Tikam Samurai - 259
Salma jadi kaget. Anak muda itu terlalu lemban.
“Udaa! Kenapa….?” Tanyanya sambil mendekat pada si Bungsu. si Bungsu hanya menggelang. Salma tegak disisinya.
“Kenapa. Tangan uda sakit lagi?” tanyanya sambil memegang tangan kanan anak muda itu dengan lembut. Si Bungsu tambah menunduk. Menarik nafas panjang. Kemudian menatap pada Salma yang tegak hanya sehasta di sisinya.
“Ya, terasa sakit. Tapi tidak hanya tangan. Tubuh saya juga terasa lumpuh…” katanya perlahan. Salma jadi pucat.
“Kenapa….?” Tanyanya perlahan sambil menatap si Bungsu dengan cemas.
“Karena matamu….” Jawab si Bungsu. Salma terbelalak.
“Ya. Saya jadi lumpuh karena engkau tatap bergitu Salma…” jawab si Bungsu perlahan. Tiba-tiba Salma tertunduk. Hatinya berdebar kencang. Kakinya menggaris-garis tanah. Dadanya gemuruh. Mukanya merona merah. Namun perlahan matanya jadi basah. Pipinya juga basah. Si Bungsu kini yang jadi kaget.
“Salma? Saya menyakiti hatimu…?” tanyanya gugup.
Salma tetap menunduk. Kakinya tetap menggaris-garis tanah. Lalau dia menggeleng.
“Lalu kenapa?”
“Uda mempermainkan saya….” Jawabnya sambil coba mencuri pandang pada si Bungsu. Gadis itu sebenarnya amat bahagia atas kata-kata si Bungsu tadi. Bukankah pernyataan si Bungsu bahwa dirinya jadi lumpuh karena tatapan matanya sebagai suatu pernyataan rasa hatinya yang terpikat pada Salma? Ah, meski anak muda itu tak menyatakannya terus terang, namun dia dapat merasakan. Bukankah cinta itu tak perlu diucapkan dengan kata-kata?
Bukankah yang lebih indah itu adalah pernyataan yang disampaikan secara isyarat dan sindiran? Ah, siapa yang tak tahu di Minang ini tentang Kias. Dan sungguh mati, Salma sangat bahagia saat itu. Namun pada saat yang sama dia juga merasa sedih. Sebab bukankah ketika dia merawat si Bungsu, ketika anak muda itu mengigau dalam tidurnya, berkali-kali dia menyebut nama Mei-Mei? Siapa gadis itu, pikirnya. Itulah yang selalu menghantui hati Salma. Di hati si Bungsu ada gadis lain yang sampai dibawanya ke dalam mimpi. Dan gadis itu, jika menilik namanya, pastilah gadis Cina.
Dan kali ini si Bungsulah yang kaget karena dituduh Salma mempermainkannya.
“Mempermainkan….?” Tanyanya sambil mengerutkan kening. “Sungguh mati, saya berkata sebenarnya Salma. Saya jadi lumpuh dan gugup melihat sinar matamu Salma….tapi, maafkanlah saya kalu ucapan saya tadi menyinggung perasaanmu….”
Salma mengangkat kepala. Kemudian tersenyum. Mereka bertatapan. Perlahan si Bungsu menghapus airmata di pipi gadis itu. Salma amat bahagia.
“Tidak marah?” bisik si Bungsu. Salma menggeleng. Kemudian senyumnya mekar lagi. Si Bungsu menarik nafas. Lalu balas tersenyum. Kemudian Salma berjalan kembali ketempatnya tadi tegak. Tegak dalam jarak lima depa dari si Bungsu. dia mengambil putik perawas dari dalam baskom disisinya.
Mereka bertatapan. Lama. Kemudian sama-sama tersenyum.
“Siaaap….?” Suara Salma bergema.
Dia telah bersiap dengan dua buah putik perawas di tangannya.
“Ya, tapi jangan sihir dengan matamu. Tangan saya bisa tak bergerak….” Si Bungsu bergurau. Salma tersenyum lagi. Lalu tanpa peringatan dia melemparkan kedua putik perawas di tangannya. Dan anak muda itu kaget lagi. Tangannya bergerak ke samurai. Yang satu berhasil dia babat. Belah dua. Tapi yang satu lagi mengenai pipinya.
“Hei, engkau mencido…!” teriak si Bungsu. Salma tersenyum. Dan tanpa dia sadari, kinipun ketika berhadapan di meja makan di Singapura ini, Salma juga tersenyum mengingat masa lalu yang alangkah indahnya itu. Bibirnya tersenyum, namun matanya basah.
Si Bungsu yang duduk di depannya, jadi heran atas senyum Salma.
“Ada sesuatu yang lucu…?” tanyanya perlahan. Salma menggeleng.
“Saya teringat masa lalu….” Keluhnya. Si Bungsu tak berani menanyakan masa lalu yang mana yang teringat nyonya rumah ini.
“Ingat ketika di Bukittinggi?” si Bungsu mendesak sambil menghirup kopi di cangkirnya. Salma mengangguk.
“Ketika Uda meminta saya melempar Uda dengan putik perawas….” Salma mengingatkan lagi. Si Bungsu jadi tak sedap hati. Kalau dia perturutkan cerita ini, maka bisa bisa luka hatinya akan bertambah meruyak. Tapi bagaimana dia harus menyuruh nyonya ini berhenti ngomong? Sebagai seorang tamu, tak sedap juga bila tak melayani bicara tuan rumah bukan?
Dan karena alasan itulah, si Bungsu kembali mengangguk. Tapi Salma tak melanjutkan ceritanya. Mereka lebih banyak berdiam diri. Situasi yang alangkah jauhnya berbeda dibanding mereka berpisah dahulu membuat pembicaraan mereka jadi kaku. Tak tahu apa yang harus dimulai.
“Udaa! Kenapa….?” Tanyanya sambil mendekat pada si Bungsu. si Bungsu hanya menggelang. Salma tegak disisinya.
“Kenapa. Tangan uda sakit lagi?” tanyanya sambil memegang tangan kanan anak muda itu dengan lembut. Si Bungsu tambah menunduk. Menarik nafas panjang. Kemudian menatap pada Salma yang tegak hanya sehasta di sisinya.
“Ya, terasa sakit. Tapi tidak hanya tangan. Tubuh saya juga terasa lumpuh…” katanya perlahan. Salma jadi pucat.
“Kenapa….?” Tanyanya perlahan sambil menatap si Bungsu dengan cemas.
“Karena matamu….” Jawab si Bungsu. Salma terbelalak.
“Ya. Saya jadi lumpuh karena engkau tatap bergitu Salma…” jawab si Bungsu perlahan. Tiba-tiba Salma tertunduk. Hatinya berdebar kencang. Kakinya menggaris-garis tanah. Dadanya gemuruh. Mukanya merona merah. Namun perlahan matanya jadi basah. Pipinya juga basah. Si Bungsu kini yang jadi kaget.
Salma tetap menunduk. Kakinya tetap menggaris-garis tanah. Lalau dia menggeleng.
“Lalu kenapa?”
“Uda mempermainkan saya….” Jawabnya sambil coba mencuri pandang pada si Bungsu. Gadis itu sebenarnya amat bahagia atas kata-kata si Bungsu tadi. Bukankah pernyataan si Bungsu bahwa dirinya jadi lumpuh karena tatapan matanya sebagai suatu pernyataan rasa hatinya yang terpikat pada Salma? Ah, meski anak muda itu tak menyatakannya terus terang, namun dia dapat merasakan. Bukankah cinta itu tak perlu diucapkan dengan kata-kata?
Bukankah yang lebih indah itu adalah pernyataan yang disampaikan secara isyarat dan sindiran? Ah, siapa yang tak tahu di Minang ini tentang Kias. Dan sungguh mati, Salma sangat bahagia saat itu. Namun pada saat yang sama dia juga merasa sedih. Sebab bukankah ketika dia merawat si Bungsu, ketika anak muda itu mengigau dalam tidurnya, berkali-kali dia menyebut nama Mei-Mei? Siapa gadis itu, pikirnya. Itulah yang selalu menghantui hati Salma. Di hati si Bungsu ada gadis lain yang sampai dibawanya ke dalam mimpi. Dan gadis itu, jika menilik namanya, pastilah gadis Cina.
Dan kali ini si Bungsulah yang kaget karena dituduh Salma mempermainkannya.
Salma mengangkat kepala. Kemudian tersenyum. Mereka bertatapan. Perlahan si Bungsu menghapus airmata di pipi gadis itu. Salma amat bahagia.
“Tidak marah?” bisik si Bungsu. Salma menggeleng. Kemudian senyumnya mekar lagi. Si Bungsu menarik nafas. Lalu balas tersenyum. Kemudian Salma berjalan kembali ketempatnya tadi tegak. Tegak dalam jarak lima depa dari si Bungsu. dia mengambil putik perawas dari dalam baskom disisinya.
Mereka bertatapan. Lama. Kemudian sama-sama tersenyum.
“Siaaap….?” Suara Salma bergema.
“Ya, tapi jangan sihir dengan matamu. Tangan saya bisa tak bergerak….” Si Bungsu bergurau. Salma tersenyum lagi. Lalu tanpa peringatan dia melemparkan kedua putik perawas di tangannya. Dan anak muda itu kaget lagi. Tangannya bergerak ke samurai. Yang satu berhasil dia babat. Belah dua. Tapi yang satu lagi mengenai pipinya.
“Hei, engkau mencido…!” teriak si Bungsu. Salma tersenyum. Dan tanpa dia sadari, kinipun ketika berhadapan di meja makan di Singapura ini, Salma juga tersenyum mengingat masa lalu yang alangkah indahnya itu. Bibirnya tersenyum, namun matanya basah.
Si Bungsu yang duduk di depannya, jadi heran atas senyum Salma.
“Ada sesuatu yang lucu…?” tanyanya perlahan. Salma menggeleng.
“Saya teringat masa lalu….” Keluhnya. Si Bungsu tak berani menanyakan masa lalu yang mana yang teringat nyonya rumah ini.
“Ketika Uda meminta saya melempar Uda dengan putik perawas….” Salma mengingatkan lagi. Si Bungsu jadi tak sedap hati. Kalau dia perturutkan cerita ini, maka bisa bisa luka hatinya akan bertambah meruyak. Tapi bagaimana dia harus menyuruh nyonya ini berhenti ngomong? Sebagai seorang tamu, tak sedap juga bila tak melayani bicara tuan rumah bukan?
Dan karena alasan itulah, si Bungsu kembali mengangguk. Tapi Salma tak melanjutkan ceritanya. Mereka lebih banyak berdiam diri. Situasi yang alangkah jauhnya berbeda dibanding mereka berpisah dahulu membuat pembicaraan mereka jadi kaku. Tak tahu apa yang harus dimulai.
Tikam Samurai - 260
Satu hal yang pasti adalah: kerinduan. Siapa pun diantara mereka tak dapat mengelak kenyataan bahwa mereka saling merindukan. Salma meskipun dia seorang wanita yang telah bersuami dan mempunyai puteri, namun sebagaimana hanya setiap wanita, dia tetap saja tak mampu menolak kodrat bahwa dia tak mampu melupakan lelaki pertama yang menyentuh hatinya. Yang menyentuh tubuhnya.
Betapapun setia dan berbaktinya seorang wanita pada suaminya, namun jika suaminya itu bukan cintanya yang pertama, maka jejak cinta itu berbekas jauh di dasar hatinya.
Hanya saja barangkali karena kodratnya pada setiap wanita pandai menyimpan rahasia. Demikian juga halnya dengan Salma. Dia mencintai suaminya. Mencintai anaknya. Dan dia telah membuktikan bahwa dia telah mengabdikan dirinya dengan segenap hati dan cintanya pada suaminya. Tapi, kini….ah!
Si Bungsu merasa tak betah berada di rumah besar itu tanpa Nurdin. Dia menjadi serba salah. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Dan itulah yang dia lakukan. Salma menatap kepergiannya dari balik tirai jendela.
Si Bungsu menolak ketika Salma menyuruh sopir mengantarkannya dengan mobil.
“Tidak, saya ingin jalan kaki. Rasanya amat penat tidur seharian ini….” Katanya menolak tawaran Salma. Dan kini anak muda itu melangkah di jalan dalam taman rumah itu menuju ke jalan raya. Salma menatap punggungnya. Alangkah jauhnya berbeda.
Dahulu ketika anak muda ini meninggalkan rumahnya di Bukittinggi untuk menuju Pekanbaru keadaannya tak seperti sekarang. Dahulu dia hanya membawa sebuah buntal. Tapi yang jauh berbeda adalah pakaiannya.Anak muda dari gunung Sago ini dahulu memakai baju gunting Cina dengan pentalon lusuh dan selop jepit dari kulit. Sehelai kai sarung melintang dari bahu kanan ke pinggang kiri. Kini dia kelihatan berpakaian necis. Bersepatu dan berbaju kemeja dari kain sutera berlengan panjang.Dia telah berobah, dari seorang pendekar klasik menjadi seorang lelaki yang hidup di kota besar.
Masih cintakah Salma dengannya?
Tak ada yang bisa menjawab. Bahkan Salma sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan kata putus. Namun ada perasaan lain yang barangkali bisa jadi jawaban.
Salma kini membandingkan diri anak muda itu dengan kehidupannya. Kehidupan para Diplomat. Sudah tentu sangat jauh bedanya. Dia hidup sebagai seorang pejabat tinggi. Dan dia mencintai suami dan anaknya. Dan selain mencintai, dia juga hidup bahagia. Kini dia jumpa dengan si Bungsu. alangkah jauhnya berbeda sisi tempat mereka berpijak kini. Seperti langit dan bumi. Dan dia jadi kasihan pada si Bungsu. kasihan pada lelaki yang pernah dia cintai itu.
Nah, jawabannya apakah dia masih mencintai si Bungsu atau tidak, kini jadi jelas. Dia hanya kasihan! Salahkah dia? Ah tidak. Tak ada yang salah. Bukankah setiap orang berhak memilih jalan hidupnya sendiri? Dan siapapun wanitanya, barangkali akan menempuh jalan seperti yang di tempuh nyonya Atase Militer ini. Ah, perempuan.
***000***
Dan barangkali firasat halus jua yang membisikkan pada si Bungsu, agar dia segera meninggalkan rumah sahabatnya itu. Hanya tiga hari dia tinggal di sana. Dan hari ketiga itu, sore harinya, ketika dia dibawa oleh Nurdin melihat pelabuhan, dia lalu menceritakan, bahwa dia sebenarnya telah mengenal Salma sebelum ini.
Dia berharap Nurdin jadi kaget. Namun justru dialah yang kaget.
Nurdin hanya menatap padanya sebentar. Namun air mukanya tak berobah. Mereka tengah duduk di sebuah restoran di daerah pelabuhan. Daerah Anting yang selalu ramai oleh kapal-kapal yang datang dari Indonesia.
“Saya mengenalnya ketika saya di Bukittinggi….” Kata si Bungsu menyambung ketika temannya itu tetap diam.
Nurdin masih tetap tenang.
“Dan saya tidak hanya sekedar mengenalnya Nurdin…” si Bungsu jadi merasa tak sedap karena Nurdin diam saja.
“Ya. Saya tahu. Kalian pernah saling mencintai bukan?”
Kalau saja ada petir, si Bungsu barangkali takkan sekaget ini.
Dia menatap tak percaya pada Nurdin.
“Saya mengetahuinya Bungsu…”
“Dari Salma…?”
“Ya. Dari Salma. Dan bahkan ketika mulai pertama kalian saya pertemukan, ketika saya berjalan kebelakang mobil menutupkan bagase, saya sempat mendengar engkau setengah berbisik karena kaget menyebut nama Salma. Dan saya juga mendengar Salma memanggilmu “Uda”. Saya gembira kalian saling kenal. Tapi saya jadi kaget takkala saya datang lagi ketempat kalian berdiri, kalian justru bersandiwara seperti tak saling kenal. Maka tak ada jalan lain yang bisa saya ambil selain mengikuti permainan kalian. Tidak, saya tidak berprasangka buruk. Engkau sahabatku. Salma isteriku. Dan kedua kalian sama-sama saya hormati. Sama-sama saya cintai.
Saya menanti perkembangan. Dan malam harinya, Salma bercerita pada saya. Dia ceritakan segalanya. Saya jadi terharu…saya harus minta maaf padamu. Karena saya tak pernah menyangka, bahwa saya akan memperisteri gadis yang dicintai sahabat saya…”
Nurdin terhenti.
Satu hal yang pasti adalah: kerinduan. Siapa pun diantara mereka tak dapat mengelak kenyataan bahwa mereka saling merindukan. Salma meskipun dia seorang wanita yang telah bersuami dan mempunyai puteri, namun sebagaimana hanya setiap wanita, dia tetap saja tak mampu menolak kodrat bahwa dia tak mampu melupakan lelaki pertama yang menyentuh hatinya. Yang menyentuh tubuhnya.
Betapapun setia dan berbaktinya seorang wanita pada suaminya, namun jika suaminya itu bukan cintanya yang pertama, maka jejak cinta itu berbekas jauh di dasar hatinya.
Hanya saja barangkali karena kodratnya pada setiap wanita pandai menyimpan rahasia. Demikian juga halnya dengan Salma. Dia mencintai suaminya. Mencintai anaknya. Dan dia telah membuktikan bahwa dia telah mengabdikan dirinya dengan segenap hati dan cintanya pada suaminya. Tapi, kini….ah!
Hanya saja barangkali karena kodratnya pada setiap wanita pandai menyimpan rahasia. Demikian juga halnya dengan Salma. Dia mencintai suaminya. Mencintai anaknya. Dan dia telah membuktikan bahwa dia telah mengabdikan dirinya dengan segenap hati dan cintanya pada suaminya. Tapi, kini….ah!
Si Bungsu merasa tak betah berada di rumah besar itu tanpa Nurdin. Dia menjadi serba salah. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Dan itulah yang dia lakukan. Salma menatap kepergiannya dari balik tirai jendela.
Si Bungsu menolak ketika Salma menyuruh sopir mengantarkannya dengan mobil.
“Tidak, saya ingin jalan kaki. Rasanya amat penat tidur seharian ini….” Katanya menolak tawaran Salma. Dan kini anak muda itu melangkah di jalan dalam taman rumah itu menuju ke jalan raya. Salma menatap punggungnya. Alangkah jauhnya berbeda.
Dahulu ketika anak muda ini meninggalkan rumahnya di Bukittinggi untuk menuju Pekanbaru keadaannya tak seperti sekarang. Dahulu dia hanya membawa sebuah buntal. Tapi yang jauh berbeda adalah pakaiannya.Anak muda dari gunung Sago ini dahulu memakai baju gunting Cina dengan pentalon lusuh dan selop jepit dari kulit. Sehelai kai sarung melintang dari bahu kanan ke pinggang kiri. Kini dia kelihatan berpakaian necis. Bersepatu dan berbaju kemeja dari kain sutera berlengan panjang.Dia telah berobah, dari seorang pendekar klasik menjadi seorang lelaki yang hidup di kota besar.
Si Bungsu menolak ketika Salma menyuruh sopir mengantarkannya dengan mobil.
“Tidak, saya ingin jalan kaki. Rasanya amat penat tidur seharian ini….” Katanya menolak tawaran Salma. Dan kini anak muda itu melangkah di jalan dalam taman rumah itu menuju ke jalan raya. Salma menatap punggungnya. Alangkah jauhnya berbeda.
Dahulu ketika anak muda ini meninggalkan rumahnya di Bukittinggi untuk menuju Pekanbaru keadaannya tak seperti sekarang. Dahulu dia hanya membawa sebuah buntal. Tapi yang jauh berbeda adalah pakaiannya.Anak muda dari gunung Sago ini dahulu memakai baju gunting Cina dengan pentalon lusuh dan selop jepit dari kulit. Sehelai kai sarung melintang dari bahu kanan ke pinggang kiri. Kini dia kelihatan berpakaian necis. Bersepatu dan berbaju kemeja dari kain sutera berlengan panjang.Dia telah berobah, dari seorang pendekar klasik menjadi seorang lelaki yang hidup di kota besar.
Masih cintakah Salma dengannya?
Tak ada yang bisa menjawab. Bahkan Salma sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan kata putus. Namun ada perasaan lain yang barangkali bisa jadi jawaban.
Salma kini membandingkan diri anak muda itu dengan kehidupannya. Kehidupan para Diplomat. Sudah tentu sangat jauh bedanya. Dia hidup sebagai seorang pejabat tinggi. Dan dia mencintai suami dan anaknya. Dan selain mencintai, dia juga hidup bahagia. Kini dia jumpa dengan si Bungsu. alangkah jauhnya berbeda sisi tempat mereka berpijak kini. Seperti langit dan bumi. Dan dia jadi kasihan pada si Bungsu. kasihan pada lelaki yang pernah dia cintai itu.
Nah, jawabannya apakah dia masih mencintai si Bungsu atau tidak, kini jadi jelas. Dia hanya kasihan! Salahkah dia? Ah tidak. Tak ada yang salah. Bukankah setiap orang berhak memilih jalan hidupnya sendiri? Dan siapapun wanitanya, barangkali akan menempuh jalan seperti yang di tempuh nyonya Atase Militer ini. Ah, perempuan.
***000***
Tak ada yang bisa menjawab. Bahkan Salma sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan kata putus. Namun ada perasaan lain yang barangkali bisa jadi jawaban.
Salma kini membandingkan diri anak muda itu dengan kehidupannya. Kehidupan para Diplomat. Sudah tentu sangat jauh bedanya. Dia hidup sebagai seorang pejabat tinggi. Dan dia mencintai suami dan anaknya. Dan selain mencintai, dia juga hidup bahagia. Kini dia jumpa dengan si Bungsu. alangkah jauhnya berbeda sisi tempat mereka berpijak kini. Seperti langit dan bumi. Dan dia jadi kasihan pada si Bungsu. kasihan pada lelaki yang pernah dia cintai itu.
Nah, jawabannya apakah dia masih mencintai si Bungsu atau tidak, kini jadi jelas. Dia hanya kasihan! Salahkah dia? Ah tidak. Tak ada yang salah. Bukankah setiap orang berhak memilih jalan hidupnya sendiri? Dan siapapun wanitanya, barangkali akan menempuh jalan seperti yang di tempuh nyonya Atase Militer ini. Ah, perempuan.
***000***
Dan barangkali firasat halus jua yang membisikkan pada si Bungsu, agar dia segera meninggalkan rumah sahabatnya itu. Hanya tiga hari dia tinggal di sana. Dan hari ketiga itu, sore harinya, ketika dia dibawa oleh Nurdin melihat pelabuhan, dia lalu menceritakan, bahwa dia sebenarnya telah mengenal Salma sebelum ini.
Dia berharap Nurdin jadi kaget. Namun justru dialah yang kaget.
Nurdin hanya menatap padanya sebentar. Namun air mukanya tak berobah. Mereka tengah duduk di sebuah restoran di daerah pelabuhan. Daerah Anting yang selalu ramai oleh kapal-kapal yang datang dari Indonesia.
“Saya mengenalnya ketika saya di Bukittinggi….” Kata si Bungsu menyambung ketika temannya itu tetap diam.
Nurdin masih tetap tenang.
Dia berharap Nurdin jadi kaget. Namun justru dialah yang kaget.
Nurdin hanya menatap padanya sebentar. Namun air mukanya tak berobah. Mereka tengah duduk di sebuah restoran di daerah pelabuhan. Daerah Anting yang selalu ramai oleh kapal-kapal yang datang dari Indonesia.
“Saya mengenalnya ketika saya di Bukittinggi….” Kata si Bungsu menyambung ketika temannya itu tetap diam.
Nurdin masih tetap tenang.
“Dan saya tidak hanya sekedar mengenalnya Nurdin…” si Bungsu jadi merasa tak sedap karena Nurdin diam saja.
“Ya. Saya tahu. Kalian pernah saling mencintai bukan?”
Kalau saja ada petir, si Bungsu barangkali takkan sekaget ini.
Dia menatap tak percaya pada Nurdin.
“Saya mengetahuinya Bungsu…”
“Dari Salma…?”
“Ya. Saya tahu. Kalian pernah saling mencintai bukan?”
Kalau saja ada petir, si Bungsu barangkali takkan sekaget ini.
Dia menatap tak percaya pada Nurdin.
“Saya mengetahuinya Bungsu…”
“Dari Salma…?”
“Ya. Dari Salma. Dan bahkan ketika mulai pertama kalian saya pertemukan, ketika saya berjalan kebelakang mobil menutupkan bagase, saya sempat mendengar engkau setengah berbisik karena kaget menyebut nama Salma. Dan saya juga mendengar Salma memanggilmu “Uda”. Saya gembira kalian saling kenal. Tapi saya jadi kaget takkala saya datang lagi ketempat kalian berdiri, kalian justru bersandiwara seperti tak saling kenal. Maka tak ada jalan lain yang bisa saya ambil selain mengikuti permainan kalian. Tidak, saya tidak berprasangka buruk. Engkau sahabatku. Salma isteriku. Dan kedua kalian sama-sama saya hormati. Sama-sama saya cintai.
Saya menanti perkembangan. Dan malam harinya, Salma bercerita pada saya. Dia ceritakan segalanya. Saya jadi terharu…saya harus minta maaf padamu. Karena saya tak pernah menyangka, bahwa saya akan memperisteri gadis yang dicintai sahabat saya…”
Nurdin terhenti.
Saya menanti perkembangan. Dan malam harinya, Salma bercerita pada saya. Dia ceritakan segalanya. Saya jadi terharu…saya harus minta maaf padamu. Karena saya tak pernah menyangka, bahwa saya akan memperisteri gadis yang dicintai sahabat saya…”
Nurdin terhenti.
Tikam Samurai - 261
Si Bungsu merasakan dirinya dibasahi peluh. Dia jadi pucat. Namun akhirnya menaikan nafas dan menunduk. Dia jadi merasa sangat hormat pada Salma. Ternyata dia isteri yang jujur.
“Apa saja yang diceritakan Salma…?” tanyanya perlahan. Dia berharap, bahwa gadis itu hanya becerita garis besarnya saja.
“Dia menceritakan semuanya. Tentang pakaian dan perhiasan yang engkau berikan. Yang dia pakai malam itu. Saya yang menyuruhnya memakai pakaian itu. Bukan dengan niat menyiksamu. Tapi saya ingin melihat isteri saya menghargai pemberian orang yang pernah dia cintai. Dan dia juga bercerita tentang cincin ini…” Nurdin menunjuk pada cincin di jari manis si Bungsu. “ cincin ini dia berikan sesaat sebelum engkau meninggalkannya dahulu bukan? Dan Salma juga mengakui dengan jujur, bahwa dia masih tetap mencintaimu. Sampai anak kami lahir. Saya tak merasa cemburu Bungsu. tidak. Saya malah merasa berdosa. Kalau saja dahulu saya tahu…”
Nurdin terhenti dan memandang laut.
Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia merasa bulu tengkuknya merinding. Ternayata tak ada lagi rahasia antara dia dengan Salma dimata sahabatnya ini.
Namun si Bungsu merasa lega. Sebab sebelum dia minta diri untuk pergi, dia telah ceritakan hal sebenarnya pada temannya ini. Kalau saja dia tak menceritakannya, tentu Nurdin akan berprasangka yang tidak-tidak selamanya.
Sebaliknya Nurdin benar-benar tidak berbohong ketika tadi dia berkata bahwa baik terhadap si Bungsu, maupun terhadap isterinya, dia sama-sama mencintainya. Ucapan itu tidak sekedar pemanis. Itu memang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Dia memang mencintai isterinya itu sepenuh hati. Betapa dia takkan mencintainya, perempuan itu mencintai lelaki lain, namun itu adalah masa lalunya. Bukankah yang penting bukan masa lalu. Melainkan masa sekarang dan yang akan datang?
Nurdin berpendirian, dia tak kawin dengan masa lalu isterinya. Dia kawin dengan isterinya saat dia temui. Dan kalaupun isterinya punya masa lalu yang indah dengan lelaki lain, buat apa dia cemburui? Bukankah dia juga punya masa lalu yang indah dengan seorang dua gadis, yang tak sampai dia nikahi karena tak jodoh?
Masih untuk isterinya hanya punya masa lalu yang indah. Bagaimana kalau masa lalu isterinya adalah hitam dan berlumur dosa? Kalaupun hal itu terjadi, Nurdin tetaplah Nurdin. Dia adalah lelaki yang fragmatis. Dia akan tetap mencintai isterinya itu. Sebab, baginya memilih isteri bukan untuk menggali lagi masa lalu. Kalau lelaki telah memilih isteri, dan perempuan telah menetapkan seorang suami baginya, maka mereka hendaklah kawin secara utuh baik fisik maupun rohaninya.
Kalau masa lalu pasangannya indah, maka kewajibannya untuk berbuat lebih indah, atau sekurang-kurangnya sama indahnya dengan masa lalu isteri atau suaminya itu. Barangkali kadar keindahan dan kebahagian itu berbeda. Namun kebahagiaan bukankah tidak hanya berstandar pada materi?
Dan kalau masa lalu pasangannya hitam dan bernoda, maka dia hendaklah berusaha sekuat mungkin untuk membersihkannya. Itulah konsekuwensi sebuah pernikahan bagi Nurdin. Konsekuwensi logis dari sebuah pilihan.
Dan itulah yang dia lakukan terhadap isterinya. Yang kebetulan dalam hal ini adalah Salma. Perempuan yang punya masa lalu yang indah dengan seorang pemuda. Dan pemuda itu justru adalah si Bungsu. seorang lelaki yang telah bertanam budi padanya, pada perjuangan kemerdekaan dan pasukannya di Pekanbaru dahulu.
Dia memang mencintai kedua orang ini, seperti dia mencintai diri dan tugasnya. Nurdin memang tak munafik dalam hal ini. Dan dia tak khawatir bahwa Salma akan meninggalkan dirinya. Dia tak khawatir karena dia tahu akan kesetiaan perempuan itu. Selain itu, dia tak khawatir karena dia tahu bahwa dia telah berusaha sekuat dayanya untuk membahagiakan perempuan itu. Baik lahir maupun bathinnya. Dan dia juga tak khawatir karena dia orang yang beriman. Artinya, kalau Salma tetap juga meninggalkan dirinya, maka dia yakini hal itu semata karena Takdir!
Dan siapa orangnya yang akan mampu menolak datangnya Takdir. Demikian Nurdin berpendapat. Dalam hal ini, tentu saja si Bungsu jauh tertinggal. Sebab dia tak pernah sempat berfikir kesana. Selama ini dia hanya memikirkan bagaimana membalas dendamnya. Dan dia juga berfikir bagaimana menolong orang dari aniaya dan perbuatan sewenang-wenang pihak lain.
Dia lebih banyak memikirkan orang lain. Sehingga tak punya kesempatan untuk memikirkan dirinya sendiri. Dan ketika dia mulai memikirkan dirinya, ternyata dia dinanti oleh kekecewaan. Itulah dirinya kini. Seorang pahlawan samurai yang menundukkan puluhan ahli samurai lainnya. Seorang pahlawan dihati rakyat. Namun hidupnya sepi.
Dia tersadar ketika tangan Nurdin memegang tangannya di atas meja.
“Betapapun Bungsu, engkau tetap sahabat saya…dan tetap pulalah menjadi sahabat Salma. Sebuah perkawinan hendaknya menjadi tali pengikat untuk memperbanyak kenalan, sanak famili dan keluarga. Perkawinan tidak menjadi kampak pemutus hubungan antara yang satu dengan yang lain.
Si Bungsu merasakan dirinya dibasahi peluh. Dia jadi pucat. Namun akhirnya menaikan nafas dan menunduk. Dia jadi merasa sangat hormat pada Salma. Ternyata dia isteri yang jujur.
“Apa saja yang diceritakan Salma…?” tanyanya perlahan. Dia berharap, bahwa gadis itu hanya becerita garis besarnya saja.
“Dia menceritakan semuanya. Tentang pakaian dan perhiasan yang engkau berikan. Yang dia pakai malam itu. Saya yang menyuruhnya memakai pakaian itu. Bukan dengan niat menyiksamu. Tapi saya ingin melihat isteri saya menghargai pemberian orang yang pernah dia cintai. Dan dia juga bercerita tentang cincin ini…” Nurdin menunjuk pada cincin di jari manis si Bungsu. “ cincin ini dia berikan sesaat sebelum engkau meninggalkannya dahulu bukan? Dan Salma juga mengakui dengan jujur, bahwa dia masih tetap mencintaimu. Sampai anak kami lahir. Saya tak merasa cemburu Bungsu. tidak. Saya malah merasa berdosa. Kalau saja dahulu saya tahu…”
Nurdin terhenti dan memandang laut.
Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia merasa bulu tengkuknya merinding. Ternayata tak ada lagi rahasia antara dia dengan Salma dimata sahabatnya ini.
Namun si Bungsu merasa lega. Sebab sebelum dia minta diri untuk pergi, dia telah ceritakan hal sebenarnya pada temannya ini. Kalau saja dia tak menceritakannya, tentu Nurdin akan berprasangka yang tidak-tidak selamanya.
Sebaliknya Nurdin benar-benar tidak berbohong ketika tadi dia berkata bahwa baik terhadap si Bungsu, maupun terhadap isterinya, dia sama-sama mencintainya. Ucapan itu tidak sekedar pemanis. Itu memang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Dia memang mencintai isterinya itu sepenuh hati. Betapa dia takkan mencintainya, perempuan itu mencintai lelaki lain, namun itu adalah masa lalunya. Bukankah yang penting bukan masa lalu. Melainkan masa sekarang dan yang akan datang?
Nurdin berpendirian, dia tak kawin dengan masa lalu isterinya. Dia kawin dengan isterinya saat dia temui. Dan kalaupun isterinya punya masa lalu yang indah dengan lelaki lain, buat apa dia cemburui? Bukankah dia juga punya masa lalu yang indah dengan seorang dua gadis, yang tak sampai dia nikahi karena tak jodoh?
Masih untuk isterinya hanya punya masa lalu yang indah. Bagaimana kalau masa lalu isterinya adalah hitam dan berlumur dosa? Kalaupun hal itu terjadi, Nurdin tetaplah Nurdin. Dia adalah lelaki yang fragmatis. Dia akan tetap mencintai isterinya itu. Sebab, baginya memilih isteri bukan untuk menggali lagi masa lalu. Kalau lelaki telah memilih isteri, dan perempuan telah menetapkan seorang suami baginya, maka mereka hendaklah kawin secara utuh baik fisik maupun rohaninya.
Kalau masa lalu pasangannya indah, maka kewajibannya untuk berbuat lebih indah, atau sekurang-kurangnya sama indahnya dengan masa lalu isteri atau suaminya itu. Barangkali kadar keindahan dan kebahagian itu berbeda. Namun kebahagiaan bukankah tidak hanya berstandar pada materi?
Dan kalau masa lalu pasangannya hitam dan bernoda, maka dia hendaklah berusaha sekuat mungkin untuk membersihkannya. Itulah konsekuwensi sebuah pernikahan bagi Nurdin. Konsekuwensi logis dari sebuah pilihan.
Dan itulah yang dia lakukan terhadap isterinya. Yang kebetulan dalam hal ini adalah Salma. Perempuan yang punya masa lalu yang indah dengan seorang pemuda. Dan pemuda itu justru adalah si Bungsu. seorang lelaki yang telah bertanam budi padanya, pada perjuangan kemerdekaan dan pasukannya di Pekanbaru dahulu.
Dia memang mencintai kedua orang ini, seperti dia mencintai diri dan tugasnya. Nurdin memang tak munafik dalam hal ini. Dan dia tak khawatir bahwa Salma akan meninggalkan dirinya. Dia tak khawatir karena dia tahu akan kesetiaan perempuan itu. Selain itu, dia tak khawatir karena dia tahu bahwa dia telah berusaha sekuat dayanya untuk membahagiakan perempuan itu. Baik lahir maupun bathinnya. Dan dia juga tak khawatir karena dia orang yang beriman. Artinya, kalau Salma tetap juga meninggalkan dirinya, maka dia yakini hal itu semata karena Takdir!
Dan siapa orangnya yang akan mampu menolak datangnya Takdir. Demikian Nurdin berpendapat. Dalam hal ini, tentu saja si Bungsu jauh tertinggal. Sebab dia tak pernah sempat berfikir kesana. Selama ini dia hanya memikirkan bagaimana membalas dendamnya. Dan dia juga berfikir bagaimana menolong orang dari aniaya dan perbuatan sewenang-wenang pihak lain.
Dia lebih banyak memikirkan orang lain. Sehingga tak punya kesempatan untuk memikirkan dirinya sendiri. Dan ketika dia mulai memikirkan dirinya, ternyata dia dinanti oleh kekecewaan. Itulah dirinya kini. Seorang pahlawan samurai yang menundukkan puluhan ahli samurai lainnya. Seorang pahlawan dihati rakyat. Namun hidupnya sepi.
Dia tersadar ketika tangan Nurdin memegang tangannya di atas meja.
“Betapapun Bungsu, engkau tetap sahabat saya…dan tetap pulalah menjadi sahabat Salma. Sebuah perkawinan hendaknya menjadi tali pengikat untuk memperbanyak kenalan, sanak famili dan keluarga. Perkawinan tidak menjadi kampak pemutus hubungan antara yang satu dengan yang lain.
“Apa saja yang diceritakan Salma…?” tanyanya perlahan. Dia berharap, bahwa gadis itu hanya becerita garis besarnya saja.
“Dia menceritakan semuanya. Tentang pakaian dan perhiasan yang engkau berikan. Yang dia pakai malam itu. Saya yang menyuruhnya memakai pakaian itu. Bukan dengan niat menyiksamu. Tapi saya ingin melihat isteri saya menghargai pemberian orang yang pernah dia cintai. Dan dia juga bercerita tentang cincin ini…” Nurdin menunjuk pada cincin di jari manis si Bungsu. “ cincin ini dia berikan sesaat sebelum engkau meninggalkannya dahulu bukan? Dan Salma juga mengakui dengan jujur, bahwa dia masih tetap mencintaimu. Sampai anak kami lahir. Saya tak merasa cemburu Bungsu. tidak. Saya malah merasa berdosa. Kalau saja dahulu saya tahu…”
Nurdin terhenti dan memandang laut.
Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia merasa bulu tengkuknya merinding. Ternayata tak ada lagi rahasia antara dia dengan Salma dimata sahabatnya ini.
Namun si Bungsu merasa lega. Sebab sebelum dia minta diri untuk pergi, dia telah ceritakan hal sebenarnya pada temannya ini. Kalau saja dia tak menceritakannya, tentu Nurdin akan berprasangka yang tidak-tidak selamanya.
Sebaliknya Nurdin benar-benar tidak berbohong ketika tadi dia berkata bahwa baik terhadap si Bungsu, maupun terhadap isterinya, dia sama-sama mencintainya. Ucapan itu tidak sekedar pemanis. Itu memang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Dia memang mencintai isterinya itu sepenuh hati. Betapa dia takkan mencintainya, perempuan itu mencintai lelaki lain, namun itu adalah masa lalunya. Bukankah yang penting bukan masa lalu. Melainkan masa sekarang dan yang akan datang?
Nurdin berpendirian, dia tak kawin dengan masa lalu isterinya. Dia kawin dengan isterinya saat dia temui. Dan kalaupun isterinya punya masa lalu yang indah dengan lelaki lain, buat apa dia cemburui? Bukankah dia juga punya masa lalu yang indah dengan seorang dua gadis, yang tak sampai dia nikahi karena tak jodoh?
Masih untuk isterinya hanya punya masa lalu yang indah. Bagaimana kalau masa lalu isterinya adalah hitam dan berlumur dosa? Kalaupun hal itu terjadi, Nurdin tetaplah Nurdin. Dia adalah lelaki yang fragmatis. Dia akan tetap mencintai isterinya itu. Sebab, baginya memilih isteri bukan untuk menggali lagi masa lalu. Kalau lelaki telah memilih isteri, dan perempuan telah menetapkan seorang suami baginya, maka mereka hendaklah kawin secara utuh baik fisik maupun rohaninya.
Kalau masa lalu pasangannya indah, maka kewajibannya untuk berbuat lebih indah, atau sekurang-kurangnya sama indahnya dengan masa lalu isteri atau suaminya itu. Barangkali kadar keindahan dan kebahagian itu berbeda. Namun kebahagiaan bukankah tidak hanya berstandar pada materi?
Dan kalau masa lalu pasangannya hitam dan bernoda, maka dia hendaklah berusaha sekuat mungkin untuk membersihkannya. Itulah konsekuwensi sebuah pernikahan bagi Nurdin. Konsekuwensi logis dari sebuah pilihan.
Dan itulah yang dia lakukan terhadap isterinya. Yang kebetulan dalam hal ini adalah Salma. Perempuan yang punya masa lalu yang indah dengan seorang pemuda. Dan pemuda itu justru adalah si Bungsu. seorang lelaki yang telah bertanam budi padanya, pada perjuangan kemerdekaan dan pasukannya di Pekanbaru dahulu.
Dia memang mencintai kedua orang ini, seperti dia mencintai diri dan tugasnya. Nurdin memang tak munafik dalam hal ini. Dan dia tak khawatir bahwa Salma akan meninggalkan dirinya. Dia tak khawatir karena dia tahu akan kesetiaan perempuan itu. Selain itu, dia tak khawatir karena dia tahu bahwa dia telah berusaha sekuat dayanya untuk membahagiakan perempuan itu. Baik lahir maupun bathinnya. Dan dia juga tak khawatir karena dia orang yang beriman. Artinya, kalau Salma tetap juga meninggalkan dirinya, maka dia yakini hal itu semata karena Takdir!
Dan siapa orangnya yang akan mampu menolak datangnya Takdir. Demikian Nurdin berpendapat. Dalam hal ini, tentu saja si Bungsu jauh tertinggal. Sebab dia tak pernah sempat berfikir kesana. Selama ini dia hanya memikirkan bagaimana membalas dendamnya. Dan dia juga berfikir bagaimana menolong orang dari aniaya dan perbuatan sewenang-wenang pihak lain.
Dia lebih banyak memikirkan orang lain. Sehingga tak punya kesempatan untuk memikirkan dirinya sendiri. Dan ketika dia mulai memikirkan dirinya, ternyata dia dinanti oleh kekecewaan. Itulah dirinya kini. Seorang pahlawan samurai yang menundukkan puluhan ahli samurai lainnya. Seorang pahlawan dihati rakyat. Namun hidupnya sepi.
Dia tersadar ketika tangan Nurdin memegang tangannya di atas meja.
“Betapapun Bungsu, engkau tetap sahabat saya…dan tetap pulalah menjadi sahabat Salma. Sebuah perkawinan hendaknya menjadi tali pengikat untuk memperbanyak kenalan, sanak famili dan keluarga. Perkawinan tidak menjadi kampak pemutus hubungan antara yang satu dengan yang lain.
Tikam Samurai - 262
Barangkali ini mudah saya ucapkan, karena bukan saya yang disakiti. Melainkan engkau. Namun, demi Tuhan, kalaupun saya yang disakiti saya akan bersikap begitu….sekali lagi maafkan saya karena tak mengetahui bahwa engkau mencintai Salma. Dan tetaplah jadi sahabat kami….”
Dan Nurdin memang bersungguh. Kedua lelaki ini memang bukan sembarang lelaki. Banyak pertempuran telah mereka lalui. Bahkan sampai kini mereka juga sedang bertempur. Bertempur dengan perasaan. Dan justru terkadang pertempuran tanpa bedil inilah yang lebih berat.
Si Bungsu balas menggenggam tangan sahabatnya itu.
“Engkau banyak mengajar saya tentang hidup ini kawan. Insya Allah, dalam hidup saya tak pernah ada rasa benci dan dendam. Sedang pada orang lain saya mengalah. Apalagi pada seorang sahabat. Namun kepada engkau saya tak perlu mengalah Nurdin. Karena engkau tak pernah berbuat apa-apa menyakiti hatiku. Tentang Salma, bukankah itu soal takdir? Saya bangga dia telah menceritakan segalanya padamu. Saya tahu sejak dulu, dia gadis yang jujur dan berhati mulia. Engkau adalah saudaraku. Dan dia juga”
“Terimakasih, sahabat…!”
Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Nurdin. Dan alangkah lega dan lapangnya perasaan mereka setelah itu.
Beberapa kelasi turun dari motor tempel ke dermaga. Beberapa perempuan mengikutinya. Ada Cina yang menanti di luar dermaga, kemudian masuk ke mobil yang menanti. Kapal-kapal berlabuh jauh dari dermaga. Membuang jangkar agak ditengah teluk. Kelasi yang turun naik ke kapal harus memakai sampan atau dengan motor tempel.
“Kita pulang…” kata Nurdin setelah melirik pada beberapa lelaki yang turun menggandeng beberapa perempuan muda. Si Bungsu tegak mengikuti Nurdin. Mereka memanggil sebuah taksi. Masuk, dan pulang!
Namun begitu taksi itu akan membelok keluar dari pelabuhan, serentetan tembakan bergema. Kaca samping taksi yang mereka tumpangi berderai hancur. Terdengar pekik tak menentu. Ada suara deru mesin mobil menjauh. Ada rintihan di samping si Bungsu. segalanya begitu cepat terjadi. Hampir-hampir tak ada waktu untuk berfikir.
Dan si Bungsu merasakan darah melelh di bahunya. Tapi dia yakin, darah itu bukan darahnya. Takkala mobil itu tadi akan mebalik, yaitu beberapa detik saja sebelum peluru memberondong, ada firasat tak sedap menyelusup ke hati si Bungsu.
Naluri yang amat tajam terhadap bahaya yang mengancam, segera saja secara otomatis. Hanya saja, dalam mobil dengan Nurdin begini dia tak tahu bahaya apa yang akan menyarangnya. Perasaan tak sedap itu menyebabkan dia menoleh ke belakang. Ada sebuah mobil datang dari belakang. Firasatnya jua yang menyuruhnya untuk membungkuk. Namun saat itulah berondongan peluru itu menghantam mobil mereka.
Dan dia tahu, darah yang membasahi bahunya adalah darah Nurdin. Dia Bangkit. Nurdin terkulai. Tubuhnya berlumur darah. Orang-orang di restoran dekat dermaga pada tegak kaget. Tak ada yang berani mendekat. Nampaknya mereka takut terlibat.
“Ke Konsulat….antarkan saya ke Konsulat Indonesia..” Nurdin berkata sambil tetap terguling di pangkuan si Bungsu. sopir taksi itu menjalankan taksinya.
“Apakah tidak ke hospital?” tanya sopir sambil melarikan mobil.
“Tidak. Ke Konsulat saja…” kata Nurdin terengah.
“Nurdin… ada apa..? si Bungsu yang memegang kepala temannya dipangkuannya itu bertanya kaget. Nurdin menghela nafas. Nampaknya dia sangat kesakitan.
“Kau…kau lihat perempuan dan Cina-cina yang turun dari kapal tadi..?” Nurdin balik bertanya sambil menahan rasa sakit. Si Bungsu mengangguk. Dia ingat semuanya.
Nurdin memegang bahu si Bungsu.
“Bungsu, dengarlah….” Dia coba mengumpulkan tenaga, ”kalau nyawa saya tak bisa ditolong, ada dua hal yang saya minta engkau melakukannya untuk saya, Bungsu. maukah engkau…?”
Si Bungsu mengangguk. Dia tak perlu bertanya apa permintaan temannya itu. Apapun yang diminta sahabatnya ini pasti akan dia lakukan demi menyenangkan hatinya. Nurdin kelihatan agak lega melihat angguknya itu.
“Terimakasih. Saya senang engkau mau melakukannnya untuk saya.
Pertama, engkau lindungi Salma dan anak saya. Hanya pada engkau mereka saya percayakan….” Nurdin terhenti, nampaknya dia berusaha mengumpulkan sisa tenaganya. Mobil dilarikan kecang menuju konsulat Indonesia. Meliuk-liuk dan berusaha mencari jalan pendek. Namun pada saat itu, si Bungsu jadi kaget mendengar permintaan temannya itu.
Tapi suara Nurdin segera memintas kekagetannya:
“Jangan menolak Bungsu. kalau engkau mau menikahi Salma, maka anggaplah dia sebagai adikmu. Namun percayalah, aku akan sangat berterima kasih, kalau engkau mau menikahinya. Percayalah, dia seorang perempuan berhati mulia…. Dan, permintaanku yang kedua, ini sebenarnya bukan tugasmu, … ini merupakan tugas konsulat dan pemerintah Indonesia…”
Nurdin terhenti lagi. Agak lama baru dia menyambung.
Barangkali ini mudah saya ucapkan, karena bukan saya yang disakiti. Melainkan engkau. Namun, demi Tuhan, kalaupun saya yang disakiti saya akan bersikap begitu….sekali lagi maafkan saya karena tak mengetahui bahwa engkau mencintai Salma. Dan tetaplah jadi sahabat kami….”
Dan Nurdin memang bersungguh. Kedua lelaki ini memang bukan sembarang lelaki. Banyak pertempuran telah mereka lalui. Bahkan sampai kini mereka juga sedang bertempur. Bertempur dengan perasaan. Dan justru terkadang pertempuran tanpa bedil inilah yang lebih berat.
Si Bungsu balas menggenggam tangan sahabatnya itu.
“Engkau banyak mengajar saya tentang hidup ini kawan. Insya Allah, dalam hidup saya tak pernah ada rasa benci dan dendam. Sedang pada orang lain saya mengalah. Apalagi pada seorang sahabat. Namun kepada engkau saya tak perlu mengalah Nurdin. Karena engkau tak pernah berbuat apa-apa menyakiti hatiku. Tentang Salma, bukankah itu soal takdir? Saya bangga dia telah menceritakan segalanya padamu. Saya tahu sejak dulu, dia gadis yang jujur dan berhati mulia. Engkau adalah saudaraku. Dan dia juga”
“Terimakasih, sahabat…!”
Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Nurdin. Dan alangkah lega dan lapangnya perasaan mereka setelah itu.
Beberapa kelasi turun dari motor tempel ke dermaga. Beberapa perempuan mengikutinya. Ada Cina yang menanti di luar dermaga, kemudian masuk ke mobil yang menanti. Kapal-kapal berlabuh jauh dari dermaga. Membuang jangkar agak ditengah teluk. Kelasi yang turun naik ke kapal harus memakai sampan atau dengan motor tempel.
“Kita pulang…” kata Nurdin setelah melirik pada beberapa lelaki yang turun menggandeng beberapa perempuan muda. Si Bungsu tegak mengikuti Nurdin. Mereka memanggil sebuah taksi. Masuk, dan pulang!
Namun begitu taksi itu akan membelok keluar dari pelabuhan, serentetan tembakan bergema. Kaca samping taksi yang mereka tumpangi berderai hancur. Terdengar pekik tak menentu. Ada suara deru mesin mobil menjauh. Ada rintihan di samping si Bungsu. segalanya begitu cepat terjadi. Hampir-hampir tak ada waktu untuk berfikir.
Dan si Bungsu merasakan darah melelh di bahunya. Tapi dia yakin, darah itu bukan darahnya. Takkala mobil itu tadi akan mebalik, yaitu beberapa detik saja sebelum peluru memberondong, ada firasat tak sedap menyelusup ke hati si Bungsu.
Naluri yang amat tajam terhadap bahaya yang mengancam, segera saja secara otomatis. Hanya saja, dalam mobil dengan Nurdin begini dia tak tahu bahaya apa yang akan menyarangnya. Perasaan tak sedap itu menyebabkan dia menoleh ke belakang. Ada sebuah mobil datang dari belakang. Firasatnya jua yang menyuruhnya untuk membungkuk. Namun saat itulah berondongan peluru itu menghantam mobil mereka.
Dan dia tahu, darah yang membasahi bahunya adalah darah Nurdin. Dia Bangkit. Nurdin terkulai. Tubuhnya berlumur darah. Orang-orang di restoran dekat dermaga pada tegak kaget. Tak ada yang berani mendekat. Nampaknya mereka takut terlibat.
“Ke Konsulat….antarkan saya ke Konsulat Indonesia..” Nurdin berkata sambil tetap terguling di pangkuan si Bungsu. sopir taksi itu menjalankan taksinya.
“Apakah tidak ke hospital?” tanya sopir sambil melarikan mobil.
“Tidak. Ke Konsulat saja…” kata Nurdin terengah.
“Nurdin… ada apa..? si Bungsu yang memegang kepala temannya dipangkuannya itu bertanya kaget. Nurdin menghela nafas. Nampaknya dia sangat kesakitan.
“Kau…kau lihat perempuan dan Cina-cina yang turun dari kapal tadi..?” Nurdin balik bertanya sambil menahan rasa sakit. Si Bungsu mengangguk. Dia ingat semuanya.
Nurdin memegang bahu si Bungsu.
“Bungsu, dengarlah….” Dia coba mengumpulkan tenaga, ”kalau nyawa saya tak bisa ditolong, ada dua hal yang saya minta engkau melakukannya untuk saya, Bungsu. maukah engkau…?”
Si Bungsu mengangguk. Dia tak perlu bertanya apa permintaan temannya itu. Apapun yang diminta sahabatnya ini pasti akan dia lakukan demi menyenangkan hatinya. Nurdin kelihatan agak lega melihat angguknya itu.
“Terimakasih. Saya senang engkau mau melakukannnya untuk saya.
Pertama, engkau lindungi Salma dan anak saya. Hanya pada engkau mereka saya percayakan….” Nurdin terhenti, nampaknya dia berusaha mengumpulkan sisa tenaganya. Mobil dilarikan kecang menuju konsulat Indonesia. Meliuk-liuk dan berusaha mencari jalan pendek. Namun pada saat itu, si Bungsu jadi kaget mendengar permintaan temannya itu.
Tapi suara Nurdin segera memintas kekagetannya:
“Jangan menolak Bungsu. kalau engkau mau menikahi Salma, maka anggaplah dia sebagai adikmu. Namun percayalah, aku akan sangat berterima kasih, kalau engkau mau menikahinya. Percayalah, dia seorang perempuan berhati mulia…. Dan, permintaanku yang kedua, ini sebenarnya bukan tugasmu, … ini merupakan tugas konsulat dan pemerintah Indonesia…”
Nurdin terhenti lagi. Agak lama baru dia menyambung.
Dan Nurdin memang bersungguh. Kedua lelaki ini memang bukan sembarang lelaki. Banyak pertempuran telah mereka lalui. Bahkan sampai kini mereka juga sedang bertempur. Bertempur dengan perasaan. Dan justru terkadang pertempuran tanpa bedil inilah yang lebih berat.
Si Bungsu balas menggenggam tangan sahabatnya itu.
“Engkau banyak mengajar saya tentang hidup ini kawan. Insya Allah, dalam hidup saya tak pernah ada rasa benci dan dendam. Sedang pada orang lain saya mengalah. Apalagi pada seorang sahabat. Namun kepada engkau saya tak perlu mengalah Nurdin. Karena engkau tak pernah berbuat apa-apa menyakiti hatiku. Tentang Salma, bukankah itu soal takdir? Saya bangga dia telah menceritakan segalanya padamu. Saya tahu sejak dulu, dia gadis yang jujur dan berhati mulia. Engkau adalah saudaraku. Dan dia juga”
“Terimakasih, sahabat…!”
Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Nurdin. Dan alangkah lega dan lapangnya perasaan mereka setelah itu.
Beberapa kelasi turun dari motor tempel ke dermaga. Beberapa perempuan mengikutinya. Ada Cina yang menanti di luar dermaga, kemudian masuk ke mobil yang menanti. Kapal-kapal berlabuh jauh dari dermaga. Membuang jangkar agak ditengah teluk. Kelasi yang turun naik ke kapal harus memakai sampan atau dengan motor tempel.
“Kita pulang…” kata Nurdin setelah melirik pada beberapa lelaki yang turun menggandeng beberapa perempuan muda. Si Bungsu tegak mengikuti Nurdin. Mereka memanggil sebuah taksi. Masuk, dan pulang!
Namun begitu taksi itu akan membelok keluar dari pelabuhan, serentetan tembakan bergema. Kaca samping taksi yang mereka tumpangi berderai hancur. Terdengar pekik tak menentu. Ada suara deru mesin mobil menjauh. Ada rintihan di samping si Bungsu. segalanya begitu cepat terjadi. Hampir-hampir tak ada waktu untuk berfikir.
Dan si Bungsu merasakan darah melelh di bahunya. Tapi dia yakin, darah itu bukan darahnya. Takkala mobil itu tadi akan mebalik, yaitu beberapa detik saja sebelum peluru memberondong, ada firasat tak sedap menyelusup ke hati si Bungsu.
Naluri yang amat tajam terhadap bahaya yang mengancam, segera saja secara otomatis. Hanya saja, dalam mobil dengan Nurdin begini dia tak tahu bahaya apa yang akan menyarangnya. Perasaan tak sedap itu menyebabkan dia menoleh ke belakang. Ada sebuah mobil datang dari belakang. Firasatnya jua yang menyuruhnya untuk membungkuk. Namun saat itulah berondongan peluru itu menghantam mobil mereka.
Dan dia tahu, darah yang membasahi bahunya adalah darah Nurdin. Dia Bangkit. Nurdin terkulai. Tubuhnya berlumur darah. Orang-orang di restoran dekat dermaga pada tegak kaget. Tak ada yang berani mendekat. Nampaknya mereka takut terlibat.
“Ke Konsulat….antarkan saya ke Konsulat Indonesia..” Nurdin berkata sambil tetap terguling di pangkuan si Bungsu. sopir taksi itu menjalankan taksinya.
“Apakah tidak ke hospital?” tanya sopir sambil melarikan mobil.
“Tidak. Ke Konsulat saja…” kata Nurdin terengah.
“Nurdin… ada apa..? si Bungsu yang memegang kepala temannya dipangkuannya itu bertanya kaget. Nurdin menghela nafas. Nampaknya dia sangat kesakitan.
“Kau…kau lihat perempuan dan Cina-cina yang turun dari kapal tadi..?” Nurdin balik bertanya sambil menahan rasa sakit. Si Bungsu mengangguk. Dia ingat semuanya.
Nurdin memegang bahu si Bungsu.
“Bungsu, dengarlah….” Dia coba mengumpulkan tenaga, ”kalau nyawa saya tak bisa ditolong, ada dua hal yang saya minta engkau melakukannya untuk saya, Bungsu. maukah engkau…?”
Si Bungsu mengangguk. Dia tak perlu bertanya apa permintaan temannya itu. Apapun yang diminta sahabatnya ini pasti akan dia lakukan demi menyenangkan hatinya. Nurdin kelihatan agak lega melihat angguknya itu.
“Terimakasih. Saya senang engkau mau melakukannnya untuk saya.
Pertama, engkau lindungi Salma dan anak saya. Hanya pada engkau mereka saya percayakan….” Nurdin terhenti, nampaknya dia berusaha mengumpulkan sisa tenaganya. Mobil dilarikan kecang menuju konsulat Indonesia. Meliuk-liuk dan berusaha mencari jalan pendek. Namun pada saat itu, si Bungsu jadi kaget mendengar permintaan temannya itu.
Tapi suara Nurdin segera memintas kekagetannya:
“Jangan menolak Bungsu. kalau engkau mau menikahi Salma, maka anggaplah dia sebagai adikmu. Namun percayalah, aku akan sangat berterima kasih, kalau engkau mau menikahinya. Percayalah, dia seorang perempuan berhati mulia…. Dan, permintaanku yang kedua, ini sebenarnya bukan tugasmu, … ini merupakan tugas konsulat dan pemerintah Indonesia…”
Nurdin terhenti lagi. Agak lama baru dia menyambung.
Tikam Samurai - 263
“Saya sengaja membawamu ke daerah pelabuhan itu tadi, dan saya sengaja tak memakai mobil konsulat, sebab kedatangan kita kesana merupakan rangkaian tugas rahasia. Perempuan-perempuan Indonesia yang kau lihat turun dari kapal tadi Bungsu, adalah perempuan-perempuan yang diselundupkan dari Indonesia. Dan Cina-Cina yang menyertai mereka, adalah agen-agennya. Ada sebuah sindikat Internasional yang mengorganisir perdagangan wanita-wanita. Yang juga melakukan jual beli wanita dari Indonesia.
Bungsu, sudah setahun kami mengintai langkah mereka. Jakarta telah berkali-kali mengintai, tapi mereka selalu lolos.
Dan saya sudah hampir bisa mencium jejak mereka di Singapura ini. Namun datanya belum saya kirim ke Jakarta. Bungsu, padamu saya minta tolong, kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu. Saya bukan tak percaya pada beberapa petugas di Konsulat Indonesia disini, namun saya lebih percaya padamu. Saya yakin, dokumen rahasia itu akan aman di tanganmu. Bungsu, jangan sampai orang di konsulat tahu, bahwa dokumen itu ada padamu….minta dokumen itu pada….pada Salma…” suara Nurdin lenyap.
“Nurdin…!”
Tak ada jawaban.
“Nurdin!” si Bungsu mengguncang bahu Letnan Kolonel itu. Namun tubuhnya tak bergerak. Saat itu sedan membuat tikungan tajam. Kemudian berhenti mendadak.
Gedung yang dijadikan untuk Kantor Konsulat Republik Indonesia itu tak lebih dari sebuah bangunan bertingkat yang sudah tua. Seorang penjaga dari kepolisian Singapura bergegas membukakan pintu. Dan dia kaget ketika melihat bahagian kanan taksi itu remuk dimakan peluru. Dan makin terkejut lagi dia. Ketika diketahuinya bahwa atase militer dari konsulat yang dia jaga terluka parah.
Dia segera berlari ke pintu konsulat. Memijit sebuah bel dan berlari ke box telepon. Hanya selang semenit setelah itu, halaman konsulat itu sudah dipenuhi oleh Polisi, ambulan dan dokter-dokter. Nurdin dinaikkan ke tandu. Tapi ketika dia akan dimasukkan ke ambulan yang akan membawanya ke hospital, si Bungsu mencegahnya. Dia mengatakan bahwa Nurdin meminta agar dia dirawat di konsulat saja.
Konsul Republik Indonesia untuk Singapura yang juga datang menatap si Bungsu.
“Apakah anda yang bernama Bungsu?”
Si Bungsu mengangguk.
Konsul itu menjabat tangan si Bungsu.
“Overste Nurdin banyak bercerita tentang anda, saya tak menyangka kita bertemu dalam saat seperti ini…” dia menoleh pada tubuh Nurdin yang masih tergeletak dalam pandu, “:Bawa dia ke dalam. Didalam ada ruang khusus untuk perawatan. Panggilkan dokter konsulat..”
Dan konsul itu memberikan perintah-perintah.
Dan dokter konsulat yang memeriksa Nurdin menyatakan bahwa meskipun sangat gawat, namun Overste itu mungkin masih bisa ditolong.
“Harus dioperasi. Ada dua peluru yang bersarang di tulang dekat jantungnya. Dan untuk operasi harus di hospital…” kata dokter itu. Si Bungsu kembali menerangkan bahwa Nurdin menolak ketika akan dibawa oleh taksi ke Hospital tadi.
Konsul kembali menatap si Bungsu.
“Kalau demikian dia mempunyai alasan-alasan khusus. Minta saja agar operasi diadakan di konsulat ini…”
Dan permintaan konsul Indonesia itu dikabulkan oleh Pemerintah Singapura. Seperangkat alat-alat operasi segera dipindahkan ke konsulat tersebut.
Konsul Indonesia itu memutuskan untuk memberi tahu isteri Nurdin melalui telepon.
“Bu Salma…”
“Ya, ini dari siapa…?”
Konsul itu menyebutkan namanya.
“Oh, bapak. Apa kabar pak, ibuk di rumah?”
“Ya. Ya, dia ada dirumah…tapi…”
“Bapak ingin bicara dengan Pak Nurdin?”
“Tidak. Tidak. Dia ada di sini. Eh, maksud saya ya, ya dia ada di konsulat sekarang ini. Ada pertemuan penting. Saya harap ibu juga bisa hadir di sini sekarang…”
Salma memang tak punya prasangka. Dia segera saja bersiap dan berangkat ke konsulta dengan mobil dinas suaminya yang memang ditinggal di rumah. Sebagai isteri seorang diplomat, bagi Salma bukanlah hal yang baru kalau tiba-tiba diminta datang kesuatu tempat dan acara dengan mendadak. Apalagi yang memanggil ini adalah Konsul sendiri. Salma berpendapat, pastilah ada pertemuan yang penting sekarang. Sehingga ibuk-ibuk pejabat teras konsulat diperlukan untuk hadir.
Namun segala pendapatnya itu segera saja buyar ketika mobil memasuki halaman konsulat. Konsulat itu dipenuhi oleh mobil polisi yang nampaknya siap siaga.
Dan kagetnya segera berobah jadi pekik tangis ketika dia tiba di dalam. Ketika padanya diberitahu tentang malapetaka yang menimpa suaminya. Untunglah konsul Indonesia itu dan isterinya juga datang menahan Salma. Kalau tidak, perempuan itu pasti telah memeluk suaminya yang tengah menjalani operasi.
“Saya sengaja membawamu ke daerah pelabuhan itu tadi, dan saya sengaja tak memakai mobil konsulat, sebab kedatangan kita kesana merupakan rangkaian tugas rahasia. Perempuan-perempuan Indonesia yang kau lihat turun dari kapal tadi Bungsu, adalah perempuan-perempuan yang diselundupkan dari Indonesia. Dan Cina-Cina yang menyertai mereka, adalah agen-agennya. Ada sebuah sindikat Internasional yang mengorganisir perdagangan wanita-wanita. Yang juga melakukan jual beli wanita dari Indonesia.
Bungsu, sudah setahun kami mengintai langkah mereka. Jakarta telah berkali-kali mengintai, tapi mereka selalu lolos.
Dan saya sudah hampir bisa mencium jejak mereka di Singapura ini. Namun datanya belum saya kirim ke Jakarta. Bungsu, padamu saya minta tolong, kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu. Saya bukan tak percaya pada beberapa petugas di Konsulat Indonesia disini, namun saya lebih percaya padamu. Saya yakin, dokumen rahasia itu akan aman di tanganmu. Bungsu, jangan sampai orang di konsulat tahu, bahwa dokumen itu ada padamu….minta dokumen itu pada….pada Salma…” suara Nurdin lenyap.
“Nurdin…!”
Tak ada jawaban.
“Nurdin!” si Bungsu mengguncang bahu Letnan Kolonel itu. Namun tubuhnya tak bergerak. Saat itu sedan membuat tikungan tajam. Kemudian berhenti mendadak.
Gedung yang dijadikan untuk Kantor Konsulat Republik Indonesia itu tak lebih dari sebuah bangunan bertingkat yang sudah tua. Seorang penjaga dari kepolisian Singapura bergegas membukakan pintu. Dan dia kaget ketika melihat bahagian kanan taksi itu remuk dimakan peluru. Dan makin terkejut lagi dia. Ketika diketahuinya bahwa atase militer dari konsulat yang dia jaga terluka parah.
Dia segera berlari ke pintu konsulat. Memijit sebuah bel dan berlari ke box telepon. Hanya selang semenit setelah itu, halaman konsulat itu sudah dipenuhi oleh Polisi, ambulan dan dokter-dokter. Nurdin dinaikkan ke tandu. Tapi ketika dia akan dimasukkan ke ambulan yang akan membawanya ke hospital, si Bungsu mencegahnya. Dia mengatakan bahwa Nurdin meminta agar dia dirawat di konsulat saja.
Konsul Republik Indonesia untuk Singapura yang juga datang menatap si Bungsu.
“Apakah anda yang bernama Bungsu?”
Si Bungsu mengangguk.
Konsul itu menjabat tangan si Bungsu.
“Overste Nurdin banyak bercerita tentang anda, saya tak menyangka kita bertemu dalam saat seperti ini…” dia menoleh pada tubuh Nurdin yang masih tergeletak dalam pandu, “:Bawa dia ke dalam. Didalam ada ruang khusus untuk perawatan. Panggilkan dokter konsulat..”
Dan konsul itu memberikan perintah-perintah.
Dan dokter konsulat yang memeriksa Nurdin menyatakan bahwa meskipun sangat gawat, namun Overste itu mungkin masih bisa ditolong.
“Harus dioperasi. Ada dua peluru yang bersarang di tulang dekat jantungnya. Dan untuk operasi harus di hospital…” kata dokter itu. Si Bungsu kembali menerangkan bahwa Nurdin menolak ketika akan dibawa oleh taksi ke Hospital tadi.
Konsul kembali menatap si Bungsu.
“Kalau demikian dia mempunyai alasan-alasan khusus. Minta saja agar operasi diadakan di konsulat ini…”
Dan permintaan konsul Indonesia itu dikabulkan oleh Pemerintah Singapura. Seperangkat alat-alat operasi segera dipindahkan ke konsulat tersebut.
Konsul Indonesia itu memutuskan untuk memberi tahu isteri Nurdin melalui telepon.
“Bu Salma…”
“Ya, ini dari siapa…?”
Konsul itu menyebutkan namanya.
“Oh, bapak. Apa kabar pak, ibuk di rumah?”
“Ya. Ya, dia ada dirumah…tapi…”
“Bapak ingin bicara dengan Pak Nurdin?”
“Tidak. Tidak. Dia ada di sini. Eh, maksud saya ya, ya dia ada di konsulat sekarang ini. Ada pertemuan penting. Saya harap ibu juga bisa hadir di sini sekarang…”
Salma memang tak punya prasangka. Dia segera saja bersiap dan berangkat ke konsulta dengan mobil dinas suaminya yang memang ditinggal di rumah. Sebagai isteri seorang diplomat, bagi Salma bukanlah hal yang baru kalau tiba-tiba diminta datang kesuatu tempat dan acara dengan mendadak. Apalagi yang memanggil ini adalah Konsul sendiri. Salma berpendapat, pastilah ada pertemuan yang penting sekarang. Sehingga ibuk-ibuk pejabat teras konsulat diperlukan untuk hadir.
Namun segala pendapatnya itu segera saja buyar ketika mobil memasuki halaman konsulat. Konsulat itu dipenuhi oleh mobil polisi yang nampaknya siap siaga.
Dan kagetnya segera berobah jadi pekik tangis ketika dia tiba di dalam. Ketika padanya diberitahu tentang malapetaka yang menimpa suaminya. Untunglah konsul Indonesia itu dan isterinya juga datang menahan Salma. Kalau tidak, perempuan itu pasti telah memeluk suaminya yang tengah menjalani operasi.
Bungsu, sudah setahun kami mengintai langkah mereka. Jakarta telah berkali-kali mengintai, tapi mereka selalu lolos.
Dan saya sudah hampir bisa mencium jejak mereka di Singapura ini. Namun datanya belum saya kirim ke Jakarta. Bungsu, padamu saya minta tolong, kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu. Saya bukan tak percaya pada beberapa petugas di Konsulat Indonesia disini, namun saya lebih percaya padamu. Saya yakin, dokumen rahasia itu akan aman di tanganmu. Bungsu, jangan sampai orang di konsulat tahu, bahwa dokumen itu ada padamu….minta dokumen itu pada….pada Salma…” suara Nurdin lenyap.
“Nurdin…!”
Tak ada jawaban.
“Nurdin!” si Bungsu mengguncang bahu Letnan Kolonel itu. Namun tubuhnya tak bergerak. Saat itu sedan membuat tikungan tajam. Kemudian berhenti mendadak.
Gedung yang dijadikan untuk Kantor Konsulat Republik Indonesia itu tak lebih dari sebuah bangunan bertingkat yang sudah tua. Seorang penjaga dari kepolisian Singapura bergegas membukakan pintu. Dan dia kaget ketika melihat bahagian kanan taksi itu remuk dimakan peluru. Dan makin terkejut lagi dia. Ketika diketahuinya bahwa atase militer dari konsulat yang dia jaga terluka parah.
Dia segera berlari ke pintu konsulat. Memijit sebuah bel dan berlari ke box telepon. Hanya selang semenit setelah itu, halaman konsulat itu sudah dipenuhi oleh Polisi, ambulan dan dokter-dokter. Nurdin dinaikkan ke tandu. Tapi ketika dia akan dimasukkan ke ambulan yang akan membawanya ke hospital, si Bungsu mencegahnya. Dia mengatakan bahwa Nurdin meminta agar dia dirawat di konsulat saja.
Konsul Republik Indonesia untuk Singapura yang juga datang menatap si Bungsu.
“Apakah anda yang bernama Bungsu?”
Si Bungsu mengangguk.
Konsul itu menjabat tangan si Bungsu.
“Overste Nurdin banyak bercerita tentang anda, saya tak menyangka kita bertemu dalam saat seperti ini…” dia menoleh pada tubuh Nurdin yang masih tergeletak dalam pandu, “:Bawa dia ke dalam. Didalam ada ruang khusus untuk perawatan. Panggilkan dokter konsulat..”
Dan konsul itu memberikan perintah-perintah.
Dan dokter konsulat yang memeriksa Nurdin menyatakan bahwa meskipun sangat gawat, namun Overste itu mungkin masih bisa ditolong.
“Harus dioperasi. Ada dua peluru yang bersarang di tulang dekat jantungnya. Dan untuk operasi harus di hospital…” kata dokter itu. Si Bungsu kembali menerangkan bahwa Nurdin menolak ketika akan dibawa oleh taksi ke Hospital tadi.
Konsul kembali menatap si Bungsu.
“Kalau demikian dia mempunyai alasan-alasan khusus. Minta saja agar operasi diadakan di konsulat ini…”
Dan permintaan konsul Indonesia itu dikabulkan oleh Pemerintah Singapura. Seperangkat alat-alat operasi segera dipindahkan ke konsulat tersebut.
Konsul Indonesia itu memutuskan untuk memberi tahu isteri Nurdin melalui telepon.
“Bu Salma…”
“Ya, ini dari siapa…?”
Konsul itu menyebutkan namanya.
“Oh, bapak. Apa kabar pak, ibuk di rumah?”
“Ya. Ya, dia ada dirumah…tapi…”
“Bapak ingin bicara dengan Pak Nurdin?”
“Tidak. Tidak. Dia ada di sini. Eh, maksud saya ya, ya dia ada di konsulat sekarang ini. Ada pertemuan penting. Saya harap ibu juga bisa hadir di sini sekarang…”
Salma memang tak punya prasangka. Dia segera saja bersiap dan berangkat ke konsulta dengan mobil dinas suaminya yang memang ditinggal di rumah. Sebagai isteri seorang diplomat, bagi Salma bukanlah hal yang baru kalau tiba-tiba diminta datang kesuatu tempat dan acara dengan mendadak. Apalagi yang memanggil ini adalah Konsul sendiri. Salma berpendapat, pastilah ada pertemuan yang penting sekarang. Sehingga ibuk-ibuk pejabat teras konsulat diperlukan untuk hadir.
Namun segala pendapatnya itu segera saja buyar ketika mobil memasuki halaman konsulat. Konsulat itu dipenuhi oleh mobil polisi yang nampaknya siap siaga.
Dan kagetnya segera berobah jadi pekik tangis ketika dia tiba di dalam. Ketika padanya diberitahu tentang malapetaka yang menimpa suaminya. Untunglah konsul Indonesia itu dan isterinya juga datang menahan Salma. Kalau tidak, perempuan itu pasti telah memeluk suaminya yang tengah menjalani operasi.
Tikam Samurai - 264
“Tenanglah Salma. Tenanglah, overste pasti selamat. Tenanglah…” nyonya konsul membujuk. Salma menangis memeluk perempuan separoh baya yang telah dia anggap sebagai ibunya itu.
“Apa yang terjadi bu? Apa yang terjadi dengan suami saya…”
“Barangkali ada kekeliruan. Dia kena tembak di pelabuhan…” suara konsul menjelaskan. Salma menatap pada pejabat tinggi Republik Indonesia itu.
“Di pelabuhan…?”
“Ya. Dia bersama saudara Bungsu…”
Dan Salma baru ingat akan anak muda itu. Dia menoleh pada arah yang juga ditoleh oleh konsul tersebut. Disana ditentang bahu Nurdin, dalam jarak dua depa, tegak anak muda itu dengan diam. Ketika tadi Salma masuk, dia ingin menemuinya. Tapi anak muda ini segera tahu diri. Tempat ini adalah tempa para pejabat. Bukan tempatnya. Dan dia merasa kurang pantas kalau harus dia menemui Salma. Apa benar jabatannya hingga berani mendekati isteri seorang atase militer dari sebuah Negara?
Ah, dia merasa tak pantas. Dan karenanya dia mengundurkan diri diam-diam. Lalu tegak di balik tali yang dibuat secara darurat untuk membatasi dokter-dokter yang tengah mengoperasi itu dengan para pejabat konsulat yang hadir disana.
Barulah ketika namanya terdengar disebut dia menolehkan kepala. Salma tengah menatap padanya. Dia mengangguk pada isteri atase militer itu. Dalam cahaya listrik, Salma melihat bercak darah memenuhi kemeja dan kaki celana si Bungsu. dan dapat dia duga, suaminya pastilah rebah ke tubuh anak muda itu tadi. Dan ingatannya hanya sampai disana. Tubuhnya doyong. Dan perempuan muda itu lalu rubuh tak sadar diri. Dia sangat mencintai suaminya. Mencintai ayah dari anaknya. Dan malapetaka ini adalah cobaan pertama selama perkawinan mereka yang selalu berbunga bahagia. Dan setiap goncangan yang pertama meskipun tak begitu kuat, akan terasa melumpuhkan. Apakah goncangan kuat seperti yang dialaminya saat ini!
Salma lalu digotong ke kamar yang ada di kantor itu. Dan operasi terhadap Nurdin berlanjutr terus.
Menjelang tengah malam, sudah ada delapan dokter berkumpul disana. Dan Nurdin masih tetap tak sadar diri.
Lewat tengah malam. Dari dua peluru yang bersarang dekat jantung Nurdin, belum satupun yang bisa dikeluarkan. Mereka baru sampai pada taraf penghentian pendarahan secara total.
Mereka memerlukan beberapa kali konsultasi untuk mencabut kedua peluru itu dari sela jantung Nurdin. Sebab letaknya amat berbahaya. Sedikit saja bergeser atau mengenai tempat lain, maka akibatnya fatal.
Mungkin tidak mematikan. Tapi bisa melumpuhkan overste itu secara total seumur hidupnya. Tabung zat asam dan infus darah dilakukan terus menerus.
Menjelang pagi, barulah kedua peluru itu bisa diangkat dan dibuang. Namun pekerjaan berbahaya masih belum selesai. Penjahitan kembali dua liang tempat peluru itu terbenam memerlukan kehati-hatian yang tak kalah dari saat mengangkat perluru itu tadi.
Seluruh operasi yang menegangkan untuk menyelamatkan nyawa atase militer dari Indonesia itu baru selesai takkala siang telah datang.
“Dia selamat. Tapi diperlukan waktu yang amat lama baginya untuk istrirahat…” dokter konsulat yang memimpin operasi itu berkata sambil membuka tutup mulut dan sarung tangan karetnya.
Salma yang sudah sejak tadi sadar diri, menangis tersedu-sedu. Dan dia tercenung ketika didengarnya orang sembahyang dari kamar sebelah. Dari bacaan ayatnya dia segera mengenal bahwa yang sembahyang adalah si Bungsu.
Salma dan keluarga konsul Republik Indonesia itu sama-sama tercenung. Mereka semua orang Islam. Tapi karena alasan kesibukan tugas negara, mereka amat jarang sholat. Bahkan boleh dikata mereka tak pernah melakukannya. Demikian juga Salma. Padahal dahulu dia adalah gadis yang soleh. Bekas pelajar Diniyah Puteri Padang Panjang.
Dan tanpa dapat ditahan, air mata perempuan muda itu merembes turun. Konsul sendiri bergegas ke kamar mandi. Mengambil wudhuk. Kemudian ikut sembahyang.
Ah, meskipun dia seorang pejabat tinggi, namun dia tak malu untuk belajar dari yang lebih muda.
Kenapa harus malu memulai sholat, pikirnya. Dan dia sholat dibelakang si Bungsu tegak. Untuk keamanan, Nurdin tetap tak dirawat di hospital ataupun di rumahnya.
Konsul menyuruh agar dia dirawat di konsulat itu saja. Kantor Konsulat itu cukup besar. Konsul Jenderal itu sendiri dahulu tinggal di gedung Konsulat tersebut bersama anak isterinya.
Kini kamar itu ditempati oleh Salma dan suaminya yang sakit.
Dokter datang tiga kali sehari mencek keadaannya.
“Tenanglah Salma. Tenanglah, overste pasti selamat. Tenanglah…” nyonya konsul membujuk. Salma menangis memeluk perempuan separoh baya yang telah dia anggap sebagai ibunya itu.
“Apa yang terjadi bu? Apa yang terjadi dengan suami saya…”
“Barangkali ada kekeliruan. Dia kena tembak di pelabuhan…” suara konsul menjelaskan. Salma menatap pada pejabat tinggi Republik Indonesia itu.
“Di pelabuhan…?”
“Ya. Dia bersama saudara Bungsu…”
Dan Salma baru ingat akan anak muda itu. Dia menoleh pada arah yang juga ditoleh oleh konsul tersebut. Disana ditentang bahu Nurdin, dalam jarak dua depa, tegak anak muda itu dengan diam. Ketika tadi Salma masuk, dia ingin menemuinya. Tapi anak muda ini segera tahu diri. Tempat ini adalah tempa para pejabat. Bukan tempatnya. Dan dia merasa kurang pantas kalau harus dia menemui Salma. Apa benar jabatannya hingga berani mendekati isteri seorang atase militer dari sebuah Negara?
Ah, dia merasa tak pantas. Dan karenanya dia mengundurkan diri diam-diam. Lalu tegak di balik tali yang dibuat secara darurat untuk membatasi dokter-dokter yang tengah mengoperasi itu dengan para pejabat konsulat yang hadir disana.
Barulah ketika namanya terdengar disebut dia menolehkan kepala. Salma tengah menatap padanya. Dia mengangguk pada isteri atase militer itu. Dalam cahaya listrik, Salma melihat bercak darah memenuhi kemeja dan kaki celana si Bungsu. dan dapat dia duga, suaminya pastilah rebah ke tubuh anak muda itu tadi. Dan ingatannya hanya sampai disana. Tubuhnya doyong. Dan perempuan muda itu lalu rubuh tak sadar diri. Dia sangat mencintai suaminya. Mencintai ayah dari anaknya. Dan malapetaka ini adalah cobaan pertama selama perkawinan mereka yang selalu berbunga bahagia. Dan setiap goncangan yang pertama meskipun tak begitu kuat, akan terasa melumpuhkan. Apakah goncangan kuat seperti yang dialaminya saat ini!
Salma lalu digotong ke kamar yang ada di kantor itu. Dan operasi terhadap Nurdin berlanjutr terus.
Menjelang tengah malam, sudah ada delapan dokter berkumpul disana. Dan Nurdin masih tetap tak sadar diri.
Lewat tengah malam. Dari dua peluru yang bersarang dekat jantung Nurdin, belum satupun yang bisa dikeluarkan. Mereka baru sampai pada taraf penghentian pendarahan secara total.
Mereka memerlukan beberapa kali konsultasi untuk mencabut kedua peluru itu dari sela jantung Nurdin. Sebab letaknya amat berbahaya. Sedikit saja bergeser atau mengenai tempat lain, maka akibatnya fatal.
Mungkin tidak mematikan. Tapi bisa melumpuhkan overste itu secara total seumur hidupnya. Tabung zat asam dan infus darah dilakukan terus menerus.
Menjelang pagi, barulah kedua peluru itu bisa diangkat dan dibuang. Namun pekerjaan berbahaya masih belum selesai. Penjahitan kembali dua liang tempat peluru itu terbenam memerlukan kehati-hatian yang tak kalah dari saat mengangkat perluru itu tadi.
Seluruh operasi yang menegangkan untuk menyelamatkan nyawa atase militer dari Indonesia itu baru selesai takkala siang telah datang.
“Dia selamat. Tapi diperlukan waktu yang amat lama baginya untuk istrirahat…” dokter konsulat yang memimpin operasi itu berkata sambil membuka tutup mulut dan sarung tangan karetnya.
Salma yang sudah sejak tadi sadar diri, menangis tersedu-sedu. Dan dia tercenung ketika didengarnya orang sembahyang dari kamar sebelah. Dari bacaan ayatnya dia segera mengenal bahwa yang sembahyang adalah si Bungsu.
Salma dan keluarga konsul Republik Indonesia itu sama-sama tercenung. Mereka semua orang Islam. Tapi karena alasan kesibukan tugas negara, mereka amat jarang sholat. Bahkan boleh dikata mereka tak pernah melakukannya. Demikian juga Salma. Padahal dahulu dia adalah gadis yang soleh. Bekas pelajar Diniyah Puteri Padang Panjang.
Dan tanpa dapat ditahan, air mata perempuan muda itu merembes turun. Konsul sendiri bergegas ke kamar mandi. Mengambil wudhuk. Kemudian ikut sembahyang.
Ah, meskipun dia seorang pejabat tinggi, namun dia tak malu untuk belajar dari yang lebih muda.
Kenapa harus malu memulai sholat, pikirnya. Dan dia sholat dibelakang si Bungsu tegak. Untuk keamanan, Nurdin tetap tak dirawat di hospital ataupun di rumahnya.
Konsul menyuruh agar dia dirawat di konsulat itu saja. Kantor Konsulat itu cukup besar. Konsul Jenderal itu sendiri dahulu tinggal di gedung Konsulat tersebut bersama anak isterinya.
Kini kamar itu ditempati oleh Salma dan suaminya yang sakit.
Dokter datang tiga kali sehari mencek keadaannya.
“Apa yang terjadi bu? Apa yang terjadi dengan suami saya…”
“Barangkali ada kekeliruan. Dia kena tembak di pelabuhan…” suara konsul menjelaskan. Salma menatap pada pejabat tinggi Republik Indonesia itu.
“Di pelabuhan…?”
“Ya. Dia bersama saudara Bungsu…”
Dan Salma baru ingat akan anak muda itu. Dia menoleh pada arah yang juga ditoleh oleh konsul tersebut. Disana ditentang bahu Nurdin, dalam jarak dua depa, tegak anak muda itu dengan diam. Ketika tadi Salma masuk, dia ingin menemuinya. Tapi anak muda ini segera tahu diri. Tempat ini adalah tempa para pejabat. Bukan tempatnya. Dan dia merasa kurang pantas kalau harus dia menemui Salma. Apa benar jabatannya hingga berani mendekati isteri seorang atase militer dari sebuah Negara?
Ah, dia merasa tak pantas. Dan karenanya dia mengundurkan diri diam-diam. Lalu tegak di balik tali yang dibuat secara darurat untuk membatasi dokter-dokter yang tengah mengoperasi itu dengan para pejabat konsulat yang hadir disana.
Barulah ketika namanya terdengar disebut dia menolehkan kepala. Salma tengah menatap padanya. Dia mengangguk pada isteri atase militer itu. Dalam cahaya listrik, Salma melihat bercak darah memenuhi kemeja dan kaki celana si Bungsu. dan dapat dia duga, suaminya pastilah rebah ke tubuh anak muda itu tadi. Dan ingatannya hanya sampai disana. Tubuhnya doyong. Dan perempuan muda itu lalu rubuh tak sadar diri. Dia sangat mencintai suaminya. Mencintai ayah dari anaknya. Dan malapetaka ini adalah cobaan pertama selama perkawinan mereka yang selalu berbunga bahagia. Dan setiap goncangan yang pertama meskipun tak begitu kuat, akan terasa melumpuhkan. Apakah goncangan kuat seperti yang dialaminya saat ini!
Salma lalu digotong ke kamar yang ada di kantor itu. Dan operasi terhadap Nurdin berlanjutr terus.
Menjelang tengah malam, sudah ada delapan dokter berkumpul disana. Dan Nurdin masih tetap tak sadar diri.
Lewat tengah malam. Dari dua peluru yang bersarang dekat jantung Nurdin, belum satupun yang bisa dikeluarkan. Mereka baru sampai pada taraf penghentian pendarahan secara total.
Mereka memerlukan beberapa kali konsultasi untuk mencabut kedua peluru itu dari sela jantung Nurdin. Sebab letaknya amat berbahaya. Sedikit saja bergeser atau mengenai tempat lain, maka akibatnya fatal.
Mungkin tidak mematikan. Tapi bisa melumpuhkan overste itu secara total seumur hidupnya. Tabung zat asam dan infus darah dilakukan terus menerus.
Menjelang pagi, barulah kedua peluru itu bisa diangkat dan dibuang. Namun pekerjaan berbahaya masih belum selesai. Penjahitan kembali dua liang tempat peluru itu terbenam memerlukan kehati-hatian yang tak kalah dari saat mengangkat perluru itu tadi.
Seluruh operasi yang menegangkan untuk menyelamatkan nyawa atase militer dari Indonesia itu baru selesai takkala siang telah datang.
“Dia selamat. Tapi diperlukan waktu yang amat lama baginya untuk istrirahat…” dokter konsulat yang memimpin operasi itu berkata sambil membuka tutup mulut dan sarung tangan karetnya.
Salma yang sudah sejak tadi sadar diri, menangis tersedu-sedu. Dan dia tercenung ketika didengarnya orang sembahyang dari kamar sebelah. Dari bacaan ayatnya dia segera mengenal bahwa yang sembahyang adalah si Bungsu.
Salma dan keluarga konsul Republik Indonesia itu sama-sama tercenung. Mereka semua orang Islam. Tapi karena alasan kesibukan tugas negara, mereka amat jarang sholat. Bahkan boleh dikata mereka tak pernah melakukannya. Demikian juga Salma. Padahal dahulu dia adalah gadis yang soleh. Bekas pelajar Diniyah Puteri Padang Panjang.
Dan tanpa dapat ditahan, air mata perempuan muda itu merembes turun. Konsul sendiri bergegas ke kamar mandi. Mengambil wudhuk. Kemudian ikut sembahyang.
Ah, meskipun dia seorang pejabat tinggi, namun dia tak malu untuk belajar dari yang lebih muda.
Kenapa harus malu memulai sholat, pikirnya. Dan dia sholat dibelakang si Bungsu tegak. Untuk keamanan, Nurdin tetap tak dirawat di hospital ataupun di rumahnya.
Konsul menyuruh agar dia dirawat di konsulat itu saja. Kantor Konsulat itu cukup besar. Konsul Jenderal itu sendiri dahulu tinggal di gedung Konsulat tersebut bersama anak isterinya.
Kini kamar itu ditempati oleh Salma dan suaminya yang sakit.
Dokter datang tiga kali sehari mencek keadaannya.
Tikam Samurai - 265
Hari keempat setelah operasi itu.
Nurdin masih belum sadar. Namun keadaannya tak lagi begitu mengkhawatirkan. Makanannya diinfuskan melalui pembuluh darah berupa zat cair berwarna putih. Di kamar tamu, si Bungsu menceritakan pada Salma tentang peristiwa di pelabuhan tersebut.
“Dia mengatakan tentang dokumen yang ada padamu. Salma…”
“Dokumen?”
“Ya. Ada sebuah map biru berbungkus kertas minyak berwarna kuning…”
Salma coba mengingat.
“Oh ya. Ya, saya ingat. Dia berikan sebulan sebelum kejadian ini..”
“Engkau mengetahui isinya?”
“tidak. Saya hanya menyimpannya..”
“Dia meminta saya mempelajari dokumen itu”
“Apakah tak lebih baik diserahkan pada Konsul?”
Dia tak berkata begitu. Barangkali dia tak ingin memberitahukannya sebelum dia usut secara menyeluruh. Ada dokumen itu sekarang…?”
“Ada. Di rumah di jalan Brash Basah. Kita bisa mengambilnya sekarang…”
Salma lalu berdiri. Namun telinga si Bungsu yang amat tajam dapat menangkap suara langkah kaki bergeser halus dibalik pintu ruang tamu dimana mereka berada.
Langkah itu jelas sekali diinjakkan secara amat hati-hati. Semula si Bungsu berniat memburu. Tapi dia segera sadar. Ini adalah gedung konsulat. Dan statusnya sendiri hanyalah sebagai tamu. Dia tak mau bertindak gegabah. Namun peringatan Nurdin ketika menuju ke konsulat ini terngiang ditelinganya:
“Kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu. Saya bukannya tak percaya pada beberapa petugas di konsulat Indonesia di kota ini. Namun saya lebih percaya padamu. Bungsu, jangan sampai orang di konsul tahu, bahwa dokumen itu ada padamu…”
Masih dia ingat pesan itu. Dan hatinya jadi tak sedap mengingat langkah menjauh di balik pintu tadi. Kalau demikian, gerak gerik mereka di gedung ini telah diawasi dengan cermat. Hanya pihak manakah yang mengamati itu?
Saat itu Salma muncul setelah bertukar pakaian. Mereka segera menuju ke rumah kediaman Salma di jalan Brash Basah.
“Uda, apakah Bang Nurdin ada berpesan sesuatu padamu sebelum di jatuh pingsan dahulu..?”
Tiba-tiba saja bertanya ketika mobil telah berjalan. Si Bungsu jadi kaget. Dia teringat pada pesan Nurdin yang meminta dia menjaga dan bahkan mengawini Salma jika Nurdin meninggal dunia.
Dan sampai saat ini, overste itu belum juga sadar diri. Nyawanya masih dalam kritis. Akan dia ceritakan permintaan Nurdin itu?
“Ya. Dia berpesan tentang dokumen itu..”
“Tak ada yang lain?”
“Tidak..”
Salma menarik nafas panjang. Si Bungsu juga meraik nafas panjang. Tapi nafas mereka seperti terhenti tatkala mereka sampai di rumah kediaman Salma di jalan Brash Basah.
Isi rumah itu seperti sudah diaduk aduk ribuan kerbau.
Meja kursi dan tempat tidur bertempetasan. Kain-kain dan laci-laci semua terbongkar habis. Dan lebih kaget lagi, diruang tengah, seorang polisis Singapura yang bertugas menjaga rumah itu kelihatan terbaring berlumur darah.
Salma terpekik dan memeluk si Bungsu.
“Tenanglah. Tenang. Dimana engkau simpan dokumen itu?”
Namun Salma tak bisa segera tenang. Keadaan suaminya dan ditambah dengan situasi rumah ini menambah kesan yang amat kuat dihatinya. Betapa sebenarnya suaminya berada dalam bahaya besar. Hal itu menggoncangkan hati Salma.
Namun akhirnya Salma berhasil juga ditenangkan. Dan dia menunjukkan dimana dia menyimpan dokumen tersebut. Ternyata dia cukup pandai menyimpan dokumen itu, karena dikatakan suaminya amat penting dia simpan dalam lemari yang tertanam ke dalam dinding. Dan di bahagian depan dinding yang menyimpan lemari itu, terletak kaca lebar.
Takkan ada orang yang menyangka bahwa dia menyimpan dokumen atau benda apapun dibelakang kaca itu. Bahkan kalaupun kaca itu dihancurkan, lemari dalam dinding itu tak pula segera kelihatan.
Salma sendiri mengetahui lemari itu ketika dahulu serah terima dengan penghuni sebelumnya. Nyonya rumah yang akan pindah itu, seorang nyonya Inggris, membawa Salma keliling kamar. Kemudian menunjukkan lemari rahasia tersebut.
Dan ternyata kinipun orang yang menggeledah rumahnya tak menemukan lemari rahasia tersebut. Dokumen dalam map biru yang dibungkus kertas minyak kuning itu masih utuh bersama beberapa dokumen lainnya berikut perhiasan-perhiasan Salma.
Tiba-tiba si Bungsu tertegak. Salma merasa heran atas sikapnya itu.
Hari keempat setelah operasi itu.
Nurdin masih belum sadar. Namun keadaannya tak lagi begitu mengkhawatirkan. Makanannya diinfuskan melalui pembuluh darah berupa zat cair berwarna putih. Di kamar tamu, si Bungsu menceritakan pada Salma tentang peristiwa di pelabuhan tersebut.
“Dia mengatakan tentang dokumen yang ada padamu. Salma…”
“Dokumen?”
“Ya. Ada sebuah map biru berbungkus kertas minyak berwarna kuning…”
Salma coba mengingat.
“Oh ya. Ya, saya ingat. Dia berikan sebulan sebelum kejadian ini..”
“Engkau mengetahui isinya?”
“tidak. Saya hanya menyimpannya..”
“Dia meminta saya mempelajari dokumen itu”
“Apakah tak lebih baik diserahkan pada Konsul?”
Dia tak berkata begitu. Barangkali dia tak ingin memberitahukannya sebelum dia usut secara menyeluruh. Ada dokumen itu sekarang…?”
“Ada. Di rumah di jalan Brash Basah. Kita bisa mengambilnya sekarang…”
Salma lalu berdiri. Namun telinga si Bungsu yang amat tajam dapat menangkap suara langkah kaki bergeser halus dibalik pintu ruang tamu dimana mereka berada.
Langkah itu jelas sekali diinjakkan secara amat hati-hati. Semula si Bungsu berniat memburu. Tapi dia segera sadar. Ini adalah gedung konsulat. Dan statusnya sendiri hanyalah sebagai tamu. Dia tak mau bertindak gegabah. Namun peringatan Nurdin ketika menuju ke konsulat ini terngiang ditelinganya:
“Kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu. Saya bukannya tak percaya pada beberapa petugas di konsulat Indonesia di kota ini. Namun saya lebih percaya padamu. Bungsu, jangan sampai orang di konsul tahu, bahwa dokumen itu ada padamu…”
Masih dia ingat pesan itu. Dan hatinya jadi tak sedap mengingat langkah menjauh di balik pintu tadi. Kalau demikian, gerak gerik mereka di gedung ini telah diawasi dengan cermat. Hanya pihak manakah yang mengamati itu?
Saat itu Salma muncul setelah bertukar pakaian. Mereka segera menuju ke rumah kediaman Salma di jalan Brash Basah.
“Uda, apakah Bang Nurdin ada berpesan sesuatu padamu sebelum di jatuh pingsan dahulu..?”
Tiba-tiba saja bertanya ketika mobil telah berjalan. Si Bungsu jadi kaget. Dia teringat pada pesan Nurdin yang meminta dia menjaga dan bahkan mengawini Salma jika Nurdin meninggal dunia.
Dan sampai saat ini, overste itu belum juga sadar diri. Nyawanya masih dalam kritis. Akan dia ceritakan permintaan Nurdin itu?
“Ya. Dia berpesan tentang dokumen itu..”
“Tak ada yang lain?”
“Tidak..”
Salma menarik nafas panjang. Si Bungsu juga meraik nafas panjang. Tapi nafas mereka seperti terhenti tatkala mereka sampai di rumah kediaman Salma di jalan Brash Basah.
Isi rumah itu seperti sudah diaduk aduk ribuan kerbau.
Meja kursi dan tempat tidur bertempetasan. Kain-kain dan laci-laci semua terbongkar habis. Dan lebih kaget lagi, diruang tengah, seorang polisis Singapura yang bertugas menjaga rumah itu kelihatan terbaring berlumur darah.
Salma terpekik dan memeluk si Bungsu.
“Tenanglah. Tenang. Dimana engkau simpan dokumen itu?”
Namun Salma tak bisa segera tenang. Keadaan suaminya dan ditambah dengan situasi rumah ini menambah kesan yang amat kuat dihatinya. Betapa sebenarnya suaminya berada dalam bahaya besar. Hal itu menggoncangkan hati Salma.
Namun akhirnya Salma berhasil juga ditenangkan. Dan dia menunjukkan dimana dia menyimpan dokumen tersebut. Ternyata dia cukup pandai menyimpan dokumen itu, karena dikatakan suaminya amat penting dia simpan dalam lemari yang tertanam ke dalam dinding. Dan di bahagian depan dinding yang menyimpan lemari itu, terletak kaca lebar.
Takkan ada orang yang menyangka bahwa dia menyimpan dokumen atau benda apapun dibelakang kaca itu. Bahkan kalaupun kaca itu dihancurkan, lemari dalam dinding itu tak pula segera kelihatan.
Salma sendiri mengetahui lemari itu ketika dahulu serah terima dengan penghuni sebelumnya. Nyonya rumah yang akan pindah itu, seorang nyonya Inggris, membawa Salma keliling kamar. Kemudian menunjukkan lemari rahasia tersebut.
Dan ternyata kinipun orang yang menggeledah rumahnya tak menemukan lemari rahasia tersebut. Dokumen dalam map biru yang dibungkus kertas minyak kuning itu masih utuh bersama beberapa dokumen lainnya berikut perhiasan-perhiasan Salma.
Tiba-tiba si Bungsu tertegak. Salma merasa heran atas sikapnya itu.
Nurdin masih belum sadar. Namun keadaannya tak lagi begitu mengkhawatirkan. Makanannya diinfuskan melalui pembuluh darah berupa zat cair berwarna putih. Di kamar tamu, si Bungsu menceritakan pada Salma tentang peristiwa di pelabuhan tersebut.
“Dia mengatakan tentang dokumen yang ada padamu. Salma…”
“Dokumen?”
“Ya. Ada sebuah map biru berbungkus kertas minyak berwarna kuning…”
Salma coba mengingat.
“Oh ya. Ya, saya ingat. Dia berikan sebulan sebelum kejadian ini..”
“Engkau mengetahui isinya?”
“tidak. Saya hanya menyimpannya..”
“Dia meminta saya mempelajari dokumen itu”
“Apakah tak lebih baik diserahkan pada Konsul?”
Dia tak berkata begitu. Barangkali dia tak ingin memberitahukannya sebelum dia usut secara menyeluruh. Ada dokumen itu sekarang…?”
“Ada. Di rumah di jalan Brash Basah. Kita bisa mengambilnya sekarang…”
Salma lalu berdiri. Namun telinga si Bungsu yang amat tajam dapat menangkap suara langkah kaki bergeser halus dibalik pintu ruang tamu dimana mereka berada.
Langkah itu jelas sekali diinjakkan secara amat hati-hati. Semula si Bungsu berniat memburu. Tapi dia segera sadar. Ini adalah gedung konsulat. Dan statusnya sendiri hanyalah sebagai tamu. Dia tak mau bertindak gegabah. Namun peringatan Nurdin ketika menuju ke konsulat ini terngiang ditelinganya:
“Kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu. Saya bukannya tak percaya pada beberapa petugas di konsulat Indonesia di kota ini. Namun saya lebih percaya padamu. Bungsu, jangan sampai orang di konsul tahu, bahwa dokumen itu ada padamu…”
Masih dia ingat pesan itu. Dan hatinya jadi tak sedap mengingat langkah menjauh di balik pintu tadi. Kalau demikian, gerak gerik mereka di gedung ini telah diawasi dengan cermat. Hanya pihak manakah yang mengamati itu?
Saat itu Salma muncul setelah bertukar pakaian. Mereka segera menuju ke rumah kediaman Salma di jalan Brash Basah.
“Uda, apakah Bang Nurdin ada berpesan sesuatu padamu sebelum di jatuh pingsan dahulu..?”
Tiba-tiba saja bertanya ketika mobil telah berjalan. Si Bungsu jadi kaget. Dia teringat pada pesan Nurdin yang meminta dia menjaga dan bahkan mengawini Salma jika Nurdin meninggal dunia.
Dan sampai saat ini, overste itu belum juga sadar diri. Nyawanya masih dalam kritis. Akan dia ceritakan permintaan Nurdin itu?
“Ya. Dia berpesan tentang dokumen itu..”
“Tak ada yang lain?”
“Tidak..”
Salma menarik nafas panjang. Si Bungsu juga meraik nafas panjang. Tapi nafas mereka seperti terhenti tatkala mereka sampai di rumah kediaman Salma di jalan Brash Basah.
Isi rumah itu seperti sudah diaduk aduk ribuan kerbau.
Meja kursi dan tempat tidur bertempetasan. Kain-kain dan laci-laci semua terbongkar habis. Dan lebih kaget lagi, diruang tengah, seorang polisis Singapura yang bertugas menjaga rumah itu kelihatan terbaring berlumur darah.
Salma terpekik dan memeluk si Bungsu.
“Tenanglah. Tenang. Dimana engkau simpan dokumen itu?”
Namun Salma tak bisa segera tenang. Keadaan suaminya dan ditambah dengan situasi rumah ini menambah kesan yang amat kuat dihatinya. Betapa sebenarnya suaminya berada dalam bahaya besar. Hal itu menggoncangkan hati Salma.
Namun akhirnya Salma berhasil juga ditenangkan. Dan dia menunjukkan dimana dia menyimpan dokumen tersebut. Ternyata dia cukup pandai menyimpan dokumen itu, karena dikatakan suaminya amat penting dia simpan dalam lemari yang tertanam ke dalam dinding. Dan di bahagian depan dinding yang menyimpan lemari itu, terletak kaca lebar.
Takkan ada orang yang menyangka bahwa dia menyimpan dokumen atau benda apapun dibelakang kaca itu. Bahkan kalaupun kaca itu dihancurkan, lemari dalam dinding itu tak pula segera kelihatan.
Salma sendiri mengetahui lemari itu ketika dahulu serah terima dengan penghuni sebelumnya. Nyonya rumah yang akan pindah itu, seorang nyonya Inggris, membawa Salma keliling kamar. Kemudian menunjukkan lemari rahasia tersebut.
Dan ternyata kinipun orang yang menggeledah rumahnya tak menemukan lemari rahasia tersebut. Dokumen dalam map biru yang dibungkus kertas minyak kuning itu masih utuh bersama beberapa dokumen lainnya berikut perhiasan-perhiasan Salma.
Tiba-tiba si Bungsu tertegak. Salma merasa heran atas sikapnya itu.
Tikam Samurai - 266
“Ada apa?”
“Tetaplah tenang disini. Pegang dokumen ini. Jangan pergi sebelum saya datang di sini. Tutup pintu kamar ini…” berkata demikian si Bungsu lalu menyelinap. Namun berbalik lagi cepat.
“Ada telepon disini?”
“Ada” Salam bergegas ke kamar tengah. Di sana ada telepon yang diengkol untuk mempergunakannya. Tapi tali telepon itu ternyata telah putus. Mereka bertatapan.
“Kembali ke kamar tadi!” kata si Bungsu.
Salma bergegas ke kamar tersebut. Dia tak tahu ada apa sebenarnya. Namun dari sikap si Bungsu dia dapat merasakan bahwa ada bahaya.
Hanya bahaya apa sesiang ini hari?
Si Bungsu bergegas ke ruang depan dimana terbaring mayat polisi Singapura tadi. Dia memeriksa pinggangnya, namun ternyata senjata polisi itu telah lenyap. Dan telinganya yang tajam menangkap suatu gerak di depan. Dia menoleh, dan seorang Cina berambut pendek bertubuh gemuk kelihatan muncul. Di tangannya tergenggam sebuah senapan mesin.
Cina itu menyeringai pada si Bungsu yang masih berjongkok dekat mayat polisi Singapura itu.
Cina itu bicara dalam bahasa nenek moyangnya. Si Bungsu tak mengerti apa yang dibicarakannya. Namun dia tetap berjongkok. Cina itu berada di sebelah kananya dalam jarak empat depa. Cina itu mulai membentak. Si Bungsu tetap diam. Cina itu melihat si Bungsu tak memiliki senjata. Dia lalu bergerak mendekat.
Saat itu si Bungsu mendengar pekikkan Salma dari kamar sebelah. Cina itu makin menyeringai. Dan saat itulah tangan kanan si Bungsu bergerak. Tangannya terayun menyamping. Dan samurai kecil yang selalu diikatkannya secara khusus di lengan kanannya, dan tertutup oleh lengan bajunya, meluncur dengan cepat.
Cina itu tak menyangka sedikitpun. Samurai kecil itu menancap diantara dua matanya. Mulutnya masih memperlihatkan seringai buruk. Namun ada rasa heran dan sakit pada sinar matanya. Kedua bola matanya berputar. Lalu rubuh. Mati!
Dari kamar dimana Salma memekik tadi tak terdengar lagi suara apa-apa. Si Bungsu berjalan ke jendela. Di luar kelihatan sebuah sedan.
Berapa orang mereka di rumah ini sekarang, pikirnya.
Dia lalu berjingkrat ke kamar dimana Salma tadi memekik. Mendorong pintunya, dan mengintai ke dalam. Dan saat itu dia melihat punggung Salma lenyap di pintu samping sana. Bersama seorang Melayu yang menyeret tangannya.
Ke samping!
Si Bungsu berlari ke samping. Masuk ke kamar yang menghubungkan dengan taman samping. Dan dia segera menyeret tangan Salma. Orang Melayu itu tertegak menatapnya. Tangan kanannya menodongkan pistol otomatis. Si Bungsu tetap tegak. Dia tak bersenjata sama sekali. Dan lelaki Melayu itu melihat hal tersebut.
“Hei, awak menelungkup di lantai!” perintah si Melayu itu.
Si Bungsu mematuhinya. Dia menunduk. Tangan kanannya bergetar perlahan. Samurai kecil yang diikatkan secara khusus menurut petunjuk Tokugawa dahulu jatuh dan turun ke telapak tangannya. Ketika tangan kanannya hampir mencecah lantai, dia menghayunkannya kuat-kuat ke depan.
Orang Melayu yang memegang tangan Salma itu tak menyangka apa-apa. Tapi tiba-tiba saja jantungnya terasa amat pedih. Dia mengangkat pistolnya. Tapi pistol otomatik yang biasa dia pergunakan itu terasa alangkah beratnya. Dia jatuh berlutut. Salma menjauh segera.
Mata si Melayu itu menatap heran pada Si Bungsu. Si Bungsu bangkit perlahan. Si Melayu itu menatap heran pada si Bungsu. si Bungsu itu jatuh terlentang. Pistol masih ditangannya. Matanya masih terbuka. Dari mulutnya ada keluhan perlahan. Dia lihat anak muda itu melangkah kearahnya. Membungkuk diatas tubuhnya. Dan mencabut samurai kecil yang tertancap di jantungnya. Si Melayu itu hanya bisa melihat sementara mulutnya terasa kering. Dan nafasnya akhirnya juga kering. Mengirap ke langit. Mati dengan mata masih terbuka, dengan wajah keheran-heranan.
Si Bungsu menghapuskan darah di samurai yang panjangnya tak lebih dari sejengkal itu ke lengan di balik lengan baju panjangnya.
Salma melihat di lengan kanan anak muda itu ada semacam kulit selebar tiga jari yang melilit tangannya. Dan pada kulit hitam itu tersisip tiga buah samurai-samurai kecil dengan hulunya menghadap ke bawah.
“Sulong, A Cong! Sudah selesai?” tiba-tiba terdengar suara dari kamar tamu. Suara itu jelas dengan aksen India. Salma menatap si Bungsu. si Bungsu memegang tangan Salma kemudian membawanya lewat ke pintu belakang.
“Sulong, A…” suara India itu seperti terputus. Dan si Bungsu dapat menduga, India itu pastilah menemui mayat Cina yang bernama Acong itu di kamar tengah dekat mayat polisi Singapura.
“Ada apa?”
“Tetaplah tenang disini. Pegang dokumen ini. Jangan pergi sebelum saya datang di sini. Tutup pintu kamar ini…” berkata demikian si Bungsu lalu menyelinap. Namun berbalik lagi cepat.
“Ada telepon disini?”
“Ada” Salam bergegas ke kamar tengah. Di sana ada telepon yang diengkol untuk mempergunakannya. Tapi tali telepon itu ternyata telah putus. Mereka bertatapan.
“Kembali ke kamar tadi!” kata si Bungsu.
Salma bergegas ke kamar tersebut. Dia tak tahu ada apa sebenarnya. Namun dari sikap si Bungsu dia dapat merasakan bahwa ada bahaya.
Hanya bahaya apa sesiang ini hari?
Si Bungsu bergegas ke ruang depan dimana terbaring mayat polisi Singapura tadi. Dia memeriksa pinggangnya, namun ternyata senjata polisi itu telah lenyap. Dan telinganya yang tajam menangkap suatu gerak di depan. Dia menoleh, dan seorang Cina berambut pendek bertubuh gemuk kelihatan muncul. Di tangannya tergenggam sebuah senapan mesin.
Cina itu menyeringai pada si Bungsu yang masih berjongkok dekat mayat polisi Singapura itu.
Cina itu bicara dalam bahasa nenek moyangnya. Si Bungsu tak mengerti apa yang dibicarakannya. Namun dia tetap berjongkok. Cina itu berada di sebelah kananya dalam jarak empat depa. Cina itu mulai membentak. Si Bungsu tetap diam. Cina itu melihat si Bungsu tak memiliki senjata. Dia lalu bergerak mendekat.
Saat itu si Bungsu mendengar pekikkan Salma dari kamar sebelah. Cina itu makin menyeringai. Dan saat itulah tangan kanan si Bungsu bergerak. Tangannya terayun menyamping. Dan samurai kecil yang selalu diikatkannya secara khusus di lengan kanannya, dan tertutup oleh lengan bajunya, meluncur dengan cepat.
Cina itu tak menyangka sedikitpun. Samurai kecil itu menancap diantara dua matanya. Mulutnya masih memperlihatkan seringai buruk. Namun ada rasa heran dan sakit pada sinar matanya. Kedua bola matanya berputar. Lalu rubuh. Mati!
Dari kamar dimana Salma memekik tadi tak terdengar lagi suara apa-apa. Si Bungsu berjalan ke jendela. Di luar kelihatan sebuah sedan.
Berapa orang mereka di rumah ini sekarang, pikirnya.
Dia lalu berjingkrat ke kamar dimana Salma tadi memekik. Mendorong pintunya, dan mengintai ke dalam. Dan saat itu dia melihat punggung Salma lenyap di pintu samping sana. Bersama seorang Melayu yang menyeret tangannya.
Ke samping!
Si Bungsu berlari ke samping. Masuk ke kamar yang menghubungkan dengan taman samping. Dan dia segera menyeret tangan Salma. Orang Melayu itu tertegak menatapnya. Tangan kanannya menodongkan pistol otomatis. Si Bungsu tetap tegak. Dia tak bersenjata sama sekali. Dan lelaki Melayu itu melihat hal tersebut.
“Hei, awak menelungkup di lantai!” perintah si Melayu itu.
Si Bungsu mematuhinya. Dia menunduk. Tangan kanannya bergetar perlahan. Samurai kecil yang diikatkan secara khusus menurut petunjuk Tokugawa dahulu jatuh dan turun ke telapak tangannya. Ketika tangan kanannya hampir mencecah lantai, dia menghayunkannya kuat-kuat ke depan.
Orang Melayu yang memegang tangan Salma itu tak menyangka apa-apa. Tapi tiba-tiba saja jantungnya terasa amat pedih. Dia mengangkat pistolnya. Tapi pistol otomatik yang biasa dia pergunakan itu terasa alangkah beratnya. Dia jatuh berlutut. Salma menjauh segera.
Mata si Melayu itu menatap heran pada Si Bungsu. Si Bungsu bangkit perlahan. Si Melayu itu menatap heran pada si Bungsu. si Bungsu itu jatuh terlentang. Pistol masih ditangannya. Matanya masih terbuka. Dari mulutnya ada keluhan perlahan. Dia lihat anak muda itu melangkah kearahnya. Membungkuk diatas tubuhnya. Dan mencabut samurai kecil yang tertancap di jantungnya. Si Melayu itu hanya bisa melihat sementara mulutnya terasa kering. Dan nafasnya akhirnya juga kering. Mengirap ke langit. Mati dengan mata masih terbuka, dengan wajah keheran-heranan.
Si Bungsu menghapuskan darah di samurai yang panjangnya tak lebih dari sejengkal itu ke lengan di balik lengan baju panjangnya.
Salma melihat di lengan kanan anak muda itu ada semacam kulit selebar tiga jari yang melilit tangannya. Dan pada kulit hitam itu tersisip tiga buah samurai-samurai kecil dengan hulunya menghadap ke bawah.
“Sulong, A Cong! Sudah selesai?” tiba-tiba terdengar suara dari kamar tamu. Suara itu jelas dengan aksen India. Salma menatap si Bungsu. si Bungsu memegang tangan Salma kemudian membawanya lewat ke pintu belakang.
“Sulong, A…” suara India itu seperti terputus. Dan si Bungsu dapat menduga, India itu pastilah menemui mayat Cina yang bernama Acong itu di kamar tengah dekat mayat polisi Singapura.
“Tetaplah tenang disini. Pegang dokumen ini. Jangan pergi sebelum saya datang di sini. Tutup pintu kamar ini…” berkata demikian si Bungsu lalu menyelinap. Namun berbalik lagi cepat.
“Ada telepon disini?”
“Ada” Salam bergegas ke kamar tengah. Di sana ada telepon yang diengkol untuk mempergunakannya. Tapi tali telepon itu ternyata telah putus. Mereka bertatapan.
“Kembali ke kamar tadi!” kata si Bungsu.
Salma bergegas ke kamar tersebut. Dia tak tahu ada apa sebenarnya. Namun dari sikap si Bungsu dia dapat merasakan bahwa ada bahaya.
Hanya bahaya apa sesiang ini hari?
Si Bungsu bergegas ke ruang depan dimana terbaring mayat polisi Singapura tadi. Dia memeriksa pinggangnya, namun ternyata senjata polisi itu telah lenyap. Dan telinganya yang tajam menangkap suatu gerak di depan. Dia menoleh, dan seorang Cina berambut pendek bertubuh gemuk kelihatan muncul. Di tangannya tergenggam sebuah senapan mesin.
Cina itu menyeringai pada si Bungsu yang masih berjongkok dekat mayat polisi Singapura itu.
Cina itu bicara dalam bahasa nenek moyangnya. Si Bungsu tak mengerti apa yang dibicarakannya. Namun dia tetap berjongkok. Cina itu berada di sebelah kananya dalam jarak empat depa. Cina itu mulai membentak. Si Bungsu tetap diam. Cina itu melihat si Bungsu tak memiliki senjata. Dia lalu bergerak mendekat.
Saat itu si Bungsu mendengar pekikkan Salma dari kamar sebelah. Cina itu makin menyeringai. Dan saat itulah tangan kanan si Bungsu bergerak. Tangannya terayun menyamping. Dan samurai kecil yang selalu diikatkannya secara khusus di lengan kanannya, dan tertutup oleh lengan bajunya, meluncur dengan cepat.
Cina itu tak menyangka sedikitpun. Samurai kecil itu menancap diantara dua matanya. Mulutnya masih memperlihatkan seringai buruk. Namun ada rasa heran dan sakit pada sinar matanya. Kedua bola matanya berputar. Lalu rubuh. Mati!
Dari kamar dimana Salma memekik tadi tak terdengar lagi suara apa-apa. Si Bungsu berjalan ke jendela. Di luar kelihatan sebuah sedan.
Berapa orang mereka di rumah ini sekarang, pikirnya.
Dia lalu berjingkrat ke kamar dimana Salma tadi memekik. Mendorong pintunya, dan mengintai ke dalam. Dan saat itu dia melihat punggung Salma lenyap di pintu samping sana. Bersama seorang Melayu yang menyeret tangannya.
Ke samping!
Si Bungsu berlari ke samping. Masuk ke kamar yang menghubungkan dengan taman samping. Dan dia segera menyeret tangan Salma. Orang Melayu itu tertegak menatapnya. Tangan kanannya menodongkan pistol otomatis. Si Bungsu tetap tegak. Dia tak bersenjata sama sekali. Dan lelaki Melayu itu melihat hal tersebut.
“Hei, awak menelungkup di lantai!” perintah si Melayu itu.
Si Bungsu mematuhinya. Dia menunduk. Tangan kanannya bergetar perlahan. Samurai kecil yang diikatkan secara khusus menurut petunjuk Tokugawa dahulu jatuh dan turun ke telapak tangannya. Ketika tangan kanannya hampir mencecah lantai, dia menghayunkannya kuat-kuat ke depan.
Orang Melayu yang memegang tangan Salma itu tak menyangka apa-apa. Tapi tiba-tiba saja jantungnya terasa amat pedih. Dia mengangkat pistolnya. Tapi pistol otomatik yang biasa dia pergunakan itu terasa alangkah beratnya. Dia jatuh berlutut. Salma menjauh segera.
Mata si Melayu itu menatap heran pada Si Bungsu. Si Bungsu bangkit perlahan. Si Melayu itu menatap heran pada si Bungsu. si Bungsu itu jatuh terlentang. Pistol masih ditangannya. Matanya masih terbuka. Dari mulutnya ada keluhan perlahan. Dia lihat anak muda itu melangkah kearahnya. Membungkuk diatas tubuhnya. Dan mencabut samurai kecil yang tertancap di jantungnya. Si Melayu itu hanya bisa melihat sementara mulutnya terasa kering. Dan nafasnya akhirnya juga kering. Mengirap ke langit. Mati dengan mata masih terbuka, dengan wajah keheran-heranan.
Si Bungsu menghapuskan darah di samurai yang panjangnya tak lebih dari sejengkal itu ke lengan di balik lengan baju panjangnya.
Salma melihat di lengan kanan anak muda itu ada semacam kulit selebar tiga jari yang melilit tangannya. Dan pada kulit hitam itu tersisip tiga buah samurai-samurai kecil dengan hulunya menghadap ke bawah.
“Sulong, A Cong! Sudah selesai?” tiba-tiba terdengar suara dari kamar tamu. Suara itu jelas dengan aksen India. Salma menatap si Bungsu. si Bungsu memegang tangan Salma kemudian membawanya lewat ke pintu belakang.
“Sulong, A…” suara India itu seperti terputus. Dan si Bungsu dapat menduga, India itu pastilah menemui mayat Cina yang bernama Acong itu di kamar tengah dekat mayat polisi Singapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar