memegangnya. Dia meronta.
“Diamlah anak baik. Adikmu tak apa-apa. Dia justru tengah merasakan nikmatnya hidup….”
Kenji menggertakkan gigi. Dan tiba-tiba dengan sebuah bentakan nyaring, orang yang memegang tangan kanannya dia renggutkan. Dan dengan sebuah bantingan yang telak orang itu terhempas ke lantai. Tak hanya berhenti disitu, tangan kanannya bergerak cepat pula. Dan yang tegak di kirinya kena bogem mentah yang tak tanggung-tanggung. Sebuah pukulan karate bernama Cudan tsuki menghajar gigi lelaki itu hingga rontok enam buah! Lelaki itu terlolong. Lelaki yang di kamar mengurungkan niatnya. Menghambur ke luar kamar dan di tangannya memegang samurai pendek.
“Hai! Berani kau melawan Jakuza…” katanya sambil mengayunkan samurai pendek itu.
Namun Kenji yang telah kalap melihat adiknya diperkosa menghantam tangan lelaki itu dengan sebuah tendangan Mae Geri yang telak. Tangan orang itu berderak. Sikunya kena tendangan Kenji. Samurainya terlempar ke atas dan menancap di loteng. Dan serangan berikutnya merupakan sebuah tendangan Kikomi. Tendangan menyamping yang menghajar dada lelaki itu. Dia tersurut dengan mata mendelik. Jantungnya pecah kena tendang. Dan maut merenggutnya segera! Namun saat itu pula sebuah tikaman samurai dari lelaki yang tadi dia banting tak bisa dihindarkan. Lelaki itu, setelah merasakan sakit yang amat sangat, merangkak bangkit dan menghunus samurainya. Dan ketika Kenji memusatkan amarah dan konsentrasinya pada lelaki yang keluar dari kamar adiknya itu saat itu pula tikaman tiba.
Rusuknya terasa pedih begitu samurai merobek kimono dan pakaian dalamnya. Darah menyembur. Tikaman samurai itu cukup dalam dan memanjang. Dia berbalik, dan samurai itu kembali menghajar perutnya. Dia terpekik. Perutnya robek dan darah menyembur lagi. Dia jatuh terduduk. Dan saat itu pintu terbuka.
Di pintu tegak si Bungsu! Kedua lelaki anggota Jakuza itu menoleh. Si Bungsu tegak dengan mulut terpaut rapat. Matanya bersinar seperti api yang siap membakar.
“Siapa kau!” desis lelaki yang memegang samurai itu.
Si Bungsu menyapu ruangan itu dengan pandangan mata. Dan sekilas dia dapat menerka apa yang terjadi. Teman anggota Jakuza yang pernah dia bunuh ketika menolong Hannako di terowongan daerah Yotsui dulu, kini datang lagi mencari Hannako.
Dan dari pintu kamar Kenji yang terbuka, dia melihat kaki sebatas paha Hannako terkulai ke bawah tempat tidur.
Hannako memang bernasib malang. Lelaki yang menyeretnya ke kamar itu telah merobek pakaiannya. Dan menampar Hannako berkali-kali hingga gadis itu terkulai lemah. Dan dalam keadaan begitulah dia memuaskan nafsu jahanamnya! Cukup lama dia berbuat demikian. Kemudian keluar kamar sambil menghapus peluh.
“Giliranku….” Kata yang bertubuh pendek sambil berjalan ke kamar.
“Watashi o wasurenaide kudasai…
Nakanaide kuda-sai
Ame ga futtemo ikimasu”
(Jangan lupakan saya
Jangan menangis
Meskipun hujan turun, saya akan pergi)
Nyanyian itu adalah nyanyian pelaut-pelaut yang berangkat meninggalkan pelabuhan. Yang menyanyi adalah Kenji abang Hannako. Dia tiba di pintu depan yang tertutup. Berhenti sejenak di bawah teras depan. Membuka mantel tebalnya yang dipenuhi salju. Mengipaskannya.
“Hanako-saaan……” panggilnya sambil menyangkutkan mantelnya di paku di tiang depan.
Kemudian dengan menjinjing Judoki (pakaian Judo) nya dia membuka pintu. Dia membuka pintu sambil hidungnya mencium bau harum masakan Hannako yang terletak di meja.
Siulnya berhenti. Dua lelaki berpotongan kasar yang tak dia kenal kelihatan duduk di meja dan di kursi. Duduk dengan sikap yang benar-benar kurang ajar. Kedua orang itu memandang padanya dengan sikap cengar cengir dan anggap enteng. Kenji masih akan bersikap sopan bertanya siapa mereka, tapi pertanyaan itu dia lulur cepat takkala dari pintu yang terbuka dia lihat Hannako terlentang tanpa pakaian. Dan disampingnya berdiri seorang lelaki yang tengah menanggalkan celana.
“Hanako………!” serunya sambil menghambur.
Namun secepat itu pula kedua lelaki itu memegangnya. Dia meronta.
“Diamlah anak baik. Adikmu tak apa-apa. Dia justru tengah merasakan nikmatnya hidup….”
Kenji menggertakkan gigi. Dan tiba-tiba dengan sebuah bentakan nyaring, orang yang memegang tangan kanannya dia renggutkan. Dan dengan sebuah bantingan yang telak orang itu terhempas ke lantai. Tak hanya berhenti disitu, tangan kanannya bergerak cepat pula. Dan yang tegak di kirinya kena bogem mentah yang tak tanggung-tanggung. Sebuah pukulan karate bernama Cudan tsuki menghajar gigi lelaki itu hingga rontok enam buah! Lelaki itu terlolong. Lelaki yang di kamar mengurungkan niatnya. Menghambur ke luar kamar dan di tangannya memegang samurai pendek.
“Hai! Berani kau melawan Jakuza…” katanya sambil mengayunkan samurai pendek itu.
Namun Kenji yang telah kalap melihat adiknya diperkosa menghantam tangan lelaki itu dengan sebuah tendangan Mae Geri yang telak. Tangan orang itu berderak. Sikunya kena tendangan Kenji. Samurainya terlempar ke atas dan menancap di loteng. Dan serangan berikutnya merupakan sebuah tendangan Kikomi. Tendangan menyamping yang menghajar dada lelaki itu. Dia tersurut dengan mata mendelik. Jantungnya pecah kena tendang. Dan maut merenggutnya segera! Namun saat itu pula sebuah tikaman samurai dari lelaki yang tadi dia banting tak bisa dihindarkan. Lelaki itu, setelah merasakan sakit yang amat sangat, merangkak bangkit dan menghunus samurainya. Dan ketika Kenji memusatkan amarah dan konsentrasinya pada lelaki yang keluar dari kamar adiknya itu saat itu pula tikaman tiba.
Rusuknya terasa pedih begitu samurai merobek kimono dan pakaian dalamnya. Darah menyembur. Tikaman samurai itu cukup dalam dan memanjang. Dia berbalik, dan samurai itu kembali menghajar perutnya. Dia terpekik. Perutnya robek dan darah menyembur lagi. Dia jatuh terduduk. Dan saat itu pintu terbuka.
Di pintu tegak si Bungsu! Kedua lelaki anggota Jakuza itu menoleh. Si Bungsu tegak dengan mulut terpaut rapat. Matanya bersinar seperti api yang siap membakar.
“Siapa kau!” desis lelaki yang memegang samurai itu.
Si Bungsu menyapu ruangan itu dengan pandangan mata. Dan sekilas dia dapat menerka apa yang terjadi. Teman anggota Jakuza yang pernah dia bunuh ketika menolong Hannako di terowongan daerah Yotsui dulu, kini datang lagi mencari Hannako.
Dan dari pintu kamar Kenji yang terbuka, dia melihat kaki sebatas paha Hannako terkulai ke bawah tempat tidur.
Di Jepang (bagian 180)
“Siapa kau!” Jepang bersamurai pendek dan bertubuh besar itu menggeram takkala melihat orang asing yang baru masuk itu tak mengindahkan pertanyaan pertamanya.
“Saya malaikat maut…..” desis si Bungsu sambil maju perlahan.
Di tangan kirinya samurainya terpegang kukuh. Sementara tangan kanannya tergantung lemah. Anggota Jakuza itu ingin segera menyudahi pekerjaannya. Dia maju menyongsong si Bungsu.
“Bungsu-san…..larilah. selamatkan dirimu. Mereka anggota Jakuza….” Suara Kenji terdengar lemah memperingatkan.
Namun peringatannya sudah terlambat. Karena saat itu anggota Jakuza itu telah menghayunkan samurainya membabat perut si Bungsu. Anggota Jakuza adalah bandit-bandit yang mahir dalam beladiri. Karate, Judo dan Aikido mereka kuasai dengan baik. Hanya saja tadi mereka dilumpuhkan oleh Kenji karena tingkatan kemahiran Kenji jauh lebih di atas mereka. Tapi selain beladiri tangan kosong, mereka juga menguasai dengan sangat baik teknik samurai! Dan samurai adalah sesuatu yang tak dipahami oleh Kenji. Dan kini anggota Jakuza itu tengah memancungkan samurai pendeknya ke perut si Bungsu. Namun seperti kecepatan cahaya, selarik sinar putih panjang memintas gerak samurai pendek itu. Gerak samurai Jakuza itu terhenti. Ada rasa perih yang melumpuhkan terasa. Dan dengan terkejut bercampur heran dia menatap dadanya berdarah. Memandang ke kiri ke kenan. Dan dia berusaha melanjutkan gerak samurainya. Bukankah dia termasuk seorang yang mahir dalam samurai? Tapi kembali sinar putih yang amat cepat itu memintas. Dan kini tangannya yang memegang samurai itu putus. Potongan itu jatuh ke lantai berikut samurai pendeknya. Kepala Jepang itu berpaling heran dan takjub.
“Saya adalah malaikat maut….” Si Bungsu mengulangi kata-katanya tadi.
Dan seiring dengan itu samurainya bekerja lagi. Kepala anggota Jakuza itu terdongak ke belakang. Lehernya hampir putus! Dia rubuh dan mati dengan darah menyembur-nyembur dari leher dan tangan serta dadanya. Anggota Jakuza yang seorang lagi, termasuk Kenji, ternganga melihat kejadian itu. Benar-benar takjub dan kaget.
Perlahan si Bungsu memalingkan tegak menghadap pada anggota Jakuza yang gemuk pendek itu. Anggota Jakuza itu sudah hancur mentalnya. Dia menggigil. Dia memang pintar memainkan samurai. Tapi melihat lelaki asing ini mempergunakan samurainya, dia merasa beraknya hampir keluar.
“Ini bukan orang, ini syetan. Hanya syetan yang bisa mempergunakan samurai secepat itu…” hati lelaki itu berbisik kecu.
“Engkau saya ampuni. Dan sampaikan pada pimpinanmu, di sini Kenji-san dan saya si Bungsu dari Gunung Sago Indonesia, menanti kalian. Datanglah, dan akan kami nanti dengan samurai di tangan. Sebagai bukti bahwa kami menantang Jakuza yang telah menodai Hannako, bawa pesan berdarah ini…!!
Seiring ucapannya, samurai keluar lagi dalam kecepatan kilat. Dan sebelum Kenji atau lelaki Jakuza itu tahu apa yang dimaksud oleh si Bungsu dengan “Pesan Berdarah” itu, anggota Jakuza itu terlolong. Tangan kananya putus hingga bahu! Darah menyembur-nyembur dari bahu yang putus itu. Namun lelaki itu tak berani bergerak. Sebab ujung samurai si Bungsu melekat di lehernya.
“Katakan pada pimpinanmu, atau siapa saja di antara anggota Jakuza jahanam itu, jika mereka berani mengganggu Hannako, Kenji atau adik-adiknya, mereka akan menerima nasib seperti temanmu ini. Kini tinggalkan tempat ini segera!”
Dan lelaki itu tak usah diperintah untuk kedua kalinya. Lepas saja dari “syetan samurai” itu sudah mujur baginya. Dia segera angkat kaki seribu. Persetan dengan dua bangkai temannya yang tergeletak dalam rumah itu. Dan lelaki itu tak mau melapor ke rumah Kawabata. Buat apa dia ke sana. Kalau dia datang ke sana, dia pasti disuruh menunjukkan rumah Hannako. Dan itu berarti harus berhadapan dengan anak muda dari Indonesia itu kembali. Ai mak, berhadapan dengannya? Minta ampun. Daripada berhadapan dengannya lebih baik bunuh diri pikirnya. Dan dengan pikiran begitu, dia lalu berlari ke rumah sakit. Selesai mengobati tangannya yang pontong itu, dia naik kereta api. Pulang ke kampungnya di mudik sana. Persetan dengan Jakuza. Kalau mereka mau, biar berhadapan sendiri dengan anak muda itu, pikirnya. Dan selama perjalanan menuju kampung, lelaki gemuk pendek bekas bandit itu tak henti-hentinya mensyukuri nikmat Dewa yang telah memanjangkan umurnya.
Kalau anak muda itu silap sedikit saja, dan samurainya dihadapkan ke jantungnya, iiii!
Dan dia berniat untuk potong ayam sebagai tanda sukur bila sampai ke kampungnya.
Isteri dan anak-anak serta mertuanya pasti akan kaget dan menangis melihat tangannya putus.
“Siapa kau!” Jepang bersamurai pendek dan bertubuh besar itu menggeram takkala melihat orang asing yang baru masuk itu tak mengindahkan pertanyaan pertamanya.
“Saya malaikat maut…..” desis si Bungsu sambil maju perlahan.
Di tangan kirinya samurainya terpegang kukuh. Sementara tangan kanannya tergantung lemah. Anggota Jakuza itu ingin segera menyudahi pekerjaannya. Dia maju menyongsong si Bungsu.
“Bungsu-san…..larilah. selamatkan dirimu. Mereka anggota Jakuza….” Suara Kenji terdengar lemah memperingatkan.
Namun peringatannya sudah terlambat. Karena saat itu anggota Jakuza itu telah menghayunkan samurainya membabat perut si Bungsu. Anggota Jakuza adalah bandit-bandit yang mahir dalam beladiri. Karate, Judo dan Aikido mereka kuasai dengan baik. Hanya saja tadi mereka dilumpuhkan oleh Kenji karena tingkatan kemahiran Kenji jauh lebih di atas mereka. Tapi selain beladiri tangan kosong, mereka juga menguasai dengan sangat baik teknik samurai! Dan samurai adalah sesuatu yang tak dipahami oleh Kenji. Dan kini anggota Jakuza itu tengah memancungkan samurai pendeknya ke perut si Bungsu. Namun seperti kecepatan cahaya, selarik sinar putih panjang memintas gerak samurai pendek itu. Gerak samurai Jakuza itu terhenti. Ada rasa perih yang melumpuhkan terasa. Dan dengan terkejut bercampur heran dia menatap dadanya berdarah. Memandang ke kiri ke kenan. Dan dia berusaha melanjutkan gerak samurainya. Bukankah dia termasuk seorang yang mahir dalam samurai? Tapi kembali sinar putih yang amat cepat itu memintas. Dan kini tangannya yang memegang samurai itu putus. Potongan itu jatuh ke lantai berikut samurai pendeknya. Kepala Jepang itu berpaling heran dan takjub.
“Saya adalah malaikat maut….” Si Bungsu mengulangi kata-katanya tadi.
Dan seiring dengan itu samurainya bekerja lagi. Kepala anggota Jakuza itu terdongak ke belakang. Lehernya hampir putus! Dia rubuh dan mati dengan darah menyembur-nyembur dari leher dan tangan serta dadanya. Anggota Jakuza yang seorang lagi, termasuk Kenji, ternganga melihat kejadian itu. Benar-benar takjub dan kaget.
Perlahan si Bungsu memalingkan tegak menghadap pada anggota Jakuza yang gemuk pendek itu. Anggota Jakuza itu sudah hancur mentalnya. Dia menggigil. Dia memang pintar memainkan samurai. Tapi melihat lelaki asing ini mempergunakan samurainya, dia merasa beraknya hampir keluar.
“Ini bukan orang, ini syetan. Hanya syetan yang bisa mempergunakan samurai secepat itu…” hati lelaki itu berbisik kecu.
“Engkau saya ampuni. Dan sampaikan pada pimpinanmu, di sini Kenji-san dan saya si Bungsu dari Gunung Sago Indonesia, menanti kalian. Datanglah, dan akan kami nanti dengan samurai di tangan. Sebagai bukti bahwa kami menantang Jakuza yang telah menodai Hannako, bawa pesan berdarah ini…!!
Seiring ucapannya, samurai keluar lagi dalam kecepatan kilat. Dan sebelum Kenji atau lelaki Jakuza itu tahu apa yang dimaksud oleh si Bungsu dengan “Pesan Berdarah” itu, anggota Jakuza itu terlolong. Tangan kananya putus hingga bahu! Darah menyembur-nyembur dari bahu yang putus itu. Namun lelaki itu tak berani bergerak. Sebab ujung samurai si Bungsu melekat di lehernya.
“Katakan pada pimpinanmu, atau siapa saja di antara anggota Jakuza jahanam itu, jika mereka berani mengganggu Hannako, Kenji atau adik-adiknya, mereka akan menerima nasib seperti temanmu ini. Kini tinggalkan tempat ini segera!”
Dan lelaki itu tak usah diperintah untuk kedua kalinya. Lepas saja dari “syetan samurai” itu sudah mujur baginya. Dia segera angkat kaki seribu. Persetan dengan dua bangkai temannya yang tergeletak dalam rumah itu. Dan lelaki itu tak mau melapor ke rumah Kawabata. Buat apa dia ke sana. Kalau dia datang ke sana, dia pasti disuruh menunjukkan rumah Hannako. Dan itu berarti harus berhadapan dengan anak muda dari Indonesia itu kembali. Ai mak, berhadapan dengannya? Minta ampun. Daripada berhadapan dengannya lebih baik bunuh diri pikirnya. Dan dengan pikiran begitu, dia lalu berlari ke rumah sakit. Selesai mengobati tangannya yang pontong itu, dia naik kereta api. Pulang ke kampungnya di mudik sana. Persetan dengan Jakuza. Kalau mereka mau, biar berhadapan sendiri dengan anak muda itu, pikirnya. Dan selama perjalanan menuju kampung, lelaki gemuk pendek bekas bandit itu tak henti-hentinya mensyukuri nikmat Dewa yang telah memanjangkan umurnya.
Kalau anak muda itu silap sedikit saja, dan samurainya dihadapkan ke jantungnya, iiii!
Dan dia berniat untuk potong ayam sebagai tanda sukur bila sampai ke kampungnya.
Isteri dan anak-anak serta mertuanya pasti akan kaget dan menangis melihat tangannya putus.
Di Jepang (bagian 181)
Tapi dia akan berduta, bahwa tangannya putus karena terjepit kendaraan bermotor. Dan kalau mereka tak percaya, dia akan ceritakan bahwa masih untung hanya kehilangan sebelah tangan. Bagaimna kalau dia kehilangan kepala? Dalam perjalanan dengan kereta api itu, anggota Jakuza ini kembali membayangkan wajah anak muda Indonesia itu. Berwajah tampan, pendiam tapi di dalamnya seperti ada kawah berapi yang siap memuntahkan laharnya setiap saat. Bulu tengkuknya merinding bila mengingat betapa cepatnya anak muda itu mempergunakan samurai. Dia telah melihat beberapa orang Jepang yang mahir samuirai. Misalnya Kawabata, gurunya sendiri. Tapi manakah yang lebih cepat? Ah, persetan pikirnya.
Tapi orang gemuk pendek ini hanya dua hari hidup dengan tenteram dikampungnya.
Hari ketiga, datang ke kampung itu empat orang lelaki. Meski dia tak kenal, tapi dari caranya, dia tahu bahwa orang ini pastilah suruhan Kawabata, anggota Jakuza dari wilayah lain.
Memang begitu aturan permainan yang berlaku dalam Jakuza. Bila seorang anggota membelot misalnya, maka yang akan membereskan si belot itu adalah anggota dari wilayah lain.
Dan si gemuk pendek ini yakin bahwa Kawabata pasti menyuruh menyudahi nyawanya.
“Hmm, gemuk. Kenapa kau pergi saja tanpa melapor pada Kawabata-san….” Yang memimpin utusan itu bicara dengan suara baritonnya.
“Si gemuk” itu hanya tersenyum.
Dia yakin orang ini pasti tak begitu saja mau menyudahi nyawanya. Mereka ingin tahu lebih dahulu persoalan Hannako dan kedua temannya yang mati.
“Saya masih ada urusan lain yabg penting. Nanti saya menghadap pada Kawabata-san….” Dia menjawab.
“Sekarang saja jelaskan. Kawabata-san sedang ke Hokkaido…”
“Biar saya yang menjelaskan sendiri padanya…”
“Jelaskan pada kami….”
“Apakah kalian ingin kekerasan?” si gemuk yang bertangan pontong itu menggertak.
Tapi dia salah duga. Keempat lelaki ini memang sudah diperintahkan untuk menyudahinya bila dia banyak tingkah. Salah seorang segera saja maju memukulinya. Tapi berbareng dengan itu, si gemuk ini juga sudah siap dengan samurainya. Begitu lelaki itu akan memukul si gemuk menghantamnya dengan samurai. Tak ampun lagi orang itu terjungkal dengan dada tembus. Tapi itu pulalah pembelannya yang terakhir. Sebab yang tiga orang lagi segera menikamnya dengan samurai. Tiga bilah samurai segera melumpuhkannya. Si Gemuk itu rubuh. Dai menyeringai kesakitan.
“Jahanam kalian….kalian akan disudahi oleh orang Indonesia itu….percayalah, saya berdoa untuk itu…” dan dia mati.
ketiga lelaki anggota Jakuza itu saling pandang.
“Dia menyebut Indonesia….” Salah seorang bicara.
“Apa yang dia maksud…?”
Tak ada yang mengerti. Dan mereka lalu pergi meninggalkan rumah itu persis ketika isteri si gemuk itu pulang dari pasar bersama anaknya. Ketika mereka naik taksi, mereka mendengar perempuan itu memekik. Dalam kekacauan setelah perang berakhir di negeri ini, kerusuhan demi kerusuhan timbul terus hari demi hari. Kerusuhan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang ingin menangguk di air keruh. Untuk itu korban berjatuhan. Mereka tak peduli apakah mereka akan membunuh orang lain, ataupun saling bunuh sesama bangsanya sendiri. Yang dituju organisasi ini adalah kekayaan untuk diri pribadi mereka,.
Ketika perkelahian itu usai, ketika sigemuk itu melarikan diri dengan tangannya yang putus sebelah, siBungsu menghampiri Kenji.
“Bungsu-san…engkau benar-benar luar biasa….Terimakasih, engkau kembali menyelamatkan kami…..”
“Tenanglah Kenji-san…”
“Tolong lihat bagaimana keadaan Hannako, dia…dia.. ya, Tuhan, tolonglah adikku itu Bungsu-san…”
Bungsu segera teringat Hannako.
Dia tegak dan masuk ke kamar, Hannako tengah duduk di sudut pembaringan dengan kain asal membalut tubuhnya saja.
Matanya berair menatap hampa ke depan.
“Hanako-san…”
Gadis itu tersentak. Dia makin menghindar ke sudut.
“Engkau tak apa-apa Hanako…?”
“Pergi, jangan dekati aku….pergi!”
Gadis itu berteriak.
Tapi dia akan berduta, bahwa tangannya putus karena terjepit kendaraan bermotor. Dan kalau mereka tak percaya, dia akan ceritakan bahwa masih untung hanya kehilangan sebelah tangan. Bagaimna kalau dia kehilangan kepala? Dalam perjalanan dengan kereta api itu, anggota Jakuza ini kembali membayangkan wajah anak muda Indonesia itu. Berwajah tampan, pendiam tapi di dalamnya seperti ada kawah berapi yang siap memuntahkan laharnya setiap saat. Bulu tengkuknya merinding bila mengingat betapa cepatnya anak muda itu mempergunakan samurai. Dia telah melihat beberapa orang Jepang yang mahir samuirai. Misalnya Kawabata, gurunya sendiri. Tapi manakah yang lebih cepat? Ah, persetan pikirnya.
Tapi orang gemuk pendek ini hanya dua hari hidup dengan tenteram dikampungnya.
Hari ketiga, datang ke kampung itu empat orang lelaki. Meski dia tak kenal, tapi dari caranya, dia tahu bahwa orang ini pastilah suruhan Kawabata, anggota Jakuza dari wilayah lain.
Memang begitu aturan permainan yang berlaku dalam Jakuza. Bila seorang anggota membelot misalnya, maka yang akan membereskan si belot itu adalah anggota dari wilayah lain.
Dan si gemuk pendek ini yakin bahwa Kawabata pasti menyuruh menyudahi nyawanya.
“Hmm, gemuk. Kenapa kau pergi saja tanpa melapor pada Kawabata-san….” Yang memimpin utusan itu bicara dengan suara baritonnya.
“Si gemuk” itu hanya tersenyum.
Dia yakin orang ini pasti tak begitu saja mau menyudahi nyawanya. Mereka ingin tahu lebih dahulu persoalan Hannako dan kedua temannya yang mati.
“Saya masih ada urusan lain yabg penting. Nanti saya menghadap pada Kawabata-san….” Dia menjawab.
“Sekarang saja jelaskan. Kawabata-san sedang ke Hokkaido…”
“Biar saya yang menjelaskan sendiri padanya…”
“Jelaskan pada kami….”
“Apakah kalian ingin kekerasan?” si gemuk yang bertangan pontong itu menggertak.
Tapi dia salah duga. Keempat lelaki ini memang sudah diperintahkan untuk menyudahinya bila dia banyak tingkah. Salah seorang segera saja maju memukulinya. Tapi berbareng dengan itu, si gemuk ini juga sudah siap dengan samurainya. Begitu lelaki itu akan memukul si gemuk menghantamnya dengan samurai. Tak ampun lagi orang itu terjungkal dengan dada tembus. Tapi itu pulalah pembelannya yang terakhir. Sebab yang tiga orang lagi segera menikamnya dengan samurai. Tiga bilah samurai segera melumpuhkannya. Si Gemuk itu rubuh. Dai menyeringai kesakitan.
“Jahanam kalian….kalian akan disudahi oleh orang Indonesia itu….percayalah, saya berdoa untuk itu…” dan dia mati.
ketiga lelaki anggota Jakuza itu saling pandang.
“Dia menyebut Indonesia….” Salah seorang bicara.
“Apa yang dia maksud…?”
Tak ada yang mengerti. Dan mereka lalu pergi meninggalkan rumah itu persis ketika isteri si gemuk itu pulang dari pasar bersama anaknya. Ketika mereka naik taksi, mereka mendengar perempuan itu memekik. Dalam kekacauan setelah perang berakhir di negeri ini, kerusuhan demi kerusuhan timbul terus hari demi hari. Kerusuhan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang ingin menangguk di air keruh. Untuk itu korban berjatuhan. Mereka tak peduli apakah mereka akan membunuh orang lain, ataupun saling bunuh sesama bangsanya sendiri. Yang dituju organisasi ini adalah kekayaan untuk diri pribadi mereka,.
Ketika perkelahian itu usai, ketika sigemuk itu melarikan diri dengan tangannya yang putus sebelah, siBungsu menghampiri Kenji.
“Bungsu-san…engkau benar-benar luar biasa….Terimakasih, engkau kembali menyelamatkan kami…..”
“Tenanglah Kenji-san…”
“Tolong lihat bagaimana keadaan Hannako, dia…dia.. ya, Tuhan, tolonglah adikku itu Bungsu-san…”
Bungsu segera teringat Hannako.
Dia tegak dan masuk ke kamar, Hannako tengah duduk di sudut pembaringan dengan kain asal membalut tubuhnya saja.
Matanya berair menatap hampa ke depan.
“Hanako-san…”
Gadis itu tersentak. Dia makin menghindar ke sudut.
“Engkau tak apa-apa Hanako…?”
“Pergi, jangan dekati aku….pergi!”
Gadis itu berteriak.
1 komentar:
salam da, bagian 86-87 kok ndk support da????
mokasih da
Posting Komentar