Tikam Samurai - 267
Dan memang benar. India itu berhasil menemui mayat temannya. Dia menyumpah-nyumpah dalam bahasa Urdu yang tak dimengerti oleh si Bungsu maupun oleh Salma.
India itu mulai membuka pintu demi pintu, dia tertegun. Di tengah ruangan, terlihat temannya yang bernama Sulong itu tergolek dengan mata terbuka. Dia maju selangkah, dan saat itulah dari samping sebuah tendangan mendarat di kerampangnya. Tendangan itu amat kuat. Dilakukan oleh seorang anak muda yang telah melatih diri bertahun-tahun.
Ada suara tak sedap takkala punggung kaki si Bungsu melanda kerampang India itu. India bertubuh tinggi besar itu tertegak disana. Matanya jadi juling. Senapan otomatiknya terjatuh. Kedua tangannya segera memegang instrumen di kerampangnya yang baru saja diterpa kaki si Bungsu.
Dia melenguh. Dan nampaknya, ada beberapa instrumennya yang fatal kena tendang itu. Dia melosoh turun dengan mulut berbuih.
Pingsan!
Nah, kini tinggal membereskan sopir di halaman sana.
Tapi bagaimana caranya? Mereka harus keluar dari rumah ini secepat mungkin.
Sopir sedan yang parkir jauh di halaman sana menanti dengan mata terkantuk-kantuk. Lalu dia mendengar suitan. Di pintu rumah besar itu dia lihat seorang perempuan tegak dengan leher ditekuk oleh temannya. Temannya yang tegak dibelakang perempuan itu melambaikan tangannya. Sopir Cina itu menjalankan mobil dan membawanya ke dekat rumah.
Tapi saat itu pula si Bungsu melihat lain dibangku belakang sedan tersebut. Dia cepat menarik Salma ke dalam.
“Masih ada yang lain di dalam sedan itu. Tak ada jalan keluar yang lain?” tanya si Bungsu.
“Ada. Lewat belakang. Tapi harus meloncati pagar”
“Kita harus coba. Kemana jalan itu tembusnya?”
“Ke jalan raya”
“Bagus. Ayo cepat”
Mereka berlarian sepanjang rumah. Sementara sedan terhenti di depan.
Mereka mencapai pintu belakang ketika yang seorang lagi dari komplotan yang tak diketahui siapa mereka oleh si Bungsu itu turun.
Dengan pistol di tangan dia membuka pintu. Dan matanya terbelalak melihat mayat temannya si Cina yang bernama Acong.
“Mereka lolos!!” teriak orang itu dalam bahasa Melayu.
Sopir Cina itu turun dan mengambil pistol dari laci sedannya. Berdua mereka lalu masuk hati-hati ke rumah besar tersebut. Menyelinap ke kamar demi kamar. Tapi rumah itu kosong!
“Ke belakang!” serunya. Mereka berlari ke belakang. Dan saat itu di pagar belakang si Bungsu tengah menahan kaki Salma yang memanjat tembok.
“Berhenti!!” si Melayu itu berteriak. Saat itu Salma telah melompat ke jalan raya disebelah tembok. Dan kini tinggal si Bungsu. perlahan dia membalik. Dia melihat dua orang, satu Melayu dan satu lagi Cina tegak dengan bedil siap ditembakkan padanya.
“Kemari kau!!!” bentak si Melayu.
Yang melayu ini agak tenteram juga hatinya. Sebab ternyata lelaki di depannya ini tak bersenjata sama sekali.
Si Bungsu melangkah menuruti perintah kedua orang itu.
Ketika telah dekat, si Melayu itu menghantamnya dengan sebuah pukulan. Kena mulutnya. Berdarah. Sebuah tendangan ke perut. Si Bungsu terbungkuk. Terputar. Dan saat berputar itu tangannya terayun ke belakang.
Dua bilah samurai kecil. Dengan keahlian yang sulit untuk dipercaya, meluncur dari balik lengan bajunya. Dan kedua samurai yang sejengkal panjangnya itu, menancap di leher kedua lelaki tersebut! Menancap hingga ke gagangnya!
Kedua lelaki itu tersentak. Melemparkan senjata ditangan mereka.
Sebelum kedua lelaki itu jatuh ke tanah. Si Bungsu berbalik. Kemudian memanjat tembok. Dan melompat ke sebelah. Salma menanti dengan wajah pucat.
Mereka menghentikan sebuah taksi.
Salma menyebutkan alamat konsulat. Taksi itu meluncur kesana. Di konsulat, Salma melaporkan pada Konsul tentang peristiwa yang dialami dirumahnya. Menceritakan tentang sopir konsulat yang mati terbunuh.
Namun dia tak menceritakan tentang dokumen yang sekarang ada pada si Bungsu. konsul segera saja menelpon pihak yang berwenang di Singapura. Menyampaikan protes keras atas lemahnya perlindungan keamanan bagi anggota korp diplomatik Indonesia.
Pihak pemerintah kota Singapura minta maaf dan berjanji akan menyelidiki dan mengusut peristiwa itu sampai ke akar-akarnya.
India itu mulai membuka pintu demi pintu, dia tertegun. Di tengah ruangan, terlihat temannya yang bernama Sulong itu tergolek dengan mata terbuka. Dia maju selangkah, dan saat itulah dari samping sebuah tendangan mendarat di kerampangnya. Tendangan itu amat kuat. Dilakukan oleh seorang anak muda yang telah melatih diri bertahun-tahun.
Ada suara tak sedap takkala punggung kaki si Bungsu melanda kerampang India itu. India bertubuh tinggi besar itu tertegak disana. Matanya jadi juling. Senapan otomatiknya terjatuh. Kedua tangannya segera memegang instrumen di kerampangnya yang baru saja diterpa kaki si Bungsu.
Dia melenguh. Dan nampaknya, ada beberapa instrumennya yang fatal kena tendang itu. Dia melosoh turun dengan mulut berbuih.
Pingsan!
Nah, kini tinggal membereskan sopir di halaman sana.
Tapi bagaimana caranya? Mereka harus keluar dari rumah ini secepat mungkin.
Sopir sedan yang parkir jauh di halaman sana menanti dengan mata terkantuk-kantuk. Lalu dia mendengar suitan. Di pintu rumah besar itu dia lihat seorang perempuan tegak dengan leher ditekuk oleh temannya. Temannya yang tegak dibelakang perempuan itu melambaikan tangannya. Sopir Cina itu menjalankan mobil dan membawanya ke dekat rumah.
Tapi saat itu pula si Bungsu melihat lain dibangku belakang sedan tersebut. Dia cepat menarik Salma ke dalam.
“Masih ada yang lain di dalam sedan itu. Tak ada jalan keluar yang lain?” tanya si Bungsu.
“Ada. Lewat belakang. Tapi harus meloncati pagar”
“Kita harus coba. Kemana jalan itu tembusnya?”
“Ke jalan raya”
“Bagus. Ayo cepat”
Mereka berlarian sepanjang rumah. Sementara sedan terhenti di depan.
Mereka mencapai pintu belakang ketika yang seorang lagi dari komplotan yang tak diketahui siapa mereka oleh si Bungsu itu turun.
Dengan pistol di tangan dia membuka pintu. Dan matanya terbelalak melihat mayat temannya si Cina yang bernama Acong.
“Mereka lolos!!” teriak orang itu dalam bahasa Melayu.
Sopir Cina itu turun dan mengambil pistol dari laci sedannya. Berdua mereka lalu masuk hati-hati ke rumah besar tersebut. Menyelinap ke kamar demi kamar. Tapi rumah itu kosong!
“Ke belakang!” serunya. Mereka berlari ke belakang. Dan saat itu di pagar belakang si Bungsu tengah menahan kaki Salma yang memanjat tembok.
“Berhenti!!” si Melayu itu berteriak. Saat itu Salma telah melompat ke jalan raya disebelah tembok. Dan kini tinggal si Bungsu. perlahan dia membalik. Dia melihat dua orang, satu Melayu dan satu lagi Cina tegak dengan bedil siap ditembakkan padanya.
“Kemari kau!!!” bentak si Melayu.
Yang melayu ini agak tenteram juga hatinya. Sebab ternyata lelaki di depannya ini tak bersenjata sama sekali.
Si Bungsu melangkah menuruti perintah kedua orang itu.
Ketika telah dekat, si Melayu itu menghantamnya dengan sebuah pukulan. Kena mulutnya. Berdarah. Sebuah tendangan ke perut. Si Bungsu terbungkuk. Terputar. Dan saat berputar itu tangannya terayun ke belakang.
Dua bilah samurai kecil. Dengan keahlian yang sulit untuk dipercaya, meluncur dari balik lengan bajunya. Dan kedua samurai yang sejengkal panjangnya itu, menancap di leher kedua lelaki tersebut! Menancap hingga ke gagangnya!
Kedua lelaki itu tersentak. Melemparkan senjata ditangan mereka.
Sebelum kedua lelaki itu jatuh ke tanah. Si Bungsu berbalik. Kemudian memanjat tembok. Dan melompat ke sebelah. Salma menanti dengan wajah pucat.
Mereka menghentikan sebuah taksi.
Salma menyebutkan alamat konsulat. Taksi itu meluncur kesana. Di konsulat, Salma melaporkan pada Konsul tentang peristiwa yang dialami dirumahnya. Menceritakan tentang sopir konsulat yang mati terbunuh.
Namun dia tak menceritakan tentang dokumen yang sekarang ada pada si Bungsu. konsul segera saja menelpon pihak yang berwenang di Singapura. Menyampaikan protes keras atas lemahnya perlindungan keamanan bagi anggota korp diplomatik Indonesia.
Pihak pemerintah kota Singapura minta maaf dan berjanji akan menyelidiki dan mengusut peristiwa itu sampai ke akar-akarnya.
Tikam Samurai - 268
Si Bungsu kini tidak lagi tinggal di konsulat. Meski Konsul berkeras menahannya untuk tetap tinggal disana, namun anak muda ini berkeras pula untuk pindah.
“Kenapa tidak disini saja Uda tinggal?”
Salma bertanya ketika si Bungsu membenahi pakaiannya untuk pindah.
“Demi keamanan Nurdin dan kalian semua, Salma. Dokumen ini nampaknya mengundang bahaya. Kalau saya dan dokumen ini berada disini, saya bisa membayangkan bahwa akan ada saja orang yang akan berusaha mengambilnya dengan cara apapun. Saya tak mau kalian celaka karena ini. Biarkan saya mencari tempat lain. Dari sana saya bisa bebas bergerak”
“Kemana uda akan pindah?”
“Lebih baik engkau tak mengetahuinya Salma. Tapi percayalah, saya akan selalu kemari melihat kalian”.
Dia lalu melangkah ke pembaringan Nurdin. Overste itu sudah sadar dari dua hari yang lalu. Namun dia belum bisa bicara. Belum bisa mengingat apa-apa.
Memang benar apa yang dikatakan dokter dahulu. Bahwa diperlukan waktu yang amat panjang buat istirahat bagi Overste ini.
Si Bungsu menatap temannya itu dengan diam. Nurdin kelihatan menatap padanya. Namun tak ada tanda-tanda bahwa dia mengenal mereka. Si Bungsu memegang tangannya.
“Saya harus pindah dari sini Nurdin. Demi keselamatanmu. Saya tak banyak mengerti tentang tugas-tugas spionase. Tapi saya akan berusaha sekuat mungkin, sebisa saya, untuk membongkar komplotan jual beli wanita ini. Saya akan lanjutkan tugasmu” si Bungsu berkata perlahan. Meskipun dia tahu, ucapannya barangkali takkan dimengerti oleh Nurdin.
Salma menangis terisak. Nurdin menatap si Bungsu dengan diam.
Kemudian si Bungsu memutar tegak. Memandang pada Salma yang menangis terisak disisi pembaringan suaminya. Sementara Eka, gadis kecil mereka tetap tegak menatap disamping ibunya.
Dia tatap wanita itu. Perempuan yang pernah dia cintai sepenuh hati. Dia pegang bahunya.
“Tenangkan hatimu. Nurdin akan sembuh” lalu dia membungkuk. Mengangkat eka kegendongannya.
“Eka jaga ayah baik-baik ya..”
“Paman akan kemana?”
“Paman akan pindah kerumah teman..”
“Apakah kami tidak lagi teman paman?”
Jantung si Bungsu berdegup mendengar tanya gadis kecil ini.
“Kenapa tidak, Eka. Kita tetap berteman bukan?”
“Lalu, kenapa paman pergi?”
“Paman akan mencari orang yang menembak ayah Eka…”
Gadis kecil itu menoleh ke pembaringan ayahnya. Menatap ayahnya yang masih diam tak bergerak. Ketika dia menoleh pada si Bungsu, dimatanya kelihatan linangan air.
“Ayah Eka orang baik kan Paman..?”
“Ya. Ayah Eka orang baik…”
“Lalu, kenapa ada orang yang melukainya?”
“Yang melukai orang jahat..”
“Kenapa ayah tak membalas, bukankah ayah juga punya pistol?”
Si Bungsu hampir kehilangan jawab. Anak ini ternyata cerdas sekali.
“Ayah eka tak mau menyakiti orang, meskipun dia bisa berbuat begitu. Nah, karena orang itu jahat, biar paman yang mencarinya”
“Paman akan memukulnya?”
“Ya. Pasti. Paman pasti memukulnya”
“Jangan dipukul paman”
“Kenapa?”
“Dia telah melukai ayah. Orang itu harus pamai lukai pula. Paman bunuh saja, aya paman…”
“Ya…”
“Paman berjanji..?”
“Ya, paman berjanji”
“Akan membunuh orang yang melukai ayah?”
“Ya. Paman akan membunuhnya, percayalah”
Tanpa dia sadari, dia memang berjanji berbuat seperti yang diminta oleh gadis kecil itu.
“Terimakasih paman, terima kasih…” dan anak kecil itu mencium pipi si Bungsu. Yang kiri. Kemudian yang kanan.
“Paman akan sering melihat kami kemari bukan?”
“Ya, paman kan sering kemari”
“Eka dan ibu akan sunyi kalau paman tak kemari…ayah sakit dan tak bisa bermain dengan Eka…sering kemari ya paman…?”
Si Bungsu mengangguk berkali-kali. Kemudian mencium pipi gadis kecil itu. Lalu memberikannya pada Salma. Dan diapun berlalu.
Si Bungsu kini tidak lagi tinggal di konsulat. Meski Konsul berkeras menahannya untuk tetap tinggal disana, namun anak muda ini berkeras pula untuk pindah.
“Kenapa tidak disini saja Uda tinggal?”
Salma bertanya ketika si Bungsu membenahi pakaiannya untuk pindah.
“Demi keamanan Nurdin dan kalian semua, Salma. Dokumen ini nampaknya mengundang bahaya. Kalau saya dan dokumen ini berada disini, saya bisa membayangkan bahwa akan ada saja orang yang akan berusaha mengambilnya dengan cara apapun. Saya tak mau kalian celaka karena ini. Biarkan saya mencari tempat lain. Dari sana saya bisa bebas bergerak”
“Kemana uda akan pindah?”
“Lebih baik engkau tak mengetahuinya Salma. Tapi percayalah, saya akan selalu kemari melihat kalian”.
Dia lalu melangkah ke pembaringan Nurdin. Overste itu sudah sadar dari dua hari yang lalu. Namun dia belum bisa bicara. Belum bisa mengingat apa-apa.
Memang benar apa yang dikatakan dokter dahulu. Bahwa diperlukan waktu yang amat panjang buat istirahat bagi Overste ini.
Si Bungsu menatap temannya itu dengan diam. Nurdin kelihatan menatap padanya. Namun tak ada tanda-tanda bahwa dia mengenal mereka. Si Bungsu memegang tangannya.
“Saya harus pindah dari sini Nurdin. Demi keselamatanmu. Saya tak banyak mengerti tentang tugas-tugas spionase. Tapi saya akan berusaha sekuat mungkin, sebisa saya, untuk membongkar komplotan jual beli wanita ini. Saya akan lanjutkan tugasmu” si Bungsu berkata perlahan. Meskipun dia tahu, ucapannya barangkali takkan dimengerti oleh Nurdin.
Salma menangis terisak. Nurdin menatap si Bungsu dengan diam.
Kemudian si Bungsu memutar tegak. Memandang pada Salma yang menangis terisak disisi pembaringan suaminya. Sementara Eka, gadis kecil mereka tetap tegak menatap disamping ibunya.
Dia tatap wanita itu. Perempuan yang pernah dia cintai sepenuh hati. Dia pegang bahunya.
“Tenangkan hatimu. Nurdin akan sembuh” lalu dia membungkuk. Mengangkat eka kegendongannya.
“Eka jaga ayah baik-baik ya..”
“Paman akan kemana?”
“Paman akan pindah kerumah teman..”
“Apakah kami tidak lagi teman paman?”
Jantung si Bungsu berdegup mendengar tanya gadis kecil ini.
“Kenapa tidak, Eka. Kita tetap berteman bukan?”
“Lalu, kenapa paman pergi?”
“Paman akan mencari orang yang menembak ayah Eka…”
Gadis kecil itu menoleh ke pembaringan ayahnya. Menatap ayahnya yang masih diam tak bergerak. Ketika dia menoleh pada si Bungsu, dimatanya kelihatan linangan air.
“Ayah Eka orang baik kan Paman..?”
“Ya. Ayah Eka orang baik…”
“Lalu, kenapa ada orang yang melukainya?”
“Yang melukai orang jahat..”
“Kenapa ayah tak membalas, bukankah ayah juga punya pistol?”
Si Bungsu hampir kehilangan jawab. Anak ini ternyata cerdas sekali.
“Ayah eka tak mau menyakiti orang, meskipun dia bisa berbuat begitu. Nah, karena orang itu jahat, biar paman yang mencarinya”
“Paman akan memukulnya?”
“Ya. Pasti. Paman pasti memukulnya”
“Jangan dipukul paman”
“Kenapa?”
“Dia telah melukai ayah. Orang itu harus pamai lukai pula. Paman bunuh saja, aya paman…”
“Ya…”
“Paman berjanji..?”
“Ya, paman berjanji”
“Akan membunuh orang yang melukai ayah?”
“Ya. Paman akan membunuhnya, percayalah”
Tanpa dia sadari, dia memang berjanji berbuat seperti yang diminta oleh gadis kecil itu.
“Terimakasih paman, terima kasih…” dan anak kecil itu mencium pipi si Bungsu. Yang kiri. Kemudian yang kanan.
“Paman akan sering melihat kami kemari bukan?”
“Ya, paman kan sering kemari”
“Eka dan ibu akan sunyi kalau paman tak kemari…ayah sakit dan tak bisa bermain dengan Eka…sering kemari ya paman…?”
Si Bungsu mengangguk berkali-kali. Kemudian mencium pipi gadis kecil itu. Lalu memberikannya pada Salma. Dan diapun berlalu.
“Kenapa tidak disini saja Uda tinggal?”
Salma bertanya ketika si Bungsu membenahi pakaiannya untuk pindah.
“Demi keamanan Nurdin dan kalian semua, Salma. Dokumen ini nampaknya mengundang bahaya. Kalau saya dan dokumen ini berada disini, saya bisa membayangkan bahwa akan ada saja orang yang akan berusaha mengambilnya dengan cara apapun. Saya tak mau kalian celaka karena ini. Biarkan saya mencari tempat lain. Dari sana saya bisa bebas bergerak”
“Kemana uda akan pindah?”
“Lebih baik engkau tak mengetahuinya Salma. Tapi percayalah, saya akan selalu kemari melihat kalian”.
Dia lalu melangkah ke pembaringan Nurdin. Overste itu sudah sadar dari dua hari yang lalu. Namun dia belum bisa bicara. Belum bisa mengingat apa-apa.
Memang benar apa yang dikatakan dokter dahulu. Bahwa diperlukan waktu yang amat panjang buat istirahat bagi Overste ini.
Si Bungsu menatap temannya itu dengan diam. Nurdin kelihatan menatap padanya. Namun tak ada tanda-tanda bahwa dia mengenal mereka. Si Bungsu memegang tangannya.
“Saya harus pindah dari sini Nurdin. Demi keselamatanmu. Saya tak banyak mengerti tentang tugas-tugas spionase. Tapi saya akan berusaha sekuat mungkin, sebisa saya, untuk membongkar komplotan jual beli wanita ini. Saya akan lanjutkan tugasmu” si Bungsu berkata perlahan. Meskipun dia tahu, ucapannya barangkali takkan dimengerti oleh Nurdin.
Salma menangis terisak. Nurdin menatap si Bungsu dengan diam.
Kemudian si Bungsu memutar tegak. Memandang pada Salma yang menangis terisak disisi pembaringan suaminya. Sementara Eka, gadis kecil mereka tetap tegak menatap disamping ibunya.
Dia tatap wanita itu. Perempuan yang pernah dia cintai sepenuh hati. Dia pegang bahunya.
“Tenangkan hatimu. Nurdin akan sembuh” lalu dia membungkuk. Mengangkat eka kegendongannya.
“Eka jaga ayah baik-baik ya..”
“Paman akan kemana?”
“Paman akan pindah kerumah teman..”
“Apakah kami tidak lagi teman paman?”
Jantung si Bungsu berdegup mendengar tanya gadis kecil ini.
“Kenapa tidak, Eka. Kita tetap berteman bukan?”
“Lalu, kenapa paman pergi?”
“Paman akan mencari orang yang menembak ayah Eka…”
Gadis kecil itu menoleh ke pembaringan ayahnya. Menatap ayahnya yang masih diam tak bergerak. Ketika dia menoleh pada si Bungsu, dimatanya kelihatan linangan air.
“Ayah Eka orang baik kan Paman..?”
“Ya. Ayah Eka orang baik…”
“Lalu, kenapa ada orang yang melukainya?”
“Yang melukai orang jahat..”
“Kenapa ayah tak membalas, bukankah ayah juga punya pistol?”
Si Bungsu hampir kehilangan jawab. Anak ini ternyata cerdas sekali.
“Ayah eka tak mau menyakiti orang, meskipun dia bisa berbuat begitu. Nah, karena orang itu jahat, biar paman yang mencarinya”
“Paman akan memukulnya?”
“Ya. Pasti. Paman pasti memukulnya”
“Jangan dipukul paman”
“Kenapa?”
“Dia telah melukai ayah. Orang itu harus pamai lukai pula. Paman bunuh saja, aya paman…”
“Ya…”
“Paman berjanji..?”
“Ya, paman berjanji”
“Akan membunuh orang yang melukai ayah?”
“Ya. Paman akan membunuhnya, percayalah”
Tanpa dia sadari, dia memang berjanji berbuat seperti yang diminta oleh gadis kecil itu.
“Terimakasih paman, terima kasih…” dan anak kecil itu mencium pipi si Bungsu. Yang kiri. Kemudian yang kanan.
“Paman akan sering melihat kami kemari bukan?”
“Ya, paman kan sering kemari”
“Eka dan ibu akan sunyi kalau paman tak kemari…ayah sakit dan tak bisa bermain dengan Eka…sering kemari ya paman…?”
Si Bungsu mengangguk berkali-kali. Kemudian mencium pipi gadis kecil itu. Lalu memberikannya pada Salma. Dan diapun berlalu.
Tikam Samurai - 269
Dia menginap di Sam Kok Hotel di daerah pelabuhan Anting. Yaitu sekitar tempat dimana Nurdin kena berondong peluru tempo hari.
Seperti yang dia katakan, dia memang tak mengetahui sedikitpun tentang dunia spionase. Tak tahu. Benar-benar tak tahu dia akan dunia yang banyak belitnya itu. Namun dia memang bertekad untuk melanjutkan penyelidikan dan menjalankan pesan Nurdin sesaat setelah dia kena berondong peluru senapan mesin.
Meski tak punya pengetahuan tentang dunia spionase itu, anak muda ini memiliki modal yang amat besar untuk menjadi seorang spion.
Yaitu memiliki daya ingat dan firasat yang tajam sekali. Firasatnya sudah merupakan indera keenam. Yang hampir-hampir bisa memastikan setiap bahaya yang mengintai dirinya.
Dari firasatnya yang amat tajam itu pula yang mengisyaratkan padanya, bahwa sejak dia meninggalkan gedung konsulat, dia telah diikuti orang.
Dalam perjalanan menuju ke hotel dia menoleh ke belakang. Tak ada yang mencurigakan. Banyak mobil yang seiring jalan dengan mereka. Selintas lihat segalanya wajar-wajar saja. Namun tidak demikian perasaan si Bungsu.
Di antara puluhan mobil yang searah dengan taksi yang dia tumpangi, dia yakin ada satu mobil yang sengaja membuntuti taksi yang dia tompangi. Barangkali mobil berwarna merah darah yang berjalan persis setelah taksi ini. Atau barangkali taksi berwarna hitam di belakang mobil merah darah ini? Dia tak tahu dengan pasti. Namun dia ingin mengujinya.
“Berhenti dibawah pohon di depan sana…” katanya pada sopir taksi yang orang melayu. Mobil itu melambat. Kemudian berhenti.
Mobil merah darah itu lewat. Di dalamnya ada tiga orang lelaki. Tak satupun yang menoleh ke arahnya. Kemudian taksi hitam gelap itu juga lewat. Di dalamnya ada seorang Cina bertubuh gemuk. Kegemukannya jelas kelihatan pada wajahnya yang membengkak dan lehernya yang sebesar leher gergasi.
Cina gepuk itu juga tak menoleh padanya. Kemudian dia menoleh ke belakang. Tak ada mobil yang berhenti. Hmm, dia tak yakin.
“Terus…” katanya pada sopir. Dan dia tetap berkeyakinan ada bahaya mengintainya. Taksi itu berhenti di depan hotel Sam Kok. Sebuah hotel bertingkat dua dengan bangunan beton yang kokoh bekas bangunan di zamannya Rafles berkuasa.
Seorang gadis Cina cantik menerimanya dibahagian penerimaan tamu.
“Mau kamar tuan?” tanya gadis itu.
Si Bungsu mengangguk. Meletakkan koper kecilnya di atas meja resepsionis. Gadis Cina itu tersenyum manis padanya sambil mencatat dibuku tamunya. Senyumnya memperlihatkan dua buah lesung pipit di pipinya.
“Nah, mari saya antar. Kamar tuan di tingkat atas” gadis itu berkata sambil mengangkat koper si Bungsu.
“Tidak usah. Biar saya yang membawa koper ini…”
Gadis itu kembali tersenyum. Dan kembali lesung pipit dipipinya kelihatan. Dia melangkah mendahului si Bungsu. dan dia tetap juga dahulu ketika menaiki sebuah tangga batu menuju ke tingkat atas. Si Bungsu yang semula tak menyadari apa-apa karena fikirannya tengah melayang pada orang yang membuntutinya tadi, tak memperhatikan gadis itu.
Namun ketika dua tangga sudah terlangkahi tanpa sengaja dia menoleh ke atas. Gadis itu berada tiga anak tangga di depannya. Dan mukanya menjadi merah takkala terpandang pada betis dan paha gadis Cina itu.
Gadis bertubuh indah itu memakai rok yang tak begitu dalam. Si Bungsu cepat-cepat menundukkan kepala. Menatap anak tangga saja.
Dia seorang lelaki. Bujangan lagi. Betapapun imannya dia, namun dalam saat-saat tertentu, darahnya gemuruh juga melihat hal-hal demikian.
Namun tunduknya yang terus-terusan itu akhirnya membuat dirinya tambah jadi malu. Dia tak tahu gadis itu sudah berhenti. Dia masih melangkah. Gadis itu memutar tubuh menghadap. Dan saat itu si Bungsu menabraknya.
Celakanya, wajahnya justru mengenai wajah gadis Cina yang cantik itu. Dia gelapapan.
“Faam, fa….eh maaf, maaf sorry. Maaf sorry” katanya gugup. Sungguh mati kejadian itu benar-benar tak dia sengaja.
Gadis itu juga bersemu merah mukanya. Perlahan dia berbalik dan membuka pintu kamar.
“Silakan, ini kamar tuan” kata gadis itu sambil mendahului masuk. Si Bungsu menurut seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Gadis itu membuka jendela. Di depan sana, kelihatan laut membentang dan puluhan kapal berayun-ayun dimainkan ombak.
“Kalau panas, kipas angin ini bisa tuan hidupkan. Dan kalau tuan perlu sesuatu, tuan bisa menekan bel itu untuk memanggil pelayan. Untuk ke kamar mandi dan WC tuan terpaksa berjalan ke ujung gang di luar kamar. Tak ada kamar mandi khusus di dalam kamar di hotel ini…”
Dia menginap di Sam Kok Hotel di daerah pelabuhan Anting. Yaitu sekitar tempat dimana Nurdin kena berondong peluru tempo hari.
Seperti yang dia katakan, dia memang tak mengetahui sedikitpun tentang dunia spionase. Tak tahu. Benar-benar tak tahu dia akan dunia yang banyak belitnya itu. Namun dia memang bertekad untuk melanjutkan penyelidikan dan menjalankan pesan Nurdin sesaat setelah dia kena berondong peluru senapan mesin.
Meski tak punya pengetahuan tentang dunia spionase itu, anak muda ini memiliki modal yang amat besar untuk menjadi seorang spion.
Yaitu memiliki daya ingat dan firasat yang tajam sekali. Firasatnya sudah merupakan indera keenam. Yang hampir-hampir bisa memastikan setiap bahaya yang mengintai dirinya.
Dari firasatnya yang amat tajam itu pula yang mengisyaratkan padanya, bahwa sejak dia meninggalkan gedung konsulat, dia telah diikuti orang.
Dalam perjalanan menuju ke hotel dia menoleh ke belakang. Tak ada yang mencurigakan. Banyak mobil yang seiring jalan dengan mereka. Selintas lihat segalanya wajar-wajar saja. Namun tidak demikian perasaan si Bungsu.
Di antara puluhan mobil yang searah dengan taksi yang dia tumpangi, dia yakin ada satu mobil yang sengaja membuntuti taksi yang dia tompangi. Barangkali mobil berwarna merah darah yang berjalan persis setelah taksi ini. Atau barangkali taksi berwarna hitam di belakang mobil merah darah ini? Dia tak tahu dengan pasti. Namun dia ingin mengujinya.
“Berhenti dibawah pohon di depan sana…” katanya pada sopir taksi yang orang melayu. Mobil itu melambat. Kemudian berhenti.
Mobil merah darah itu lewat. Di dalamnya ada tiga orang lelaki. Tak satupun yang menoleh ke arahnya. Kemudian taksi hitam gelap itu juga lewat. Di dalamnya ada seorang Cina bertubuh gemuk. Kegemukannya jelas kelihatan pada wajahnya yang membengkak dan lehernya yang sebesar leher gergasi.
Cina gepuk itu juga tak menoleh padanya. Kemudian dia menoleh ke belakang. Tak ada mobil yang berhenti. Hmm, dia tak yakin.
“Terus…” katanya pada sopir. Dan dia tetap berkeyakinan ada bahaya mengintainya. Taksi itu berhenti di depan hotel Sam Kok. Sebuah hotel bertingkat dua dengan bangunan beton yang kokoh bekas bangunan di zamannya Rafles berkuasa.
Seorang gadis Cina cantik menerimanya dibahagian penerimaan tamu.
“Mau kamar tuan?” tanya gadis itu.
Si Bungsu mengangguk. Meletakkan koper kecilnya di atas meja resepsionis. Gadis Cina itu tersenyum manis padanya sambil mencatat dibuku tamunya. Senyumnya memperlihatkan dua buah lesung pipit di pipinya.
“Nah, mari saya antar. Kamar tuan di tingkat atas” gadis itu berkata sambil mengangkat koper si Bungsu.
“Tidak usah. Biar saya yang membawa koper ini…”
Gadis itu kembali tersenyum. Dan kembali lesung pipit dipipinya kelihatan. Dia melangkah mendahului si Bungsu. dan dia tetap juga dahulu ketika menaiki sebuah tangga batu menuju ke tingkat atas. Si Bungsu yang semula tak menyadari apa-apa karena fikirannya tengah melayang pada orang yang membuntutinya tadi, tak memperhatikan gadis itu.
Namun ketika dua tangga sudah terlangkahi tanpa sengaja dia menoleh ke atas. Gadis itu berada tiga anak tangga di depannya. Dan mukanya menjadi merah takkala terpandang pada betis dan paha gadis Cina itu.
Gadis bertubuh indah itu memakai rok yang tak begitu dalam. Si Bungsu cepat-cepat menundukkan kepala. Menatap anak tangga saja.
Dia seorang lelaki. Bujangan lagi. Betapapun imannya dia, namun dalam saat-saat tertentu, darahnya gemuruh juga melihat hal-hal demikian.
Namun tunduknya yang terus-terusan itu akhirnya membuat dirinya tambah jadi malu. Dia tak tahu gadis itu sudah berhenti. Dia masih melangkah. Gadis itu memutar tubuh menghadap. Dan saat itu si Bungsu menabraknya.
Celakanya, wajahnya justru mengenai wajah gadis Cina yang cantik itu. Dia gelapapan.
“Faam, fa….eh maaf, maaf sorry. Maaf sorry” katanya gugup. Sungguh mati kejadian itu benar-benar tak dia sengaja.
Gadis itu juga bersemu merah mukanya. Perlahan dia berbalik dan membuka pintu kamar.
“Silakan, ini kamar tuan” kata gadis itu sambil mendahului masuk. Si Bungsu menurut seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Gadis itu membuka jendela. Di depan sana, kelihatan laut membentang dan puluhan kapal berayun-ayun dimainkan ombak.
“Kalau panas, kipas angin ini bisa tuan hidupkan. Dan kalau tuan perlu sesuatu, tuan bisa menekan bel itu untuk memanggil pelayan. Untuk ke kamar mandi dan WC tuan terpaksa berjalan ke ujung gang di luar kamar. Tak ada kamar mandi khusus di dalam kamar di hotel ini…”
Seperti yang dia katakan, dia memang tak mengetahui sedikitpun tentang dunia spionase. Tak tahu. Benar-benar tak tahu dia akan dunia yang banyak belitnya itu. Namun dia memang bertekad untuk melanjutkan penyelidikan dan menjalankan pesan Nurdin sesaat setelah dia kena berondong peluru senapan mesin.
Meski tak punya pengetahuan tentang dunia spionase itu, anak muda ini memiliki modal yang amat besar untuk menjadi seorang spion.
Yaitu memiliki daya ingat dan firasat yang tajam sekali. Firasatnya sudah merupakan indera keenam. Yang hampir-hampir bisa memastikan setiap bahaya yang mengintai dirinya.
Dari firasatnya yang amat tajam itu pula yang mengisyaratkan padanya, bahwa sejak dia meninggalkan gedung konsulat, dia telah diikuti orang.
Dalam perjalanan menuju ke hotel dia menoleh ke belakang. Tak ada yang mencurigakan. Banyak mobil yang seiring jalan dengan mereka. Selintas lihat segalanya wajar-wajar saja. Namun tidak demikian perasaan si Bungsu.
Di antara puluhan mobil yang searah dengan taksi yang dia tumpangi, dia yakin ada satu mobil yang sengaja membuntuti taksi yang dia tompangi. Barangkali mobil berwarna merah darah yang berjalan persis setelah taksi ini. Atau barangkali taksi berwarna hitam di belakang mobil merah darah ini? Dia tak tahu dengan pasti. Namun dia ingin mengujinya.
“Berhenti dibawah pohon di depan sana…” katanya pada sopir taksi yang orang melayu. Mobil itu melambat. Kemudian berhenti.
Mobil merah darah itu lewat. Di dalamnya ada tiga orang lelaki. Tak satupun yang menoleh ke arahnya. Kemudian taksi hitam gelap itu juga lewat. Di dalamnya ada seorang Cina bertubuh gemuk. Kegemukannya jelas kelihatan pada wajahnya yang membengkak dan lehernya yang sebesar leher gergasi.
Cina gepuk itu juga tak menoleh padanya. Kemudian dia menoleh ke belakang. Tak ada mobil yang berhenti. Hmm, dia tak yakin.
“Terus…” katanya pada sopir. Dan dia tetap berkeyakinan ada bahaya mengintainya. Taksi itu berhenti di depan hotel Sam Kok. Sebuah hotel bertingkat dua dengan bangunan beton yang kokoh bekas bangunan di zamannya Rafles berkuasa.
Seorang gadis Cina cantik menerimanya dibahagian penerimaan tamu.
“Mau kamar tuan?” tanya gadis itu.
Si Bungsu mengangguk. Meletakkan koper kecilnya di atas meja resepsionis. Gadis Cina itu tersenyum manis padanya sambil mencatat dibuku tamunya. Senyumnya memperlihatkan dua buah lesung pipit di pipinya.
“Nah, mari saya antar. Kamar tuan di tingkat atas” gadis itu berkata sambil mengangkat koper si Bungsu.
“Tidak usah. Biar saya yang membawa koper ini…”
Gadis itu kembali tersenyum. Dan kembali lesung pipit dipipinya kelihatan. Dia melangkah mendahului si Bungsu. dan dia tetap juga dahulu ketika menaiki sebuah tangga batu menuju ke tingkat atas. Si Bungsu yang semula tak menyadari apa-apa karena fikirannya tengah melayang pada orang yang membuntutinya tadi, tak memperhatikan gadis itu.
Namun ketika dua tangga sudah terlangkahi tanpa sengaja dia menoleh ke atas. Gadis itu berada tiga anak tangga di depannya. Dan mukanya menjadi merah takkala terpandang pada betis dan paha gadis Cina itu.
Gadis bertubuh indah itu memakai rok yang tak begitu dalam. Si Bungsu cepat-cepat menundukkan kepala. Menatap anak tangga saja.
Dia seorang lelaki. Bujangan lagi. Betapapun imannya dia, namun dalam saat-saat tertentu, darahnya gemuruh juga melihat hal-hal demikian.
Namun tunduknya yang terus-terusan itu akhirnya membuat dirinya tambah jadi malu. Dia tak tahu gadis itu sudah berhenti. Dia masih melangkah. Gadis itu memutar tubuh menghadap. Dan saat itu si Bungsu menabraknya.
Celakanya, wajahnya justru mengenai wajah gadis Cina yang cantik itu. Dia gelapapan.
“Faam, fa….eh maaf, maaf sorry. Maaf sorry” katanya gugup. Sungguh mati kejadian itu benar-benar tak dia sengaja.
Gadis itu juga bersemu merah mukanya. Perlahan dia berbalik dan membuka pintu kamar.
“Silakan, ini kamar tuan” kata gadis itu sambil mendahului masuk. Si Bungsu menurut seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Gadis itu membuka jendela. Di depan sana, kelihatan laut membentang dan puluhan kapal berayun-ayun dimainkan ombak.
“Kalau panas, kipas angin ini bisa tuan hidupkan. Dan kalau tuan perlu sesuatu, tuan bisa menekan bel itu untuk memanggil pelayan. Untuk ke kamar mandi dan WC tuan terpaksa berjalan ke ujung gang di luar kamar. Tak ada kamar mandi khusus di dalam kamar di hotel ini…”
Tikam Samurai - 270
Gadis itu menatap si Bungsu. si Bungsu meletakkan koper kecilnya di tempat tidur.
“Ada yang tuan perlukan?”
“Buat sementara tidak. Terimakasih”
Gadis itu mengangguk, kemudian melangkah keluar. Menutupkan pintu dan sesaat masih sempat menatap pada si Bungsu yang juga tengah menatap padanya.
Kemudian gadis itu lenyap ketika pintu ditutupkan. Si Bungsu masih tetap tegak sesaat. Kemudian membuka sepatu. Membuka baju. Lalu berjalan ke jendela. Menatap ke laut. Menatap pelabuhan yang ramai dan hinggar bingar. Menatap kapal yang membuang sauh di kejauhan.
Kapal-kapal tak satupun yang merapat ke dermaga. Laut di sekitar dermaga nampaknya terlalu dangkal untuk dirapati. Karenanya kapal-kapal terpaksa buang jangkar sekitar setengah mil di teluk tersebut.
Di bawah, dilihatnya jalan raya membentang dengan mobil yang berseliweran. Dan itu di sana, sekitar lima ratus meter dari hotelnya, dia lihat jalan ke daerah pelabuhan itu.
Di sanalah mobil mereka diberondong peluru. Ingat akan Nurdin yang terbaring di gedung konsulat itu, si Bungsu ingat pula pada dokumen yang ada padanya. Dia membiarkan jendela tetap terbuka. Kemudian berjalan ke tempat tidur. Mengambil koper kecilnya. Dalam koper kecil itulah semua miliknya tersimpan. Mulai dari beberapa stel pakaian, termasuk dokumen yang mereka ambil dari rumah Nurdin di Brash Basah Road.
Dokumen itu dia letakkan di tempat tidur. Kemudian memasukkan kopernya ke lemari. Sebelum berbaring dia mengunci pintu kamar. Kemudian membuka samurai-samurai kecil yang terikat secara khusus di lengan kanannya.
Dan dia segera ingat pada Tokugawa. Bekas kepala Jakuza itulah yang mengajarnya mempergunakan samurai-samurai kecil ini.
“Ada saatnya kelak, dimana engkau tak mungkin membawa-bawa samurai panjang kemana engkau pergi Bungsu-san. Namun demikian, bukan berarti bahaya meninggalkan kita pula. Orang seperti engkau, akan tetap saja banyak musuh.
Saya yakin, permusuhan datangnya bukan dari dirimu. Tapi dari pihak orang lain. Mungkin karena niat jahatnya engkau halangi. Mungkin karena dia iri padamu. Tapi yang jelas, engkau akan tetap punya musuh. Sebab apa yang engkau jalani saat ini, telah kulalui ketika muda.
Nah, disaat seperti itu Bungsu-san, engkau memerlukan senjata khusus untuk membela dirimu. Ada berbagai cara orang membela dirinya. Ada yang belajar Karate dan Yudo, barangkali dinegerimu orang belajar silat. Ada pula yang memakai senjata api. Dan di tiongkok maupun di negeri Jepang ini, tak sedikit yang mempergunakan samurai-samurai kecil ini sebagai pelindung dirinya.
Samurai ini sangat efektif. Tak menimbulkan bunyi. Dan kalau dia diikatkan secara khusus di lengan, ditutup dengan lengan baju, maka tak seorangpun yang menyangka bahwa engkau memiliki senjata ampuh”
Dan Tokugawa memang mengajarkan si Bungsu mempergunakan samurai yang panjangnya tak sampai sejengkal dengan besar sekitar sejari. Selain itu dari Kenji dia belajar dasar-dasar Yudo dan Karate.
Dia kurang tertarik pada Yudo dan Karate. Sebab dahulupun ketika ayahnya menyuruh belajar silat, dia juga sangat tak tertarik. Ternyata samurai-samurai kecil itu telah menolongnya sangat banyak ketika melawan komplotan penjual wanita beberapa hari yang lalu di jalan Brash Basah.
Samurai-samurai kecil itu dia letakkan diatas meja. Lalu dia berbaring. Membalik-balik dokumen itu. Untung saja dokumen itu tertulis dalam bahasa Indonesia. Dia melihat beberapa peta. Beberapa foto. Beberapa alamat dan nama-nama. Peta kota Singapura yang ditandai. Kemudian peta kota Jakarta yang juga ditandai di beberapa bahagian.
Dan saat itu pula pintu kamarnya terbuka dengan paksa. Dia terlonjak bangun. Namun pada saat yang sama, seorang lelaki yang lebih mirip babi gemuk, sudah tegak disisinya. Cina gemuk yang tadi berada dalam taksi hitam pekat!
Aneh, segemuk ini tubuhnya, kenapa dia tak mendengar langkah Cina itu ketika naik. Dan lagi pula, buku-buku tangannya nampak membengkak. Tak pelak lagi, ketika tadi dia mendapatkan pintu kamar anak muda ini terkunci, dia telah mempergunakan buku tangannya memukul hancur pintu tersebut.
Sebelum si Bungsu dapat berbuat lebih banyak, tangan Cina itu yang besarnya lebih kurang sebesar paha si Bungsu, terayun. Si Bungsu menunduk. Namun tangan gemuk seperti perut babi itu alangkah cepatnya bergerak.
Kepala si Bungsu kena gebrak. Anak muda itu segera terbanting. Pukulan itu bukan main dahsyatnya. Tubuh si Bungsu terangkat, terlambung dan menabrak lemari. Kaca lemari hancur. Tubuh si Bungsu terpuruk kedalamnya. Terlipat dan tak bergerak!
Cina gemuk itu benar-benar yakin pada pukulannya. Dia tak acuh saja pada si Bungsu. dengan tenang dia mengumpulkan dokumen yang tadi di baca si Bungsu yang kini berserakan di lantai. Ketika beberapa orang yang menginap di kamar sebelah menyebelah melihat ke kamar itu, Cina gemuk itu menoleh pada mereka sambil tersenyum, dan senyumnya memperlihatkan giginya yang kuning. Mungkin ada sekitar dua kilo taik gigi bersarang digiginya yang setengah gondrong itu.
Gadis itu menatap si Bungsu. si Bungsu meletakkan koper kecilnya di tempat tidur.
“Ada yang tuan perlukan?”
“Buat sementara tidak. Terimakasih”
Gadis itu mengangguk, kemudian melangkah keluar. Menutupkan pintu dan sesaat masih sempat menatap pada si Bungsu yang juga tengah menatap padanya.
Kemudian gadis itu lenyap ketika pintu ditutupkan. Si Bungsu masih tetap tegak sesaat. Kemudian membuka sepatu. Membuka baju. Lalu berjalan ke jendela. Menatap ke laut. Menatap pelabuhan yang ramai dan hinggar bingar. Menatap kapal yang membuang sauh di kejauhan.
Kapal-kapal tak satupun yang merapat ke dermaga. Laut di sekitar dermaga nampaknya terlalu dangkal untuk dirapati. Karenanya kapal-kapal terpaksa buang jangkar sekitar setengah mil di teluk tersebut.
Di bawah, dilihatnya jalan raya membentang dengan mobil yang berseliweran. Dan itu di sana, sekitar lima ratus meter dari hotelnya, dia lihat jalan ke daerah pelabuhan itu.
Di sanalah mobil mereka diberondong peluru. Ingat akan Nurdin yang terbaring di gedung konsulat itu, si Bungsu ingat pula pada dokumen yang ada padanya. Dia membiarkan jendela tetap terbuka. Kemudian berjalan ke tempat tidur. Mengambil koper kecilnya. Dalam koper kecil itulah semua miliknya tersimpan. Mulai dari beberapa stel pakaian, termasuk dokumen yang mereka ambil dari rumah Nurdin di Brash Basah Road.
Dokumen itu dia letakkan di tempat tidur. Kemudian memasukkan kopernya ke lemari. Sebelum berbaring dia mengunci pintu kamar. Kemudian membuka samurai-samurai kecil yang terikat secara khusus di lengan kanannya.
Dan dia segera ingat pada Tokugawa. Bekas kepala Jakuza itulah yang mengajarnya mempergunakan samurai-samurai kecil ini.
“Ada saatnya kelak, dimana engkau tak mungkin membawa-bawa samurai panjang kemana engkau pergi Bungsu-san. Namun demikian, bukan berarti bahaya meninggalkan kita pula. Orang seperti engkau, akan tetap saja banyak musuh.
Saya yakin, permusuhan datangnya bukan dari dirimu. Tapi dari pihak orang lain. Mungkin karena niat jahatnya engkau halangi. Mungkin karena dia iri padamu. Tapi yang jelas, engkau akan tetap punya musuh. Sebab apa yang engkau jalani saat ini, telah kulalui ketika muda.
Nah, disaat seperti itu Bungsu-san, engkau memerlukan senjata khusus untuk membela dirimu. Ada berbagai cara orang membela dirinya. Ada yang belajar Karate dan Yudo, barangkali dinegerimu orang belajar silat. Ada pula yang memakai senjata api. Dan di tiongkok maupun di negeri Jepang ini, tak sedikit yang mempergunakan samurai-samurai kecil ini sebagai pelindung dirinya.
Samurai ini sangat efektif. Tak menimbulkan bunyi. Dan kalau dia diikatkan secara khusus di lengan, ditutup dengan lengan baju, maka tak seorangpun yang menyangka bahwa engkau memiliki senjata ampuh”
Dan Tokugawa memang mengajarkan si Bungsu mempergunakan samurai yang panjangnya tak sampai sejengkal dengan besar sekitar sejari. Selain itu dari Kenji dia belajar dasar-dasar Yudo dan Karate.
Dia kurang tertarik pada Yudo dan Karate. Sebab dahulupun ketika ayahnya menyuruh belajar silat, dia juga sangat tak tertarik. Ternyata samurai-samurai kecil itu telah menolongnya sangat banyak ketika melawan komplotan penjual wanita beberapa hari yang lalu di jalan Brash Basah.
Samurai-samurai kecil itu dia letakkan diatas meja. Lalu dia berbaring. Membalik-balik dokumen itu. Untung saja dokumen itu tertulis dalam bahasa Indonesia. Dia melihat beberapa peta. Beberapa foto. Beberapa alamat dan nama-nama. Peta kota Singapura yang ditandai. Kemudian peta kota Jakarta yang juga ditandai di beberapa bahagian.
Dan saat itu pula pintu kamarnya terbuka dengan paksa. Dia terlonjak bangun. Namun pada saat yang sama, seorang lelaki yang lebih mirip babi gemuk, sudah tegak disisinya. Cina gemuk yang tadi berada dalam taksi hitam pekat!
Aneh, segemuk ini tubuhnya, kenapa dia tak mendengar langkah Cina itu ketika naik. Dan lagi pula, buku-buku tangannya nampak membengkak. Tak pelak lagi, ketika tadi dia mendapatkan pintu kamar anak muda ini terkunci, dia telah mempergunakan buku tangannya memukul hancur pintu tersebut.
Sebelum si Bungsu dapat berbuat lebih banyak, tangan Cina itu yang besarnya lebih kurang sebesar paha si Bungsu, terayun. Si Bungsu menunduk. Namun tangan gemuk seperti perut babi itu alangkah cepatnya bergerak.
Kepala si Bungsu kena gebrak. Anak muda itu segera terbanting. Pukulan itu bukan main dahsyatnya. Tubuh si Bungsu terangkat, terlambung dan menabrak lemari. Kaca lemari hancur. Tubuh si Bungsu terpuruk kedalamnya. Terlipat dan tak bergerak!
Cina gemuk itu benar-benar yakin pada pukulannya. Dia tak acuh saja pada si Bungsu. dengan tenang dia mengumpulkan dokumen yang tadi di baca si Bungsu yang kini berserakan di lantai. Ketika beberapa orang yang menginap di kamar sebelah menyebelah melihat ke kamar itu, Cina gemuk itu menoleh pada mereka sambil tersenyum, dan senyumnya memperlihatkan giginya yang kuning. Mungkin ada sekitar dua kilo taik gigi bersarang digiginya yang setengah gondrong itu.
“Ada yang tuan perlukan?”
“Buat sementara tidak. Terimakasih”
Gadis itu mengangguk, kemudian melangkah keluar. Menutupkan pintu dan sesaat masih sempat menatap pada si Bungsu yang juga tengah menatap padanya.
Kemudian gadis itu lenyap ketika pintu ditutupkan. Si Bungsu masih tetap tegak sesaat. Kemudian membuka sepatu. Membuka baju. Lalu berjalan ke jendela. Menatap ke laut. Menatap pelabuhan yang ramai dan hinggar bingar. Menatap kapal yang membuang sauh di kejauhan.
Kapal-kapal tak satupun yang merapat ke dermaga. Laut di sekitar dermaga nampaknya terlalu dangkal untuk dirapati. Karenanya kapal-kapal terpaksa buang jangkar sekitar setengah mil di teluk tersebut.
Di bawah, dilihatnya jalan raya membentang dengan mobil yang berseliweran. Dan itu di sana, sekitar lima ratus meter dari hotelnya, dia lihat jalan ke daerah pelabuhan itu.
Di sanalah mobil mereka diberondong peluru. Ingat akan Nurdin yang terbaring di gedung konsulat itu, si Bungsu ingat pula pada dokumen yang ada padanya. Dia membiarkan jendela tetap terbuka. Kemudian berjalan ke tempat tidur. Mengambil koper kecilnya. Dalam koper kecil itulah semua miliknya tersimpan. Mulai dari beberapa stel pakaian, termasuk dokumen yang mereka ambil dari rumah Nurdin di Brash Basah Road.
Dokumen itu dia letakkan di tempat tidur. Kemudian memasukkan kopernya ke lemari. Sebelum berbaring dia mengunci pintu kamar. Kemudian membuka samurai-samurai kecil yang terikat secara khusus di lengan kanannya.
Dan dia segera ingat pada Tokugawa. Bekas kepala Jakuza itulah yang mengajarnya mempergunakan samurai-samurai kecil ini.
“Ada saatnya kelak, dimana engkau tak mungkin membawa-bawa samurai panjang kemana engkau pergi Bungsu-san. Namun demikian, bukan berarti bahaya meninggalkan kita pula. Orang seperti engkau, akan tetap saja banyak musuh.
Saya yakin, permusuhan datangnya bukan dari dirimu. Tapi dari pihak orang lain. Mungkin karena niat jahatnya engkau halangi. Mungkin karena dia iri padamu. Tapi yang jelas, engkau akan tetap punya musuh. Sebab apa yang engkau jalani saat ini, telah kulalui ketika muda.
Nah, disaat seperti itu Bungsu-san, engkau memerlukan senjata khusus untuk membela dirimu. Ada berbagai cara orang membela dirinya. Ada yang belajar Karate dan Yudo, barangkali dinegerimu orang belajar silat. Ada pula yang memakai senjata api. Dan di tiongkok maupun di negeri Jepang ini, tak sedikit yang mempergunakan samurai-samurai kecil ini sebagai pelindung dirinya.
Samurai ini sangat efektif. Tak menimbulkan bunyi. Dan kalau dia diikatkan secara khusus di lengan, ditutup dengan lengan baju, maka tak seorangpun yang menyangka bahwa engkau memiliki senjata ampuh”
Dan Tokugawa memang mengajarkan si Bungsu mempergunakan samurai yang panjangnya tak sampai sejengkal dengan besar sekitar sejari. Selain itu dari Kenji dia belajar dasar-dasar Yudo dan Karate.
Dia kurang tertarik pada Yudo dan Karate. Sebab dahulupun ketika ayahnya menyuruh belajar silat, dia juga sangat tak tertarik. Ternyata samurai-samurai kecil itu telah menolongnya sangat banyak ketika melawan komplotan penjual wanita beberapa hari yang lalu di jalan Brash Basah.
Samurai-samurai kecil itu dia letakkan diatas meja. Lalu dia berbaring. Membalik-balik dokumen itu. Untung saja dokumen itu tertulis dalam bahasa Indonesia. Dia melihat beberapa peta. Beberapa foto. Beberapa alamat dan nama-nama. Peta kota Singapura yang ditandai. Kemudian peta kota Jakarta yang juga ditandai di beberapa bahagian.
Dan saat itu pula pintu kamarnya terbuka dengan paksa. Dia terlonjak bangun. Namun pada saat yang sama, seorang lelaki yang lebih mirip babi gemuk, sudah tegak disisinya. Cina gemuk yang tadi berada dalam taksi hitam pekat!
Aneh, segemuk ini tubuhnya, kenapa dia tak mendengar langkah Cina itu ketika naik. Dan lagi pula, buku-buku tangannya nampak membengkak. Tak pelak lagi, ketika tadi dia mendapatkan pintu kamar anak muda ini terkunci, dia telah mempergunakan buku tangannya memukul hancur pintu tersebut.
Sebelum si Bungsu dapat berbuat lebih banyak, tangan Cina itu yang besarnya lebih kurang sebesar paha si Bungsu, terayun. Si Bungsu menunduk. Namun tangan gemuk seperti perut babi itu alangkah cepatnya bergerak.
Kepala si Bungsu kena gebrak. Anak muda itu segera terbanting. Pukulan itu bukan main dahsyatnya. Tubuh si Bungsu terangkat, terlambung dan menabrak lemari. Kaca lemari hancur. Tubuh si Bungsu terpuruk kedalamnya. Terlipat dan tak bergerak!
Cina gemuk itu benar-benar yakin pada pukulannya. Dia tak acuh saja pada si Bungsu. dengan tenang dia mengumpulkan dokumen yang tadi di baca si Bungsu yang kini berserakan di lantai. Ketika beberapa orang yang menginap di kamar sebelah menyebelah melihat ke kamar itu, Cina gemuk itu menoleh pada mereka sambil tersenyum, dan senyumnya memperlihatkan giginya yang kuning. Mungkin ada sekitar dua kilo taik gigi bersarang digiginya yang setengah gondrong itu.
Tikam Samurai - 271
“Tak ada apa-apa la. Hanya sikit gelut-gelut. We punya kawan bobok dalam lemali…he…he” Cina itu coba menjelaskan pada pengunjung di pintu kamar. Para pengunjung tak diundang itu cepat-cepat menarik diri. Masuk ke kamar mereka. Takut dibawa serta pula dalam “gelut-gelut” seperti yang dikatakan raksasa sipit itu. Dan takut kalau disuruh tidur pula dalam lemari. Hih!
Selesai membenahi dokumen, Cina gemuk itu pula berjalan kepintu tanpa menoleh pada tubuh si Bungsu yang entah hidup entah sudah berpulang ke akhirat. Dia melangkah sambil mulutnya dimonyongkan. Lalu terdengar siulnya perlahan seperti bunyi peluit kapal pecah.
Dan mungkin karena siul maut itu pula si Bungsu yang “tidur” dalam lemari itu mulai menggoyangkan kepala.
Cina gemuk itu turun ke jenjang. Si Bungsu keluar dari lemari. Bahunya luka dimakan kaca. Kepalanya berdenyut-denyut. Sempat dua kali aku dihantam Cina itu, maka akupun sampailah di jembatan Siratol Mustaqim, pikirnya.
Cina itu berpapasan dengan gadis yang tadi mengantar si Bungsu ke kamarnya.
Ternyata dia mendengar suara ribut. Karena masih ada tamu, dia tak sempat ke atas. Kini baru bisa. Dan dia berpapasan dengan Cina gemuk itu. Cina gemuk itu menghentikan siulnya yang mirip kapal retak tersebut. Tersenyum, ah lebih tepat dikatakan nyengir, kepada gadis cantik itu.
“Ada apa ribut di atas?” tanya gadis itu sambil tetap melangkah ke atas. Namun tiba-tiba tubuhnya tersentak. Cina gemuk itu menyentakkan tangan si gadis, dan tubuh gadis itu jatuh kepelukannya. Si gemuk hanya memeluknya dengan sebelah tangan. Tangan kiri. Seperti memeluk boneka kecil dari plastik saja.
“Tak ada libut. Hanya sikit gelut-gelut..” sehabis berkata begini, si gemuk mengirimkan sebuah sun kepipi gadis cantik ini.
Bukan main murka dan berangnya gadis itu, dia meludahi muka si gemuk yang kayak babi itu. Ludahnya mendarat dihidung si Cina. Tapi cina gemuk itu tak berang. Malah tertawa senang. Dia lepaskan gadis itu. Kemudian menghapus ludah di hidungnya. Lalu menjilatnya. Gila!
Gadis itu berlari ke atas. Melihat pintu kamar anak muda tadi hancur. Lalu masuk, dan saat itu dia hanya melihat punggung anak muda itu saja ketika yang terakhir ini melompat dari jendela tingkat dua itu ke jalan di depan hotel di bawah sana!
Gadis itu memburu, melihat ke bawah kelihatan parkir taksi hitam pekat yang tadi ditompangi babi gemuk itu. Tapi anak muda yang baru melompat ke bawah itu tak dia lihat. Dia balik lagi ke bawah.
Sementara itu, si gemuk itu sudah sampai di Lobby hotel. Dengan gerakkan seperti babi bunting, dia menuju ke pintu. Di pintu ada tamu yang masuk dan berjalan ke arahnya. Dan tiba-tiba Cina itu tertegak. Dia mengernyitkan kening. Salah lihatkah dia?
Tamu yang baru masuk ini mirip sekali dengan anak muda yang tadi dia gelut-gelut dan dia suruh tidur dalam lemari. Salahkah dia?
Tamu itu tersenyum padanya. Dan tak salah lagi, memang anak muda tadi! Tapi demi perutnya yang gendut, kenapa anak muda itu bisa berada disini?
Dan saat itu gadis anak pemilik hotel itu sampai pula di sana. Dia menatap pada anak muda yang tegak menghadang di tengah pintu. Kedua orang itu mirip seperti perbandingan kerbau dengan kambing!
Tapi nampaknya Cina gemuk itu memiliki saraf baja dan rasa humor yang tinggi juga. Dia segera saja mendahului menegur si Bungsu.
“He, ketemu lagi! Tadi tidul dalam lemali. Cekalang cudah mangun. Haiyya, cincaila..”
Tumbung juga si gendut ini, sumpah si Bungsu dalam hati. Dan si gendut itu berjalan ke arahnya.
Si Bungsu tiba-tiba menyerang. Dia tak ingin didahului oleh si gendut itu. Dia sudah merasakan akibatnya. Untung saja yang kena adalah dirinya. Yang sudah terlatih bertahun-tahun. Kalau orang lain, dia yakin sudah tiba di akhirat.
Makanya kini dia membuka serangan. Dia hantam perut gendut itu dengan pukulan karate yang dia pelajari dari Kenji. Hop! Mendarat persis tentang pusat. Cina itu tetap tegak. Malah tersenyum. Pukulannya seperti menerpa karet yang kenyal. Memantul kembali.
Sebuah lagi puklan, kini menuju tempat yang mematikan. Yaitu tentang jantung. Bukankah menurut Kenji, dada bahagian jantung adalah tempat yang paling lemah dalam tubuh? Tempat itu bisa mematikan kalau dipukul dengan kuat dan dengan kecepatan yang penuh perhitungan.
Ah tentang kekuatan, cepat dan penuh perhitungan, dia tak usah malu. Dia sudah ahli. Maka pukulan itupun mendarat. Tepat di tentang jantung Cina gendut itu. Dan laknatnya, pukulannya memental lagi. Dan jahanamnya, Cina itu ngomong setelah kena pukul:
“Haaayaaa, jangan gelut-gelut dimuka olang lamailah kawaaan. Malu kita dilihat olaang. Masak sudah besal masih gelut-gelut”
Syetan. Benar-benar syetan Cina gemuk ini. Dia sudah memukul dengan jurus mematikan, dengan penuh perhitungan dan penuh kecepatan, ternyata dicemoohkan sebagai gelut-gelut saja. Muka si Bungsu jadi merah padam. Dan Cina itu berjalan terus ke pintu.
“Tak ada apa-apa la. Hanya sikit gelut-gelut. We punya kawan bobok dalam lemali…he…he” Cina itu coba menjelaskan pada pengunjung di pintu kamar. Para pengunjung tak diundang itu cepat-cepat menarik diri. Masuk ke kamar mereka. Takut dibawa serta pula dalam “gelut-gelut” seperti yang dikatakan raksasa sipit itu. Dan takut kalau disuruh tidur pula dalam lemari. Hih!
Selesai membenahi dokumen, Cina gemuk itu pula berjalan kepintu tanpa menoleh pada tubuh si Bungsu yang entah hidup entah sudah berpulang ke akhirat. Dia melangkah sambil mulutnya dimonyongkan. Lalu terdengar siulnya perlahan seperti bunyi peluit kapal pecah.
Dan mungkin karena siul maut itu pula si Bungsu yang “tidur” dalam lemari itu mulai menggoyangkan kepala.
Cina gemuk itu turun ke jenjang. Si Bungsu keluar dari lemari. Bahunya luka dimakan kaca. Kepalanya berdenyut-denyut. Sempat dua kali aku dihantam Cina itu, maka akupun sampailah di jembatan Siratol Mustaqim, pikirnya.
Cina itu berpapasan dengan gadis yang tadi mengantar si Bungsu ke kamarnya.
Ternyata dia mendengar suara ribut. Karena masih ada tamu, dia tak sempat ke atas. Kini baru bisa. Dan dia berpapasan dengan Cina gemuk itu. Cina gemuk itu menghentikan siulnya yang mirip kapal retak tersebut. Tersenyum, ah lebih tepat dikatakan nyengir, kepada gadis cantik itu.
“Ada apa ribut di atas?” tanya gadis itu sambil tetap melangkah ke atas. Namun tiba-tiba tubuhnya tersentak. Cina gemuk itu menyentakkan tangan si gadis, dan tubuh gadis itu jatuh kepelukannya. Si gemuk hanya memeluknya dengan sebelah tangan. Tangan kiri. Seperti memeluk boneka kecil dari plastik saja.
“Tak ada libut. Hanya sikit gelut-gelut..” sehabis berkata begini, si gemuk mengirimkan sebuah sun kepipi gadis cantik ini.
Bukan main murka dan berangnya gadis itu, dia meludahi muka si gemuk yang kayak babi itu. Ludahnya mendarat dihidung si Cina. Tapi cina gemuk itu tak berang. Malah tertawa senang. Dia lepaskan gadis itu. Kemudian menghapus ludah di hidungnya. Lalu menjilatnya. Gila!
Gadis itu berlari ke atas. Melihat pintu kamar anak muda tadi hancur. Lalu masuk, dan saat itu dia hanya melihat punggung anak muda itu saja ketika yang terakhir ini melompat dari jendela tingkat dua itu ke jalan di depan hotel di bawah sana!
Gadis itu memburu, melihat ke bawah kelihatan parkir taksi hitam pekat yang tadi ditompangi babi gemuk itu. Tapi anak muda yang baru melompat ke bawah itu tak dia lihat. Dia balik lagi ke bawah.
Sementara itu, si gemuk itu sudah sampai di Lobby hotel. Dengan gerakkan seperti babi bunting, dia menuju ke pintu. Di pintu ada tamu yang masuk dan berjalan ke arahnya. Dan tiba-tiba Cina itu tertegak. Dia mengernyitkan kening. Salah lihatkah dia?
Tamu yang baru masuk ini mirip sekali dengan anak muda yang tadi dia gelut-gelut dan dia suruh tidur dalam lemari. Salahkah dia?
Tamu itu tersenyum padanya. Dan tak salah lagi, memang anak muda tadi! Tapi demi perutnya yang gendut, kenapa anak muda itu bisa berada disini?
Dan saat itu gadis anak pemilik hotel itu sampai pula di sana. Dia menatap pada anak muda yang tegak menghadang di tengah pintu. Kedua orang itu mirip seperti perbandingan kerbau dengan kambing!
Tapi nampaknya Cina gemuk itu memiliki saraf baja dan rasa humor yang tinggi juga. Dia segera saja mendahului menegur si Bungsu.
“He, ketemu lagi! Tadi tidul dalam lemali. Cekalang cudah mangun. Haiyya, cincaila..”
Tumbung juga si gendut ini, sumpah si Bungsu dalam hati. Dan si gendut itu berjalan ke arahnya.
Si Bungsu tiba-tiba menyerang. Dia tak ingin didahului oleh si gendut itu. Dia sudah merasakan akibatnya. Untung saja yang kena adalah dirinya. Yang sudah terlatih bertahun-tahun. Kalau orang lain, dia yakin sudah tiba di akhirat.
Makanya kini dia membuka serangan. Dia hantam perut gendut itu dengan pukulan karate yang dia pelajari dari Kenji. Hop! Mendarat persis tentang pusat. Cina itu tetap tegak. Malah tersenyum. Pukulannya seperti menerpa karet yang kenyal. Memantul kembali.
Sebuah lagi puklan, kini menuju tempat yang mematikan. Yaitu tentang jantung. Bukankah menurut Kenji, dada bahagian jantung adalah tempat yang paling lemah dalam tubuh? Tempat itu bisa mematikan kalau dipukul dengan kuat dan dengan kecepatan yang penuh perhitungan.
Ah tentang kekuatan, cepat dan penuh perhitungan, dia tak usah malu. Dia sudah ahli. Maka pukulan itupun mendarat. Tepat di tentang jantung Cina gendut itu. Dan laknatnya, pukulannya memental lagi. Dan jahanamnya, Cina itu ngomong setelah kena pukul:
“Haaayaaa, jangan gelut-gelut dimuka olang lamailah kawaaan. Malu kita dilihat olaang. Masak sudah besal masih gelut-gelut”
Syetan. Benar-benar syetan Cina gemuk ini. Dia sudah memukul dengan jurus mematikan, dengan penuh perhitungan dan penuh kecepatan, ternyata dicemoohkan sebagai gelut-gelut saja. Muka si Bungsu jadi merah padam. Dan Cina itu berjalan terus ke pintu.
Selesai membenahi dokumen, Cina gemuk itu pula berjalan kepintu tanpa menoleh pada tubuh si Bungsu yang entah hidup entah sudah berpulang ke akhirat. Dia melangkah sambil mulutnya dimonyongkan. Lalu terdengar siulnya perlahan seperti bunyi peluit kapal pecah.
Dan mungkin karena siul maut itu pula si Bungsu yang “tidur” dalam lemari itu mulai menggoyangkan kepala.
Cina gemuk itu turun ke jenjang. Si Bungsu keluar dari lemari. Bahunya luka dimakan kaca. Kepalanya berdenyut-denyut. Sempat dua kali aku dihantam Cina itu, maka akupun sampailah di jembatan Siratol Mustaqim, pikirnya.
Cina itu berpapasan dengan gadis yang tadi mengantar si Bungsu ke kamarnya.
Ternyata dia mendengar suara ribut. Karena masih ada tamu, dia tak sempat ke atas. Kini baru bisa. Dan dia berpapasan dengan Cina gemuk itu. Cina gemuk itu menghentikan siulnya yang mirip kapal retak tersebut. Tersenyum, ah lebih tepat dikatakan nyengir, kepada gadis cantik itu.
“Ada apa ribut di atas?” tanya gadis itu sambil tetap melangkah ke atas. Namun tiba-tiba tubuhnya tersentak. Cina gemuk itu menyentakkan tangan si gadis, dan tubuh gadis itu jatuh kepelukannya. Si gemuk hanya memeluknya dengan sebelah tangan. Tangan kiri. Seperti memeluk boneka kecil dari plastik saja.
“Tak ada libut. Hanya sikit gelut-gelut..” sehabis berkata begini, si gemuk mengirimkan sebuah sun kepipi gadis cantik ini.
Bukan main murka dan berangnya gadis itu, dia meludahi muka si gemuk yang kayak babi itu. Ludahnya mendarat dihidung si Cina. Tapi cina gemuk itu tak berang. Malah tertawa senang. Dia lepaskan gadis itu. Kemudian menghapus ludah di hidungnya. Lalu menjilatnya. Gila!
Gadis itu berlari ke atas. Melihat pintu kamar anak muda tadi hancur. Lalu masuk, dan saat itu dia hanya melihat punggung anak muda itu saja ketika yang terakhir ini melompat dari jendela tingkat dua itu ke jalan di depan hotel di bawah sana!
Gadis itu memburu, melihat ke bawah kelihatan parkir taksi hitam pekat yang tadi ditompangi babi gemuk itu. Tapi anak muda yang baru melompat ke bawah itu tak dia lihat. Dia balik lagi ke bawah.
Sementara itu, si gemuk itu sudah sampai di Lobby hotel. Dengan gerakkan seperti babi bunting, dia menuju ke pintu. Di pintu ada tamu yang masuk dan berjalan ke arahnya. Dan tiba-tiba Cina itu tertegak. Dia mengernyitkan kening. Salah lihatkah dia?
Tamu yang baru masuk ini mirip sekali dengan anak muda yang tadi dia gelut-gelut dan dia suruh tidur dalam lemari. Salahkah dia?
Tamu itu tersenyum padanya. Dan tak salah lagi, memang anak muda tadi! Tapi demi perutnya yang gendut, kenapa anak muda itu bisa berada disini?
Dan saat itu gadis anak pemilik hotel itu sampai pula di sana. Dia menatap pada anak muda yang tegak menghadang di tengah pintu. Kedua orang itu mirip seperti perbandingan kerbau dengan kambing!
Tapi nampaknya Cina gemuk itu memiliki saraf baja dan rasa humor yang tinggi juga. Dia segera saja mendahului menegur si Bungsu.
“He, ketemu lagi! Tadi tidul dalam lemali. Cekalang cudah mangun. Haiyya, cincaila..”
Tumbung juga si gendut ini, sumpah si Bungsu dalam hati. Dan si gendut itu berjalan ke arahnya.
Si Bungsu tiba-tiba menyerang. Dia tak ingin didahului oleh si gendut itu. Dia sudah merasakan akibatnya. Untung saja yang kena adalah dirinya. Yang sudah terlatih bertahun-tahun. Kalau orang lain, dia yakin sudah tiba di akhirat.
Makanya kini dia membuka serangan. Dia hantam perut gendut itu dengan pukulan karate yang dia pelajari dari Kenji. Hop! Mendarat persis tentang pusat. Cina itu tetap tegak. Malah tersenyum. Pukulannya seperti menerpa karet yang kenyal. Memantul kembali.
Sebuah lagi puklan, kini menuju tempat yang mematikan. Yaitu tentang jantung. Bukankah menurut Kenji, dada bahagian jantung adalah tempat yang paling lemah dalam tubuh? Tempat itu bisa mematikan kalau dipukul dengan kuat dan dengan kecepatan yang penuh perhitungan.
Ah tentang kekuatan, cepat dan penuh perhitungan, dia tak usah malu. Dia sudah ahli. Maka pukulan itupun mendarat. Tepat di tentang jantung Cina gendut itu. Dan laknatnya, pukulannya memental lagi. Dan jahanamnya, Cina itu ngomong setelah kena pukul:
“Haaayaaa, jangan gelut-gelut dimuka olang lamailah kawaaan. Malu kita dilihat olaang. Masak sudah besal masih gelut-gelut”
Syetan. Benar-benar syetan Cina gemuk ini. Dia sudah memukul dengan jurus mematikan, dengan penuh perhitungan dan penuh kecepatan, ternyata dicemoohkan sebagai gelut-gelut saja. Muka si Bungsu jadi merah padam. Dan Cina itu berjalan terus ke pintu.
Tikam Samurai - 272
Ketika si Bungsu akan maju lagi, Cina itu mengibaskan tangan kanannya. Dan seperti tadi, si Bungsu lagi-lagi terlambat menghindar. Tangan babi gemuk itu bukan main cepatnya. Tamparan sambil lalu itu mendarat di pipi si Bungsu. tubuh si Ungsu terangkat setengah jengkal dari lantai, kemudian terpental!
Dan dia terpental justru ke tubuh gadis yang tadi mengantarnya ke kamar. Kedua tubuh mereka terguling ke lantai. Untung si Bungsu masih sadar. Dia segera memeluk tubuh gadis itu agar kepalanya tak membentur lantai. Dan gadis itu dalam kagetnya juga memeluk si Bungsu erat-erat.
Cina gemuk itu sambil melangkah menoleh ke belakang. Langkahnya terhenti. Dia melihat kedua anak muda itu saling peluk di lantai.
“Haayyaaa! Kalau mau pole-pole jangan sinilah. Masuk kamal saja” Ya tuhan, ya Rabbi! Muka si Bungsu jadi merah padam. Dia cepat bangkit dan menolong gadis Cina cantik itu bangkit. Kemudian melangkah ke depan.
“Tunggu!” katanya.
Cina gemuk itu berhenti melangkah. Kali ini si Bungsu benar-benar menghadapi lawan yang tak tanggung-tanggung. Pimpinan sindikat perdagangan wanita ini memang tak tak salah pilih.
“Apa lagi kawan…. Mau gelut lagi?” Cina gemuk itu menyindir. Demi malaikat, si Bungsu benar-benar mati kutu dibuat orang ini. Tapi sebuah pikiran lain masuk ke kepalanya. Karena itu, dia tak menjawab sindiran Cina gemuk itu. Dan Cina gemuk itu tahu benar akan ketangguhannya, dia melambaikan tangan:
“Bay-bay. Sampai ketemu lagi kawan..” katanya sambil cengar cengir. Dan kali ini, mau tak mau si Bungsu terpaksa nyegir kuda.
Si gemuk itu memang memiliki rasa humor yang hebat. Hingga dia tak memilih tempat dan waktu untuk bergurau. Dan tak pula memilih lawan. Tak peduli sedang berkelahi atau sedang makan, nampaknya dia suka benar bergurau. Guraunya gurau kuda pula.
Si Gemuk itu masuk ke taksi hitam yang sejak tadi menanti di depan.
“Dapat?” tanya Keling yang jadi sopirnya.
“Dapatlaah…” jawab si gemuk itu santai.
“Tak ada perlawanan?”
“Ada. Tapi hanya sekedar coba-coba”
“Lalu?”
“Lalu ya lalu. We gertak dia. Keluar dia punya kentuk. We tempeleng dia, keluar dia punya taik. Kini dia sedang belak, we pigi”
Orang Keling yang pegang stir itu tertawa seperti burung gagak.
Kemudian sedan itu berangkat meninggalkan hotel tersebut.
Taksi itu melaju membelah jalan-jalan di kota Singa tersebut.
Dengan rangkaian kejadian itu, bahkan sejak perkelahian di rumah Nurdin dengan sindikat perdagangan wanita beberapa hari yang lalu, si Bungsu telah terlibat langsung dalam lingkaran kontra sindikat itu. Namanya segera saja masuk dalam daftar orang-orang yang harus dilenyapkan.
Dan si Cina gemuk yang meninggalkan si Bungsu dalam keadaan hidup di hotel Sam Kok itu ternyata telah membuat kekeliruan. Dan kekeliruan itu segera harus dia bayar begitu sampai di markasnya.
Markas mereka terletak di sebuah taman yang mirip hutan yang bernama Bukit Merah. Sebuah rumah yang terletak lima puluh meter dari jalan Henderson, kelihatan angker. Dari jalan rumah itu tak kelihatan. Hanya nampak sebuah jalan masuk yang dipenuhi pohon-pohon serta pinang merah. Berpagar tinggi. Kesanalah taksi hitam leham itu meluncur.
Sedan tersebut berhenti persis di teras di depan rumah berwarna putih itu. Seekor anjing herder hampir sebesar harimau menggonggong dua kali. Lalau ketika Cina gemuk itu keluar dari mobil, anjing itu terdiam. Mengibaskan ekornya ke bawah perut, lalau duduk diam-diam. Cina dan orang keling itu masuk.
Di ruang tamu mereka segera saja membungkuk memberi hormat pada seorang bule berambut merah yang duduk dengan dada telanjang.
“Beres?” tanyanya dengan suara sengau.
“Beles bos” jawab si Cina. Sambil menyerahkan dokumen yang tadi dia rampas dari si Bungsu.
Bule itu menerima dokumen tersebut. Namun dia tak segera membukanya.
“Apakah dia kau bereskan?”
“Dia bukan apa-apa bos. Anak kemalin yang menangis kena geltak”
“Saya tidak bertanya apakah dia anak kemaren atau anak besok. Yang saya tanya apakah dia telah kau bunuh”
Cina itu ragu-ragu. Temannya yang Keling itu menunduk diam. Nampaknya orang Inggris yang berdada telanjang itu cukup berkuasa. Di belakangnya tegak seorang bule lain, yang bertubuh atletis. Si Bule yang satu ini tetap saja tegak.
Diam teka bergerak.
“Jawab pertanyaan saya, babi gemuk!” orang Inggris itu membentak.
“Ya. Ya, saya segera akan membereskannya bos” si gemuk itu menjawab dengan lemah. Orang Inggris itu mengerutkan kening.
Ketika si Bungsu akan maju lagi, Cina itu mengibaskan tangan kanannya. Dan seperti tadi, si Bungsu lagi-lagi terlambat menghindar. Tangan babi gemuk itu bukan main cepatnya. Tamparan sambil lalu itu mendarat di pipi si Bungsu. tubuh si Ungsu terangkat setengah jengkal dari lantai, kemudian terpental!
Dan dia terpental justru ke tubuh gadis yang tadi mengantarnya ke kamar. Kedua tubuh mereka terguling ke lantai. Untung si Bungsu masih sadar. Dia segera memeluk tubuh gadis itu agar kepalanya tak membentur lantai. Dan gadis itu dalam kagetnya juga memeluk si Bungsu erat-erat.
Cina gemuk itu sambil melangkah menoleh ke belakang. Langkahnya terhenti. Dia melihat kedua anak muda itu saling peluk di lantai.
“Haayyaaa! Kalau mau pole-pole jangan sinilah. Masuk kamal saja” Ya tuhan, ya Rabbi! Muka si Bungsu jadi merah padam. Dia cepat bangkit dan menolong gadis Cina cantik itu bangkit. Kemudian melangkah ke depan.
“Tunggu!” katanya.
Cina gemuk itu berhenti melangkah. Kali ini si Bungsu benar-benar menghadapi lawan yang tak tanggung-tanggung. Pimpinan sindikat perdagangan wanita ini memang tak tak salah pilih.
“Apa lagi kawan…. Mau gelut lagi?” Cina gemuk itu menyindir. Demi malaikat, si Bungsu benar-benar mati kutu dibuat orang ini. Tapi sebuah pikiran lain masuk ke kepalanya. Karena itu, dia tak menjawab sindiran Cina gemuk itu. Dan Cina gemuk itu tahu benar akan ketangguhannya, dia melambaikan tangan:
“Bay-bay. Sampai ketemu lagi kawan..” katanya sambil cengar cengir. Dan kali ini, mau tak mau si Bungsu terpaksa nyegir kuda.
Si gemuk itu memang memiliki rasa humor yang hebat. Hingga dia tak memilih tempat dan waktu untuk bergurau. Dan tak pula memilih lawan. Tak peduli sedang berkelahi atau sedang makan, nampaknya dia suka benar bergurau. Guraunya gurau kuda pula.
Si Gemuk itu masuk ke taksi hitam yang sejak tadi menanti di depan.
“Dapat?” tanya Keling yang jadi sopirnya.
“Dapatlaah…” jawab si gemuk itu santai.
“Tak ada perlawanan?”
“Ada. Tapi hanya sekedar coba-coba”
“Lalu?”
“Lalu ya lalu. We gertak dia. Keluar dia punya kentuk. We tempeleng dia, keluar dia punya taik. Kini dia sedang belak, we pigi”
Orang Keling yang pegang stir itu tertawa seperti burung gagak.
Kemudian sedan itu berangkat meninggalkan hotel tersebut.
Taksi itu melaju membelah jalan-jalan di kota Singa tersebut.
Dengan rangkaian kejadian itu, bahkan sejak perkelahian di rumah Nurdin dengan sindikat perdagangan wanita beberapa hari yang lalu, si Bungsu telah terlibat langsung dalam lingkaran kontra sindikat itu. Namanya segera saja masuk dalam daftar orang-orang yang harus dilenyapkan.
Dan si Cina gemuk yang meninggalkan si Bungsu dalam keadaan hidup di hotel Sam Kok itu ternyata telah membuat kekeliruan. Dan kekeliruan itu segera harus dia bayar begitu sampai di markasnya.
Markas mereka terletak di sebuah taman yang mirip hutan yang bernama Bukit Merah. Sebuah rumah yang terletak lima puluh meter dari jalan Henderson, kelihatan angker. Dari jalan rumah itu tak kelihatan. Hanya nampak sebuah jalan masuk yang dipenuhi pohon-pohon serta pinang merah. Berpagar tinggi. Kesanalah taksi hitam leham itu meluncur.
Sedan tersebut berhenti persis di teras di depan rumah berwarna putih itu. Seekor anjing herder hampir sebesar harimau menggonggong dua kali. Lalau ketika Cina gemuk itu keluar dari mobil, anjing itu terdiam. Mengibaskan ekornya ke bawah perut, lalau duduk diam-diam. Cina dan orang keling itu masuk.
Di ruang tamu mereka segera saja membungkuk memberi hormat pada seorang bule berambut merah yang duduk dengan dada telanjang.
“Beres?” tanyanya dengan suara sengau.
“Beles bos” jawab si Cina. Sambil menyerahkan dokumen yang tadi dia rampas dari si Bungsu.
Bule itu menerima dokumen tersebut. Namun dia tak segera membukanya.
“Apakah dia kau bereskan?”
“Dia bukan apa-apa bos. Anak kemalin yang menangis kena geltak”
“Saya tidak bertanya apakah dia anak kemaren atau anak besok. Yang saya tanya apakah dia telah kau bunuh”
Cina itu ragu-ragu. Temannya yang Keling itu menunduk diam. Nampaknya orang Inggris yang berdada telanjang itu cukup berkuasa. Di belakangnya tegak seorang bule lain, yang bertubuh atletis. Si Bule yang satu ini tetap saja tegak.
Diam teka bergerak.
“Jawab pertanyaan saya, babi gemuk!” orang Inggris itu membentak.
“Ya. Ya, saya segera akan membereskannya bos” si gemuk itu menjawab dengan lemah. Orang Inggris itu mengerutkan kening.
Dan dia terpental justru ke tubuh gadis yang tadi mengantarnya ke kamar. Kedua tubuh mereka terguling ke lantai. Untung si Bungsu masih sadar. Dia segera memeluk tubuh gadis itu agar kepalanya tak membentur lantai. Dan gadis itu dalam kagetnya juga memeluk si Bungsu erat-erat.
Cina gemuk itu sambil melangkah menoleh ke belakang. Langkahnya terhenti. Dia melihat kedua anak muda itu saling peluk di lantai.
“Haayyaaa! Kalau mau pole-pole jangan sinilah. Masuk kamal saja” Ya tuhan, ya Rabbi! Muka si Bungsu jadi merah padam. Dia cepat bangkit dan menolong gadis Cina cantik itu bangkit. Kemudian melangkah ke depan.
“Tunggu!” katanya.
Cina gemuk itu berhenti melangkah. Kali ini si Bungsu benar-benar menghadapi lawan yang tak tanggung-tanggung. Pimpinan sindikat perdagangan wanita ini memang tak tak salah pilih.
“Apa lagi kawan…. Mau gelut lagi?” Cina gemuk itu menyindir. Demi malaikat, si Bungsu benar-benar mati kutu dibuat orang ini. Tapi sebuah pikiran lain masuk ke kepalanya. Karena itu, dia tak menjawab sindiran Cina gemuk itu. Dan Cina gemuk itu tahu benar akan ketangguhannya, dia melambaikan tangan:
“Bay-bay. Sampai ketemu lagi kawan..” katanya sambil cengar cengir. Dan kali ini, mau tak mau si Bungsu terpaksa nyegir kuda.
Si gemuk itu memang memiliki rasa humor yang hebat. Hingga dia tak memilih tempat dan waktu untuk bergurau. Dan tak pula memilih lawan. Tak peduli sedang berkelahi atau sedang makan, nampaknya dia suka benar bergurau. Guraunya gurau kuda pula.
Si Gemuk itu masuk ke taksi hitam yang sejak tadi menanti di depan.
“Dapat?” tanya Keling yang jadi sopirnya.
“Dapatlaah…” jawab si gemuk itu santai.
“Tak ada perlawanan?”
“Ada. Tapi hanya sekedar coba-coba”
“Lalu?”
“Lalu ya lalu. We gertak dia. Keluar dia punya kentuk. We tempeleng dia, keluar dia punya taik. Kini dia sedang belak, we pigi”
Orang Keling yang pegang stir itu tertawa seperti burung gagak.
Kemudian sedan itu berangkat meninggalkan hotel tersebut.
Taksi itu melaju membelah jalan-jalan di kota Singa tersebut.
Dengan rangkaian kejadian itu, bahkan sejak perkelahian di rumah Nurdin dengan sindikat perdagangan wanita beberapa hari yang lalu, si Bungsu telah terlibat langsung dalam lingkaran kontra sindikat itu. Namanya segera saja masuk dalam daftar orang-orang yang harus dilenyapkan.
Dan si Cina gemuk yang meninggalkan si Bungsu dalam keadaan hidup di hotel Sam Kok itu ternyata telah membuat kekeliruan. Dan kekeliruan itu segera harus dia bayar begitu sampai di markasnya.
Markas mereka terletak di sebuah taman yang mirip hutan yang bernama Bukit Merah. Sebuah rumah yang terletak lima puluh meter dari jalan Henderson, kelihatan angker. Dari jalan rumah itu tak kelihatan. Hanya nampak sebuah jalan masuk yang dipenuhi pohon-pohon serta pinang merah. Berpagar tinggi. Kesanalah taksi hitam leham itu meluncur.
Sedan tersebut berhenti persis di teras di depan rumah berwarna putih itu. Seekor anjing herder hampir sebesar harimau menggonggong dua kali. Lalau ketika Cina gemuk itu keluar dari mobil, anjing itu terdiam. Mengibaskan ekornya ke bawah perut, lalau duduk diam-diam. Cina dan orang keling itu masuk.
Di ruang tamu mereka segera saja membungkuk memberi hormat pada seorang bule berambut merah yang duduk dengan dada telanjang.
“Beres?” tanyanya dengan suara sengau.
“Beles bos” jawab si Cina. Sambil menyerahkan dokumen yang tadi dia rampas dari si Bungsu.
Bule itu menerima dokumen tersebut. Namun dia tak segera membukanya.
“Apakah dia kau bereskan?”
“Dia bukan apa-apa bos. Anak kemalin yang menangis kena geltak”
“Saya tidak bertanya apakah dia anak kemaren atau anak besok. Yang saya tanya apakah dia telah kau bunuh”
Cina itu ragu-ragu. Temannya yang Keling itu menunduk diam. Nampaknya orang Inggris yang berdada telanjang itu cukup berkuasa. Di belakangnya tegak seorang bule lain, yang bertubuh atletis. Si Bule yang satu ini tetap saja tegak.
Diam teka bergerak.
“Jawab pertanyaan saya, babi gemuk!” orang Inggris itu membentak.
“Ya. Ya, saya segera akan membereskannya bos” si gemuk itu menjawab dengan lemah. Orang Inggris itu mengerutkan kening.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar